Keberatan Protestan bahwa "Katolik juga pecah"
adalah argumen yang sering dilontarkan untuk membela fragmentasi ekstrem di
dalam dunia Protestan. Mereka menyebut peristiwa seperti skisma Timur–Barat,
Sedevakantis, Old Catholics, SSPX, bahkan sekte Palmarian sebagai bukti bahwa
Gereja Katolik pun mengalami perpecahan dan karena itu tidak lebih baik dari
Protestan.
Namun,
keberatan ini gagal secara logika, historis, dan eklesiologis. Berikut
elaborasi dan bantahan sistematis terhadap argumen ini:
🧩 1. Argumentasi yang
Salah: False Equivalence
Masalah:
Protestan membandingkan ribuan denominasi Protestan yang resmi berdiri
terpisah dengan beberapa kelompok kecil atau skisma individual dari Gereja
Katolik.
Tanggapan Katolik:
Ini seperti menyamakan amputasi kaki oleh dokter dengan tubuh yang
tercerai-berai berkeping-keping tanpa kepala.
- Gereja
     Katolik tetap memiliki kesatuan institusional, doktrinal, dan hierarkis
     yang utuh.
- Skisma
     yang disebutkan oleh Protestan justru mengonfirmasi bahwa tubuh
     Gereja Katolik tetap satu, dan hanya sebagian kecil yang menolak otoritas
     Paus atau ajaran Magisterium.
Analoginya:
Jika seseorang keluar dari rumah dan mendirikan rumah sendiri, yang “berpecah”
adalah orang itu, bukan rumahnya.
🧭 2. Skisma Timur–Barat
(1054): Dua Tubuh Institusional, Bukan Ratusan
Protestan: “Katolik juga pecah kok waktu skisma
Timur-Barat.”
Tanggapan:
Benar bahwa terjadi skisma tahun 1054, tetapi hasilnya bukan 40.000 gereja.
Hanya dua — Katolik Barat dan Ortodoks Timur — yang masih mempertahankan
suksesi apostolik, hierarki sakramental, dan tradisi liturgi yang valid.
- Tidak terjadi subjektivisme
     dogmatis seperti dalam Protestanisme.
- Baik
     Katolik maupun Ortodoks tetap mengakui pentingnya Konsili, Sakramen, dan
     Tradisi Apostolik.
Jadi, ini bukan relativisme doktrinal, tapi perselisihan
teologis dan yuridiksi yang bersifat terbatas — bukan fragmentasi doktrinal
massal.
🪓 3. Sedevakantis, SSPX,
Old Catholics: Skisma Parsial, Bukan Gereja Baru
Protestan: “Lalu bagaimana dengan SSPX, Sedevakantis,
dan Old Catholics?”
Tanggapan:
- Sedevakantis:
     kelompok ekstrem yang mengklaim Tahta Paus kosong. Mereka tidak
     diakui dan bersifat marginal (<0.01% umat Katolik).
- SSPX:
     sempat mengalami status kanonik yang tidak jelas, tetapi tetap
     mempertahankan iman Katolik dan saat ini sebagian besar telah
     direkonsiliasi.
- Old
     Catholics: menolak Konsili Vatikan I (1870), tetapi akhirnya jatuh ke
     dalam liberalisme teologis, bahkan menolak ajaran moral dasar — mereka bukan
     lagi Katolik secara esensial, dan jumlah mereka sangat kecil
     (<0.002% dari populasi Katolik dunia).
Bandingkan dengan Protestanisme yang dari awal memang tidak
memiliki pusat kesatuan: sejak Luther hingga hari ini, setiap orang bisa
bikin gereja baru sesuai tafsir pribadi. Itu bukan “skisma”, itu proliferasi
sektarian.
🤡 4. Palmarian: Karikatur
Skisma, Bukan Oposisi Serius
Protestan: “Gimana dengan Palmarian Church yang
mengklaim Paus sendiri?”
Tanggapan:
Palmarian Catholic Church adalah sekte fanatik yang mengaku memiliki “Paus
sendiri” dan telah memutuskan dari Gereja Katolik. Mereka lebih mirip kultus
pribadi daripada gerakan teologis. Menyebut mereka sebagai contoh “perpecahan
Katolik” adalah seperti menyebut Flat Earth Society sebagai bukti pecahnya
komunitas ilmiah dunia.
🧱 5. Kesatuan Katolik:
Tetap Teguh di Tengah Skisma
Gereja Katolik selama 2000 tahun tetap mempertahankan:
- Satu
     Katekismus universal
- Satu otoritas ajaran
     (Magisterium, Paus dan para Uskup)
- Satu sakramen Ekaristi yang
     sah dan valid
- Satu
     struktur hierarkis yang tidak berubah sejak para rasul
Sementara itu, Protestanisme bahkan tidak memiliki
definisi bersama tentang apa itu “Gereja”.
✋ Kesimpulan: Beda Antara Luka dan
Pembusukan
Skisma
dalam Gereja Katolik memang ada, tetapi seperti luka di tubuh yang masih
hidup. Ia bisa sembuh, direkonsiliasi, dan tetap satu dalam struktur
organik yang utuh.
Fragmentasi
dalam Protestanisme adalah seperti tubuh yang dipotong-potong tanpa pusat
kehidupan, lalu tiap potong bersikeras mengklaim diri sebagai tubuh sejati
— bahkan saling menuding bahwa bagian lain adalah sesat.
Jadi,
mohon maaf:
📍Katolik bukan terpecah, melainkan sedang terus menyembuhkan luka-lukanya.
📍Protestanisme lahir dari perpecahan, tumbuh dengan perpecahan, dan terus
berkembang melalui perpecahan.
“Perpecahan Katolik adalah pengkhianatan minor.
Perpecahan Protestan
adalah prinsip utama.”
— Patris Allegro
Sekarang kita masuk ke analisis logis dari keberatan
Protestan yang menyatakan, "Katolik juga pecah kok!" — yaitu
dengan membongkar falasi logika yang mereka lakukan. Inilah titik
lemahnya: alih-alih menjawab tuduhan terhadap fragmentasi mereka, mereka
justru melakukan manuver retoris yang menyesatkan.
🔍 Falasi Logika: Tu
quoque
(“Kamu juga begitu!”)
🔺 Definisi Falasi Tu
Quoque:
Ini adalah jenis kesalahan logika yang terjadi ketika
seseorang mencoba menolak kritik terhadap dirinya bukan dengan membantah
isinya, tetapi dengan menyerang balik si pengkritik — bukan karena kritiknya
salah, tetapi karena si pengkritik dianggap melakukan hal yang sama.
Contoh klasik:
A: "Kamu nggak boleh nyontek, itu salah."
B: "Tapi kamu dulu juga pernah nyontek!"
➡️
Ini tidak menjawab apakah nyontek itu salah atau tidak, hanya mengalihkan isu.
😑 Penerapan dalam Kasus
Fragmentasi:
Katolik:
"Protestan terpecah menjadi ribuan denominasi, ini bertentangan dengan
kehendak Kristus akan kesatuan (Yoh 17:21)."
Protestan:
"Tapi Katolik juga pecah kok! Ada Sedevakantis, SSPX, Palmarian, dll."
👉 Ini tu quoque.
Sama sekali tidak membantah substansi tuduhan bahwa fragmentasi Protestan
adalah realitas menyedihkan yang menodai kesaksian kekristenan. Hanya
mencoba mengalihkan perhatian dengan menuding balik — padahal skisma Katolik
bukanlah bukti bahwa fragmentasi Protestan itu wajar.
🎯 Mengapa Ini Tetap Gagal?
- Kegagalan moral orang Katolik
     tidak membatalkan kebenaran struktur Gereja Katolik.
 Jika ada orang Katolik yang menolak Paus, maka ia keluar dari kesatuan, bukan menciptakan standar baru kesatuan.
- Gereja Katolik memiliki
     mekanisme penyembuhan internal:
 Skisma bisa direkonsiliasi, seperti kasus SSPX yang kini sebagian kembali bersatu. Di Protestan, setiap konflik malah melahirkan denominasi baru tanpa otoritas pemersatu.
- Gagal
     membuktikan prinsip sendiri.
 Bahkan jika Katolik juga berdosa atau pecah, itu tidak membuat fragmentasi Protestan menjadi benar. Dua kesalahan tidak membuat satu kebenaran.
🧠 Ironi yang Terjadi
Protestan menolak Paus karena tidak ingin ada otoritas
tunggal. Tapi ketika perpecahan tak terhindarkan, mereka malah berkata,
“Ya wajar dong, manusia kan beda-beda.”
Maka yang terjadi bukan hanya tu quoque, tapi juga fatalisme
eklesiologis: menyerah pada kekacauan sebagai sesuatu yang sah secara
teologis. Padahal, doa Yesus dalam Yohanes 17:21 bukan: “Bapa, biarlah
mereka bebas bersilang pendapat tentang Aku,” tetapi “supaya mereka semua
menjadi satu.”
🧱 Kesimpulan: Salah Sasaran,
Salah Strategi
Dengan
melakukan falasi tu quoque:
- Mereka
     tidak menjawab tuduhan.
- Mereka
     mengalihkan persoalan tanpa menyentuh substansi.
- Mereka
     terjebak dalam logika “karena kamu salah juga, maka aku tidak salah”
     — yang jelas cacat.
“Kalau Protestan sungguh percaya bahwa fragmentasi itu
normal, lalu mengapa mereka masih perlu menuduh Katolik pecah? Mengapa merasa
perlu membela diri dengan serangan balik? Karena jauh di dalam hati nurani,
mereka tahu bahwa Gereja Kristus seharusnya satu.”
— Patris Allegro