Pendahuluan
Pertanyaan tentang
keperawanan abadi Maria selalu menjadi titik silang antara tradisi Katolik dan
Protestan. Bagi banyak orang awam, perdebatan itu tampak sepele: apakah Maria,
setelah melahirkan Yesus, memiliki anak-anak lain atau tidak? Namun dalam kenyataannya,
pertanyaan itu menyimpan kedalaman teologis yang menyentuh jantung iman. Ia
bukan sekadar perkara silsilah keluarga Nazaret, melainkan persoalan paradigma:
bagaimana kita memahami wahyu, otoritas Kitab Suci, dan relasi antara teks
dengan tradisi.
Dalam horizon
Protestan, menerima bahwa Maria tetap perawan berarti membuka pintu kepada
tradisi Gereja yang sejak awal bersaksi tentang hal itu. Dan jika tradisi
memiliki otoritas yang sejajar dengan Kitab Suci, maka doktrin sola
scriptura—“hanya Kitab Suci”—retak dari dasarnya. Karena itu, ada semacam
kebutuhan ideologis bagi Protestan untuk menafsirkan istilah “saudara-saudara
Yesus” secara biologis, seakan-akan mereka adalah anak-anak kandung Maria.
Dengan strategi itu, mereka merasa berhasil menjatuhkan doktrin Katolik
sekaligus mereduksi Maria menjadi sosok domestik yang “normal.”
Gereja Katolik,
sebaliknya, sejak abad pertama teguh bersaksi tentang Maria sebagai Aeiparthenos—Perawan
yang senantiasa perawan. Bukan demi mengultuskan Maria, melainkan demi menjaga
keutuhan misteri Kristus: bahwa rahim yang mengandung Sabda Allah bukan ruang
profan yang dipakai lalu ditinggalkan, melainkan sanctuarium yang kudus.
Misteri inkarnasi, dalam kacamata Katolik, menuntut kesaksian permanen dari
tubuh Maria.
Dari titik berangkat inilah, perdebatan menjadi
terang. Di satu sisi ada Protestan dengan tafsir literal yang rapuh, penuh
asumsi modern tentang pernikahan. Di sisi lain ada Gereja Katolik dengan
tradisi, patristik, dan kerangka metafisik yang konsisten. Artikel ini akan
menyingkap akar psikologis dan teologis dari ngototnya Protestan menafsir Maria
sebagai ibu dengan banyak anak, menguji titik lemah penafsiran mereka,
sekaligus menghadirkan argumen Katolik yang berbasis Kitab Suci, tradisi Yahudi
dan Greko-Romawi, serta filsafat metafisik dari Aquinas hingga Wojtyła.
Dengan demikian, persoalan Maria bukanlah sekadar soal
biologi reproduksi, melainkan tanda profetis dan sakramental: adakah iman yang
berani mengakui bahwa hidup tidak hanya berasal dari daging dan darah, tetapi
dari Roh Kudus?
Bagian I – Akar Psikologis dan Teologis
Pertanyaan tentang “anak-anak Maria” tidak pernah
lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari kegelisahan teologis dan psikologis
yang berakar dalam paradigma iman Protestan. Bila ditelisik lebih jauh, di
balik teks dan kutipan Alkitab yang kerap mereka sodorkan, tersembunyi suatu
ketakutan fundamental: pengakuan bahwa Maria tetap perawan berarti pengakuan
bahwa tradisi Katolik benar sejak awal. Dan jika tradisi benar, maka prinsip sola scriptura runtuh dengan
sendirinya.
Bagi Protestan, prinsip sola scriptura bukan
sekadar metodologi tafsir, melainkan pilar eksistensial yang menopang identitas
mereka. Tanpa pilar itu, seluruh bangunan Reformasi goyah. Karena itu, tafsir
literal terhadap frasa “saudara-saudara Yesus” dijadikan benteng terakhir. Jika
kata “saudara” ditafsir sebagai “anak-anak kandung Maria,” maka dengan
sendirinya devosi Katolik kepada Maria dapat dipandang sebagai penyimpangan,
dan tradisi Gereja yang berbicara tentang keperawanan abadi Maria dapat dinilai
gugur.
Namun di sini terlihat jelas dimensi psikologisnya.
Argumen ini tidak berangkat dari teks Kitab Suci itu sendiri, sebab Alkitab
tidak pernah secara eksplisit menyatakan bahwa Maria memiliki anak lain.
Argumen ini lahir dari kebutuhan ideologis: untuk menolak otoritas Gereja,
untuk menjaga jarak dari tradisi, dan untuk mempertahankan klaim bahwa iman
hanya bisa berdiri di atas Kitab Suci. Dalam arti ini, tafsir Protestan lebih
mencerminkan mekanisme pertahanan psikologis daripada keterbukaan pada misteri
iman.
Dari perspektif Katolik, posisi ini menunjukkan
paradoks. Mereka menolak tradisi karena dianggap “menambah” pada Kitab Suci,
tetapi dalam praktiknya mereka justru menambah asumsi ke dalam teks. Keengganan
menerima Maria sebagai perawan abadi menjadi cermin ketakutan teologis—takut
bahwa jika Maria benar-benar unik dan kudus, maka seluruh kerangka Protestan
akan goyah.
Dengan demikian, pertanyaan Protestan tentang
“anak-anak Maria” bukan soal sejarah keluarga Nazaret. Itu adalah soal
paradigma iman: apakah seseorang berani mengakui kesaksian Gereja perdana yang
tidak tertulis secara eksplisit, ataukah ia terjebak dalam kebutuhan ideologis
untuk menolak apa pun yang beraroma Katolik?
Bagian II – Titik Lemah Tafsir Protestan
Jika argumen Protestan dipilah satu per satu, terlihat
jelas betapa rapuh fondasinya. Mereka kerap mengutip ayat-ayat tertentu
seakan-akan itu bukti kuat, padahal jika ditinjau dalam kerangka linguistik,
historis, dan teologis, ayat-ayat tersebut justru membongkar kelemahan
pendekatan literal yang mereka gunakan.
Pertama, Matius 1:25 berbunyi: “Tetapi Yusuf tidak
bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan seorang anak laki-laki, dan Yusuf
menamakan Dia Yesus.” Kata “sampai” (ἕως, heōs) di sini sering dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa
setelah Yesus lahir, Maria dan Yusuf hidup seperti pasangan pada umumnya.
Tetapi tafsir ini terbantahkan oleh penggunaan kata yang sama dalam teks-teks
Alkitab lain. Misalnya, 2 Samuel 6:23 menyebut: “Mikal, anak perempuan Saul, tidak
beranak sampai hari matinya.” Ungkapan “sampai hari matinya” jelas tidak
berarti Mikal melahirkan anak setelah ia meninggal. Demikian pula, janji
Kristus, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20),
tidak bisa ditafsir bahwa setelah akhir zaman Kristus berhenti menyertai.
Artinya, “sampai” tidak otomatis menandakan perubahan kondisi setelahnya.
Kedua, Markus 6:3
mencatat orang-orang menyebut Yesus sebagai “anak Maria, saudara Yakobus,
Yoses, Yudas, dan Simon.” Di sinilah Protestan berpegang teguh: jika ada
kata “saudara,” berarti anak kandung. Tetapi dalam konteks Semitik
(Ibrani/Aram), kata “saudara” (’ach dalam Ibrani, aha dalam Aram)
merujuk pada kerabat luas, bukan semata saudara sekandung. Abraham sendiri
menyebut Lot sebagai “saudara,” padahal secara biologis Lot adalah keponakannya
(Kej 13:8). Dengan demikian, istilah “saudara” dalam Kitab Suci lebih cair, dan
tidak bisa dipaksakan ke dalam kerangka modern yang sempit.
Ketiga, Lukas 2:7
menyebut Yesus sebagai “anak sulung” Maria. Protestan lalu beranggapan:
jika ada “sulung,” berarti ada “adik.” Tetapi dalam hukum Yahudi, “anak sulung”
(bekhor) bukanlah istilah biologis, melainkan istilah hukum. Bahkan
seorang anak tunggal pun disebut “sulung,” karena istilah itu menunjuk pada
hak-hak khusus dalam Taurat, misalnya persembahan anak sulung kepada Allah (Kel
13:2). Jadi, sebutan itu tidak serta-merta menandakan adanya anak-anak lain.
Keempat, ada juga
keberatan kultural: bukankah dalam tradisi Yahudi, menikah berarti harus
melahirkan banyak anak? Jawaban sederhana: mandat beranak cucu memang perintah
Allah (Kej 1:28), tetapi tidak berlaku sebagai kewajiban mutlak bagi setiap
individu. Yohanes Pembaptis hidup selibat, demikian pula Yesus sendiri. Bahkan
nabi Yeremia pernah diperintahkan Allah untuk tidak menikah (Yer 16:2). Maka,
Maria dan Yusuf pun tidak terikat oleh kewajiban untuk memiliki banyak anak,
terutama jika mereka dipanggil pada misi yang lebih tinggi.
Dengan demikian,
semua teks yang dijadikan pijakan Protestan hanyalah tafsir yang dipaksakan.
Tidak ada satu pun ayat Alkitab yang secara eksplisit menyatakan Maria memiliki
anak lain selain Yesus. Yang ada hanyalah asumsi—dan asumsi itu lahir dari
kebutuhan ideologis, bukan dari kesetiaan kepada Kitab Suci.
Bagian III – Mengapa Mereka Ingin Maria “Normal”?
Di balik perdebatan tekstual, ada motivasi yang lebih
dalam: keinginan untuk menjadikan Maria sebagai sosok “biasa.” Dalam kerangka
Protestan, Maria tidak boleh tampil terlalu istimewa, sebab keistimewaan itu
dianggap mengancam prinsip bahwa hanya Kristus yang layak ditinggikan. Maka
muncullah dorongan untuk “menormalisasi” Maria—menariknya turun dari status
perawan abadi menjadi sekadar ibu rumah tangga dengan banyak anak.
Logikanya sederhana: jika Maria tetap perawan, maka ia
menjadi saksi permanen misteri inkarnasi. Rahimnya tidak pernah dipakai untuk
apa pun selain mengandung Putra Allah. Ia menjadi ikon kesucian tubuh yang
seluruhnya dipersembahkan untuk Logos yang menjelma. Fakta ini menempatkan
Maria pada kedudukan unik dalam sejarah keselamatan, dan Gereja Katolik dengan
konsisten memberi penghormatan kepadanya karena keunikannya itu.
Namun, bagi Protestan, posisi semacam ini menimbulkan
kegelisahan. Mereka khawatir bahwa pengakuan akan keperawanan abadi Maria akan
menjadi pintu masuk bagi apa yang mereka sebut “pemujaan berlebihan.” Maka
satu-satunya jalan adalah menjadikan Maria “normal,” sama seperti perempuan
lainnya: menikah, melahirkan beberapa anak, dan hidup dalam pola keluarga
biasa. Dengan demikian, Maria dapat dipandang bukan sebagai tanda profetis
inkarnasi, melainkan sekadar tokoh domestik yang tidak jauh berbeda dari ibu-ibu
lain.
Tetapi justru di sinilah letak keanehannya. Usaha
“penormalan” ini lahir bukan dari Kitab Suci, melainkan dari rasa cemas
terhadap konsekuensi teologis. Mereka berusaha menghindar dari kemungkinan
bahwa penghormatan Katolik terhadap Maria punya dasar yang sah. Mereka ingin
memastikan bahwa Maria tidak pernah bisa menjadi ikon yang terlalu tinggi, agar
sistem iman mereka tetap aman dari ancaman tradisi Katolik.
Ironisnya, dalam usaha menurunkan Maria, mereka tanpa
sadar mereduksi juga kedalaman misteri Kristus. Sebab keperawanan abadi Maria
tidak dimaksudkan untuk mengalihkan kemuliaan Kristus, melainkan justru untuk
menegaskannya: hanya Kristus yang unik, hanya Dia yang lahir dari rahim
perawan, hanya Dia yang sepenuhnya Kudus dari Allah. Dengan menolak keperawanan
Maria, Protestan sesungguhnya sedang berusaha melindungi doktrin mereka
sendiri, bukan membela kemurnian Kristus.
Bagian IV – Ironi Sola Scriptura
Protestan kerap mengulang semboyan mereka: sola
scriptura—hanya Kitab Suci yang menjadi dasar iman. Dengan slogan ini,
mereka menolak tradisi, konsili, dan kesaksian para Bapa Gereja. Namun, justru
dalam perdebatan tentang Maria, tampak jelas betapa prinsip itu sering berbalik
menikam diri mereka sendiri.
Kitab Suci, bila dibaca dengan jujur, tidak pernah
menulis: “Maria mempunyai anak lain.” Pernyataan eksplisit semacam itu tidak
ada dalam seluruh Alkitab. Yang ada hanyalah istilah “saudara-saudara Yesus”
yang, sebagaimana sudah dijelaskan, bisa merujuk pada kerabat luas, sepupu,
bahkan sahabat keluarga. Dengan demikian, klaim Protestan bahwa Maria memiliki
anak-anak lain hanyalah hasil tafsir tambahan, bukan kesaksian teks yang apa
adanya.
Di sini terjadi ironi yang tidak kecil. Sementara
mereka menuduh Gereja Katolik “menambah” dengan tradisi, mereka sendiri
menambah asumsi yang tidak pernah dituliskan secara eksplisit dalam Kitab Suci.
Mereka menafsir kata “sampai” seolah-olah berarti perubahan keadaan; mereka
menafsir “sulung” seolah-olah menuntut adanya adik; mereka menafsir “saudara”
seolah-olah selalu berarti sekandung. Semua ini adalah tafsir di luar teks,
sesuatu yang seharusnya mereka hindari jika konsisten dengan semboyan sola
scriptura.
Dengan kata lain, sola scriptura sering kali
berhenti sebagai slogan retoris, bukan prinsip konsisten. Ketika teks Alkitab
tidak mendukung posisi mereka, tafsiran spekulatif segera dihadirkan. Ironi ini
memperlihatkan bahwa mereka tidak sedang berdiri di atas Kitab Suci semata,
melainkan di atas kebutuhan ideologis untuk menolak apa pun yang diasosiasikan
dengan Katolik.
Sementara itu, Gereja Katolik tidak terjebak pada kontradiksi semacam ini.
Tradisi dipahami bukan sebagai tambahan, melainkan sebagai kesaksian hidup dari
Gereja perdana, yang berjalan bersama Kitab Suci sejak awal. Dengan demikian,
iman Katolik tidak menggantung pada asumsi, melainkan pada kesaksian historis
dan konsistensi iman yang dijaga lintas abad.
Ironi terbesar dari sola scriptura adalah bahwa ketika Protestan
berusaha menjatuhkan Katolik, mereka justru menunjukkan bahwa prinsip mereka
sendiri tidak mampu berdiri tanpa penafsiran tambahan. Mereka menolak tradisi,
tetapi hidup dari tafsir. Mereka menolak otoritas Gereja, tetapi diam-diam
menciptakan otoritas baru: tafsiran pribadi atau denominasi masing-masing.
Bagian V – Konsistensi Katolik
Berbeda dengan tafsir spekulatif Protestan, Gereja Katolik berdiri di atas
kesaksian yang kokoh, baik dari Kitab Suci yang dibaca dalam terang tradisi,
maupun dari suara konsensus umat beriman sejak abad pertama. Konsistensi inilah
yang menjadi ciri khas Katolik: iman yang tidak lahir dari penafsiran sesaat,
tetapi dari kesaksian yang dijaga terus-menerus.
Sejak awal, Gereja mengimani Maria sebagai Aeiparthenos—Perawan
yang senantiasa perawan. Keyakinan ini ditegaskan secara resmi oleh Konsili
Lateran tahun 649, yang menyatakan dengan jelas: Maria mengandung tanpa benih
laki-laki, melahirkan tanpa kehilangan keperawanan, dan tetap perawan sepanjang
hidupnya. Pernyataan konsili itu bukanlah inovasi, melainkan kodifikasi dari
iman yang sudah hidup dalam Gereja perdana.
Para Bapa Gereja memberi kesaksian serupa. Ignatius
dari Antiokhia (abad ke-2) menyebut kelahiran Kristus sebagai misteri yang
“dari perawan,” tanpa bayangan keraguan akan keperawanan Maria yang berlanjut.
St. Hieronimus, dalam polemiknya melawan Helvidius yang menolak keperawanan
Maria, membela dengan argumentasi yang tajam bahwa Maria tidak pernah memiliki
anak lain selain Yesus. St. Agustinus menambahkan bahwa keperawanan Maria
adalah tanda totalitas persembahannya kepada Allah, sebuah kesaksian yang tidak
bisa dipisahkan dari misteri Kristus.
Yang menarik, iman ini tidak pernah dimaksudkan untuk
menonjolkan Maria demi dirinya sendiri. Keperawanan abadi Maria justru selalu
dipahami dalam terang Kristus. Rahim yang mengandung Sabda Allah adalah rahim
yang dikuduskan sepenuhnya, dan karena itu tidak layak dipakai untuk tujuan
lain. Dalam bahasa teologis, rahim Maria menjadi sanctuarium—tempat
kudus yang eksklusif untuk misteri inkarnasi. Dengan demikian, Maria bukan
saingan Kristus, melainkan saksi yang menegaskan keunikan dan kemuliaan-Nya.
Konsistensi iman Katolik ini juga tercermin dalam
liturgi. Sejak abad-abad awal, Gereja mendaraskan doa dan pujian yang
menegaskan Maria sebagai Perawan abadi. Liturgi bukan sekadar ekspresi pribadi,
tetapi memori kolektif Gereja yang menjaga kebenaran iman. Fakta bahwa Maria
disebut Aeiparthenos dalam doa dan nyanyian resmi Gereja menunjukkan
bahwa keyakinan ini bukanlah tambahan belakangan, melainkan bagian integral
dari tradisi apostolik.
Dengan demikian, posisi Katolik berdiri tegak: Maria
tetap perawan, bukan karena fantasi devosional, tetapi karena logika iman yang
konsisten—berakar pada Kitab Suci, diteguhkan oleh tradisi, disaksikan oleh
para Bapa, dan dipelihara dalam liturgi. Konsistensi inilah yang membuat Gereja
tidak tergoda untuk “menormalisasi” Maria, sebab justru dalam keunikannya,
Maria menyingkapkan kedalaman misteri Kristus.
Bagian VI – Keberatan tentang Perkawinan Perawan
Salah satu keberatan yang paling sering diajukan
kalangan Protestan adalah soal keabsahan perkawinan Maria dan Yusuf. Mereka
berpendapat: sebuah perkawinan baru sah dan lengkap bila dikonsumasi melalui
hubungan seksual. Jika Maria dan Yusuf tidak pernah bersatu secara biologis,
maka perkawinan mereka dianggap “cacat” atau bahkan “tidak normal.” Keberatan
ini sekilas tampak logis, tetapi jika ditinjau dalam konteks Yahudi abad
pertama dan dunia kuno secara lebih luas, argumen itu runtuh.
1. Konteks Yahudi dan Nazar Keperawanan
Dalam hukum Taurat, terdapat ketentuan yang memberi
ruang bagi perempuan untuk membuat kaul khusus, termasuk nazar pantang seksual.
Kitab Bilangan 30:3–15 menegaskan bahwa seorang perempuan boleh bernazar, dan
nazarnya berlaku sah bila ayah atau suaminya tidak membatalkannya. Artinya,
seorang perempuan dapat hidup dalam perkawinan tetapi tetap perawan bila ada
kaul rohani yang diteguhkan oleh suaminya. Dengan kerangka ini, kaul Maria
untuk tetap perawan dapat dibenarkan secara hukum Yahudi, dan Yusuf sebagai
pria adil justru melindungi nazar tersebut.
2. Sumber Yahudi dan Kristen Awal
Tradisi Yahudi di sekitar zaman Yesus tidak asing
dengan bentuk kehidupan asketis. Komunitas Essenes, misalnya, memilih hidup
selibat demi kesucian. Sumber apokrif Kristen awal, seperti Protoevangelium
Yakobus (abad ke-2), menarasikan Maria sebagai perawan yang dipercayakan
kepada Yusuf, seorang duda tua, untuk dijaga dalam kemurniannya. Meskipun teks
ini tidak kanonik, ia menunjukkan bahwa sejak awal komunitas Kristen tidak
melihat anehnya sebuah perkawinan tanpa persetubuhan.
3. Dunia Greko-Romawi
Latar kebudayaan lebih luas juga memperlihatkan hal
serupa. Di Roma, terdapat para Vestal Virgins, perempuan yang “menikah”
secara simbolis dengan dewa api, Vesta, tetapi hidup tanpa hubungan seksual. Di
dunia Yunani, juga dikenal praktik asketis dan konsekrasi tubuh demi tujuan
religius. Maka ide tentang virginal marriage—perkawinan perawan—bukanlah
anomali, melainkan bagian dari lanskap religius Mediterania kuno.
4. Makna Teologis
Dari kacamata
iman, keperawanan Maria tidak meniadakan perkawinannya dengan Yusuf, tetapi
justru menyingkap makna yang lebih dalam. Pertanyaan Maria kepada malaikat di
Lukas 1:34—“Bagaimana hal itu akan terjadi, karena aku tidak mengenal
laki-laki?”—sulit dipahami bila ia hanya menanti penyatuan normal dengan
Yusuf. Namun menjadi logis bila Maria sudah mengikrarkan kaul perawan. Yusuf,
sebagai “pria adil” (Mat 1:19), memilih untuk menghormati kaul itu. Dengan
demikian, perkawinan mereka bukan “cacat,” melainkan “profetis”: tanda bahwa
kesuburan sejati berasal dari Roh Kudus, bukan dari daging dan darah.
5. Kesaksian Bapa
Gereja
Para Bapa Gereja
juga meneguhkan hal ini. St. Ambrosius menyebut bahwa keperawanan Maria tidak
membatalkan keutuhan perkawinannya dengan Yusuf. St. Agustinus bahkan menyebut
Maria dan Yusuf sebagai teladan perkawinan rohani, di mana kesatuan personal
dan kesetiaan mereka menggenapi makna sakramen, meskipun tanpa hubungan
biologis.
6. Kritik terhadap
Keberatan Protestan
Dengan semua bukti
historis, yuridis, dan patristik ini, keberatan Protestan bahwa “perkawinan
harus dikonsumasi” tampak lahir dari asumsi modern-borjuis, bukan dari konteks
Yahudi abad pertama. Mereka mengimpor definisi kontemporer ke dalam dunia kuno,
lalu menggunakannya untuk menolak tradisi Katolik. Padahal dalam kerangka
biblis dan historis, perkawinan Maria dan Yusuf adalah sah, utuh, dan memiliki
makna profetis yang jauh melampaui sekadar pemenuhan biologis.
Bagian VII –
Argumentasi Metafisik dan Teologis
Keperawanan abadi
Maria dan perkawinannya dengan Yusuf bukan hanya soal tafsir biblis atau adat
kuno. Ia menyingkap dimensi metafisik dan teologis yang mendalam: sebuah tanda
sakramental bahwa keselamatan tidak lahir dari kehendak daging, melainkan dari Roh.
1. Kerangka
Aquinas: Actus dan Potentia
Dalam filsafat
Thomas Aquinas, setiap realitas memiliki potensi (potentia) yang diarahkan pada
tujuan (telos) melalui aktualisasi (actus). Seksualitas manusia memiliki
potensi generatif: melahirkan kehidupan baru. Dalam kasus Maria dan Yusuf,
potensi itu tidak direalisasikan secara biologis. Namun ini bukan karena tubuh
ditolak, melainkan karena potensi itu diarahkan kepada tujuan yang lebih
tinggi: melahirkan Sang Sabda melalui kuasa Roh Kudus. Dengan kata lain,
finalitas prokreasi tidak dihapus, tetapi ditransendensikan.
2. Causa Finalis
Perkawinan
Aquinas
mengajarkan bahwa perkawinan memiliki dua tujuan: bonum coniugum
(kebaikan pasangan) dan bonum prolis (kebaikan keturunan). Dalam
perkawinan Maria–Yusuf, kedua tujuan ini terpenuhi dengan cara yang unik.
Kebaikan pasangan tercermin dalam kesetiaan Yusuf yang adil dan penghormatan
kepada Maria. Sementara bonum prolis
mencapai pemenuhan supereminens, karena anak mereka adalah Kristus sendiri,
Sang Putra Allah. Prokreasi biologis digantikan oleh prokreasi ilahi—buah rahim
yang dihasilkan bukan oleh sperma manusia, melainkan oleh Roh Kudus.
3. Forma dan Materia Matrimonii
Secara metafisik, apa yang membuat perkawinan sah
bukanlah hubungan seksual, melainkan consensus personalis—penyerahan
diri timbal balik yang tak dapat ditarik kembali. Inilah “forma” dari
perkawinan. Hubungan seksual hanyalah penyempurnaan tanda, bukan syarat mutlak
sahnya perkawinan. Dalam kasus Maria–Yusuf, forma itu mencapai puncak:
keduanya sepakat untuk menyerahkan seluruh hidup mereka kepada misi Allah.
Dengan demikian, perkawinan mereka bukan cacat, melainkan justru teladan
tertinggi dari kesatuan yang berpusat pada Allah.
4. Personalisme Wojtyła: Makna Nupcial Tubuh
Karol Wojtyła (Paus Yohanes Paulus II) mengembangkan
gagasan bahwa tubuh manusia memiliki makna nupcial, yakni kecenderungan
untuk memberi diri. Keperawanan tidak meniadakan makna nupcial itu, melainkan
mengarahkan self-gift pada dimensi yang lebih murni: bukan hanya untuk
pasangan, tetapi untuk Allah sendiri. Dalam terang personalisme ini, Maria dan
Yusuf menampilkan bentuk continence for the Kingdom—pantang demi
Kerajaan Allah—sebagai realisasi tertinggi dari makna nupcial tubuh.
5. Sakramentalitas Perkawinan Perawan
Perkawinan Maria–Yusuf menjadi tanda sakramental (signum
efficax) dari Kerajaan Allah. Tanda lahiriah: kesatuan suami-istri yang
sah, meski tanpa konsumasi biologis. Realitas batiniah: Kristus hadir sebagai
buah perkawinan itu, bukan hasil produksi manusia, tetapi anugerah Allah.
Dengan demikian, perkawinan perawan ini memperlihatkan bahwa kehidupan sejati
bukanlah hasil usaha manusia semata, melainkan pemberian Roh Kudus.
6. Tipologi Biblis
Maria sebagai Putri Sion adalah gambaran Israel
yang setia, yang rahimnya terbuka hanya untuk Allah. Yusuf, “pria adil,” adalah
penjaga kesetiaan itu. Bersama-sama, mereka menjadi ikon Gereja: perawan
sekaligus ibu, setia kepada Kristus dan sekaligus melahirkan umat beriman melalui
iman dan sakramen. Keperawanan Maria mencerminkan virginitas Gereja, dan
keibuannya mencerminkan maternitas Gereja.
7. Ontologi Keperawanan
Keperawanan bukanlah negasi tubuh, melainkan
intensifikasi tujuan tubuh. Secara metafisik, ia adalah habitus yang
menundukkan determinasi biologis di bawah arah finalitas rohani. Dalam Maria,
tubuh menemukan makna tertingginya: rahim yang tidak dipakai untuk banyak
kehidupan biasa, melainkan untuk satu Kehidupan yang menjadi sumber segala
kehidupan.
8. Konsumasi yang Transendental
Jika perkawinan biasa disegel oleh konsumasi biologis,
perkawinan Maria–Yusuf disegel oleh inkarnasi. Materai bukanlah hubungan
daging, melainkan kehadiran Kristus. Roh Kuduslah yang menjadi pemeteraian
perkawinan mereka, sehingga kesuburan mereka bersifat eskatologis, bukan
biologis.
Dengan kerangka ini, jelaslah bahwa perkawinan perawan
Maria–Yusuf bukan anomali, melainkan tanda sakramental yang menggenapi tujuan
perkawinan. Bukan defisit, tetapi surplus makna: dari biologis menuju teologis,
dari daging menuju Roh, dari tanda menuju realitas keselamatan.
Bagian VIII – Jawaban atas Keberatan Klasik
Setelah menelusuri akar psikologis, titik lemah
penafsiran, konteks Yahudi, hingga fondasi metafisik, kini tiba saatnya
menjawab keberatan-keberatan klasik yang selalu diulang dalam perdebatan dengan
Protestan.
1. “Marital Debt” (Hutang Suami-Istri)
Salah satu keberatan berbunyi: Paulus menulis bahwa
suami-istri berhutang tubuh satu sama lain (1Kor 7:3–5). Maka, perkawinan tanpa
hubungan seksual dianggap melanggar prinsip ini. Tetapi Paulus sendiri dalam
ayat-ayat yang sama membuka jalan bagi continence (pantang seksual)
“demi Kerajaan Allah,” bila disetujui bersama. Dalam hal Maria dan Yusuf,
kontinens ini bukan sekadar pilihan, melainkan panggilan ilahi yang diteguhkan
oleh malaikat (Mat 1:20–21). Dengan demikian, marital debt tidak
dihapus, tetapi digenapi dalam cara yang lebih tinggi: bukan utang daging,
melainkan utang ketaatan pada rencana Allah.
2. “Tujuan Utama Perkawinan adalah Prokreasi”
Protestan sering menegaskan bahwa prokreasi adalah
tujuan utama perkawinan. Jika Maria dan Yusuf tidak memiliki anak-anak lain,
berarti tujuan itu gagal. Namun argumen ini runtuh di hadapan fakta inkarnasi.
Anak yang lahir dari Maria adalah Sang Logos, Putra Tunggal Allah. Dalam terang
teologi Katolik, bonum prolis (kebaikan keturunan) terpenuhi dalam
Kristus secara supereminens—artinya, dalam derajat tertinggi. Tidak ada
anak lain yang diperlukan, karena Kristus adalah “Anak” yang melampaui segala
keturunan biologis.
3. “Tanpa Konsumasi, Perkawinan Tidak Nyata”
Keberatan lain: perkawinan baru sah bila dikonsumasi.
Tetapi secara kanonik dan teologis, sahnya perkawinan ditentukan oleh consensus
personalis—kesepakatan timbal balik untuk saling menyerahkan diri.
Konsumasi hanyalah penyempurna dalam tataran hukum, bukan syarat sah mutlak.
Dalam perkawinan Maria dan Yusuf, konsensus itu ada, bahkan mencapai puncak,
sebab seluruh kehidupan mereka diarahkan pada misi Mesianik. Konsumasi biologis
digantikan oleh pemeteraian Roh Kudus dalam inkarnasi.
4. “Mengapa Alkitab Menyebut Saudara-Saudara Yesus?”
Sebagaimana telah dijelaskan, istilah “saudara” dalam
konteks Semitik mencakup kerabat luas. Penyerahan Maria kepada Yohanes di kaki
salib (Yoh 19:26–27) adalah bukti paling kuat bahwa Yesus tidak memiliki
saudara kandung yang mengambil tanggung jawab atas ibunya. Dalam budaya Yahudi,
jika Maria memiliki anak-anak lain, penyerahan itu tidak masuk akal. Fakta ini
menunjukkan bahwa Maria memang tidak memiliki anak selain Yesus.
5. “Maria dan Yusuf Tidak Normal”
Protestan sering menertawakan perkawinan Maria dan
Yusuf sebagai “tidak normal.” Tetapi argumen ini
justru lahir dari pandangan modern yang dangkal tentang perkawinan. Normalitas
bukanlah ukuran teologi. Dalam konteks iman, yang penting bukan “normal” atau
“tidak normal,” melainkan panggilan. Perkawinan Maria dan Yusuf adalah perkawinan
profetis—ikon yang menyingkapkan misteri Kerajaan Allah. Justru karena
berbeda dari pola biasa, perkawinan ini memiliki makna tanda yang mendalam.
Dengan demikian, semua keberatan klasik Protestan
dapat dijawab dengan konsisten. Baik secara biblis, historis, yuridis, maupun
metafisik, keperawanan abadi Maria dan perkawinannya dengan Yusuf tetap teguh
berdiri. Semua keberatan Protestan lahir dari asumsi modern, bukan dari
realitas iman abad pertama.
Kesimpulan
Pertanyaan tentang “apakah Maria punya anak lain
selain Yesus” ternyata jauh lebih dari sekadar perdebatan genealogis. Ia
menyentuh jantung iman: apakah otoritas Gereja dan tradisi apostolik diakui,
ataukah digantikan oleh tafsir literal yang rapuh.
Protestan, dengan mengusung sola scriptura,
berusaha keras menjadikan Maria “normal”—ibu rumah tangga dengan banyak
anak—karena mereka cemas akan konsekuensi teologis dari pengakuan keperawanan
abadi Maria. Namun ironi mencolok segera tampak: Kitab Suci sendiri tidak
pernah menyatakan bahwa Maria memiliki anak lain. Dengan demikian, apa yang
mereka tuduhkan pada Katolik—“menambah tradisi”—justru mereka lakukan sendiri
dalam bentuk asumsi tafsir.
Sementara itu, Gereja Katolik berdiri teguh di atas
kesaksian historis dan tradisi yang hidup sejak awal: Maria adalah Aeiparthenos,
Perawan senantiasa. Kesaksian ini diteguhkan konsili, diwartakan para Bapa
Gereja, dirayakan dalam liturgi, dan dibela oleh logika metafisik Aquinas
maupun personalisme Wojtyła. Rahim Maria menjadi sanctuarium unik: ruang
kudus yang hanya sekali untuk Sang Sabda, dan karenanya tetap perawan
selamanya.
Perkawinan Maria dan Yusuf tidak cacat, melainkan
profetis: sah secara yuridis, penuh makna secara rohani, dan menjadi tanda
sakramental Kerajaan Allah. Dalam perkawinan ini, prokreasi biologis digantikan
oleh prokreasi ilahi; konsumasi biologis ditransendensikan oleh pemeteraian Roh
Kudus. Buah dari perkawinan mereka bukanlah sekadar anak manusia, melainkan
Sang Putra Allah, sumber segala kehidupan.
Akhirnya, perdebatan ini menyingkap kelemahan logika
Protestan: mereka sibuk menurunkan Maria agar tetap aman dari tradisi Katolik,
tetapi dengan itu justru mengaburkan kemuliaan Kristus. Gereja Katolik,
sebaliknya, melihat keperawanan Maria bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai
penegasan: bahwa Kristus sungguh satu-satunya, Kudus dari Allah, lahir dari
rahim yang dipersembahkan total bagi-Nya.
Dengan demikian, pertanyaan Protestan tidak
menjatuhkan iman Katolik, melainkan justru membongkar ketidakmampuan mereka
sendiri untuk konsisten. Maria tetap perawan bukan demi dirinya, tetapi demi
misteri inkarnasi. Ia adalah ikon Gereja yang perawan sekaligus ibu, tanda
bahwa keselamatan tidak lahir dari usaha manusia, melainkan dari rahmat Allah
yang bekerja melalui Roh.
