(Respon Apologetika Katolik terhadap Video Inyo Manis: Rekonsiliasi Kristologi Sudah Final)
Pendahuluan
John Henry Newman pernah melempar
kalimat yang jadi petir bagi mereka yang berani membaca sejarah: “To be deep
in history is to cease to be Protestant.” Kalimat ini tak lahir dari
amarah, tapi dari kesadaran: siapa pun yang menyelam cukup dalam ke samudera
sejarah Gereja akan melihat satu karang yang tak tergoyahkan—Roma. Bukan Roma
sebagai kota wisata, tapi Roma sebagai rahim iman, tempat Petrus memegang kunci
dan darah para rasul menjadi semen bagi batu karang itu.
Lihatlah medan sejarah: Konsili
Kalsedon tahun 451 memecah Gereja bukan karena Kristus pecah, tapi karena
manusia berbeda lidah. Ortodoks Timur dan Oriental tersandung bukan pada iman,
melainkan pada frasa; pada “miafisit” dan “diokefalit,” pada syair bahasa yang
sulit dicerna lintas budaya. Lima belas abad kemudian, para patriark akhirnya
mengakui—kita sama-sama percaya pada Kristus yang satu, kodrat ilahi dan
insani, tak bercampur, tak terpisah. Hebat, bukan? Tetapi mari jujur: kesatuan
yang hanya berdiri di atas kata-kata tanpa satu pusat otoritas selalu rapuh.
Sementara itu, Protestanisme lahir
dari rahim Katolik namun memproklamasikan revolusi. Bukan sekadar memprotes
penyalahgunaan, tetapi memprotes tubuh itu sendiri. Hasilnya? Sola ini, sola
itu—dan akhirnya ribuan denominasi yang masing-masing menjadi paus bagi
dirinya. Sementara dunia Ortodoks menjaga liturgi agungnya, dunia Protestan
memecah-mecah warisan itu menjadi potongan-potongan tafsir.
Roma, di sisi lain, tetap berdiri. Ia bukan museum, ia adalah tubuh yang
hidup, tempat liturgi Timur dan Barat bertemu dalam satu jantung. Katolik
Koptik, Armenia Katolik, Siria Katolik, Melkit, Maronit, Syro-Malabar, hingga
Bizantin Katolik—semuanya adalah bukti bahwa Roma memelihara, bukan
memusnahkan; memeluk bahasa yang berbeda tanpa kehilangan nada yang sama.
Pendahuluan ini bukan sekadar nostalgia sejarah, tapi sebuah undangan
keras: jika dua keluarga Ortodoks bisa berkata, “kami satu iman hanya beda
kata,” mengapa tidak melangkah lebih jauh? Mengapa berhenti di pintu saat rumah
terbuka lebar? Roma menunggu, bukan dengan cambuk, tapi dengan kunci yang sama
yang Yesus titipkan pada Petrus.
Bagian I – Luka dan Bahasa:
Sejarah yang Membelah
Tidak ada luka yang lebih
menyakitkan bagi tubuh Kristus selain luka yang disebabkan oleh kata-kata.
Konsili Kalsedon (451) bukanlah pertempuran iman melawan iman; ia adalah
benturan lidah, budaya, dan politik. Timur dan Barat sama-sama mencintai
Kristus, tetapi mereka berbeda cara berbicara. Gereja Ortodoks Timur berkata
“dua kodrat yang tak bercampur,” Gereja Ortodoks Oriental berkata “satu kodrat
dari Sang Sabda yang menjadi manusia.” Kata-kata berbeda, iman sama—namun luka
itu membuka jurang selama lima belas abad.
Mari kita sebut ini seperti tragedi
keluarga: kakak dan adik berselisih bukan karena benci, tapi karena gagal
memahami aksen satu sama lain. Rumusan teologi berubah menjadi pedang, konsili
menjadi medan pertempuran. Politik Kekaisaran Bizantium dan kekuasaan patriark
menambah bara. Gereja Timur dan Gereja Oriental memisahkan diri, membangun
tembok yang keras kepala, menganggap pihak lain sesat. Mereka lupa, yang
diperdebatkan bukan Kristus yang berbeda, melainkan cara menjahit kata pada
misteri yang sama.
Sejarah kemudian
membuktikan—setelah debu zaman mereda, para patriark, teolog, dan sinode
memutuskan untuk duduk kembali. Hasilnya? Dokumen demi dokumen, dari
Konstantinopel hingga Kairo, dari Antiokhia hingga Jenewa, menyatakan satu
nada: kita selalu percaya pada satu Yesus Kristus, sepenuhnya Allah, sepenuhnya
manusia, tak bercampur, tak terpisah. Kata-kata yang memecah akhirnya
dijinakkan; luka itu bisa sembuh.
Namun, mari kita jujur: inilah
defisit terbesar dunia Ortodoks. Mereka menjaga liturgi seperti menjaga pusaka,
tetapi tanpa pusat otoritas, luka-luka ini sembuh pelan, seperti kapal tanpa
kemudi tunggal. Mereka bisa berkata, “kami satu iman,” tetapi siapa yang
menjamin kesatuan ini ketika gelombang baru datang? Dokumen bersama itu baik,
tetapi tanpa “primus” yang diakui—tanpa Petrus—mereka tetap rentan pada
perpecahan berikutnya.
Roma melihat ini tanpa kebencian,
tetapi dengan mata seorang ibu yang tahu anaknya belum pulang sepenuhnya.
Gereja Katolik memiliki kembarannya untuk setiap tradisi Timur—Koptik Katolik,
Armenia Katolik, Siria Katolik, Melkit, Maronit—yang tetap memelihara bahasa,
musik, dan liturgi, namun menyandarkan kepalanya pada satu rumah. Luka akibat
kata tidak akan benar-benar sembuh sampai keluarga ini kembali memanggil rumah
itu dengan nama yang sama: Roma.
Bagian II – Ilusi dan Fragmentasi: Krisis
Protestan
Jika luka Ortodoks adalah luka bahasa, maka luka Protestan adalah luka ego.
Reformasi abad ke-16 memulai dengan teriakan yang sah: melawan penyalahgunaan,
memanggil Gereja untuk bertobat. Luther, Calvin, Zwingli—mereka berdiri dengan
Alkitab di tangan dan hati yang mendidih. Tetapi sejarah punya selera humor
yang pahit: protes terhadap penyalahgunaan berubah menjadi protes terhadap
tubuh itu sendiri. Sola Scriptura—kitab saja, tanpa magisterium—terdengar
gagah, tapi begitu pedang itu diayunkan, ia memotong cabang dari pohon yang
memberinya akar.
Hasilnya? Satu pohon yang rimbun berubah menjadi hutan serpihan. Ribuan
denominasi, setiap gembala menjadi paus bagi dirinya. Sola fide, sola gratia,
sola ini, sola itu—slogan yang memikat tetapi tak bisa menjamin kesatuan. Bagi
Katolik, ini bukan hanya perbedaan pendapat; ini adalah drama keluarga yang
meninggalkan rumah, lalu membangun rumah-rumah kecil di seberang jalan,
masing-masing dengan cat yang berbeda tapi tanpa fondasi yang sama.
Defisit Protestan itu jelas: tanpa otoritas yang dapat berkata “ini benar,
ini tidak,” iman berubah menjadi opini. Alkitab di tangan setiap orang menjadi
anugerah sekaligus risiko; tafsir tak berujung melahirkan gereja tanpa tubuh,
sakramen tanpa rahim, komunitas tanpa ibu. Pertanyaannya sederhana: jika
sejarah adalah sungai yang mengalir, mengapa mereka memilih mendirikan
bendungan kecil di setiap tikungan?
Roma memandang ini bukan dengan amarah, tapi dengan rasa iba bercampur
harapan. Di mana
Ortodoks setia pada liturgi, Protestan cepat dan kreatif tetapi rapuh. Mereka
menolak tradisi, tetapi membentuk tradisi baru setiap dekade. Mereka berbicara
tentang Injil murni, tapi bahkan murni menurut siapa? Yang satu berkata
baptisan bayi benar, yang lain berkata tidak. Yang satu berkata Ekaristi hanya
simbol, yang lain berkata Kristus hadir rohani, yang lain berkata tak penting
sama sekali.
Di tengah hiruk pikuk ini, suara Roma tetap sama: una fides, unus
Dominus, una Ecclesia—satu iman, satu Tuhan, satu Gereja. Bagi Katolik,
Alkitab bukan lepas di angkasa; ia dibaca dalam rumah, di bawah cahaya yang
dijaga. Sejarah Protestan membuktikan: potongan yang tercerai-berai tidak akan
menjadi tubuh. Mereka butuh pusat, butuh ibu, butuh rumah. Dan rumah itu
masih sama sejak abad pertama: Roma.
Bagian III – Roma Sebagai Poros:
Gereja yang Menyeluruh
Setelah luka bahasa di Timur dan
badai ego di Barat, mari kita bicara tentang rumah yang tetap berdiri ketika
yang lain terombang-ambing: Roma. Takhta Petrus bukan sekadar kursi tua di
Vatikan; ia adalah poros sejarah iman. Di sanalah sabda Yesus kepada Simon
menggaung, “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan
mendirikan Gereja-Ku.” Ini bukan klaim kekuasaan; ini fondasi kesatuan.
Roma bukan kolektor artefak,
melainkan pemelihara kehidupan. Lihatlah mosaiknya: Katolik tidak menelan
tradisi, ia memeluknya. Ada Koptik Katolik di Mesir yang berdoa dalam bahasa
Koptik kuno; Armenia Katolik yang bernyanyi dengan melodi Timur; Siria Katolik
dan Syro-Malabar yang membawa aroma Persia dan India; Melkit yang memadukan
Bizantium dan Arab; Maronit yang bertahan bahkan di lembah-lembah Libanon; dan
Bizantin Katolik—Ukraina, Yunani, Rumania, Rusia, Bulgaria—yang menjaga ikon
dan liturgi sama persis dengan saudara Ortodoksnya, tapi berdiri di bawah satu
kepala. Ini bukan seragam; ini orkestra.
Inilah daya tarik Roma: ia memahami
bahwa kesatuan bukanlah keseragaman. Tradisi yang berbeda tidak dipaksa untuk
memutih; ia dirawat, dijaga, disatukan oleh tali yang sama—iman yang tak
berubah dan gembala yang satu. Roma berkata, “Tetaplah bernyanyi dalam
bahasamu, tetaplah melukis ikonmu, tetaplah mencium tanahmu. Tapi jangan
lepaskan tangan ini.”
Di sinilah defisit Protestan dan
Ortodoks tampak telanjang. Protestan
kehilangan tubuh; mereka memegang Kitab tapi kehilangan rumah. Ortodoks menjaga
rumah tapi memilih tidak mendengarkan suara primus di pintu. Roma berdiri di
tengah, bukan sebagai penjaga museum, tetapi sebagai ibu yang menunggu
anak-anaknya. Bukti? Setiap kali ada rekonsiliasi teologi, entah Timur dan
Oriental saling merangkul atau dialog Protestan mulai mencair, Roma sudah lebih
dulu membuka pintu dan berkata, “Kami punya ruang untukmu.”
Jalan sejarah ini jelas: setiap
bahasa yang menemukan harmoni, setiap liturgi yang menemukan kedamaian, setiap
kitab yang menemukan makna, semuanya menemukan ujung yang sama. Ujung itu bukan
teori; ia adalah Petrus yang masih hidup dalam Gereja Katolik. Dan semakin
dalam kita menggali sejarah, semakin jelas kebenaran Newman: untuk menyelam
dalam sejarah, kita harus berhenti menjadi Protestan; kita harus pulang ke
rumah yang satu.
Bagian IV – Argumen Filosofis dan Teologis
Kesatuan bukan sekadar emosi atau nostalgia; ia berdiri di atas fondasi
yang dapat diuji dengan akal sehat. Di sinilah Katolik bermain di lapangan yang
sering diabaikan: logika dan filsafat. Dunia modern suka bicara “pluralisme,”
tapi tanpa prinsip pemersatu, pluralisme berubah jadi keributan pasar. Sama
dengan Gereja: tanpa pusat, tubuh berubah menjadi kerangka berserakan.
Roma memahami ini sejak awal. Prinsip una fides, unus Dominus, una
Ecclesia—satu iman, satu Tuhan, satu Gereja—bukan retorika kosong. Ia
berakar pada antropologi sederhana: manusia butuh tanda yang kelihatan, bukan
hanya ide di kepala. Kristus tidak menulis buku; Ia mendirikan komunitas. Ia
tidak meninggalkan kumpulan kata tanpa penjaga; Ia meninggalkan saksi hidup,
para rasul, dengan Petrus sebagai batu karang.
Di sinilah kekurangan dunia Ortodoks dan Protestan menjadi jelas.
Ortodoks berkata, “Kami satu iman,” tetapi siapa yang menjamin? Setiap patriark
bisa bertahan dalam lingkarannya, tetapi siapa yang dapat berbicara untuk
seluruh dunia? Protestan berkata, “Alkitab cukup,” tetapi siapa yang menentukan
tafsirnya? Hasilnya: perpecahan yang terus berkembang, seperti cermin yang
retak menjadi serpihan kecil.
Secara metafisik, iman tanpa prinsip kesatuan adalah kontradiksi. Tubuh
Kristus bukan teka-teki yang dibiarkan terbuka untuk setiap interpretasi. Subsistit
in Ecclesia Catholica—Gereja yang Kristus dirikan tetap berdiam penuh dalam
Gereja Katolik. Itu bukan klaim sombong, melainkan kesimpulan logis: hanya ada
satu pusat yang terus-menerus menjaga, mengajar, dan memutuskan dalam terang
Roh Kudus.
Lihatlah sejarah konsili. Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15) tidak
selesai di perdebatan individu; ia berakhir pada keputusan kolektif dengan
pemimpin yang diakui. Konsili Nicea, Konstantinopel, Efesus, Kalsedon—semua
memiliki satu tujuan: menjaga iman tetap satu. Tanpa Roma, suara-suara ini tercerai-berai;
dengan Roma, suara itu menjadi simfoni.
Roma tidak takut pada perbedaan; ia memeluknya dalam tubuh yang sama.
Namun ia berkata dengan tegas: iman tidak bisa hanya jadi opini pribadi atau
klaim teritorial. Ia harus diikat oleh janji Kristus: “Aku menyertai kamu
senantiasa.” Itu sebabnya Newman benar—siapa pun yang mau jujur pada sejarah,
siapa pun yang mau berfilsafat tanpa bias, akhirnya akan sampai pada batu yang
sama: Petrus dan takhtanya di Roma.
Bagian V – Kesaksian Sejarah:
Jalan Pulang
Sejarah adalah saksi yang keras
kepala. Ia menyimpan ingatan
lebih panjang daripada debat kita. Ia mengingat setiap surat, setiap konsili,
setiap tanda tangan yang dibuat dalam tinta dan darah. Ketika Ortodoks Timur
dan Oriental akhirnya duduk di meja yang sama, membaca kembali perpecahan abad
kelima, apa yang mereka temukan? Bahwa mereka percaya pada Yesus yang sama,
hanya berbeda cara mengucapkannya. Bahwa “miafisit” dan “diokefalit” tidak lain
hanyalah dialek yang salah paham, bukan bidat yang lahir dari kebencian.
Dokumen-dokumen resmi dari Konstantinopel, Antiokhia, Alexandria, Kairo,
Jenewa, hingga Moskow menyebutkan hal yang sama: kita satu iman, perbedaan kita
hanyalah bahasa.
Inilah keindahan yang ironis: butuh lima belas abad untuk mengakui bahwa
luka itu seharusnya tidak pernah ada. Tapi di balik pengakuan itu, Katolik
membaca satu pesan yang lebih dalam: sejarah selalu bergerak ke arah kesatuan
yang kelihatan. Lihat buah-buahnya: ada Koptik Katolik, Armenia Katolik, Siria
Katolik, Syro-Malabar, Syro-Malankara, Melkit, Maronit, Bizantin Katolik—semua
tradisi yang sama dengan saudara Ortodoksnya, tetapi telah memutuskan untuk
pulang dan berdiri di bawah naungan Takhta Petrus. Mereka membawa bahasa, ikon,
nyanyian, dan liturgi mereka, tetapi mengikatnya pada batu yang sama. Roma
tidak menelan mereka; Roma memberi mereka ruang untuk bernapas bersama tubuh
yang lebih besar.
Apa yang kita lihat di sini adalah pola. Protestan memecah; Ortodoks
memelihara tetapi berhenti di batas-batasnya; Katolik memanggil dan memeluk.
Tak ada satupun dari gereja-gereja itu yang kehilangan warisan ketika bersatu
dengan Roma—justru mereka diperkaya. Mereka bukan korban; mereka adalah pewaris
yang kembali membawa mas kawin: liturgi kuno, bahasa suci, dan iman yang tetap.
Dan Protestan? Mereka berdiri di luar pagar, sering sibuk menghitung
bidat orang lain sementara rumah yang mereka tinggalkan terus berdiri. Newman
mengingatkan: “to be deep in history is to cease to be Protestant.” Sejarah
bukan berpihak karena sentimen, tapi karena bukti. Siapa pun yang menggali akan
melihat: garis para rasul, garis konsili, garis tradisi—semuanya bermuara ke
Roma.
Maka kesaksian sejarah tidak bisa
diabaikan. Ia berteriak pada kita: semua jalan yang serius mencari kebenaran,
semua bahasa yang akhirnya berdamai, semua kitab yang akhirnya dimengerti—pada
akhirnya menemukan rumah. Rumah itu bukan ide, bukan opini, bukan sekadar rasa.
Rumah itu adalah tubuh yang kelihatan, diikat oleh janji Kristus pada Petrus. Jalan pulang selalu ada, dan Roma
tidak pernah menutup pintu.
Bagian VI – Penutup
Akhirnya, mari kita bicara jujur.
Sejarah adalah guru yang sabar tapi tidak pernah memaafkan kemalasan
intelektual. Ortodoks Timur dan Oriental telah menunjukkan satu pelajaran
besar: konflik yang lahir dari kata bisa diredakan, luka yang lama bisa sembuh
jika ada kerendahan hati untuk membaca ulang sejarah. Namun mereka juga
mengingatkan: kesatuan yang hanya berbentuk “pengakuan bersama” tanpa pusat
tetap rapuh. Tanpa satu gembala yang diakui semua, domba mudah kembali
tersesat.
Protestan pun menjadi cermin lain:
api Reformasi yang sah berubah menjadi kebun liar. Sola scriptura tanpa
magisterium melahirkan ribuan suara yang saling bersilang, masing-masing
mengklaim diri sebagai suara yang benar. Di sini Newman kembali menyapa kita: to
be deep in history is to cease to be Protestant. Semakin dalam kita
menyelam, semakin jelas: yang pecah tak bisa menyatu tanpa tubuh, yang terpisah
tak bisa utuh tanpa rumah.
Roma tidak berdiri sebagai tiran,
melainkan sebagai ibu. Ia tahu bahasa anak-anaknya beragam; ia merangkul Coptic
Katolik, Armenia Katolik, Siria Katolik, Melkit, Maronit, Syro-Malabar,
Bizantin Katolik, dan banyak lainnya. Roma tidak menuntut mereka menanggalkan
jubah mereka; Roma hanya meminta mereka kembali di bawah naungan kunci Petrus.
Dan itulah yang membedakan: Katolik mampu merawat keanekaragaman karena ia
memiliki pusat yang tak berubah.
Maka pesan kita jelas: sejarah
tidak akan menunggu selamanya. Jika dua keluarga besar Ortodoks sudah mulai
berdamai, jika tradisi Timur telah menemukan kembarannya dalam Katolik, jika
fragmen Protestan mulai lelah dengan tafsir tanpa ujung, rumah itu tetap
sama—Roma. Bukan karena Roma sempurna, tetapi karena janji Kristus yang tidak
pernah gagal.
Semua jalan akhirnya akan diuji
oleh waktu. Dan waktu berkata dengan nada yang sederhana namun tak
terbantahkan: pulanglah. Karena di ujung setiap bahasa, setiap liturgi, setiap
Kitab, ada satu batu karang yang sama. Batu yang menahan badai, batu yang mempersatukan,
batu yang disebut Petrus.