"Gereja itu satu. Gereja tidak dibangun oleh Kristus agar menjadi 30.000 cabang yang saling bersilang doktrin tapi tetap mengaku ‘bersatu dalam roh’."
— Patris Allegro
Salah satu tuduhan paling sering dialamatkan kepada Gereja Katolik adalah: "Kami Protestan memang banyak denominasi, tapi Katolik juga punya perpecahan!" atau lebih halus, "Fragmentasi tidak masalah, yang penting kami satu dalam Kristus!"
Apakah benar? Mari kita telusuri bagaimana kalangan Protestan biasanya membela diri terhadap fakta memalukan bahwa sejak Reformasi tahun 1517, kekristenan non-Katolik terus-menerus memecah diri, bercerai, dan melahirkan ribuan denominasi — dari Lutheran, Reformed, Baptis, sampai Advent dan gereja-gereja satu orang di pojok YouTube.
Berikut ini beberapa bentuk apologi Protestan terhadap fragmentasi, dan tanggapan Katolik yang tak bisa dibantah dengan sekadar ayat copas atau emoticon senyum.
1. “Kami Bebas dalam Kristus”
Klaim mereka:
"Beragamnya gereja menunjukkan kebebasan dalam Kristus dan kedewasaan iman. Tuhan bekerja melalui keberagaman."
Tanggapan Katolik:
Kebebasan yang menghasilkan kebingungan bukanlah buah Roh Kudus.
Yesus tidak pernah berkata, "Kamu bebas menafsir semaumu asal mengaku Aku Tuhan." Ia berdoa supaya kita semua menjadi satu (Yoh 17:21), bukan menjadi ribuan kelompok dengan saling tuding sesat.
Kalau perbedaan ajaran tentang keselamatan, baptisan, dan kehadiran Kristus dalam Ekaristi dianggap “perbedaan wajar”, maka kebenaran iman tinggal jadi menu buffet spiritual: ambil yang enak, buang yang susah.
2. “Perpecahan Itu Karena Kesalahan Manusia”
Klaim mereka:
"Manusia memang berdosa dan egois, tapi doktrin Reformasi tetap benar."
Tanggapan Katolik:
Jika doktrin benar tapi hasilnya kekacauan, barangkali yang salah bukan hanya pelakunya, tapi sistemnya.
Sola Scriptura — prinsip bahwa setiap orang bebas menafsir Alkitab sendiri — ibarat memberi konstitusi negara ke tiap warga dan berharap hukum tetap harmonis. Jangan heran kalau akhirnya semua bikin “gereja sendiri” sesuai rasa hati.
3. “Yang Penting Kami Bersatu dalam Inti Injil”
Klaim mereka:
"Kami satu dalam hal-hal penting, seperti Yesus sebagai Juruselamat."
Tanggapan Katolik:
Baik, tapi apa “inti Injil” itu?
-
Sebagian percaya baptisan bayi, sebagian bilang itu sesat.
-
Sebagian percaya Ekaristi itu tubuh Kristus, sebagian bilang itu paganisme.
-
Sebagian percaya keselamatan tak bisa hilang, sebagian yakin bisa.
Kalau "inti" saja sudah kabur definisinya, maka semboyan “bersatu dalam esensi” hanya jargon kosong — seperti mengatakan kita semua manusia sambil tetap saling bunuh di medan perang teologi.
4. “Semua Gereja Adalah Bagian dari Tubuh Kristus Tak Kasatmata”
Klaim mereka:
"Tubuh Kristus tidak terikat institusi. Gereja sejati adalah orang percaya sejati."
Tanggapan Katolik:
Logika ini tidak Alkitabiah.
Gereja perdana punya struktur (lih. Kisah 15), punya hierarki (lih. 1 Tim 3), dan ada disiplin komunitas. Yesus tidak datang mendirikan komunitas spiritual tak kasatmata, tapi mendirikan ekklesia — persekutuan riil yang terorganisir, bersumber pada satu iman, satu baptisan, satu Tuhan (Efesus 4:4–6).
Tubuh Kristus bukan “roh-roh kudus yang saling mengenali di dunia maya iman”.
5. “Perpecahan Adalah Koreksi terhadap Ajaran Sesat”
Klaim mereka:
"Setiap perpecahan adalah tanda reformasi terhadap penyimpangan."
Tanggapan Katolik:
Kalau setiap kelompok yang pecah merasa dirinya paling benar, itu bukan koreksi, tapi inflasi ego. Protestanisme tidak berhenti pada Luther. Ia membuka kotak Pandora, dan hasilnya adalah anarki doktrinal tanpa otoritas penutup.
Kalau semua reformator bisa saling menyebut sesat, siapa yang benar? Atau semuanya salah, dan hanya Alkitab yang benar? Tapi… siapa yang menafsirnya? Kembali ke lingkaran setan itu lagi.
Kesimpulan: Satu Tubuh, Bukan Seribu Kepala
Yesus Kristus tidak membangun serikat rohani lepas kendali. Ia membangun Gereja (Mat 16:18) — sebuah komunitas yang punya kesatuan iman, sakramen, dan otoritas.
Protestanisme, dengan segala niat baiknya, gagal menjaga kesatuan yang Kristus doakan. Dan apologi mereka terhadap fragmentasi hanyalah pembenaran dari kenyataan pahit bahwa ketika setiap orang jadi Paus bagi dirinya sendiri, maka tubuh Kristus jadi penuh amputasi.
Sudah saatnya kembali.
Bukan ke nostalgia Reformasi, tapi ke rumah yang satu — una, sancta, catholica et apostolica Ecclesia.
“Jika tubuh Kristus penuh amputasi, maka luka itu bukanlah buah Injil — melainkan bukti bahwa tanpa Magisterium, kebenaran akan dijadikan opini dan kesatuan hanya tinggal utopia.”
— Patris Allegro
Mantap Romo, saya bisa belajar banyak utk menjawab prtanyaan & kritik saudara2 protestan trhdp gereja katolik.
BalasHapus