Pendahuluan
Esra Soru
menyatakan: “Ada rencana Tuhan di situ, ada rencana Iblis juga” (menit
2:01–2:07). Ia lalu menambahkan: “Kalau hanya sebatas mati disalib saja,
maka itu adalah kehendak Allah maupun iblis. Tetapi kalau sampai mati disalib
demi penebusan, maka iblis tidak punya rencana itu sama sekali” (menit
28:01–28:22).
Pernyataan
ini hendak menjadi moderat, namun justru melahirkan kebocoran: logis,
hermeneutis, dan teologis. Untuk melihat jelas rapuhnya konstruksi ini, kita
bandingkan dengan tradisi klasik Gereja.
I. Tradisi Agustinus: Iblis
hanyalah instrumentum, bukan perplanner
Agustinus menulis dalam Enchiridion:
“Deus omnipotens nullo modo sineret
mala in suis operibus nisi usque adeo esset omnipotens et bonus, ut etiam de
malo bene faceret.”
(Allah yang Mahakuasa tidak akan pernah mengizinkan adanya kejahatan, kecuali
Ia begitu Mahakuasa dan baik sehingga dari kejahatan itu pun Ia dapat
menghasilkan kebaikan.)
Artinya,
Iblis tidak pernah menjadi “perencana.” Ia hanyalah instrumen yang tindakannya
dipakai Allah untuk kebaikan lebih besar. Menyebut Iblis “perencana” berarti
memberi dia teleologi yang mandiri, padahal menurut Agustinus, Allah tetap
satu-satunya perencana kekal.
Pesannya
(cermat menggunakan Bahasa (anda seorang pendeta, dan ini sola teologi)
II.
Aquinas: Causa prima vs causae secundae
Dalam Summa
Theologiae I, q.22, a.2, Aquinas menegaskan:
“Omnia quae
fiunt, a Deo praeordinata sunt.”
(Segala sesuatu yang terjadi telah ditetapkan oleh Allah.)
Tetapi ia
juga menambahkan bahwa Allah memakai causae secundae (penyebab
sekunder), termasuk tindakan bebas manusia dan bahkan niat jahat. Namun,
penyebab sekunder tidak pernah sejajar dengan causa prima.
Dengan
kerangka ini, jelas: Iblis bisa menjadi causa secunda yang jahat, tetapi
tidak bisa disebut “perencana.” Sebab “rencana” hanya berada dalam akal ilahi
yang memuat providensi universal. Esra gagal membedakan ini: ia menjadikan
Iblis bukan sekadar aktor, tetapi “planner” sejajar.
(catatan:
tidak pernah muncul dalam penjelasan Protestan, justru inilah yang membuat umat
awam bingung)
III.
Konsili Gereja: Kristus mati “secundum providentiam Dei”
Kisah Para
Rasul 2:23 dipahami Gereja secara konsisten: Yesus “diserahkan menurut maksud
dan rencana Allah.”
Konsili
Trente (1546), dalam dekrit tentang Justifikasi, menegaskan bahwa penebusan
adalah:
“Praeparatum ab aeterno consilio
Dei.”
(Diprakirakan dalam rencana kekal Allah.)
Tak ada
satu dokumen pun yang menyebut Iblis sebagai perencana. Iblis hanya disebut “murderer from
the beginning” (Yoh 8:44), yaitu pelaku, bukan arsitek. Jadi posisi Esra bukan
hanya bocor, tetapi juga tidak sesuai dengan ajaran resmi Gereja sejak konsili
ekumenis.
(Kesepakatan
universal sudah ada, mengapa tidak diacu? Kalau iman anda merupakan kelanjutan
iman para rasul seharusnya acuan kepada konsili ekumenis itu niscaya, semua pendeta
protestan mengandalkan tafsir pribadi. Siapa yang lebih paham kitab suci,
mereka yang lebih dekat dengan waktu penulisannya atau anda yang terbuang jauh
dengan modal gelar s25 Ultra?
IV. Kebocoran Esra Soru
Dengan bandingan tradisi, kebocoran
Esra terlihat lebih jelas:
1.    
Logis: Menyebut
Iblis “perencana” berarti membuat dualisme teleologis.
2.     Hermeneutis: Ia menolak tafsir perumpamaan
yang literal, tetapi mengutip nubuat secara blueprint.
3.     Teologis: Ia gagal memakai distingsi klasik
antara causa prima dan causae secundae.
4.    
Historis:
Posisinya tidak ada dalam garis Agustinus, Aquinas, maupun konsili Gereja.
Kesimpulannya:
allegro tidak memfitnah!
V.
Kesimpulan
Yesus disalibkan bukan karena ada
“dua rencana” yang sejajar, melainkan karena satu rencana kekal Allah yang
bahkan mampu menelan niat jahat Iblis ke dalam Providensia-Nya. Agustinus sudah
menegaskan: Allah mampu membuat kebaikan dari kejahatan. Aquinas sudah
menjelaskan: hanya Allah adalah causa prima; iblis hanyalah causa
secunda. Konsili Trente mengukuhkan: penebusan adalah rencana kekal Allah,
titik.
Maka, tesis yang kokoh adalah: penyaliban
Yesus adalah rencana murni Allah demi penebusan. Iblis hanyalah aktor gagal,
bukan perencana. Menyebutnya “perencana” adalah kebocoran logika yang
mendekatkan diri pada dualisme.
Penutup: Ajakan Ekumenis
Protestan tidak sepenuhnya salah
ketika menegaskan bahwa Iblis memang berperan dalam peristiwa salib. Esra benar
dalam hal itu. Namun kebenaran parsial tanpa fondasi otoritas Gereja justru
menjadi pintu masuk bagi kebingungan. Inilah penyakit Protestan: setiap tafsir
hidup sendiri, lepas dari tubuh otoritatif yang mampu mengikat dan menjaga
kesatuan iman.
Di sini letak masalahnya: karena
tidak ada otoritas yang diakui sebagai penafsir definitif, maka setiap
suara—entah Edis, Esra, MYM, atau siapa pun—tampil dengan tafsir fragmentaris.
Masing-masing potongan kebenaran itu diperlakukan seolah-olah final, padahal
hanyalah serpihan. Fragmen-fragmen ini tidak pernah bisa menyatu untuk
membentuk gambaran utuh; sebaliknya, ia mudah terjatuh ke dalam bidat, karena
setiap orang menyamakan serpihan subjektifnya dengan totalitas Injil.
Gereja Katolik dengan
Magisterium-nya berdiri sebagai pagar historis dan metafisik terhadap
fragmentasi semacam ini. Ia bukan musuh Kitab Suci, melainkan rahim yang
menjaga Kitab Suci agar tetap dibaca dalam kesatuan tubuh Kristus. Dei
Verbum (no. 10) menegaskan:
“Tugas menafsirkan sabda Allah
secara otentik, baik yang tertulis maupun yang diturunkan, dipercayakan hanya
kepada Magisterium Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama
Yesus Kristus.”
Tanpa rahim itu, fragmen menjadi
bidat. Dengan rahim itu, fragmen dipulihkan menjadi mosaik indah dari
keselamatan.
Karena itu, ajakan ekumenis kita
jelas: mari belajar rendah hati di hadapan sejarah panjang iman. Unitatis
Redintegratio (no. 3) mengingatkan:
“Roh Kristus tidak enggan memakai
Gereja-gereja terpisah ini sebagai sarana keselamatan, yang daya kerjanya
berpangkal pada kepenuhan rahmat dan kebenaran yang dipercayakan kepada Gereja
Katolik.”
Artinya, fragmen di luar Gereja
tidak sia-sia, tetapi tetap diarahkan Roh Kudus menuju kesatuan penuh. Maka
tugas kita bukan menertawakan fragmen, melainkan mengundang semua saudara
kembali menaruh serpihan-serpihan tafsir itu ke dalam mosaik yang utuh: Gereja
yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.
