LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Hukum Inkarnasi dan Krisis Ontologis Reformasi: Mengapa Gereja Harus Kelihatan

 

Pendahuluan: Inkarnasi Sebagai Prinsip Struktural, Bukan Sekadar Peristiwa

Inkarnasi bukan hanya suatu episode dalam sejarah keselamatan—bukan sekadar “titik masuk” Allah ke dalam dunia, melainkan prinsip metafisika permanen dari cara Allah bertindak dalam ciptaan. Bahwa Allah menjadi manusia (Yoh 1:14) bukanlah sekadar langkah strategis untuk menyelesaikan dosa, melainkan penegasan bahwa materi dan bentuk kelihatan bukanlah musuh Allah. Sejak saat itu, yang kelihatan menjadi sakramental, yaitu sarana yang sungguh membawa realitas ilahi.

Reformasi Protestan, sejak awal, telah gagal memahami dan menghidupi prinsip ini. Mereka tidak membuang doktrin Inkarnasi dalam pengakuan iman, tetapi meniadakan konsekuensi eklesiologis dan sakramental dari Inkarnasi tersebut. Dari sinilah lahir spiritualisme yang tak bertubuh, pengakuan iman tanpa magisterium, kekudusan tanpa sakramen, dan Gereja yang disulap menjadi “persekutuan tak kelihatan.”

 

I. Gereja Sebagai Tubuh Kristus: Inkarnasi yang Dilanjutkan

Gereja dalam iman Katolik bukanlah semata-mata komunitas pengikut Kristus. Ia adalah Tubuh-Nya sendiri (Ef 1:22–23; 1 Kor 12:27). Jika Kristus sungguh menjadi manusia, maka keberadaan-Nya juga sungguh dilanjutkan dalam sejarah. Ia tidak naik ke surga untuk menjadi ide atau semangat. Ia hadir secara nyata—dalam Tubuh-Nya yang baru: Gereja Katolik, yang memiliki sakramen, imam, pengajaran, otoritas, dan bentuk komunitas konkret.

Reformasi memutus hubungan antara Inkarnasi Kristus dan keberlanjutan-Nya dalam Gereja. Mereka menolak struktur kelihatan dengan dalih ingin “menjaga kemurnian rohani.” Tapi justru dalam tubuhlah roh menjadi nyata. Roh Kudus turun ke atas Gereja yang sedang berkumpul, bukan ke atas individu dalam kesendirian. Artinya: yang rohani selalu menjelma dalam bentuk lahiriah.

 

II. Protestanisme: Pelarian ke Yang Tak Kelihatan

Salah satu kesalahan utama Reformasi adalah pelarian dari realitas ke arah gagasan. Mereka menganggap bahwa semakin tak terlihat, semakin rohani; semakin personal, semakin murni. Ini bukan teologi Kristen—ini adalah neo-Gnostisisme.

Gnostik kuno menganggap materi itu rendah dan jahat; Protestan modern menganggap hal-hal kelihatan (Gereja, imam, sakramen, dogma) sebagai kurang rohani. Maka mereka mendirikan “gereja” tanpa tubuh: tidak ada altar, tidak ada pengakuan dosa, tidak ada imam yang ditahbiskan, tidak ada sakramen yang membawa rahmat ex opere operato.

Apa yang tersisa? Keyakinan pribadi. Tapi iman yang hanya hidup dalam batin mudah dibengkokkan oleh perasaan dan opini. Tanpa tubuh, iman berubah menjadi cerminan diri.

 

III. Sakramen dan Maria: Dua Skandal Bagi Protestan

Jika Inkarnasi adalah prinsip abadi, maka dua realitas berikut ini menjadi tak terelakkan:

1.     Maria sebagai Theotokos (Bunda Allah), sebab tanpa tubuhnya, Inkarnasi tidak terjadi.

2.     Sakramen, terutama Ekaristi, sebagai kelanjutan tubuh dan darah Kristus.

Tetapi apa yang dilakukan Reformasi? Maria direduksi menjadi “ibu biologis”—dibutuhkan sebentar, lalu dibuang dari teologi. Sakramen, terutama Ekaristi, direduksi menjadi lambang, bukan realitas. Kristus memang mati di kayu salib, tetapi dalam teologi Protestan, kurban itu selesai dan tidak hadir kembali secara sakramental. Ini menghapus kehadiran Kristus dari sejarah umat.

Padahal Gereja perdana memahami bahwa Inkarnasi tidak selesai di Betlehem atau Golgota, melainkan dilanjutkan dalam Gereja dan liturginya. “Inilah tubuh-Ku” (Luk 22:19) bukan metafora. Itu realitas ontologis.

 

IV. Antropologi Reformasi: Manusia Sebagai Fungsi, Bukan Pribadi

Etika Protestan melahirkan warisan budaya yang khas: kerja keras, efisiensi, keseriusan moral. Tapi dalam jangka panjang, hal ini mendorong hilangnya kontemplasi, keindahan, dan kemanusiaan.

Calvinisme menghapus seni dan liturgi indah demi kesederhanaan yang steril. Luther, dalam ayunan ekstrem, menolak keutamaan akal dan kehendak bebas. Hasilnya? Manusia dipersempit menjadi makhluk berdosa yang pasif, hanya bisa “percaya.” Personalisme Kristen yang menjunjung tinggi kehendak bebas dan hubungan komunional hilang dari horizon Protestan.

Ini adalah deformasi antropologi yang serius. Tanpa sakramen dan liturgi, manusia tidak diangkat secara penuh. Tanpa Gereja yang kelihatan, iman menjadi pengalaman psikologis semata. Ini bukan kemerdekaan iman, ini pengasingan eksistensial.

 

V. Disintegrasi dan Relativisme: Buah Pahit Reformasi

Dengan menyangkal hukum Inkarnasi, Reformasi membuka jalan bagi individualisme rohani. Setiap orang membaca Alkitab menurut tafsirnya. Tiada otoritas sentral. Gereja tidak satu. Buahnya? Fragmentasi.

Saat ini ada lebih dari 30.000 denominasi Protestan, dan jumlahnya terus bertambah. Ini bukan kemerdekaan; ini kekacauan. Kristus berdoa “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21), tapi Protestan justru membuat perpecahan sebagai norma.

Bahkan ketika mereka mengaku percaya akan “kesatuan spiritual,” itu hanyalah ide sentimental. Tanpa tubuh, kesatuan hanya retorika.

 

VI. Katolik: Inkarnasi yang Terus Berlangsung

Dalam Gereja Katolik, prinsip Inkarnasi tetap hidup dan efektif:

  • Sakramen-sakramen menyampaikan rahmat secara nyata dan objektif.
  • Imamat dan suksesi apostolik menjamin kontinuitas dari Kristus ke umat.
  • Liturgi menjadi perjumpaan konkret antara langit dan bumi.
  • Maria tetap menjadi tanda bahwa Inkarnasi dimulai dalam rahim seorang wanita nyata, bukan ide.
  • Magisterium menjaga kesatuan iman agar tidak runtuh oleh tafsir pribadi.

Inilah mengapa Gereja tidak bisa hanya “spiritual”. Ia harus berakar dalam sejarah, dalam tubuh, dalam materi—karena Kristus adalah Allah yang menjadi daging.

 

Kesimpulan: Jalan Pulang ke Gereja yang Bertubuh

Hukum Inkarnasi bukanlah doktrin opsional. Ia adalah fondasi dari segala yang kita imani. Reformasi, dalam niatnya melawan penyimpangan, justru mencabut akar realitas iman. Dalam melarikan diri dari “struktur lahiriah,” Reformasi kehilangan substansi rohaniah.

Saat ini, banyak Protestan mulai melihat kebenaran ini: bahwa sakramen dibutuhkan, bahwa otoritas dibutuhkan, bahwa Maria punya tempat penting, bahwa iman tidak cukup menjadi batiniah.

Tapi untuk pulang ke rumah, mereka harus mengakui satu hal sederhana: Kristus tidak hanya menjadi manusia—Ia mendirikan Tubuh-Nya yang hidup dalam sejarah: Gereja Katolik yang kudus, kelihatan, dan sakramental.

 

Daftar Pustaka Pilihan (untuk pendalaman)

  • Joseph Ratzinger (Benediktus XVI), Called to Communion: Understanding the Church Today
  • Henri de Lubac, The Splendor of the Church
  • Scott Hahn, The Fourth Cup
  • Robert Barron, Catholicism: A Journey to the Heart of the Faith
  • Jaroslav Pelikan, The Riddle of Roman Catholicism
Share This Article :
9000568233845443113