I. Pendahuluan: Ketika Hidup Kita Tak Mencerminkan Jawaban Kita
Coba
jawab dengan jujur: Apa yang paling
penting dalam hidup Anda?
Sebagian besar dari kita—terutama mereka yang berusaha menjadi manusia yang
baik—akan refleks menjawab: keluarga, anak, sahabat, atau mungkin iman.
Namun
kenyataan hidup modern menampar kita: jawaban itu seringkali hanyalah slogan
ideal, bukan cermin realitas. Kita berkata bahwa keluarga adalah segalanya,
tetapi jam-jam terbaik dalam sehari kita persembahkan pada pekerjaan, bukan
pada anak-anak kita. Kita percaya bahwa Tuhan adalah yang utama, namun waktu
dan tenaga terbaik kita terkuras bukan untuk doa atau ibadah, melainkan untuk
target kerja dan deadline proyek.
Paradoks
ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari sebuah sistem nilai—atau lebih
tepatnya, warisan spiritual—yang secara perlahan tapi pasti meracuni cara kita
melihat hidup, waktu, dan diri kita sendiri. Kita tidak lagi bekerja untuk
hidup, tetapi hidup untuk bekerja. Kita tidak lagi menemukan makna
dalam ibadah dan komunitas, tetapi dalam produktivitas dan profit.
Dalam
artikel ini, saya akan menunjukkan bahwa akar dari krisis ini bukan sekadar
kapitalisme modern, melainkan sebuah transformasi teologis dan kultural
besar-besaran yang dimulai dari Reformasi Protestan. Melalui pembacaan kritis
terhadap etika kerja Protestan—sebagaimana dianalisis oleh Max Weber, ditopang
oleh kutipan Luther dan Calvin, dan dilawan oleh tradisi Katolik yang kaya
liturgi dan kontemplasi—kita akan membongkar bagaimana spiritualitas Kristiani
yang sehat telah dirampas dan diganti dengan ideologi kerja tanpa henti.
Tujuan
saya bukan sekadar nostalgia akan masa lalu atau sentimen anti-Protestan,
melainkan sebuah ajakan untuk kembali menemukan ritme surgawi dalam
hidup kita—ritme yang pernah dibangun oleh Gereja Katolik lewat kalender
liturgi, kehidupan sakramental, dan keutamaan kontemplasi. Jika hidup ini
adalah sebuah simfoni, maka dunia Protestan modern telah memaksakan kita untuk
bermain hanya satu nada: kerja, kerja, kerja. Saatnya kita mengambil kembali
partitur surgawi itu—dan mulai menari dalam irama Allah.
II.
Ekonomi sebagai Liturgi Baru: Siapa Tuhan yang Kita Sembah?
Dunia
modern tidak pernah kehabisan jargon untuk menjustifikasi kecanduan kita
terhadap kerja: produktif, kontributif, profesional, berdaya
saing. Namun di balik semua istilah yang tampak netral ini tersembunyi
sebuah bentuk penyembahan baru: ekonomi telah menjadi liturgi, dan kerja telah
menjadi ibadah yang menuntut pengorbanan total.
Coba
perhatikan bagaimana kita memperkenalkan diri:
“Saya
seorang dokter.”
“Saya
guru.”
“Saya manajer keuangan.”
Sangat jarang orang menjawab: “Saya ayah dari tiga anak yang mengagumkan” atau
“Saya orang yang sedang belajar menjadi teman yang setia.” Identitas kita telah
dirampas dan dipaksa berputar dalam orbit profesi. Kita bukan lagi manusia yang
hidup, melainkan peran ekonomi yang bergerak.
Pendidikan pun tak luput dari penyembahan ini.
Dahulu, pendidikan tinggi bertujuan membentuk manusia liberalis—manusia
bebas yang mampu berpikir, merenung, dan hidup secara bijaksana. Itulah arti
dari liberal arts—seni membentuk manusia merdeka. Kini, universitas
menjadi pabrik sertifikasi tenaga kerja. Anak-anak kita tidak dididik untuk
menjadi orang, tetapi untuk menjadi alat. Maka tak heran jika
mereka kehilangan arah hidup begitu pekerjaan tidak memuaskan.
Kita mengorbankan masa muda kita demi
"investasi karier", terjebak dalam utang pendidikan yang luar biasa
demi janji gaji yang "layak." Kita mengorbankan akhir pekan demi
target kantor, bahkan hari Minggu menjadi hari cadangan untuk menyelesaikan
pekerjaan yang tak sempat dibereskan.
Ritme hidup kita pun disusun bukan oleh Gereja,
bukan oleh kebutuhan rohani, tetapi oleh kebutuhan produksi. Kita bangun pagi
bukan untuk bersyukur, melainkan untuk mengecek e-mail. Kita tidur larut bukan
karena habis berdoa, melainkan karena lembur. Kita menilai hidup bukan
berdasarkan kedalaman relasi atau pertumbuhan jiwa, melainkan berdasarkan
performa kerja.
Dan ironisnya, semua ini dianggap sebagai
"kemajuan." Kita ditakut-takuti dengan kisah orang-orang Abad
Pertengahan yang konon bekerja seperti budak, padahal jika dilihat dari
perspektif waktu untuk keluarga, pesta komunitas, dan istirahat, banyak petani
Eropa pra-modern hidup jauh lebih manusiawi daripada kita.
Inilah wajah dunia modern yang telah
menggantikan Tuhan dengan produktivitas. Kita tidak lagi berdoa agar rejeki
diberi cukup, tapi bekerja agar rejeki berlipat ganda. Kita tidak lagi
menghargai waktu senggang, kecuali sebagai peluang side hustle. Kita
tidak lagi punya waktu untuk kontemplasi, karena kontemplasi tidak bisa
dimonetisasi.
Liturgi ekonomi ini mungkin tidak memiliki
altar fisik, tetapi ia menuntut persembahan total. Dan yang kita korbankan di
atas altar itu adalah waktu kita, jiwa kita, keluarga kita, dan dalam banyak
kasus, iman kita.
III. Antropologi Katolik Abad
Pertengahan: Bekerja untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Bekerja
Banyak orang modern memandang Abad Pertengahan
sebagai zaman gelap (dark ages), padahal yang gelap seringkali adalah
lensa ideologis kita sendiri. Jika kita mampu menanggalkan kacamata propaganda
modernitas, kita akan melihat bahwa masyarakat Katolik di Eropa abad
pertengahan sebenarnya menyimpan satu harta antropologis yang nyaris hilang di
zaman kita: irama hidup yang manusiawi.
Dalam budaya Katolik pra-modern, kerja adalah
kewajiban moral, tapi bukan pusat hidup. Orang bekerja karena perlu—untuk
makan, untuk menafkahi keluarga, untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun begitu
pekerjaan selesai, hidup kembali pada fokus utamanya: keluarga, komunitas,
pesta, dan doa. Kerja bukan identitas; kerja hanyalah sarana. Dan setelah
sarana itu selesai digunakan, orang berhenti.
Lebih mencengangkan lagi, banyak petani agraris
justru punya waktu istirahat yang jauh lebih banyak dibandingkan pekerja
modern. Setelah musim panen, mereka bisa tidak bekerja berbulan-bulan. Kalender
liturgi Katolik membantu mengatur waktu sosial masyarakat: hari-hari raya
gereja menjadi hari libur komunitas. Natal bukan hanya tanggal 25 Desember, tetapi
musim sukacita selama dua belas hari penuh. Paskah bukan hanya Minggu
Kebangkitan, tetapi masa perayaan selama lima puluh hari. Bahkan setiap minggu,
hari Minggu adalah Dies Domini—Hari Tuhan—yang disakralkan dengan Misa
dan istirahat total dari pekerjaan.
Mereka tidak perlu motivator untuk berkata
“work-life balance”, karena hidup mereka memang sudah tertata dalam ordo
spiritual Gereja. Mereka tidak perlu retreat untuk “healing”, karena kalender
liturgi sendiri sudah menyusun musim pertobatan (Prapaskah), musim puasa
(Adven), dan musim penuh pengharapan serta pesta (Paskah dan Natal). Mereka
tidak perlu aplikasi meditasi digital, karena doa-doa harian—Angelus, Rosario,
Litani, doa pagi dan malam—sudah membingkai waktu harian secara rohani.
Satu kata kunci dari zaman itu adalah komunalitas.
Orang
merayakan, makan bersama, meratap bersama, berdoa bersama. Gereja paroki bukan
hanya pusat ibadah, tetapi pusat kehidupan sosial. Bahkan pernikahan dan
kematian pun disatukan dalam liturgi: tidak ada peristiwa besar tanpa kehadiran
Tuhan melalui Gereja-Nya.
Dibandingkan dengan dunia modern yang
individualistik dan sibuk, dunia Katolik Abad Pertengahan memberi kesan hidup
yang lebih seimbang, lebih manusiawi, dan lebih selaras dengan tujuan akhir
manusia: yaitu bersatu dengan Allah dan sesama, bukan dengan target KPI dan
bonus tahunan.
Apakah semua sempurna? Tentu tidak. Namun dalam
dimensi antropologis, dunia Katolik pra-modern mengakui secara jujur bahwa
manusia bukan mesin, bahwa waktu adalah rahmat, dan bahwa kerja hanyalah bagian
kecil dari hidup, bukan tujuannya.
Dalam dunia seperti itu, manusia tidak
didefinisikan oleh pekerjaannya, tetapi oleh relasinya: relasi dengan Allah,
keluarga, komunitas, dan Gereja. Dan justru di situlah letak kemuliaan manusia
yang sejati.
IV. Revolusi Sunyi: Luther,
Calvin, dan Profanisasi Hidup
Jika dunia Katolik Abad Pertengahan hidup dalam
irama sakral—di mana waktu dibingkai oleh liturgi dan kerja ditempatkan sebagai
sarana menuju kehidupan rohani—maka Reformasi Protestan, meskipun mengaku
sebagai gerakan rohani, justru melucuti fondasi sakralitas tersebut. Ia
menghapus batas antara altar dan dapur, biara dan bengkel, liturgi dan
produksi. Dan dari sinilah lahir apa yang disebut oleh Max Weber sebagai Etika
Kerja Protestan.
Martin Luther, dengan semangat antiklerikalnya,
meruntuhkan tembok antara imam dan awam. Ia mengatakan:
“Pembantu yang menyapu lantai menjalankan
kehendak Allah sama seperti rahib yang berdoa, karena Tuhan menyukai lantai
yang bersih.”
(Luther, An Open Letter to the
Christian Nobility, 1520)
Kedengarannya
merendah, namun sebenarnya ini adalah bentuk reduksi. Yang ditinggikan bukan
lantai, tetapi diturunkannya altar ke level lantai dapur. Apa yang terjadi di
biara dan koor katedral—puasa, doa malam, meditasi Kitab Suci—ditanggalkan
sebagai sesuatu yang tidak relevan dalam dunia kerja dan produksi.
Lebih
lanjut, Luther berkata:
“Adalah
kebohongan belaka bahwa Paus, Uskup, imam, dan rahib adalah status rohani,
sedangkan para bangsawan, petani, dan pekerja adalah status duniawi. Ini adalah
kebohongan dan kemunafikan.”
Dalam
semangat egalitarian ini, ia menghapus distingsi teologis antara sakral dan
profan. Semua pekerjaan menjadi “rohani”, dan dalam proses itulah kerja menjadi
pusat kehidupan spiritual Protestan. Maka, bukan lagi doa dan liturgi
yang menjadi ekspresi iman, melainkan produktivitas, kedisiplinan, dan
efisiensi.
Konsekuensi
dari teologi ini sangat dalam. Jika semua pekerjaan adalah “panggilan dari
Tuhan”, maka pekerjaan pun menjadi sarana pembenaran diri. Inilah benih dari
kapitalisme yang berkembang subur di tanah Protestan: kesalehan ditentukan
bukan oleh relasi dengan Allah melalui sakramen, tetapi oleh seberapa keras
Anda bekerja, seberapa banyak Anda hasilkan, seberapa berguna Anda di mata
masyarakat.
Etika
ini juga dibentuk oleh doktrin predestinasi Calvin, yang mengajarkan
bahwa hanya sebagian orang yang dipilih Allah untuk keselamatan, dan manusia
tidak bisa tahu pasti apakah dirinya termasuk atau tidak. Maka muncullah
tekanan psiko-spiritual untuk membuktikan “tanda-tanda keselamatan”—dan tanda itu,
dalam praktik sosial Protestan, adalah kerja keras dan keberhasilan ekonomi.
Dalam
lanskap teologis seperti ini, kontemplasi menjadi mencurigakan, istirahat
dianggap malas, dan pesta dilihat sebagai bentuk ketidakbertanggungjawaban.
Seolah-olah Maria—yang memilih duduk di kaki Yesus dan menikmati
kehadiran-Nya—telah digeser oleh Marta sebagai model orang beriman.
Namun
Yesus sendiri berkata:
“Maria
telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil darinya.” (Luk 10:42)
Kristus
memuji kontemplasi, bukan produktivitas. Ia memuliakan kehadiran, bukan
performa. Tetapi dalam spiritualitas kerja Protestan, Maria disingkirkan
sebagai tidak relevan, dan Marta dijadikan santo pelindung manusia modern.
Inilah
revolusi sunyi: bukan dengan meruntuhkan gereja secara fisik, tetapi dengan
menggantikan altar dengan meja kerja. Bukan dengan menolak Tuhan secara
terang-terangan, tetapi dengan menyembah-Nya lewat spreadsheet, mesin produksi,
dan angka pendapatan.
Dan
lebih menyedihkan lagi, revolusi ini masih berlanjut—tidak hanya di dunia
Protestan, tapi merembes masuk ke dalam budaya global, termasuk umat Katolik
yang tidak sadar sedang menghidupi spiritualitas kerja Protestan dengan memakai
label Katolik.
V.
Max Weber dan Roh Kapitalisme Protestan
Jika
Luther dan Calvin adalah arsitek teologi kerja sebagai ibadah, maka Max Weber
adalah sejarawan dan sosiolog yang memetakan dampak destruktif dari teologi itu
terhadap peradaban Barat. Dalam karya monumentalnya The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism (1905), Weber menunjukkan bahwa kapitalisme modern
bukanlah sekadar sistem ekonomi, melainkan produk dari perubahan mendalam dalam
cara manusia memahami keselamatan, kerja, dan waktu—khususnya di dunia
Protestan.
Menurut
Weber, doktrin sola fide dan predestinasi menciptakan ketegangan
psikologis yang luar biasa. Jika keselamatan hanya bergantung pada iman, namun
manusia tidak tahu apakah ia termasuk dalam kaum pilihan atau tidak, maka
muncullah kebutuhan untuk mencari tanda-tanda elektif. Dan dalam konteks
Protestanisme pasca-Calvin, tanda itu adalah keberhasilan duniawi—terutama
dalam kerja dan kekayaan.
Dengan
kata lain: jika Anda sukses, kaya, dan disiplin, mungkin Anda adalah orang yang
dipilih Allah. Tapi jika Anda gagal, malas, atau miskin—selamat datang di neraka sosial
Protestan. Dalam logika seperti ini, kerja keras bukan lagi kewajiban moral,
tetapi bentuk “penebusan eksistensial” yang menggantikan sakramen.
Weber menulis:
“Tugas keagamaan yang diberikan kepada umat
Protestan adalah menjalani panggilan duniawi secara aktif dan sistematis
sebagai tanda ketaatan kepada Allah.”
(The Protestant Ethic, Bab II)
Dan dari sini muncul roh kapitalisme modern:
manusia yang tidak bekerja karena cinta, tetapi karena cemas. Manusia yang
tidak berproduksi demi kebutuhan, tetapi demi pembuktian spiritual. Ekonomi
bukan lagi soal distribusi berkat, tetapi arena kompetisi teologis: siapa yang
paling "diberkati", dialah yang paling dekat dengan Allah—setidaknya
secara simbolis.
Bandingkan dengan antropologi Katolik. Dalam
dunia Katolik, keselamatan tidak dibuktikan melalui produktivitas, tetapi
diterima melalui rahmat dan dihidupi dalam komunitas yang liturgis dan
sakramental. Yang paling suci bukan yang paling sibuk, tapi yang paling mampu
masuk ke dalam misteri Tuhan—baik melalui keheningan kontemplasi, maupun
melalui penderitaan dan pengabdian yang tersembunyi.
Tentu saja, Weber tidak menyalahkan Protestan
secara moral. Ia hanya mengamati bahwa ketika sakramen dihapus, ketika hierarki
rohani dirobohkan, dan ketika waktu liturgis digantikan jam kerja ekonomi—maka
muncullah manusia baru: Homo economicus protestanticus. Manusia yang
siaga, cemas, efisien, dan tidak pernah cukup puas.
Weber bahkan mengingatkan bahwa sistem ini akan
terus berjalan bahkan setelah iman menghilang. Etika kerja Protestan
menjadi mesin yang otonom—sebuah “rumah besi” (stahlhartes Gehäuse)
tempat manusia modern terkurung dalam kewajiban kerja tanpa akhir, bahkan
ketika ia sudah tidak lagi percaya pada Allah.
Dengan kata lain: bahkan setelah gereja kosong,
kantor tetap penuh. Bahkan ketika liturgi mati, rapat tetap hidup.
Dan dari sinilah kita harus jujur: kapitalisme
bukan sekadar sistem ekonomi; ia adalah teologi yang kehilangan Tuhan. Dan
teologi itu, dalam bentuk paling purifikasinya, berasal dari logika Protestan.
VI. Kehidupan yang Tercederai:
Ketika Liturgi Diganti Jadwal Shift
Jika kita ingin melihat hasil akhir dari
spiritualitas kerja Protestan, kita tidak perlu membuka kitab teologi—cukup
melihat realitas sosial hari ini. Dunia modern adalah dunia yang kehilangan
irama surgawi, dan yang tersisa hanyalah deru mesin, jadwal kerja, dan kalender
produksi. Liturgi digantikan oleh shift malam. Doa digantikan notifikasi
e-mail. Misa digantikan meeting. Dan Maria digantikan oleh algoritma.
Lihatlah sekeliling:
- Hari Minggu tak lagi sakral. Ia adalah “hari lembur” atau sekadar
waktu “recovery” agar siap menghadapi hari Senin.
- Natal dan Paskah
menjadi momen konsumsi, bukan kontemplasi. Gereja sepi, mal penuh.
- Kalender liturgi
digusur kalender kapital: Black Friday, Cyber Monday, Harbolnas, Pay Day,
dan tanggal gajian.
- Bahkan "Hari
Buruh" (Labour Day) pun dirayakan dengan bekerja, atau dengan diskon
besar-besaran—sebuah ironi tragis yang tidak lagi lucu.
Manusia
modern hidup dalam kelelahan permanen. Kita bangun dengan alarm, bukan dengan
doa. Kita tidur dengan stres, bukan dengan berkat. Kita menjalani hidup bukan
sebagai anak-anak Allah, tetapi sebagai alat produksi yang harus selalu siap,
cepat, dan efisien.
Dan
ini tidak hanya mempengaruhi tubuh, tapi juga jiwa.
- Keluarga tercerai-berai, bukan karena perceraian, tetapi karena
tidak pernah benar-benar hadir bersama.
- Komunitas gereja layu, bukan karena bidaah, tapi karena tidak ada
waktu untuk bersosialisasi, berdoa, dan makan bersama.
- Orang-orang menderita depresi dan kegelisahan bukan karena kurang
motivasi, tetapi karena tidak pernah berhenti untuk mendengarkan diam.
Spiritualitas Katolik selalu memahami bahwa
waktu adalah anugerah. Dalam tradisi liturgi, waktu bukan hanya kronologi (chronos),
tetapi kualitas rohani (kairos). Waktu bukan sekadar detik yang
berjalan, tetapi momen di mana manusia bisa masuk dalam misteri Tuhan. Itulah
sebabnya Gereja Katolik memiliki kalender liturgi: karena hidup manusia perlu
ritme—puasa dan pesta, keheningan dan perayaan, kerja dan kontemplasi.
Tetapi ketika ritme ini dipatahkan, ketika
waktu diubah menjadi kuota produksi dan target ekonomi, maka manusia kehilangan
orientasi. Kita menjadi seperti budak di tanah asing—bekerja keras, tetapi
tidak tahu untuk siapa dan untuk apa.
Realitas sosial saat ini mencerminkan nubuat
gelap Max Weber: rumah besi telah tertutup. Dan yang paling tragis: banyak umat
Katolik tidak sadar bahwa mereka pun tinggal di dalamnya. Mereka ikut menjalani
ritme dunia, tanpa menyadari bahwa Gereja sudah menyiapkan ritme lain—ritme
surgawi—yang dibangun dari altar, lonceng Angelus, dan Minggu Kudus.
Sudah saatnya kita bertanya: apakah hidup kita
diatur oleh Gereja atau oleh perusahaan? Apakah hari Minggu kita disusun oleh
kalender liturgi, atau oleh sistem kerja bergilir?
Karena siapa pun yang menentukan ritme
hidupmu—dialah yang sebenarnya engkau sembah.
VII. Kembalinya Irama Surga:
Mengapa Katolik Harus Merayakan Liturgi
Di tengah dunia yang menyembah produktivitas,
liturgi Katolik hadir sebagai tindakan perlawanan paling radikal dan paling
manusiawi. Ketika semua orang dihargai karena output-nya, Gereja Katolik
mengundang umat untuk berhenti, diam, dan menyembah. Liturgi bukanlah gangguan
dari realitas, melainkan pengembalian realitas kepada sumbernya: Allah sendiri.
Josef Pieper, filsuf Katolik Jerman yang jeli
membaca krisis zaman modern, menulis dalam bukunya Leisure: The Basis of
Culture bahwa manusia tidak diciptakan untuk kerja, melainkan untuk leisure—waktu
senggang yang sarat makna, bukan kemalasan. Leisure sejati bukanlah pelarian
dari kerja, tetapi kontemplasi: tindakan mengagumi, merenung, merayakan,
dan menyembah.
“Hanya dalam leisure manusia menjadi manusia,”
tulis Pieper.
Dan tempat paling sempurna di mana leisure itu diwujudkan adalah dalam liturgi.
Gereja Katolik—melalui kekayaan kalender
liturgi, doa harian, sakramen, dan tahun-tahun suci—telah mengembangkan suatu arsitektur
waktu yang memungkinkan manusia hidup dalam ritme surgawi.
- Hari Minggu menjadi
miniatur kekekalan.
- Misa menjadi “surga yang turun ke bumi”.
- Kalender liturgi
menjadi peta perjalanan rohani manusia dari kelahiran sampai kebangkitan.
Semua
ini bukan sekadar tradisi, tapi struktur spiritual yang menyelamatkan jiwa dari
kehancuran produktivisme modern.
Merayakan
liturgi adalah mengakui bahwa waktu bukan milik korporasi, melainkan milik
Tuhan.
- Saat kita hadir dalam
Misa, kita berkata: “Tuhan, aku tidak didefinisikan oleh performaku, tapi
oleh rahmat-Mu.”
- Saat kita mengambil
cuti untuk merayakan hari raya gereja, kita bersaksi: “Ada hal yang lebih
penting daripada kerja: menyembah, bersyukur, dan merayakan.”
- Saat kita menolak
bekerja di hari Minggu, kita menegaskan: “Aku bukan budak Mesir, aku anak
Allah.”
Liturgi
juga mengembalikan relasi kita dengan sesama. Dalam dunia kerja, relasi
dibangun di atas fungsi: atasan, bawahan, rekan kerja. Tapi dalam liturgi, kita
berdiri sejajar sebagai umat Allah. Tidak ada CV, tidak ada target,
tidak ada gelar. Yang ada hanya tubuh Kristus—satu, kudus, dan disatukan dalam
Ekaristi.
Lebih
dari itu, liturgi memulihkan relasi kita dengan ciptaan. Dalam liturgi, roti
dan anggur—hasil kerja manusia dan karunia alam—dipersembahkan dan
ditransformasikan. Liturgi menunjukkan bahwa dunia bukan sekadar bahan baku
ekonomi, tetapi tempat rahmat Allah menyentuh yang fana.
Karena
itu, Gereja Katolik memiliki panggilan profetik untuk menjaga ritme surgawi
ini—dan untuk menawarkannya kembali kepada dunia yang letih. Dunia tidak butuh
motivator kerja, dunia butuh altar. Dunia tidak butuh jam kerja fleksibel,
dunia butuh hari Minggu yang dikuduskan. Dunia tidak butuh lebih banyak target,
dunia butuh liturgi.
Inilah
saatnya untuk reclaim the rhythm of grace. Dan semuanya bisa dimulai
dari satu tindakan sederhana:
Ambillah kembali hari Minggu. Pergilah ke Misa. Rayakan pesta liturgi.
Biarkan Tuhan mengambil kembali waktu kita.
VIII.
Tanggapan Teologis terhadap Spiritualitas Kerja Protestan
Sudah
saatnya kita berhenti bersikap seolah-olah spiritualitas kerja Protestan adalah
“alternatif sah” dalam Kekristenan. Secara teologis dan antropologis, paradigma
tersebut tidak hanya keliru, tapi juga merusak. Ia berangkat dari distorsi
terhadap Kitab Suci, menafsirkan ulang keselamatan dalam bingkai fungsionalisme
duniawi, dan menempatkan kerja pada altar tempat Allah seharusnya bertahta.
1.
Kerja Memiliki Martabat, Tapi Bukan Segalanya
Gereja
Katolik tidak pernah merendahkan kerja. Dalam Laborem Exercens, Paus
Yohanes Paulus II menyatakan bahwa kerja memiliki nilai rohani karena melalui
kerja, manusia ikut ambil bagian dalam karya penciptaan. Namun, dokumen yang
sama juga menegaskan:
“Kerja
harus untuk manusia, bukan manusia untuk kerja.”
Spiritualitas kerja Protestan telah membalikkan
relasi ini. Ia menempatkan kerja sebagai pusat spiritualitas, bahkan sebagai tanda
keselamatan. Inilah penyimpangan besar dari ajaran Kristus yang justru
memuliakan mereka yang tidak produktif secara duniawi—anak-anak, orang miskin,
orang sakit, dan para kontemplatif seperti Maria dari Betania.
2. Kontemplasi Lebih Tinggi
dari Aksi
Salah satu dosa modern adalah mengidentikkan
“tidak produktif” dengan “tidak rohani”. Padahal dalam tradisi Katolik,
kontemplasi selalu dipandang lebih tinggi dari aktivitas. St. Thomas Aquinas
dengan tegas menyatakan:
“Vita contemplativa
simpliciter est melior quam activa”
(“Hidup kontemplatif secara mutlak lebih unggul daripada hidup aktif.” – STh
II-II, q. 182, a. 1)
Yesus sendiri menegaskan ini ketika membela
Maria yang duduk diam di kaki-Nya sambil mendengarkan Sabda. Dalam
spiritualitas kerja Protestan, Maria akan dianggap tidak bertanggung jawab.
Tapi dalam Injil, Maria justru menjadi model murid sejati.
3. Liturgi dan Sakramen Tidak
Bisa Digantikan oleh Etos Kerja
Protestanisme awal secara sistematis
meruntuhkan struktur liturgis Gereja—menghapus Misa Kudus, menolak Sakramen
Ekaristi sebagai kehadiran nyata Kristus, dan mereduksi ibadah menjadi khotbah
dan nyanyian. Tanpa liturgi dan sakramen, pengalaman akan kekudusan beralih
dari altar ke aktivitas duniawi. Dari sini, kerja bukan lagi hanya kerja—ia
menjadi ibadah, bukan karena ritus, tetapi karena tidak ada lagi ritus.
Namun
inilah perbedaan mendasar:
- Dalam Katolik, kerja mendapat nilai dari liturgi.
- Dalam Protestan, liturgi digantikan oleh kerja.
Dan akibatnya fatal: sakralitas kehidupan
dicairkan ke dalam produktivitas, bukan dalam rahmat.
4. Keselamatan Bukan Dicapai
Melalui Kerja, Melainkan Diterima dalam Komuni
Etika kerja Protestan, terutama dalam bentuk
Calvinisme, menginternalisasi tekanan soteriologis: “Saya harus bekerja keras
agar menunjukkan bahwa saya mungkin termasuk orang pilihan.” Ini berlawanan
secara total dengan spiritualitas Katolik, yang melihat keselamatan sebagai gratis,
diterima dalam komuni bersama Gereja, dan dipelihara dalam relasi kasih,
bukan performa.
Keselamatan bukan sesuatu yang harus dibuktikan
dengan kerja, tetapi sesuatu yang diwujudkan dalam perayaan. Sakramen Ekaristi
bukanlah upah atas kerja keras rohani, melainkan makanan bagi para peziarah
yang lapar dan lelah.
5. Gereja Katolik Menyediakan
Alternatif Spiritual yang Komprehensif
Hanya Gereja Katolik yang masih menyimpan ritme
surgawi itu—struktur waktu, ruang, dan tubuh—yang menyembuhkan manusia dari
idolatri kerja. Liturgi, doa brevir, kalender gerejawi, masa puasa dan pesta,
sakramen, komunitas hidup bakti—semua ini bukan sekadar “tambahan” dalam iman,
tetapi jalan keluar dari krisis spiritualitas modern.
Jika spiritualitas kerja Protestan membentuk
manusia sebagai “alat produksi”, maka spiritualitas Katolik membentuk manusia
sebagai “anak Allah” yang hidup untuk menyembah, bersyukur, dan mencintai.
IX. Penutup: Pulang ke Rumah
Liturgi
Di tengah dunia yang terperangkap dalam ritme
kelelahan, Gereja Katolik berdiri sebagai satu-satunya institusi yang masih
memiliki kunci pulang—kembali ke rumah liturgi, kembali ke ritme surgawi yang
memanusiakan. Dunia yang telah dijajah oleh etika kerja Protestan dan roh
kapitalisme butuh lebih dari sekadar kritik sosial; ia butuh keselamatan waktu.
Ia butuh diselamatkan dari jam kerja, dan dikembalikan kepada liturgi
harian.
Selama terlalu lama, umat Kristiani—termasuk
banyak Katolik sendiri—telah membiarkan diri hanyut dalam ritme dunia. Kita
hidup seperti Protestan tanpa sadar: bekerja terus, membuktikan diri terus,
bahkan melayani Tuhan pun dengan mentalitas korporat. Kita menyebutnya
“pelayanan,” tapi dalam praktiknya lebih mirip manajemen proyek. Kita
menyebutnya “dedikasi,” tapi tubuh dan jiwa kita kering, karena tak pernah
tinggal diam di kaki Kristus.
Saatnya berhenti.
Saatnya mengakui bahwa kita lelah bukan karena
kerja, tetapi karena kehilangan orientasi. Kita tidak tahu lagi untuk siapa
dan menuju ke mana semua aktivitas ini. Dan dalam keadaan itu, hanya
liturgi yang bisa menyelamatkan. Karena liturgi tidak menuntut performa—ia
menuntut kehadiran. Liturgi tidak menagih hasil—ia menanamkan rahmat.
Kita tidak dilahirkan untuk hidup dalam
spreadsheet. Kita tidak diciptakan untuk lomba CV. Kita tidak ditebus oleh Yesus
Kristus agar bisa mengejar KPI spiritual. Kita ditebus untuk masuk dalam
perjamuan. Untuk berhenti sejenak. Untuk makan dan minum bersama-Nya. Untuk
bernyanyi, memuji, berlutut, dan merayakan kehidupan sebagai anugerah—bukan
sebagai target.
Maka jika Anda ingin melawan arus zaman, jangan
mulai dengan demonstrasi. Mulailah dengan pergi ke Misa. Jika Anda ingin
merebut kembali waktu dari genggaman korporasi global, jangan hanya
mengeluh—ambil kembali hari Minggu Anda. Kuduskan hari Tuhan. Ajari anak-anak
Anda bahwa waktu bukan uang, tetapi kesempatan untuk mencintai dan menyembah.
Liturgi bukan nostalgia Katolik. Ia adalah
strategi keselamatan. Di dunia yang telah mengubah kerja menjadi agama, liturgi
adalah satu-satunya agama yang masih menyelamatkan manusia dari menjadi mesin.
Pulanglah. Gereja masih punya tempat untukmu. Hari
Minggu masih ada. Tuhan masih
menunggumu di altar.
🔔 Epilog Praktis: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
1.
Kuduskan Hari Minggu. Jangan bekerja. Pergilah ke Misa.
2.
Bacalah
kalender liturgi. Rayakan hari-hari
pesta Gereja bersama keluarga dan komunitas.
3.
Berhentilah mengejar kesempurnaan produktivitas. Kejar kehadiran
dan perjumpaan.
4.
Bangun kembali rumah tangga yang berakar dalam doa dan
pesta iman.
5.
Jadilah orang Katolik sepenuhnya—dalam waktu, tubuh,
dan jiwa.
Jika
di dunia Protestan kerja adalah doa, maka di Gereja Katolik, doa adalah
istirahat dalam pelukan Sang Pencipta.
Dan hanya di situlah manusia sungguh-sungguh bebas.