Pendahuluan
Reformasi abad
ke-16 sering dikisahkan sebagai “pembaruan Injili” yang berusaha mengembalikan
kekristenan kepada kemurnian Kitab Suci. Narasi ini—yang terus bergema hingga
kini dalam wacana Protestan—menempatkan para tokoh Reformasi seperti Martin
Luther dan Philipp Melanchthon sebagai nabi moral yang menyingkap kebobrokan
Gereja Katolik. Namun, bila kita menyingkap lapisan retorika itu dan meneliti
fakta-fakta sejarah, sebuah ironi besar tampak jelas: justru para pemimpin
Reformasi itu sendiri terjerat dalam kompromi moral yang mencederai klaim
mereka.
Kasus bigami yang
melibatkan Henry VIII dari Inggris dan Philip dari Hesse membuka tabir rapuhnya
fondasi moral Reformasi awal. Di satu sisi, para reformator menyerukan kembali
kepada Kitab Suci dan menolak “tradisi manusia” dari Gereja Katolik. Di sisi lain,
mereka justru menafsirkan Kitab Suci secara longgar demi membenarkan tindakan
yang bertentangan dengan hukum kodrat dan konsensus Kristiani sepanjang
abad-abad sebelumnya.
Apologetika
Katolik melihat titik ini sebagai bukti bahwa Reformasi sejak awal mengandung
cacat internal. Ketika Luther dan Melanchthon menyarankan bigami sebagai
solusi, mereka bukan hanya melemahkan otoritas moral mereka sendiri, tetapi
juga menyingkap kontradiksi mendasar: sola scriptura dijadikan alat politik,
bukan pedoman iman. Skandal ini menjadi cermin bahwa ketika iman dilepaskan
dari Magisterium Gereja, ia segera terperangkap dalam relativisme tafsir dan
kompromi dengan hawa nafsu.
Artikel ini akan
menelusuri dua kasus besar: konsesi bigami kepada Henry VIII dan legitimasi
bigami Philip dari Hesse. Keduanya bukan sekadar peristiwa memalukan, melainkan
juga menjadi saksi sejarah bahwa klaim Reformasi untuk membawa pembaruan justru
hancur di hadapan realitas. Dengan membaca ulang kisah ini, kita akan melihat
bagaimana Gereja Katolik tetap konsisten mempertahankan hukum kodrat
perkawinan, sementara Reformasi goyah di tengah tarik-menarik politik dan
hasrat manusia.
I. Kasus Henry VIII dan Konsesi Bigami
1. Latar Belakang Politik dan Teologis
Henry VIII dari Inggris terkenal karena skandal pernikahannya dengan
Catherine dari Aragon. Sang raja yang gelisah karena tak kunjung memperoleh
pewaris laki-laki, mencari legitimasi untuk menceraikan istrinya. Gereja
Katolik menolak tuntutan perceraian tersebut, sebab perkawinan sakramental
bersifat tak terceraikan. Dalam keadaan ini, agen Henry, Robert Barnes,
mendekati Martin Luther pada tahun 1531 untuk mencari solusi alternatif
Alih-alih menegaskan larangan Injil terhadap perceraian dan poligami,
Luther membuka sebuah celah yang berbahaya: ia menyarankan bahwa lebih baik
sang raja mengambil istri kedua daripada menimbulkan perpecahan politik di
Inggris. Dengan mengacu kepada para Patriark dalam Perjanjian Lama yang
memiliki banyak istri, Luther menjustifikasi bigami sebagai “jalan keluar
darurat.”
2. Konsesi Melanchthon
Philipp Melanchthon, teolog Wittenberg yang kerap dipandang lebih moderat
dan rasional, justru melangkah lebih jauh. Dalam memorandumnya pada 23 Agustus
1531, ia menegaskan bahwa poligami “tidak dilarang oleh hukum ilahi.” Ia bahkan
menambahkan bahwa untuk menghindari skandal, Henry sebaiknya meminta izin dari
Paus untuk bigami—dan jika ditolak, ia bisa menikah lagi dengan otoritasnya
sendiri, karena “hukum kasih” mengharuskan dispensasi semacam itu
Melanchthon menyatakan, walau ia enggan mengizinkan poligami secara umum,
dalam kasus khusus ini demi kepentingan kerajaan dan hati nurani sang raja,
bigami dapat diterima. Baginya, demi stabilitas politik Inggris, Henry bisa
dengan “hati nurani yang baik” mengambil istri kedua sambil tetap
mempertahankan Catherine sebagai ratu.
3. Analisis Apologetik
Di sini terlihat ironi yang tajam. Para reformator yang mengklaim sola
scriptura justru memperalat Kitab Suci untuk memberi pembenaran moral kepada
tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Kristus: “Keduanya menjadi
satu daging” (Mat 19:6). Kristus tidak pernah menambahkan klausul “kecuali
dalam keadaan darurat politik.”
Berbeda dengan tradisi Katolik, yang teguh memegang prinsip hukum kodrat
bahwa perkawinan bersifat monogamik, eksklusif, dan tak terceraikan, Luther dan
Melanchthon menafsirkan ulang Alkitab demi kepentingan praktis. Gereja Katolik sepanjang Abad Pertengahan konsisten
menolak bigami, bahkan dengan risiko politik. Tidak ada Paus atau teolog
Katolik yang secara resmi pernah mengizinkan bigami, sementara Luther dan
Melanchthon justru membuka jalan itu
4. Konsekuensi Logis
Dengan konsesi ini, Reformasi menampakkan wajah
kompromistisnya: bukan firman yang menghakimi dunia, tetapi dunia yang
menundukkan firman. Nasihat Luther dan Melanchthon kepada Henry VIII menjadi
preseden yang kelak dipakai Philip dari Hesse untuk membenarkan bigaminya. Maka
terlihat jelas: sekali sola scriptura dilepaskan dari interpretasi yang dijaga
Gereja, ia mudah berubah menjadi alat pembenaran hawa nafsu dan kepentingan
politik.
II. Skandal Philip dari Hesse
1. Riwayat Moral dan Permintaan Bigami
Philip dari Hesse bukanlah contoh pangeran saleh.
Hidupnya ditandai oleh kelemahan moral, nafsu yang tak terkendali, dan
kebiasaan berganti pasangan. Pada 1526 ia sudah menanyakan kepada Luther apakah
orang Kristen boleh memiliki lebih dari satu istri. Jawaban Luther saat itu
ambigu: ia tidak secara tegas menyebut bigami haram, melainkan berkata bahwa
dalam kasus-kasus tertentu—seperti penyakit berat sang istri—hal itu bisa
ditoleransi
Pernyataan samar ini memberi ruang bagi Philip untuk
menyimpan rencana. Ia tahu bahwa dengan “penafsiran tepat” atas Kitab Suci dan
restu para reformator, jalan bigami bisa terbuka.
2. Bigami dengan Margaret von der Sale
Pada 1539, Philip berniat menikahi Margaret von der
Sale, seorang wanita muda, sementara ia masih terikat dengan istrinya,
Christina dari Sachsen. Ia menekan Luther, Melanchthon, dan Bucer untuk memberi
legitimasi teologis. Alasannya sederhana dan terang-terangan: ia tidak mampu
mengendalikan hawa nafsu, sudah terbiasa dengan perzinahan, bahkan absen dari
Sakramen karena merasa hina oleh dosa-dosanya
Dalam sebuah dokumen resmi, Luther, Melanchthon, dan
Bucer akhirnya menandatangani kesaksian bahwa dalam “kasus darurat,” bigami
tidak dapat dikutuk. Mereka menambahkan bahwa praktik para Patriark Perjanjian
Lama bisa dijadikan alasan dispensasi. Namun, mereka mewanti-wanti agar
pernikahan kedua ini dirahasiakan, karena jika diketahui umum,
skandalnya akan menghancurkan kredibilitas Reformasi.
3. Skandal yang Bocor ke Publik
Rahasia itu tentu tak mungkin bertahan. Segera, publik
mengetahui adanya bigami di istana Hessen. Bahkan sesama tokoh Protestan
menanggapinya dengan ngeri. Johann Brenz menyebutnya “mengotori Gereja dengan
lumpur.” Justus Jonas berkata, “Siapa yang tidak terkejut oleh skandal sebesar
ini?” Elector Johann Frederick dari Saxony menilai bahwa tindakan ini adalah
sesuatu yang “tak pernah terdengar selama berabad-abad”
Ironisnya, Luther sendiri, ketika menghadapi tekanan
publik, menyarankan solusi yang lebih mengejutkan: berbohong demi kebaikan
Gereja. Dalam konferensi Eisenach 1540, ia menyatakan, “Apa salahnya jika
seseorang berkata dusta demi tujuan mulia dan demi Gereja Kristus?”
Dengan kata lain, dosa bukan hanya ditoleransi, tetapi
dilapisi dengan kedok teologis.
4. Analisis Apologetik
Kasus Philip dari Hesse adalah puncak kontradiksi
Reformasi. Luther dan Melanchthon yang semula menyerang moral Gereja Katolik,
akhirnya menggadaikan prinsip mereka sendiri. Apologetika Katolik menyoroti
beberapa poin kunci:
- Inkoherensi
     moral: jika bigami dianggap sah “dalam keadaan darurat,”
     maka hukum Kristus berubah menjadi relatif. Padahal Yesus sendiri
     menegaskan kesatuan perkawinan tanpa pengecualian.
- Kebohongan
     dilegalkan: Luther bahkan bersedia menjustifikasi dusta demi
     menjaga wibawa politik. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar moral: bonum
     ex integra causa, malum ex quocumque defectu—kebaikan hanya lahir dari
     sebab yang utuh, sedangkan dosa sekecil apa pun merusak moralitas
     tindakan.
- Krisis
     otoritas: ketika Magisterium Gereja ditolak, otoritas moral
     jatuh pada individu yang mudah tertekan oleh politik dan nafsu. Reformasi
     terjebak dalam tarik-menarik antara teologi dan kepentingan kekuasaan.
5. Dampak
Eklesiologis
Kasus Philip bukan
sekadar aib personal, melainkan pukulan telak bagi klaim Reformasi sebagai
“gerakan Injili.” Bahkan sejarawan Protestan sendiri kemudian menyebut bigami
Hessen sebagai “noda terbesar dalam sejarah Reformasi.” Gereja Katolik tetap
konsisten menolak poligami sepanjang masa, sekalipun berhadapan dengan tekanan
penguasa. Sementara itu, Reformasi justru menunjukkan bahwa tanpa Magisterium,
prinsip moral mudah dilenturkan sesuai kebutuhan politik.
III. Analisis
Filosofis-Teologis
1. Hukum Kodrat
dalam Tradisi Katolik
Santo Thomas
Aquinas, dalam Summa Theologiae, menegaskan bahwa perkawinan bersifat monogamik,
eksklusif, dan permanen. Hal ini bukan sekadar norma sosial, melainkan
bagian dari hukum kodrat (lex naturalis). Dalam kerangka hukum
kodrat, tujuan perkawinan adalah dua: bonum prolis (kebaikan keturunan)
dan bonum fidei (kesetiaan suami-istri). Poligami merusak bonum fidei,
karena menghilangkan eksklusivitas kasih antara satu suami dan satu istri.
Dengan kata lain, bigami bukan sekadar pelanggaran pastoral, tetapi kontradiksi
terhadap kodrat manusia sebagaimana ditetapkan Sang Pencipta.
Aquinas mengakui
bahwa para Patriark Perjanjian Lama memiliki banyak istri, tetapi ia menegaskan
hal itu sebagai dispensasi khusus dalam ekonomi keselamatan sebelum
Kristus, bukan norma universal. Kristus sendiri telah mengembalikan perkawinan
pada rancangan awal: “Sejak awal mula Allah menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan … keduanya menjadi satu daging” (Mat 19:4-6). Karena itu, dispensasi
poligami sudah berakhir, digantikan oleh kesempurnaan Injil.
2. Metafisika
Moral: Kebaikan Tidak Lahir dari Kejahatan
Dalam filsafat
moral klasik, berlaku prinsip abadi: bonum ex integra causa, malum ex
quocumque defectu—suatu tindakan hanya benar-benar baik jika semua
elemennya baik; sedangkan satu cacat saja menjadikannya jahat. Dari prinsip
ini, jelaslah bahwa tujuan baik tidak pernah dapat membenarkan sarana jahat
(finis non iustificat media).
Apa yang dilakukan
Luther dan Melanchthon adalah sebaliknya: mereka menoleransi dosa dengan alasan
“keadaan darurat,” “hawa nafsu tak terkendali,” atau “kepentingan negara.”
Dengan cara itu, hukum moral yang seharusnya mutlak berubah menjadi instrumen
politik. Itulah bentuk awal dari etika situasi, sebuah relativisme moral
yang kelak banyak dikritik bahkan dalam dunia Protestan sendiri.
3. Krisis Sola
Scriptura
Klaim Reformasi
bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya norma iman runtuh di hadapan kasus bigami
ini. Luther dan Melanchthon menafsirkan ayat-ayat Perjanjian Lama untuk
membenarkan poligami, padahal Kitab Suci yang sama dalam Perjanjian Baru
menegaskan monogami. Tanpa otoritas Gereja untuk menjaga kesatuan tafsir, Kitab
Suci berubah menjadi ladang manipulasi.
Di sini
apologetika Katolik menemukan senjata yang tajam: Sola Scriptura bukanlah
pagar moral, melainkan pintu terbuka bagi subjektivitas. Bila pemimpin
Reformasi saja bisa memelintir teks Alkitab demi hawa nafsu penguasa, bagaimana
umat awam bisa diyakinkan bahwa Kitab Suci dapat menuntun mereka tanpa
bimbingan Magisterium?
4. Konsekuensi
Logis dan Mistis
Secara logis, bila
bigami dilegalkan dalam “kasus darurat,” maka prinsip moral universal runtuh.
Setiap orang dapat mengklaim dirinya berada dalam “darurat” untuk membenarkan
pelanggaran. Secara mistis, perkawinan yang seharusnya menjadi sakramen kasih Kristus–Gereja
direndahkan menjadi kontrak politis yang bisa dinegosiasikan. Dengan kata lain,
Reformasi bukan hanya merusak disiplin Gereja, tetapi juga mengaburkan ikon
Kristus yang tercermin dalam kesatuan perkawinan.
IV. Konsekuensi
Eklesiologis
1. Gereja Katolik
dan Konsistensi Sakramental
Gereja Katolik,
sejak awal tradisi apostolik hingga konsili-konsili besar, memegang teguh bahwa
perkawinan adalah sakramen yang tak terceraikan. Tak ada alasan politik,
ekonomi, atau biologis yang dapat menghapus ikatan “satu daging” yang
dikuduskan Allah. Konsistensi ini terbukti dalam kasus Henry VIII: meskipun ia
adalah penguasa besar, bahkan berstatus “Defender of the Faith,” Paus menolak memberi
legitimasi pada perceraian atau bigami. Gereja lebih rela kehilangan kerajaan
Inggris daripada mengkhianati Injil Kristus.
Di sinilah tampak perbedaan mendasar. Katolik
menempatkan sakramen di atas tahta, sementara Reformasi awal justru menundukkan
sakramen kepada kepentingan tahta.
2. Reformasi dan Kompromi Politik
Kasus Philip dari Hesse menyingkap wajah sebenarnya
Reformasi: sebuah gerakan yang sejak awal bergulat dalam tarikan politik. Bagi
Luther, menjaga Philip berarti menjaga kekuatan Liga Schmalkaldic. Bagi
Melanchthon, menyenangkan raja berarti mengamankan perlindungan bagi komunitas
Protestan muda. Moralitas tunduk pada kebutuhan strategi, sehingga prinsip
Injil diperdagangkan.
Akibatnya, Reformasi sejak awal kehilangan klaim
kemurnian moral. Gereja yang seharusnya menjadi garam dunia, justru diasinkan
oleh kekuasaan duniawi. Seperti yang dikatakan sejarawan Protestan Hausrath,
kasus bigami Hessen adalah “kejatuhan moral besar” di mana prinsip kekal
dikorbankan demi keuntungan sesaat.
3. Dampak Bagi Jemaat dan Tradisi Protestan
Skandal bigami bukan hanya mencoreng nama Luther,
Melanchthon, atau Philip. Ia mengguncang kepercayaan umat yang melihat para
pemimpinnya berkompromi dengan dosa. Bahkan di antara para reformator sendiri
muncul kecaman keras: Justus Jonas menyebutnya “skandal besar,” Brenz menilai
Gereja telah “dilumuri najis,” sementara Oecolampadius dan Zwingli menolak
mentah-mentah bigami itu
Konsekuensi jangka panjangnya ialah lahirnya tradisi
Protestan yang terfragmentasi. Jika para pendirinya saja tidak sepakat dalam
isu fundamental seperti perkawinan, bagaimana mungkin ada kesatuan doktrin?
Apologetika Katolik melihat inilah akar dari ribuan denominasi yang lahir
kemudian: sebuah kekristenan tanpa pusat otoritas, rentan pada tafsir yang
saling meniadakan.
4. Cermin Bagi Masa Kini
Kasus ini bukan sekadar catatan kelam abad ke-16. Ia
adalah pelajaran abadi: begitu Gereja dilepaskan dari fondasi sakramental dan
Magisterium, iman berubah menjadi alat negosiasi politik dan hawa nafsu. Dengan
kata lain, Reformasi justru menunjukkan mengapa Kristus mendirikan Gereja yang
satu, kudus, katolik, dan apostolik—sebagai penjaga iman melawan relativisme
manusia.
V. Refutasi Apologetik dan Kesimpulan
1. Refutasi Apologetik
a. Terhadap klaim kembali ke Kitab Suci
Reformasi mengaku mengembalikan iman pada sola
scriptura, tetapi dalam praktiknya, Kitab Suci dipelintir untuk membenarkan
bigami. Para reformator memilih contoh poligami Patriark dari Perjanjian Lama,
sambil mengabaikan penegasan Kristus dalam Injil: “Apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6). Ini membuktikan bahwa sola
scriptura tanpa otoritas Gereja berakhir pada inkonsistensi dan manipulasi
teks.
b. Terhadap klaim moralitas Injili
Reformasi mengkritik Gereja Katolik atas “korupsi
moral,” tetapi justru para tokohnya sendiri memberikan pembenaran teologis bagi
nafsu raja dan pangeran. Luther bahkan mengusulkan dusta demi melindungi
reputasi Reformasi. Apologetika Katolik menegaskan: moralitas sejati tidak
lahir dari kompromi dengan hawa nafsu, melainkan dari kesetiaan mutlak kepada
Injil.
c. Terhadap otoritas moral Protestan
Kasus bigami Hessen menjadi bukti bahwa sejak awal, Reformasi
rapuh dalam fondasi moral. Otoritas moral bukan pada Injil, melainkan pada
interpretasi para tokoh yang terikat politik. Tidak heran bila sejarah kemudian
menunjukkan fragmentasi tanpa akhir dalam tubuh Protestan: tiap tafsir
mengklaim otoritasnya sendiri.
2. Kesimpulan
Skandal bigami Henry VIII dan Philip dari Hesse bukan
sekadar noda pribadi, melainkan cermin dari cacat bawaan Reformasi: kontradiksi
antara klaim Injili dan praktik nyata. Luther dan Melanchthon, bukannya menjaga
kesucian perkawinan, justru memberi jalan bagi poligami dengan alasan politik.
Mereka menggadaikan prinsip demi pragmatisme.
Gereja Katolik, sebaliknya, tetap konsisten: lebih
baik kehilangan kerajaan Inggris, lebih baik dikecam penguasa, daripada
mengkhianati hukum kodrat dan ajaran Kristus. Konsistensi inilah yang menjaga
Gereja tetap teguh di tengah sejarah panjang kompromi duniawi.
Apologetika Katolik menemukan dalam skandal ini bukti
historis yang tak terbantahkan: tanpa Magisterium, iman mudah berubah menjadi
cermin bagi hawa nafsu manusia. Reformasi yang mengaku “murni” justru terjebak
dalam politik kotor dan relativisme moral. Dari sini kita belajar, hanya Gereja
yang berakar pada sakramen Kristuslah yang sanggup menjaga iman dari godaan
kompromi.
From: Hartmann
Grisar, S. J.: Luther (translated by E. M. Lamond, edited by
Luigi Cappadelta, London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co., Ltd., 1915)
