Pendahuluan
Perdebatan
mengenai siapakah yang menghendaki penyaliban Kristus—apakah Allah Bapa ataukah
iblis—merupakan persoalan teologis yang tidak sekadar bersifat spekulatif,
melainkan menyentuh inti iman Kristen. Pertanyaan ini mengandung dimensi
metafisik: bagaimana menjelaskan relasi antara kehendak Allah yang mahabaik dan
tindakan jahat manusia yang nyata-nyata berperan dalam peristiwa penyaliban.
Dalam sejarah panjang teologi, isu ini muncul dalam berbagai varian: dari
problem klasik teodisi (apakah Allah dapat dikaitkan dengan kejahatan) hingga
problem Kristologi dan soteriologi (bagaimana salib menjadi jalan keselamatan).
Dalam konteks
Indonesia, wacana ini kembali mencuat melalui penjelasan Uskup Ortodoks Daniel
yang menegaskan bahwa penyaliban Yesus tidak berasal dari kehendak langsung
Allah, melainkan dari niat jahat manusia dan iblis, yang kemudian dibalikkan
oleh Allah menjadi sarana keselamatan
Posisi ini
memiliki kekuatan apologetik, yakni membebaskan Allah dari tuduhan sebagai
pelaku kejahatan, tetapi sekaligus menimbulkan celah logis: jika salib bukan
bagian dari rencana ilahi, mengapa justru salib menjadi pusat keselamatan?
Di sisi lain,
teologi Protestan dalam varian Reformed sering jatuh ke dalam fragmentasi.
Beberapa tokoh menekankan bahwa salib adalah kehendak Allah sekaligus kehendak
iblis, yang menimbulkan kesan dualistik; ada pula yang menekankan peran
deterministik Allah sehingga kebebasan manusia seakan hilang; sementara lainnya
mengabaikan dimensi kebebasan iblis dan manusia, menjadikan salib sebagai
karikatur sederhana tanpa kedalaman metafisik.
Tradisi Katolik,
khususnya dalam kerangka metafisika Thomistik, menawarkan sintesis yang lebih
kokoh. Dengan distingsi antara voluntas beneplaciti (kehendak berkenan)
dan voluntas permissiva (kehendak mengizinkan), serta kerangka causa
prima dan causae secundae, Katolik menegaskan bahwa Allah tidak
pernah menjadi penyebab dosa, namun sejak kekal merencanakan keselamatan
melalui Misteri Paskah: wafat dan kebangkitan Kristus. Salib bukan kecelakaan
sejarah, melainkan bagian integral dari rencana keselamatan, di mana kebebasan
manusia dan niat jahat iblis justru dijadikan sarana untuk mewujudkan
kemenangan Allah atas dosa, iblis, dan kematian.
Artikel ini
bertujuan menyajikan analisis sistematik apologetik terhadap berbagai posisi
tersebut, dengan memberikan koreksi metafisik dan teologis dari perspektif
Katolik. Fokusnya terletak pada konsistensi logis, koherensi biblis, serta
fondasi metafisik yang dapat mempertanggungjawabkan penyaliban Kristus sebagai
bagian dari rencana kekal Allah tanpa meniadakan kebebasan manusia dan tanggung
jawab moralnya. Dengan demikian, diskursus ini bukan hanya membela iman Katolik
dari tuduhan simplistik, tetapi juga memperlihatkan keunggulan pendekatan
Thomistik dalam menyatukan iman dan akal budi.
Bagian I. Analisis
Argumen Ortodoks (Episkop Daniel)
1. Struktur
Argumen Episkop Daniel
Episkop Daniel
berangkat dari pertanyaan fundamental: apakah penyaliban Yesus merupakan
kehendak Allah ataukah kehendak iblis? Jawaban yang ia tawarkan menekankan
distingsi yang jelas antara dua kehendak:
- Kehendak
     Allah: mengutus Yesus untuk keselamatan dunia, bukan secara khusus
     untuk mati disalib.
- Kehendak
     iblis dan manusia: mendorong penyaliban Yesus melalui
     pengkhianatan Yudas, kedengkian imam-imam Yahudi, serta keputusan Pilatus.
- Tindakan
     Allah: membalikkan niat jahat itu sehingga salib, yang semula
     dimaksudkan untuk menghancurkan Yesus, justru menjadi sarana kemenangan
     Kristus atas dosa, iblis, dan kematian
Dengan kerangka
ini, Episkop Daniel menjaga kemurnian kesucian Allah: Allah tidak dapat
dipandang sebagai pelaku kejahatan. Ia mendukung posisinya dengan merujuk
teks-teks Kitab Suci, seperti Kisah Rasul 2:22–23, Roma 5:19, dan Filipi 2:8,
yang menegaskan bahwa Kristus taat sampai mati di salib, dan bahwa penyaliban
itu terjadi dalam lingkup prapengetahuan Allah.
2. Kekuatan
Argumen
Ada beberapa
kelebihan yang patut diapresiasi dalam pendekatan Ortodoks ini. Pertama,
distingsi kehendak yang ia tawarkan mencegah munculnya kesan bahwa Allah Bapa
berkolaborasi dengan iblis atau menikmati penderitaan Putra-Nya. Ini sejalan
dengan prinsip teologi klasik bahwa Allah adalah bonum per essentiam
(kebaikan itu sendiri) dan tidak mungkin menjadi penyebab langsung dari
kejahatan. Kedua, penggunaan analogi biblis (misalnya kisah Yusuf yang dijual
saudara-saudaranya, tetapi kemudian justru menyelamatkan keluarganya)
memperlihatkan konsistensi pola providensial: Allah mampu membalikkan kejahatan
menjadi kebaikan.
3. Kelemahan Logis
dan Teologis
Namun, pendekatan
Episkop Daniel juga menyisakan celah yang signifikan. Pertama, terdapat
ambiguitas mengenai tujuan ilahi. Jika Allah tidak secara langsung menghendaki
salib, bagaimana mungkin salib justru menjadi pusat keselamatan? Dengan kata
lain, jika jalan keselamatan ditentukan sejak kekal, mengapa salib diposisikan
sekadar sebagai “produk sampingan” dari niat jahat?
Kedua, terdapat
problem kontingensi. Jika penyaliban sepenuhnya bergantung pada tindakan jahat
Yudas, Pilatus, atau imam Yahudi, maka keselamatan tampak tergantung pada
kebetulan historis. Pertanyaan kritis muncul: bila Yudas tidak berkhianat,
apakah rencana keselamatan akan gagal?
Ketiga, terdapat ambivalensi dalam peran iblis. Di
satu sisi, iblis digambarkan sebagai musuh Kristus yang berusaha menggagalkan
misi keselamatan. Di sisi lain, tindakan iblis justru dipakai Allah sebagai
instrumen tak sadar untuk mewujudkan keselamatan. Logika ini berisiko
menempatkan iblis sebagai “rekan kerja tanpa sadar” dari rencana Allah, suatu
posisi yang teologisnya problematis bila tidak dijelaskan dengan kerangka
metafisika yang lebih kuat.
4. Evaluasi Awal
Dengan demikian, argumen Ortodoks ala Episkop Daniel
berhasil menegaskan keadilan Allah dan menolak tuduhan bahwa Allah adalah
penyebab kejahatan. Namun, dalam usahanya menjaga kesucian Allah, ia secara
tidak sengaja merelatifkan peran salib dalam ekonomi keselamatan. Salib tampak
lebih sebagai kecelakaan sejarah yang dimanfaatkan Allah ketimbang sebagai
bagian integral dari rencana kekal. Di sinilah apologetika Katolik, dengan
fondasi metafisika Thomistik, dapat menawarkan koreksi yang lebih konsisten:
Allah adalah causa prima yang sejak kekal menetapkan keselamatan melalui
salib, sementara manusia dan iblis bertindak sebagai causae secundae
yang bertanggung jawab atas dosa mereka.
Bagian II. Posisi Protestan: Fragmentasi dan Paradoks
1. Esra Soru: Salib sebagai Kehendak Allah dan Iblis
Pendeta Esra Soru menegaskan bahwa salib adalah bagian
dari rencana Allah sekaligus bagian dari rencana iblis. Secara retoris, ia
ingin menegaskan supremasi Allah, tetapi implikasinya melahirkan dualisme:
Allah dan iblis seakan-akan berdiri sejajar dalam satu proyek yang sama, meski
dengan tujuan berbeda. Konsekuensi logisnya berbahaya: jika iblis “punya peran
sah” dalam jalan keselamatan, maka iblis tak lagi sekadar musuh yang
dikalahkan, melainkan mitra dialektis dalam misteri ilahi. Pandangan ini tidak
konsisten dengan prinsip monoteisme Kristen, yang menegaskan Allah sebagai
satu-satunya causa prima dalam sejarah keselamatan.
2. MYM: Iblis Anti-Salib
Pendeta MYM menawarkan posisi yang tampak sederhana:
iblis adalah musuh salib, sehingga penyaliban harus dilihat semata sebagai
ekspresi kebencian iblis terhadap karya Kristus. Namun, penjelasan ini
cenderung reduksionistik. Ia gagal menjelaskan bagaimana tindakan iblis
yang mendorong pengkhianatan Yudas dan pengadilan Yesus justru mempercepat
terwujudnya karya keselamatan. Iblis digambarkan terlalu satu dimensi, seolah
tidak memiliki kedalaman dalam strategi, padahal Kitab Suci sendiri menampilkan
paradoks bahwa iblis bermaksud menghancurkan Kristus tetapi akhirnya justru
dihancurkan melalui salib (Kolose 2:15).
3. Decky Nggadas: Determinisme Total
Pendeta Decky mengambil jalur ekstrem deterministik.
Menurutnya, seluruh peristiwa penyaliban telah ditetapkan Allah sejak awal,
termasuk peran Yudas, Pilatus, dan imam-imam Yahudi. Dalam kerangka ini,
kebebasan manusia praktis hilang: Yudas tidak lagi dipandang sebagai
pengkhianat yang bertanggung jawab, melainkan sekadar pion dalam permainan
besar Allah. Posisi ini menimbulkan masalah moral dan teodisi: bila
Allah menetapkan sejak kekal bahwa Yudas harus berkhianat, bukankah Yudas
sebenarnya tidak bersalah? Bagaimana mungkin Allah yang adalah kasih juga
menjadi pengatur deterministik dosa manusia?
4. Kritik
Apologetik: Fragmentasi Teologis
Ketiga varian
Protestan ini memperlihatkan fragmentasi internal yang akut. Tidak ada
konsensus metafisik mengenai hubungan antara kehendak Allah dan kebebasan
manusia:
- Esra jatuh pada
     dualisme, membagi rencana Allah dan rencana iblis seakan dua poros yang
     sah.
- MYM jatuh pada simplifikasi,
     menjadikan iblis sebagai karikatur tanpa kedalaman.
- Decky jatuh pada
     determinisme, menghapus kebebasan manusia.
Dalam istilah
metafisika, mereka semua gagal membedakan dengan tepat antara voluntas
ordinata (kehendak Allah yang teratur dan positif) dengan voluntas
permissiva (kehendak Allah yang mengizinkan). Akibatnya, mereka terjebak
dalam logika biner: kalau Allah berdaulat, maka manusia tidak bebas; kalau
manusia bebas, maka Allah tidak berdaulat. Paradoks ini lahir bukan karena
misteri iman terlalu rumit, tetapi karena kerangka logika yang sempit dan
biner.
5. Implikasi Logis
Posisi Protestan ini, meski berbeda satu sama lain, sama-sama menyempitkan
misteri salib:
- Pada Esra, salib menjadi ajang tarik-menarik antara Allah dan iblis,
     yang berisiko menurunkan transendensi Allah.
- Pada MYM, salib dipahami sekadar sebagai perlawanan iblis, tanpa
     kejelasan bagaimana Allah tetap berdaulat.
- Pada Decky, salib direduksi menjadi “skrip” deterministik, di mana
     kebebasan manusia hanya ilusi.
Dari perspektif apologetik Katolik, ketiganya tidak hanya rapuh secara
metafisik, tetapi juga rentan menimbulkan inkonsistensi iman. Bagaimana mungkin
Injil yang menekankan ketaatan Yesus sampai mati (Flp 2:8) dipahami tanpa
mempertahankan kebebasan Yesus sendiri dan peran nyata manusia dalam sejarah
keselamatan?
Bagian III. Posisi
Katolik: Misteri Paskah dalam Causa Prima dan Causae Secundae
1. Teologi Misteri
Paskah
Tradisi Katolik
menempatkan salib bukan sebagai “kecelakaan sejarah” yang kemudian dimanfaatkan
Allah, melainkan sebagai pusat rencana keselamatan sejak kekal. Misteri
Paskah—yakni wafat dan kebangkitan Kristus—merupakan puncak karya penyelamatan
Allah. Seperti ditegaskan Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes 22,
“misteri manusia hanya sungguh-sungguh menjadi jelas dalam misteri Sabda yang
menjadi manusia.” Dengan demikian, salib bukan sekadar instrumen pasif,
melainkan peristiwa yang sejak semula ditetapkan dalam ekonomi keselamatan.
2. Distingsi
Kehendak Allah: Voluntas Beneplaciti dan Voluntas Permissiva
Tradisi skolastik,
khususnya melalui Thomas Aquinas, membedakan antara dua cara berbicara tentang
kehendak Allah:
- Voluntas
     beneplaciti (kehendak berkenan): kehendak positif Allah
     yang sejak kekal menetapkan bahwa keselamatan manusia akan terwujud
     melalui ketaatan Putra sampai mati di salib. Dengan ini ditegaskan bahwa
     salib bukan kebetulan, melainkan bagian integral dari praeordinatio
     divina (tata ketetapan ilahi).
- Voluntas
     permissiva (kehendak mengizinkan): kehendak Allah yang
     mengizinkan tindakan jahat manusia dan godaan iblis berlangsung, tanpa
     menjadi penyebab langsungnya. Allah mengizinkan Yudas berkhianat, Pilatus
     menjatuhkan vonis, dan imam-imam Yahudi memfitnah, agar melalui kebebasan
     mereka, rencana keselamatan tetap terlaksana.
Distingsi ini
memungkinkan Katolik menjaga dua hal sekaligus: bahwa Allah tetap mahakuasa
tanpa menjadi penyebab dosa, dan bahwa manusia tetap bebas serta bertanggung
jawab atas tindakannya.
3. Metafisika Causa
Prima dan Causae Secundae
Menurut Aquinas,
Allah adalah causa prima, penyebab pertama dari segala sesuatu,
sementara manusia dan iblis adalah causae secundae, penyebab sekunder.
Dalam kerangka ini:
- Allah sebagai
     causa prima menetapkan dari kekal bahwa Kristus akan
     menyelamatkan dunia melalui ketaatan sampai wafat di salib.
- Manusia dan
     iblis sebagai causae secundae bertindak dengan kebebasan mereka:
     Yudas mengkhianati, Pilatus tunduk pada tekanan massa, imam Yahudi
     merancang fitnah, iblis menggoda. Semua tindakan itu sungguh dosa, tetapi
     tidak berada di luar jangkauan providensi ilahi.
Dengan demikian,
peristiwa salib tidak pernah keluar dari rencana Allah, tetapi tetap
mempertahankan tanggung jawab moral manusia dan realitas kejahatan iblis.
4. Salib sebagai
Misteri Ketaatan
Kunci soteriologi
Katolik adalah bahwa keselamatan datang melalui ketaatan Kristus. Paulus
menegaskan: “seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi
orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang
benar” (Roma 5:19). Ketaatan ini mencapai puncaknya dalam penyerahan diri
Kristus di kayu salib: factus obediens usque ad mortem, mortem autem crucis
(Flp 2:8). Artinya, salib bukan hanya akibat dari niat jahat manusia, tetapi
menjadi arena di mana ketaatan Putra kepada Bapa diwujudkan secara sempurna.
5. Konsekuensi
Teologis dan Apologetik
Dari kerangka ini,
posisi Katolik memiliki keunggulan apologetik yang jelas:
- Menolak
     fatalisme: Allah tidak “menentukan” dosa Yudas atau Pilatus;
     mereka bebas dan bertanggung jawab.
- Menolak
     dualisme: Allah tidak berkolaborasi dengan iblis, melainkan
     mengarahkan hasil perbuatan jahat menuju tujuan yang lebih luhur.
- Menegaskan
     supremasi kasih Allah: salib bukan tragedi kebetulan, tetapi jalan
     yang sejak kekal dipeluk dalam rencana keselamatan.
- Menjaga
     integritas iman: kebebasan manusia, keadilan Allah, dan kemenangan
     Kristus berpadu tanpa kontradiksi.
Seperti ditegaskan
Aquinas, “Allah mengizinkan adanya kejahatan agar darinya lahir kebaikan yang
lebih besar” (Summa Theologiae I, q.2, a.3). Maka, salib adalah justru
tempat di mana kebaikan tertinggi—penebusan manusia—lahir dari kejahatan
terbesar—pembunuhan Anak Allah.
Bagian IV.
Perbandingan Metafisik dan Logis
1. Katolik:
Rencana Komprehensif
Dalam kerangka
Katolik, salib dan kebangkitan bukan kebetulan historis, melainkan inti dari
rencana keselamatan yang sudah ditetapkan sejak kekal. Allah sebagai causa
prima mengarahkan segala sesuatu menuju tujuan ilahi, sementara manusia dan
iblis sebagai causae secundae tetap bertindak bebas dan bertanggung
jawab. Dengan distingsi voluntas beneplaciti dan voluntas permissiva,
Katolik mampu menjaga keseimbangan antara kedaulatan Allah dan kebebasan
manusia. Logika ini menegaskan bahwa salib bukan sekadar kecelakaan yang
“diluruskan” Allah, melainkan misteri ketaatan Kristus yang telah direncanakan
dalam oeconomia salutis.
2. Protestan: Rencana Parsial dan Fragmentaris
Posisi Protestan memperlihatkan fragmentasi serius:
- Esra Soru menempatkan
     Allah dan iblis dalam dualisme berbahaya: dua kehendak seakan-akan bekerja
     sejajar.
- MYM mereduksi iblis menjadi
     karikatur semata, gagal menjelaskan paradoks bahwa perbuatan iblis justru
     mempercepat karya keselamatan.
- Decky jatuh pada
     determinisme, meniadakan kebebasan manusia dan menimbulkan problem moral
     serius (apakah Yudas masih bersalah bila sejak kekal ditentukan harus
     berkhianat?).
Secara metafisik, Protestan gagal menjaga distingsi
penting antara kehendak positif Allah dan kehendak yang mengizinkan. Akibatnya,
mereka terjebak dalam logika biner: jika Allah berdaulat, manusia tidak bebas;
jika manusia bebas, maka Allah tidak berdaulat.
3. Ortodoks (Episkop Daniel): Rencana Defensif
Episkop Daniel, dalam konteks Ortodoks Indonesia,
menegaskan bahwa Allah tidak menghendaki salib secara positif. Allah hanya
membalikkan niat jahat iblis dan manusia menjadi sarana keselamatan. Pandangan
ini konsisten dalam membela kesucian Allah dari tuduhan sebagai penyebab
kejahatan, tetapi memiliki kelemahan: salib tampak sebagai accidens
sejarah yang “dipakai ulang” Allah, bukan sebagai bagian integral dari rencana
kekal. Akibatnya, misteri salib seakan-akan bergantung pada kebetulan tragis,
bukan pada ketetapan providensial.
4. Analogi Apologetik: Permainan Catur
Perbedaan ketiga posisi ini dapat dipahami melalui
analogi papan catur:
- Katolik melihat
     keseluruhan papan. Allah sebagai causa prima sudah menetapkan
     skak-mat akhir: kasih menang. Bidak boleh bebas bergerak, ada yang salah
     langkah, ada yang jahat, tetapi tidak ada yang bisa menggagalkan
     kemenangan akhir.
- Protestan bermain
     dengan papan yang tidak lengkap. Ada bidak yang hilang, aturan yang kabur,
     dan tafsir saling bertabrakan. Hasilnya: fragmentasi.
- Ortodoks menganggap
     permainan bisa ditentukan oleh “kebetulan” serangan lawan, seolah raja
     Allah dapat digulingkan secara tak terduga. Allah lalu tampil sebagai
     pemain reaktif yang menambal tragedi menjadi kemenangan.
5. Kesimpulan Perbandingan
Dengan menimbang perbedaan logika ini, terlihat jelas
bahwa tradisi Katolik menawarkan sintesis yang paling konsisten:
- Allah tetap mahakuasa dan kudus, tidak terlibat langsung dalam
     dosa.
- Manusia dan iblis tetap bebas, bertanggung jawab, dan nyata-nyata
     menjadi penyebab sekunder.
- Salib tetap pusat rencana kekal, bukan kebetulan yang ditambal.
- Misteri Paskah dipahami secara menyeluruh: salib dan kebangkitan
     adalah dua wajah dari satu rencana ilahi.
Bagian V. Koreksi Thomistik terhadap Posisi Ortodoks dan Protestan
1. Salib sebagai Bagian Integral dari Praeordinatio Divina
Thomas Aquinas menegaskan bahwa segala sesuatu berada dalam lingkup
providensi Allah, termasuk peristiwa yang melibatkan dosa manusia. Meski Allah
tidak menjadi penyebab langsung dosa, Ia menetapkan dari kekal bahwa
keselamatan manusia akan terwujud melalui Misteri Paskah, yakni wafat dan
kebangkitan Kristus. Dengan demikian, salib bukanlah kecelakaan sejarah atau
sekadar produk sampingan dari kejahatan, melainkan bagian dari praeordinatio
divina (tata ketetapan ilahi). Pandangan ini meluruskan kelemahan Ortodoks
yang cenderung menempatkan salib sebagai “accidens” sejarah.
2. Iblis sebagai Instrumentum Inintentionale
Aquinas menjelaskan bahwa Allah mampu mengubah tindakan jahat menjadi
sarana kebaikan yang lebih besar (convertere malum in bonum). Dalam
kerangka ini, iblis memang bertindak dengan niat jahat, tetapi tanpa sadar ia
justru menjalankan bagian dari rencana ilahi yang lebih luhur. Dengan demikian,
iblis bukan mitra dialektis Allah (seperti dalam kesan dualistik Protestan),
melainkan instrumen tak sadar (instrumentum inintentionale) yang
tetap kalah oleh kedaulatan Allah.
3. Kebebasan Manusia dalam Causae Secundae
Konsep causae secundae memberi ruang yang jelas bagi kebebasan
manusia. Yudas, Pilatus, dan imam-imam Yahudi sungguh bertindak bebas, dan
karena itu sungguh bertanggung jawab atas dosa mereka. Allah tidak menetapkan
mereka untuk berdosa, tetapi mengizinkan kebebasan mereka dijalankan bahkan
ketika itu dipakai untuk tujuan jahat. Dengan izin ini (voluntas permissiva),
Allah lalu mengarahkan hasil tindakan mereka menuju kebaikan yang lebih besar:
penebusan manusia. Koreksi ini mematahkan determinisme ala Decky yang
meniadakan kebebasan manusia.
4. Ketaatan Kristus sebagai Inti Misi, Bukan Respons Darurat
Aquinas menekankan bahwa ketaatan Kristus sampai mati di salib (Flp 2:8)
bukanlah respons darurat terhadap niat jahat manusia, melainkan inti dari
misi-Nya sejak kekal. Ketaatan ini merupakan jalan kebalikan dari ketidaktaatan
Adam. Dalam Kristus, ketaatan menjadi cara penebusan, dan salib menjadi altar
di mana ketaatan itu diwujudkan secara sempurna. Koreksi ini melengkapi
kelemahan Ortodoks yang cenderung membuat salib tampak sebagai “jalan
alternatif” yang ditempuh Allah setelah rencana awal dihalangi iblis.
5. Formula
Thomistik: Voluntas Beneplaciti dan Voluntas Permissiva
Dengan distingsi
ganda ini, posisi Katolik menjadi lebih kokoh:
- Voluntas
     beneplaciti: Allah sungguh menetapkan keselamatan melalui salib
     Kristus.
- Voluntas
     permissiva: Allah mengizinkan dosa manusia dan godaan iblis
     berlangsung tanpa menjadi penyebab langsungnya.
Distingsi ini
menjaga kesucian Allah, kebebasan manusia, dan realitas peran iblis, sekaligus
menegaskan supremasi rencana keselamatan ilahi.
6. Konklusi
Koreksi
Dengan koreksi
Thomistik, terlihat jelas bahwa:
- Ortodoks benar dalam menolak
     gagasan bahwa Allah “mau” kejahatan, tetapi salah bila menempatkan salib
     hanya sebagai kebetulan yang dipakai ulang.
- Protestan benar dalam
     menekankan kedaulatan Allah, tetapi jatuh pada kesalahan logika karena
     gagal membedakan kehendak positif dan kehendak yang mengizinkan, sehingga
     menghasilkan dualisme, reduksionisme, atau determinisme.
- Katolik, dengan kerangka
     metafisika Thomistik, menawarkan sintesis: salib adalah pusat rencana
     keselamatan, di mana Allah tetap mahakuasa, manusia tetap bebas, dan iblis
     tetap musuh yang akhirnya dipermalukan.
Bagian VI. Tesis
Apologetik Sistematik
Untuk merangkum
sekaligus menegaskan keunggulan kerangka Katolik dalam menjawab problem
penyaliban Kristus, kita dapat menyusunnya dalam bentuk tujuh tesis apologetik
yang berakar pada metafisika Thomistik.
Tesis 1.
Allah sebagai causa prima adalah ipsum esse
subsistens (Ada itu sendiri) dan bonum per essentiam (kebaikan itu
sendiri). Karena itu, Ia tidak mungkin menjadi penyebab langsung dari dosa
atau kejahatan.
Tesis 2.
Penyaliban Yesus secara material adalah tindakan
jahat manusia (imam Yahudi, Pilatus, Yudas) yang dipengaruhi oleh iblis.
Dalam istilah metafisik, mereka adalah causae secundae deficiens:
penyebab sekunder yang menyalahgunakan kebebasan.
Tesis 3.
Dalam voluntas beneplaciti (kehendak berkenan),
Allah sejak kekal menetapkan bahwa keselamatan manusia akan diwujudkan melalui
Kristus, dan salib adalah instrumen utama rencana ini. Dengan demikian,
salib bukan kecelakaan sejarah, melainkan pusat oeconomia salutis.
Tesis 4.
Dalam voluntas permissiva (kehendak
mengizinkan), Allah membiarkan kejahatan manusia dan godaan iblis berlangsung,
tetapi hanya dalam rangka diarahkan menuju kebaikan yang lebih besar. Dengan
cara ini, dosa sungguh tetap dosa, namun providensi Allah tetap berdaulat.
Tesis 5.
Kristus, sebagai Adam baru, taat sampai mati di
kayu salib (Flp 2:8). Ketaatan-Nya menebus ketidaktaatan Adam (Rm 5:19).
Ketaatan ini bukan reaksi darurat, melainkan inti dari misi keselamatan yang
telah direncanakan sejak kekal.
Tesis 6.
Dengan wafat-Nya, Kristus mengalahkan dosa dan iblis;
dengan kebangkitan-Nya, Ia mengalahkan kematian. Inilah kepenuhan keselamatan (salus
hominum) yang menyatukan salib dan kebangkitan sebagai satu Misteri Paskah
yang tak terpisahkan.
Tesis 7.
Providensi Allah bekerja dengan cara convertere
malum in bonum—mengubah kejahatan menjadi sarana kebaikan. Maka, salib
adalah titik di mana paradoks ilahi paling nyata: dari kejahatan terbesar
lahir kebaikan tertinggi, yaitu penebusan manusia.
Konklusi
Apologetik
Dengan tujuh tesis
ini, tradisi Katolik menunjukkan superioritas argumentasi metafisik dan
teologis:
- Allah tetap mahakudus dan
     bebas dari tuduhan sebagai penyebab kejahatan.
- Manusia dan iblis tetap bebas
     dan bertanggung jawab atas dosa mereka.
- Salib ditegaskan sebagai pusat
     rencana keselamatan sejak kekal, bukan sekadar produk sampingan dari
     tragedi sejarah.
Apologetika
Katolik tidak berhenti pada defensif retoris, tetapi membangun sintesis yang
logis, metafisik, dan biblis. Misteri salib adalah bukti bahwa iman Kristiani
mampu memadukan kedaulatan Allah dan kebebasan manusia tanpa reduksi, dan bahwa
kasih Allah selalu lebih besar daripada kejahatan apa pun.
Kesimpulan
Pertanyaan apakah
penyaliban Kristus merupakan kehendak Allah atau kehendak iblis ternyata
membuka pintu bagi diskursus teologis yang lebih dalam: bagaimana relasi antara
providensi Allah, kebebasan manusia, dan realitas kejahatan. Analisis terhadap
posisi Ortodoks, Protestan, dan Katolik memperlihatkan bahwa hanya tradisi
Katolik, dengan fondasi metafisika Thomistik, yang mampu memberikan jawaban
konsisten, utuh, dan apologetis.
Posisi Ortodoks,
sebagaimana ditawarkan Episkop Daniel, benar dalam menolak gagasan bahwa Allah
“mau” kejahatan, tetapi melemahkan status salib dengan menempatkannya sekadar
sebagai kecelakaan sejarah yang kemudian dipakai Allah. Posisi Protestan, dalam
variasinya, terpecah antara dualisme, reduksionisme, dan determinisme—semuanya
gagal menjaga keseimbangan antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia.
Sebaliknya,
tradisi Katolik menegaskan bahwa salib dan kebangkitan adalah inti rencana
keselamatan sejak kekal. Dengan distingsi antara voluntas beneplaciti
dan voluntas permissiva, serta kerangka causa prima dan causae
secundae, Katolik mampu menjaga kesucian Allah, tanggung jawab moral
manusia, dan realitas kejahatan iblis, tanpa jatuh ke dalam kontradiksi logis
atau kesempitan metafisik.
Salib bukanlah
tragedi yang “ditambal” Allah, melainkan misteri ketaatan Kristus yang sejak
kekal menjadi pusat ekonomi keselamatan. Di kayu salib, ketaatan menggantikan
ketidaktaatan, kasih mengalahkan kebencian, dan kehidupan menaklukkan kematian.
Dalam terang Misteri Paskah, kita melihat kebenaran metafisik yang dalam: Allah
mengizinkan kejahatan agar darinya muncul kebaikan yang lebih besar, yaitu
penebusan seluruh umat manusia.
Dengan demikian,
apologetika Katolik tidak hanya mempertahankan konsistensi iman dari serangan
eksternal, tetapi juga menunjukkan daya sintesis yang menjadikan iman rasional
dan dapat dipertanggungjawabkan. Salib adalah bukti tertinggi bahwa kasih Allah
tidak pernah dikalahkan: ubi abundavit peccatum, superabundavit gratia—di
mana dosa bertambah banyak, kasih karunia berlimpah-limpah (Rm 5:20).
Link Video
1.      Esra Soru; THE CRUCIFIXION / MURDER OF
JESUS: GOD'S PLAN OR THE DEVIL'S PLAN? #gkinrevival #sermon #viral
2.      MYM PENYALIBAN YESUS
RENCANA & KEHENDAK IBLIS? (ULASAN PDT. MYM)
3.      Decky Nggadas  VV-276) Penyaliban:
Rencana Allah Tritunggal | (EdisTV & Yusuf PI)
4.      Episkop Daniel APAKAH PENYALIBAN
YESUS MERUPAKAN KARYA ALLAH BAPA ATAU KARYA IBLIS?
