LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Data, Kata, dan Realitas: Membongkar Ilusi Retorika Pendeta Decky Nggadas dan Kawan-Kawan




Pendahuluan: Data yang Memabukkan, Asumsi yang Tersembunyi

Audiens sering terpukau ketika data dipresentasikan dengan rapi, seolah angka dan grafik itu wahyu. Decky Nggadas dan teman-temannya lihai memanfaatkan efek ini. Namun, data bukan kebenaran murni; ia selalu lahir dari kerangka tertentu. Santo Agustinus mengingatkan, “Omnis veritas, a quocumque dicatur, a Spiritu Sancto est” (Segala kebenaran, dari siapa pun dikatakan, berasal dari Roh Kudus). Tetapi kebenaran itu harus diurai dari asumsi yang membentuknya. Angka tanpa konteks adalah cangkang kosong; angka dengan kerangka yang salah bisa menjadi senjata manipulasi.


Bagian I: Retorika Data dan Asumsi yang Terselubung

Di balik setiap statistik ada lensa yang dipakai. Decky memaparkan data Gereja dengan asumsi sola scriptura, menolak tradisi dan magisterium. Padahal Gereja menegaskan dalam Konsili Vatikan II: “Sacra Traditio et Sacra Scriptura unum verbum Dei constituunt” (Dei Verbum 10). Kitab Suci bukanlah teks yang melayang di udara; ia dibaca dalam tubuh Gereja, di bawah bimbingan Magisterium.

Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae (I, q.16, a.1) mengajarkan, “Veritas est adaequatio rei et intellectus” (Kebenaran adalah kesesuaian antara akal dan realitas). Artinya, data harus cocok dengan realitas, bukan hanya dengan tafsir pribadi. Jika asumsi di balik data salah—misalnya, menolak tradisi sebagai sumber kebenaran—maka data menjadi seperti cermin yang retak: memantulkan, tetapi memelintir.


Bagian II: Realisme Metafisik Katolik – Batu Karang di Tengah Ombak

Gereja Katolik berdiri di atas realisme metafisik: realitas ada, objektif, dan berakar pada Allah. Aquinas menulis dalam De ente et essentia: “Esse est actualitas omnium actuum” (Ada adalah aktualitas dari segala aktualitas). Dengan kata lain, dunia nyata karena berpartisipasi dalam Ada yang Mutlak.

Dogma dan sakramen tidak lahir dari permainan kata. Konsili Trente menegaskan, “In sacramentis res et signa conjunguntur” (Dalam sakramen, realitas dan tanda bersatu). Ekaristi bukan simbol kosong, tapi Kristus yang sungguh hadir. Gereja tidak bersandar pada opini mayoritas, tetapi pada Kristus yang bangkit, “yesterday, today, and forever the same” (Ibr 13:8).

Di tengah relativisme, realisme Katolik adalah karang yang keras kepala. Kata-kata tunduk pada fakta, bukan sebaliknya.


Bagian III: Allegro dan Disiplin Kata – Pisau Bedah, Bukan Permainan

Patris Allegro tidak menjual kata-kata, ia membedahnya. Kata bagi Allegro adalah pisau operasi, bukan panggung sandiwara. Logos caro factum est—Sabda menjadi daging (Yoh 1:14). Kata tidak mencipta realitas, tetapi menunjuk kepada realitas yang sudah ada.

Saat orang sibuk mempermainkan istilah sola, Allegro memotong kabut retorika dan menunjukkan tulang kebenaran. Katekismus Gereja Katolik (no. 170) menyatakan: “Kita percaya karena kebenaran Allah sendiri dapat dipercaya.” Keyakinan Katolik bukan karena retorika yang indah, melainkan karena kebenaran itu nyata dan dapat diandalkan. Allegro sekadar memaksa orang melihatnya.


Penutup: Membuka Mata di Tengah Kabut

Di dunia yang menjadikan kata dan data sebagai dewa, orang sering lupa bahwa kebenaran tak bisa dibentuk sesuka hati. Decky dan kawan-kawan boleh pandai merangkai kata, tapi Gereja bertanya: apakah itu menunjuk pada realitas, atau hanya bayangan?

Agustinus mengingatkan kita dalam Confessiones: “Fecisti nos ad Te, Domine, et inquietum est cor nostrum donec requiescat in Te” (Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu, Tuhan, dan hati kami gelisah sebelum beristirahat dalam Engkau). Kata-kata, data, dan retorika harus beristirahat pada realitas yang tertinggi—Allah yang nyata.

Realisme Katolik menegaskan: kebenaran bukan milik siapa yang paling pintar bicara, tapi siapa yang tunduk pada Yang Ada. Logos sudah menjadi daging; selebihnya hanya gema.

Share This Article :
9000568233845443113