Pendahuluan:
Salah satu benteng penolakan Protestan terhadap dogma Katolik adalah gagasan
bahwa Maria tidak pernah berdosa dan dikandung tanpa noda. Mereka menganggapnya
spekulasi berlebih, bahkan menyerempet deifikasi. Namun, ketika teks Kitab Suci
dibaca tanpa prasangka, terutama Lukas 1:28, justru logika Protestan sendiri
tentang anugerah (grace) menghantam balik. Ini bukan sekadar devosi
sentimental, melainkan sebuah konstruksi logis dari Alkitab yang menegaskan
bahwa Maria adalah kecharitomene—penuh rahmat.
Dasar Kitab Suci dan Analisis Linguistik
Lukas 1:28 mencatat salam malaikat: “Salam, hai engkau
yang dikaruniai penuh rahmat, Tuhan menyertai engkau.” Kata Yunani kecharitomene
adalah bentuk perfektum pasif dari charitoo, berarti “dianugerahi,
dipenuhi, dilingkupi rahmat.” Para pakar Protestan seperti Wycliffe, Tyndale,
bahkan James White mengakui maknanya terkait anugerah ilahi, bukan sekadar
“diberkati biasa”.
Rahmat (charis) adalah kekuatan Allah yang
menyelamatkan dan menguduskan, antitesis dari dosa. Semakin penuh rahmat,
semakin mustahil ruang bagi dosa. Paulus menegaskan: “Sebab dosa tidak akan
berkuasa atas kamu, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di
bawah kasih karunia” (Rm 6:14).
Silogisme Tak Terbantahkan
- Premis
     mayor: Kitab Suci mengajarkan bahwa rahmat Allah menyelamatkan dan
     menguduskan, menjadikan orang suci (Ef 2:8-10; Rm 6:14).
- Premis
     minor: Lukas 1:28 menyebut Maria penuh rahmat (kecharitomene),
     status yang berlangsung terus-menerus dan unik.
- Kesimpulan:
     Maria, oleh rahmat itu, diselamatkan dan dijaga dari dosa, baik asal
     maupun pribadi—itulah inti Immaculata.
Tambahan silogisme:
- Premis
     mayor: Rahmat penuh berarti ketiadaan dosa (rahmat dan dosa tidak bisa
     berdiam bersama).
- Premis minor: Maria disebut penuh rahmat
     sebelum Inkarnasi.
- Kesimpulan:
     Maria telah bebas dari dosa sebelum menerima Sang Sabda, selaras dengan
     keyakinan bahwa Allah menyiapkan bejana-Nya.
Menghadapi Bantahan Protestan
Beberapa mencoba menyamakan Maria dengan orang kudus lain
(misalnya Stefanus di Kis 6:8). Namun teks Yunani berbeda: pleres charitos,
bukan kecharitomene. Bentuk perfektum pada Maria menunjukkan status yang
sudah lengkap dan tetap, sedangkan Stefanus menunjuk pada keadaan sementara.
Ada juga yang mengutip Efesus 1:6, “Ia telah menganugerahkan
kasih karunia-Nya kepada kita.” Namun kata yang dipakai di sini adalah echaritosen—“dianugerahkan
secara bebas,” tidak identik dengan “dipenuhi rahmat”. Selain itu, Paulus
sendiri menegaskan rahmat diberikan dengan ukuran berbeda kepada
masing-masing orang (Ef 4:7). Sementara Maria disapa bukan dengan deskripsi
umum, melainkan gelar: “Hai engkau yang penuh rahmat”.
Logika yang Memaksa
Jika Protestan memegang sola gratia—keselamatan hanya oleh
rahmat—maka menyangkal keunikan rahmat pada Maria berarti mereduksi rahmat itu
sendiri. Dogma Immaculata tidak menambah sesuatu yang asing, melainkan
memaksimalkan pemahaman rahmat: bila Allah bisa mengangkat orang berdosa dari
lumpur, bukankah lebih agung bila Ia mencegah yang dikasihi-Nya jatuh ke
dalamnya?
Penutup: Kegagalan Penolakan
Dogma Maria Tak Bernoda bukan lahir dari fantasi, tapi dari
deduksi Kitab Suci dan keyakinan pada kekuatan rahmat. Menolak Maria sebagai kecharitomene
berarti melemahkan pemahaman Protestan sendiri tentang rahmat. Sebaliknya,
Katolik hanya konsisten: Sang Putra Kudus layak lahir dari rahim yang
dikuduskan. Dan keindahan logika ini adalah undangan: siapa yang mau menyangkal
rahmat, akhirnya harus menyangkal Kitab Suci yang mereka sendiri agungkan.
Bagian Tambahan: Rahmat yang Mendahului dan Melindungi
Inilah letak kemewahan rahmat: ia tidak hanya menyembuhkan,
ia dapat mencegah. Protestan cenderung membatasi rahmat pada fungsi
restoratif—Tuhan mengangkat yang jatuh. Katolik tidak menyangkal itu, tetapi
bertanya: bukankah Tuhan yang Mahakuasa bisa juga menjaga seseorang agar tidak
jatuh sama sekali? Itulah yang terjadi pada Maria.
Analoginya sederhana: kita memuji dokter yang
menyembuhkan pasien dari penyakit parah, tetapi kita lebih memuji dokter yang
mampu mencegah penyakit itu sejak awal. Jadi, memuliakan Maria sebagai
Immaculata bukanlah menjadikannya “setara dengan Allah”, melainkan memuji kuasa
Sang Penyembuh yang lebih sempurna.
Menjawab Dalih Sola Scriptura
Sering muncul dalih: “Tidak ada ayat eksplisit menyebut
Maria bebas dosa sejak lahir.” Tetapi ini senjata makan tuan. Protestan pun
percaya pada istilah-istilah seperti Trinitas dan Alkitab 66 kitab
yang tidak tertulis secara eksplisit. Mereka membangun doktrin lewat sintesis
teks dan akal sehat. Sama halnya, Katolik menyatukan data Kitab Suci dengan
bahasa asli, tradisi, dan logika iman.
Lihat kembali silogismenya:
- Rahmat
     adalah kuasa yang menyelamatkan dan mengalahkan dosa (Rm 6:14).
- Maria
     disebut kecharitomene—penuh rahmat, bukan sekadar menerima sebagian
     (Luk 1:28).
- Tidak
     ada ruang bagi dosa di mana rahmat sudah penuh.
Jika argumen ini dibantah, penyangkalnya harus berani
berkata: “Rahmat tidak cukup untuk mengalahkan dosa”—yang jelas tidak
mungkin keluar dari mulut seorang Protestan yang memegang sola gratia.
Bidat
yang Mengintai Bila Dogma Ditolak
Menolak
Immaculata menimbulkan dua risiko besar:
- Kristologi yang cacat: Jika Maria berdosa dan Yesus
     mengambil kodrat-Nya dari Maria, apa jaminan bahwa dosa tidak menodai
     kemanusiaan Yesus? Protestan mencoba menambal dengan mengatakan Roh Kudus
     menyucikan janin Yesus dalam rahim Maria, tapi itu menimbulkan pertanyaan
     yang lebih rumit: bukankah ini berarti Yesus awalnya tidak suci?
     Itu menghantam doktrin inkarnasi dan membuka celah ke arah docetisme
     (Yesus tampak manusia tapi bukan sungguh-sungguh).
- Reduksi rahmat: Jika rahmat tidak bisa
     mencegah dosa pada Maria, maka rahmat menjadi sekadar penebus, bukan
     pelindung. Padahal Paulus menyebut kita “di bawah rahmat” agar dosa tidak
     berkuasa (Rm 6:14).
Serangan
Balik: Retorika Protestan yang Menolak Konsistensi
Protestan
gemar berkata: “Kami hanya ikut Alkitab.” Namun di titik ini, mereka yang
menolak Immaculata sedang memilih untuk menutup mata terhadap teks yang
sama-sama mereka junjung. Kecharitomene bukan sekadar sapaan manis; ia
adalah deklarasi status. Malaikat tidak berkata, “Hai Maria, yang sedang
berjuang melawan dosa,” tetapi “Salam, engkau yang sudah dipenuhi rahmat.”
Kalimat ini
menggunakan bentuk perfektum—menggambarkan tindakan yang selesai tetapi efeknya
tetap berlangsung. Itu artinya Maria sudah dalam kondisi penuh rahmat sebelum
percakapan itu terjadi, dan tetap demikian.
Penutup: Dogma yang Memuliakan Sang Putra
Dogma Maria Tak Bernoda bukanlah pujian kepada Maria demi
Maria, melainkan kepada Allah yang mampu mempersiapkan bejana-Nya. Jika
Protestan mau konsisten, mereka harus mengakui bahwa rahmat dapat mengalahkan
dosa secara total. Dan jika mengakuinya, Lukas 1:28 bukan sekadar sapaan; itu
adalah tanda tangan surgawi yang menegaskan: Inilah dia yang telah dipenuhi
rahmat.
Dengan demikian, menyangkal dogma ini sama dengan mereduksi
rahmat yang mereka sendiri agungkan. Katolik hanya mengundang untuk melihatnya
tanpa prasangka: Tuhan sanggup mengampuni, tapi Ia lebih mulia ketika mencegah.
Rahmat yang mencegah adalah mahkota, dan Maria adalah mahkota yang dipakai Sang
Putra demi kemuliaan-Nya sendiri.
