LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Protestantisme: Ilusi Kembali ke Akar Iman? Sebuah Analisis Historis dan Teologis

 

Pendahuluan: Retorika Reformasi vs Realitas Sejarah

Narasi klasik Reformasi berbunyi seperti ini: “Kami kembali ke Injil murni, yang telah dipalsukan Roma selama berabad-abad.” Klaim ini disampaikan dengan keyakinan tinggi, seolah-olah selama 1500 tahun Gereja Katolik hanyalah mesin dogma palsu yang menggelapkan kebenaran Alkitab.

Tetapi, mari kita gunakan logika sederhana:

  • Jika Gereja “resmi” jatuh dalam kemurtadan sesudah para rasul, maka Kristus gagal menjaga Gereja-Nya (bdk. Mat 16:18).

  • Jika selama 15 abad iman sejati menghilang, di mana janji Yesus bahwa Roh Kebenaran akan menyertai sampai akhir zaman (Yoh 16:13)?

Lebih jauh lagi, kita punya bukti nyata berupa tulisan-tulisan para Bapa Gereja abad 1–4—sumber primer yang mengungkap apa yang benar-benar diyakini Gereja Perdana. Hasilnya? Siap-siap: semua klaim “back to the roots” akan runtuh total.


Akar Masalah: Sola Scriptura dan Subjektivisme Hermeneutis

Reformasi mengadopsi prinsip Sola Scriptura, dengan satu janji manis: “Alkitab saja cukup.” Masalahnya, Alkitab tidak menafsirkan dirinya sendiri. Akibatnya? Fragmentasi doktrin tanpa akhir.

Mari lihat bukti lapangan:

  • Luteran & Anglikan: Baptisan bayi = sah.

  • Pentakosta & Baptis: Baptisan bayi = sesat.

  • Adventis: Sabat wajib.

  • Saksi Yehovah: Trinitas = doktrin pagan.

Setiap kelompok bersikeras: “Inilah Kekristenan asli.” Tapi fakta tak terbantahkan: dua doktrin yang saling bertolak belakang tidak bisa sama-sama benar. Dengan kata lain, “kekristenan murni” versi Protestan hanyalah rekayasa tafsir pribadi.


Langkah Kritis: Apa Kata Gereja Perdana?

Protestan mengaku ingin kembali ke Gereja abad pertama. Baiklah, mari kita buka catatan sejarah. Berikut adalah 18 pilar ajaran Gereja Perdana yang terekam dalam dokumen otentik abad 1–4, dan bandingkan dengan posisi Protestan modern.


1. Ekaristi: Bukan Simbol, Melainkan Tubuh dan Darah Kristus

Mayoritas Protestan menolak real presence. Tetapi St. Ignatius dari Antiokhia (110 M) berkata:

“Satu adalah daging Tuhan kita Yesus Kristus, satu cawan untuk persatuan dalam darah-Nya, satu altar.”

St. Yustinus Martir (155 M):

“Kami tidak menerima ini sebagai roti dan minuman biasa, tetapi sebagai Yesus Kristus yang menjadi daging.”

St. Ireneus (180 M) menambahkan:

“Roti dan anggur, setelah menerima Sabda Allah, menjadi Ekaristi, yaitu tubuh dan darah Kristus.”

Catatan penting: Konsili Protestan manapun tak bisa menyajikan bukti serupa dari abad 1–4 yang mendukung pandangan simbolis.


2. Baptisan Bayi: Tradisi Apostolik yang Tak Terbantahkan

Sebagian besar Protestan menolak baptisan bayi. Tetapi St. Ireneus (189 M) menulis:

“Kristus datang untuk menyelamatkan semua, bayi dan orang dewasa.”

Hipolitus (215 M) memberi instruksi liturgis:

“Baptislah dahulu anak-anak…”

Origenes (248 M) menegaskan:

“Gereja menerima dari para rasul tradisi memberi baptisan bahkan kepada bayi.”


3. Venerasi Para Kudus, Bukan Penyembahan Berhala

Protestan menuduh Katolik “menyembah orang mati”. Namun Martir Polikarpus (160 M) jelas berkata:

“Kami menyembah Kristus sebagai Putra Allah; para martir kami cintai sebagai murid-murid-Nya.”

Tradisi penghormatan relikui bukan inovasi abad pertengahan, melainkan praktik abad ke-2.


4. Penggunaan Gambar Kudus

Protestan menolak ikon. Tapi Eusebius (abad 4) mencatat keberadaan patung Kristus dan ikon para rasul yang dihormati umat. Jika itu “berhala”, mengapa Gereja abad 4 yang begitu dekat dengan akar rasuli membiarkannya?


5. Primat Paus: Petrus dan Takhta Roma

St. Siprianus (258 M):

“Siapa meninggalkan takhta Petrus, ia tidak memiliki iman.”

St. Ireneus (202 M):

“Dengan Gereja Roma harus setuju setiap Gereja karena otoritasnya yang lebih tinggi.”

Apakah ada teks abad 2 yang mengajarkan “gereja tak kelihatan” versi Protestan? Tidak ada.


6. Tradisi Apostolik dan Magisterium: Bukan Sola Scriptura

St. Basilius (329–379):

“Jika kita menolak tradisi tak tertulis, kita akan menghancurkan Injil.”

St. Vincentius dari Lérins (450 M) memberikan kaidah emas:

“Ikuti apa yang diimani di mana-mana, selalu, dan oleh semua.”

Protestan justru mengabaikan prinsip ini demi “interpretasi pribadi”.


7. Gereja Katolik = Gereja Kristus, Nyata dan Kelihatan

Bapa-bapa Gereja menggunakan istilah “Katolik” sejak abad pertama:
St. Ignatius (107 M):

“Di mana uskup, di situ Gereja Katolik.”

Klaim Protestan tentang “gereja tak kelihatan” hanyalah konstruksi abad 16.


8. Kanon Kitab Suci: Lengkap dengan Deuterokanonika

Kanon yang kita kenal (termasuk Kitab Makabe, Tobit, dll.) ditetapkan oleh Konsili Hipona (393) dan Kartago (397)—1.100 tahun sebelum Luther menghapusnya.


9. Suksesi Apostolik: Identitas Gereja yang Sah

St. Clement (90 M) dan St. Ireneus (202 M) menulis daftar uskup Roma sejak Petrus. Jika suksesi ini “korup”, maka bagaimana Injil sampai ke tangan Luther?


10. Sakramen Pengampunan Dosa: Kekuasaan Mengikat dan Melepaskan

St. Ambrosius (370 M) mengutip Yoh 20:22-23:

“Siapa yang tidak mengakui kuasa mengampuni dosa, tidak memiliki Roh Kudus.”

Protestan menghapus sakramen ini dan menggantinya dengan doa subjektif tanpa jaminan sakramental.


11. Dogma Maria: Bunda Allah dan Imaculata

Para Bapa Gereja menyebut Maria sebagai:

  • “Imaculata” (Origenes, abad 3)

  • “Theotokos” (Bunda Allah) — Konsili Efesus, 431
    Bukan ciptaan abad pertengahan, tetapi warisan iman apostolik.


Menguji Klaim Reformasi: Apakah Ada Bukti?

Jika Reformasi benar-benar “kembali ke akar iman”, seharusnya:

  • Liturgi mereka mirip liturgi abad 1–4 (nyatanya: tidak).

  • Struktur gereja mereka sama dengan pola episkopal kuno (nyatanya: terfragmentasi).

  • Kanon mereka sama dengan kanon Hipona & Kartago (nyatanya: dikurangi).

Fakta sejarah tidak berpihak kepada mereka. Apa yang disebut “kembali ke akar iman” adalah rekonstruksi subjektif yang lahir di abad 16.


Kesimpulan: Pulang ke Rumah atau Tetap Hidup dalam Ilusi?

Realitas keras tetapi jelas:

  • Gereja Perdana = Katolik.

  • Semua bukti doktrinal (Ekaristi, suksesi apostolik, tradisi, Maria, kanon) mengarah ke Roma, bukan ke Jenewa, Wittenberg, atau Houston.

  • Protestantisme bukan “reformasi” tetapi revolusi teologis yang memutus rantai historis.

Jika seseorang benar-benar ingin “kembali ke akar iman”, tidak ada jalan lain selain kembali ke Gereja Katolik, yang berdiri di atas fondasi para rasul dan dipelihara Roh Kudus sepanjang zaman.


Epilog Retoris

Protestan suka berkata: “Kami kembali ke Injil murni.”
Kami jawab: “Tidak, kalian menulis ulang Injil sesuai tafsir pribadi, lalu memanggilnya ‘murni’.”

Ingat kata St. Agustinus:

“Aku tidak akan percaya Injil jika bukan karena otoritas Gereja Katolik.”

Share This Article :
9000568233845443113