LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Sekularisme yang Sehat: Seruan Profetis Paus Leo XIV

 

Pada tanggal 29 September 2025, Paus Leo XIV menerima kunjungan European Parliament’s Working Group on Intercultural and Interreligious Dialogue di Vatikan. Di hadapan para legislator dan pemimpin budaya itu, Paus melontarkan sebuah istilah yang padat makna: perlunya healthy secularism—“sekularisme yang sehat.” Seruan ini penting, bukan hanya bagi Eropa yang tengah dilanda krisis identitas, tetapi juga bagi bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia.

Sekularisme yang sehat bukanlah usaha meminggirkan agama dari ruang publik, melainkan sebuah penataan hubungan yang jelas: agama dan negara berbeda tetapi bekerja sama demi kebaikan bersama. Paus Leo XIV menggemakan definisi Benediktus XVI: negara tidak boleh mengintervensi iman sejati, dan agama tidak boleh menuntut privilese politik. Keduanya saling menghormati peran, tanpa saling meniadakan.

Ajaran sosial Gereja menekankan bahwa sekularitas yang benar adalah positive laicity: sebuah netralitas negara yang membuka ruang partisipasi agama dalam membangun masyarakat, bukan menutup mulutnya.[1]

Paus Leo XIV menekankan bahwa inti dari dialog antaragama adalah martabat manusia. Demokrasi yang mengabaikan iman akan kehilangan jiwa, karena tidak ada fondasi transenden yang menopang martabat manusia. Sebaliknya, iman tanpa penghormatan hukum mudah terjerumus ke fundamentalisme. Maka, yang dibutuhkan adalah dialog sejati: iman menyumbang nilai moral, negara menjamin ruang kebebasan.

Paus menunjuk Robert Schuman, Konrad Adenauer, dan Alcide De Gasperi sebagai teladan politisi yang mampu menjembatani iman dan politik. Mereka tidak mengubah negara menjadi teokrasi, tetapi juga tidak membuang iman dari ruang publik. Justru karena iman, mereka sanggup melahirkan Uni Eropa yang berlandaskan solidaritas dan perdamaian. [2]

Sebagai perbandingan, Prancis menjalankan model laïcité négative, yakni sekularisme yang melarang simbol iman di ruang publik. Hasilnya adalah “sekularisme sakit”: iman dipaksa bungkam, masyarakat kehilangan arah moral, dan demokrasi kehilangan makna. Benediktus XVI sudah memperingatkan, demokrasi tanpa nilai mudah berubah menjadi totalitarianisme.[3]

Seruan ini relevan pula bagi Indonesia. Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah bentuk healthy secularism khas Nusantara. Negara bukan milik satu agama, tetapi agama diakui sebagai sumber moralitas bangsa. Gereja, masjid, pura, vihara, dan klenteng sama-sama bebas menyuarakan nilai-nilai iman di ruang publik, dengan tujuan yang sama: martabat manusia dan persaudaraan sejati.

Namun, bahaya tetap mengintai. Jika Pancasila direduksi menjadi sekadar pluralisme prosedural tanpa fondasi transenden, Indonesia bisa tergelincir ke laïcité négative. Itu berarti iman kembali dipaksa masuk ke ruang privat, dan bangsa kehilangan kompas moralnya.

Sekularisme yang sehat adalah koreksi Katolik atas mitos modern bahwa iman dan politik adalah musuh abadi. Negara mengurus tata sipil; Gereja menjaga suara hati dan akhlak. Namun keduanya berjalan bersama, demi martabat manusia, kebebasan otentik, dan kebaikan bersama.

Paus Leo XIV menutup dengan nada profetis: Eropa perlu mengingat akar Kristiani peradabannya; Indonesia harus menjaga Pancasila tetap berakar pada Ketuhanan. Dunia dipanggil untuk menolak dua ekstrem—fundamentalisme dan sekularisme radikal—dan memilih jalan tengah yang sehat.

Healthy secularism bukan sekadar konsep politik, melainkan kesaksian iman: hanya dengan dialog antara iman dan akal, negara dan Gereja, demokrasi akan hidup, dan manusia akan sungguh merdeka.

 

Catatan

  1. Benediktus XVI, Address to the Roman Curia, 2005.
  2. Lihat biografi Robert Schuman, Adenauer, dan De Gasperi sebagai “Bapak Eropa,” yang sering dikutip Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI dalam konteks politik Kristiani.
  3. Benediktus XVI, Centesimus Annus Lecture, 2006: “A democracy without values easily turns into open or thinly disguised totalitarianism.”
Share This Article :
9000568233845443113