Pendahuluan
Mari kita bicara tanpa basa-basi:
ada sesuatu yang lucu, bahkan ironis, ketika sebagian kalangan Protestan dengan
bangga menyatakan, “Kami tidak butuh Maria.” Mereka menutup telinga saat nama
Maria disebut, seolah menyebutnya saja sudah mencemari Injil. Namun, lihatlah
praktik mereka, lihat bahasa rohani mereka, lihat doa-doa dan khotbah mereka.
Gereja disebut “ibu yang memberi makan,” Roh Kudus disapa “penghibur dan
pembela,” Firman dipuja sebagai Tabut yang menyimpan kehadiran Allah. Mereka
menolak patung, tapi memeluk konsep-konsep yang Katolik sudah kenal
berabad-abad—dengan satu perbedaan: mereka mengganti labelnya.
Inilah ironi yang tidak bisa
diabaikan. Di satu sisi, mereka menolak penghormatan kepada Maria dengan alasan
takut menggeser Kristus. Di sisi lain, hati manusia yang haus akan keselamatan
selalu mencari sosok ibu, pelindung, dan pengantara. Mereka menolak wajah
Maria, tapi tetap merindukan perannya. Mau tidak mau, mereka meminjam seluruh
lemari pakaian Katolik, hanya menanggalkan namanya.
Posisi Katolik sederhana: Maria
bukan pesaing Kristus, ia bukti nyata karya Kristus. Ia tidak disembah, ia
dihormati. Ia bukan pusat Injil, tetapi tidak mungkin ada Injil tanpa
“fiat”-nya. Inilah yang akan kita bedah—tanpa topeng, tanpa basa-basi. Kita akan
melihat bagaimana Protestan, dalam semangat menjaga kemurnian iman, justru tak
lepas dari bayang-bayang Maria yang mereka tolak.
Ironi yang Telanjang – Maria di
Balik Layar Protestan
Tidak perlu kaca pembesar untuk
melihatnya; cukup dengarkan bahasa mereka. Banyak Protestan dengan penuh
keyakinan berkata, “Kami tidak berdoa kepada Maria, itu tidak Alkitabiah.”
Namun dalam doa mereka, dalam cara mereka menyebut Gereja dan Kitab Suci, bayangan
Maria selalu ada, meski namanya dihapus. Mereka menyebut Gereja sebagai “ibu”
yang memberi makan dan melindungi jemaatnya dengan Firman. Itu bahasa
keibuan—persis yang Katolik kenal dalam Maria sebagai Bunda Gereja.
Lihat juga bagaimana mereka
berbicara tentang Roh Kudus: penghibur, pembela, penolong, pengantara dalam
doa. Dalam Katolik, fungsi-fungsi penghiburan dan doa syafaat sering
diasosiasikan dengan keibuan Maria—tidak untuk menggantikan Roh Kudus, tetapi
karena hati manusia secara naluriah mencari figur yang menenangkan, melindungi,
dan membela. Ironinya, sambil menolak peran Maria, mereka meminjam konsep yang
serupa untuk memuaskan kerinduan rohani yang sama.
Kitab Suci pun mereka sebut sebagai
Tabut, pelindung Firman. Katolik sudah lama mengenali Maria sebagai “Tabut
Perjanjian Baru,” karena ia mengandung Sang Firman yang menjadi daging. Lukas
sendiri menulis dengan sengaja menggunakan bahasa “naungan” Roh atas Maria
seperti awan kemuliaan menaungi Tabut Musa. Mereka menyebut Tabutnya, tapi lupa
wanita yang memeluk Sang Firman.
Ini bukan tuduhan murahan, ini
fakta yang menohok: hati manusia mengenal ibunya. Menolak Maria tidak membuat
naluri rohani itu lenyap. Mereka tidak menyebut namanya, tapi menggunakan
seluruh peran yang Allah sendiri letakkan padanya. Itu sebabnya, ironinya
sangat kentara—mereka berkata tidak dengan bibir, tetapi ya dengan bahasa dan
praktik.
Alasan Teologis yang Tak Bisa
Diabaikan
Di balik setiap penolakan, ada
kenyataan yang tak bisa dihapus: Kitab Suci sendiri memanggil Maria ke
panggung, bukan sebagai figuran, tetapi sebagai tokoh kunci dalam drama
keselamatan. Mulai dari halaman pertama naskah penebusan, Kejadian 3:15
memproklamasikan nubuat tentang “seorang perempuan” dan “keturunannya” yang
akan menghancurkan kepala ular. Itu bukan catatan kaki. Itu prolog Injil.
Yesaya 7:14 menggaungkan janji,
“Seorang perawan akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia
akan menamakan Dia Imanuel.” Bukan kebetulan, bukan sampingan. Lalu Lukas
menyulam kembali semua benang nubuat itu: Tabut Perjanjian yang dahulu
ditudungi awan kemuliaan kini terwujud dalam seorang gadis sederhana yang
“dinaungi Roh Kudus” dan mengandung Sang Firman yang menjadi daging.
Seakan-akan Allah berkata, “Tidak ada Kristus tanpa Maria, karena dari rahimnya
Aku menjadikan Sabda itu manusia.”
Puncaknya? Wahyu 12, wanita
berselubungkan matahari, mahkota bintang, menggendong anak dan bertempur
melawan naga. Ada yang mencoba mereduksi gambaran ini hanya untuk Israel atau
Gereja, tetapi para Bapa Gereja melihatnya jelas: di dalam sosok Gereja itu
berdiri Maria, ibu Sang Mesias, ibu rohani semua yang memegang kesaksian Yesus.
Mengapa ini penting? Karena
menghapus Maria berarti merobek kain keselamatan yang ditenun Allah. Inkarnasi
bukan ide abstrak; ia lahir dari “fiat” seorang perempuan. Tanpa “ya” itu,
tidak ada Natal, tidak ada Kalvari, tidak ada Paskah. Ketika Protestan mencoba
memotong bagian ini, mereka sebenarnya sedang memotong alur cerita yang membuat
Injil utuh.
Dan di sinilah posisi Katolik tak
bergeser: Maria bukan hiasan altar, bukan embel-embel devosi. Ia adalah bagian
dari rancangan ilahi. Menolaknya sama seperti ingin menceritakan Eksodus tanpa
Musa, atau Kisah Para Rasul tanpa Roh Kudus.
Membongkar Keberatan dan Slogan
Kosong
Di titik ini, biasanya muncul
barisan ayat dan slogan yang diulang-ulang seperti mantra. “Maria sudah mati!”
“Hanya ada satu pengantara!” “Itu tidak Alkitabiah!” Semuanya terdengar gagah,
tapi mari kita kupas satu per satu.
Pertama, soal “Maria sudah mati.” Yesus sendiri berkata, “Allah bukan
Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab bagi-Nya semua orang
hidup” (Luk 20:38). Kitab Wahyu pun melukiskan para tua-tua di surga membawa
mangkuk emas penuh doa umat (Why 5:8). Jika para kudus yang telah wafat
mendengar dan mempersembahkan doa, mengapa ibu Sang Mesias tidak bisa?
Memanggil Maria “mati” hanya menunjukkan iman yang lupa bahwa kebangkitan sudah
dimulai di dalam Kristus.
Kedua, “Hanya satu pengantara” (1Tim 2:5). Benar, hanya Kristus yang
menebus. Tapi Protestan pun tanpa sadar mempraktekkan “perantaraan” setiap kali
mereka berkata, “Tolong doakan saya.” Meminta sesama mendoakan bukan mencuri
kemuliaan Kristus; itu tanda tubuh Kristus yang hidup, di mana semua anggota
saling menolong. Jika kita percaya saudara di bumi dapat mendoakan kita,
mengapa saudara yang sudah dimuliakan bersama Kristus tidak?
Ketiga, “Tidak ada di Alkitab.” Kata itu sering diulang seperti palu,
tapi ia menghantam diri sendiri. Tidak ada satu pun daftar kanonik Kitab Suci
di dalam Kitab Suci. Tidak ada kata “Trinitas” di Alkitab, namun Protestan
mengakuinya. Tidak ada kata “altar panggilan” atau “doa penerimaan Yesus” dalam
bentuk mereka, tetapi mereka melakukannya. Mengapa Maria yang jelas-jelas
disebut dalam Injil, dalam nubuat, dan di kaki salib malah dibuang?
Ironinya nyata: mereka membanggakan “hanya Alkitab,” tapi mengabaikan
bagian Alkitab yang tidak sesuai dengan bingkai mereka. Mereka menolak Maria
tapi tetap memakai pola yang sama—doa bersama, simbol ibu, penghiburan,
perantaraan—semua itu ada di dalam tradisi Katolik. Mereka menolak nama tapi
memeluk fungsi.
Bagian ini seharusnya membuat satu hal jelas: menolak Maria bukan soal
Alkitab, tapi soal bias. Dan bias tidak pernah membawa kita pada kebenaran.
Devosi dan Disiplin Iman Katolik
Inilah bedanya: Katolik tidak
menaruh Maria di takhta Allah. Ia
tidak disembah, ia tidak disamakan dengan Kristus. Katolik mengenal tiga kata
kunci: latria (penyembahan hanya bagi Allah Tritunggal), dulia
(penghormatan bagi para kudus), dan hyperdulia (penghormatan istimewa
untuk Maria karena perannya yang tak tergantikan). Ini bukan permainan istilah;
ini disiplin iman yang lahir dari Kitab Suci dan tradisi para rasul.
Mengapa istimewa? Karena ia satu-satunya yang berkata “ya” sehingga
Sabda menjadi daging. Ia memeluk Sang Firman dalam rahimnya, berdiri di kaki
salib ketika murid lain melarikan diri, berdoa bersama para rasul menantikan
Roh Kudus. Gereja tidak memuliakan Maria karena ia pesaing Kristus, tetapi
karena ia cermin paling jernih karya Kristus. Apa yang diyakini tentang Maria
selalu mengalir dari apa yang diyakini tentang Putranya: tanpa Kristus, Maria
hanyalah gadis biasa; dengan Kristus, Maria menjadi teladan iman dan ketaatan.
Devosi bukan sekadar untaian doa atau patung. Rosario bukan jampi-jampi;
itu meditasi atas kehidupan Kristus melalui mata ibunya. Setiap Ave Maria
bukan menyingkirkan Kristus, tetapi mengulang kata-kata Kitab Suci: salam
malaikat, pujian Elisabet, dan permohonan agar kita belajar berkata “jadilah
padaku” seperti Maria. Doa bersama Maria adalah cara belajar mencintai Yesus
lebih dalam.
Ironi terbesar di sini adalah ini: Protestan sering berkata mereka ingin
hanya Kristus, tetapi mereka melupakan cara paling manusiawi untuk memahami
Dia—melalui mata seorang ibu yang mengenal-Nya sejak jantung-Nya berdetak untuk
pertama kali. Katolik tahu: menghormati Maria bukanlah membangun tembok antara
manusia dan Allah; itu membuka jendela yang lebih lebar menuju Sang Putra.
Protestan, Dekat Tanpa Sadar
Beginilah permainan providensi:
semakin keras menolak Maria, semakin sering Protestan meminjam bahasanya.
Mereka bicara tentang Gereja yang mengasuh seperti seorang ibu, Roh Kudus yang
menghibur seperti seorang ibu, Alkitab yang menjadi tabut rahasia seperti rahim
kudus—semuanya gema yang keluar dari mulut yang menolak menyebut nama Maria.
Mereka menutup pintu, tetapi hati mereka tetap membuka jendela yang sama.
Yang lebih menarik, naluri rohani
itu tidak bisa dibungkam. Ketika seseorang merindukan perlindungan, doa
syafaat, atau bimbingan dalam iman, ia sedang mencari figur yang melengkapi
wajah Kristus dengan sentuhan manusiawi. Katolik menyebutnya Bunda Maria.
Protestan menyebutnya “dukungan jemaat,” “pekerjaan Roh,” “ibu rohani.” Nama
berbeda, fungsi sama. Ironi tidak bisa lebih jelas dari itu.
Di sinilah suara Katolik terdengar
dingin tapi tegas: Maria bukan gangguan bagi Kristus, ia adalah bukti
kasih-Nya. Yesus sendiri yang berkata, “Inilah ibumu,” di kaki salib. Jika Anak
Allah menyerahkan ibu-Nya kepada murid-murid, siapa yang begitu berani berkata,
“Tidak perlu”? Menolak Maria berarti menolak hadiah terakhir dari Kristus yang
sekarat.
Akhirnya, bukan tentang patung,
bukan tentang doa panjang, tetapi tentang kejujuran: setiap kali Protestan
mengajar, berdoa, memuji, dan mencari wajah Allah, mereka menggemakan peran
seorang ibu yang sudah sejak awal dirajut dalam kisah keselamatan. Mereka
menolak wajahnya, tetapi tidak bisa menolak bayangannya. Mereka berkata tidak,
tapi kehidupan rohani mereka berkata ya.
Dan di sanalah punchline-nya:
Protestan lebih dekat dengan Maria daripada yang mereka kira. Mereka hanya
perlu mengakuinya, memanggilnya dengan nama yang sudah Kristus berikan—dan
ketika itu terjadi, mereka akan melihat bahwa menghormati Maria bukan mencuri
kemuliaan Kristus, tetapi memantulkan cahayanya semakin terang.
Penutup
Kisah ini berakhir dengan satu
kenyataan yang tidak bisa dipoles: Maria bukan gangguan, bukan hiasan, bukan
gangren yang harus dibuang. Ia adalah bagian dari rancangan keselamatan,
ditulis dengan tinta yang sama di Kitab Suci, dirangkai oleh Allah sendiri.
Menolak Maria berarti mencoba membaca Injil dengan halaman yang robek;
ceritanya tidak akan lengkap.
Protestan menolak gelarnya, tapi
tidak bisa membungkam naluri rohani mereka. Mereka merindukan penghiburan,
mereka mencari pembela, mereka mengajar tentang kasih Gereja sebagai
ibu—semuanya gema dari peran Maria. Ini bukan kebetulan, ini rancangan. Hati yang
mencintai Kristus akan menemukan ibu yang sama, cepat atau lambat.
Di sisi lain, Katolik tidak takut
menyebut namanya. Tidak untuk memindahkan kemuliaan Kristus, tetapi untuk
memantulkannya. Maria bukan Tuhan, tetapi ia saksi paling jujur tentang siapa
Tuhan itu. Dan setiap kali Gereja berkata “Santa Maria, doakanlah kami,” yang
terdengar bukan suara seorang wanita yang menuntut hormat, melainkan suara
seorang ibu yang menunjuk ke Putranya: “Lakukanlah apa yang dikatakan-Nya.”
Itulah nada terakhir dalam simfoni ini: menerima Maria berarti menerima
seluruh rencana Allah. Menolaknya bukan tanda kesucian, melainkan ketakutan
pada bayangan yang justru lahir dari Kitab Suci sendiri. Jika Kristus yang
disalib tidak malu berkata, “Inilah ibumu,” mengapa kita harus pura-pura tuli?
Tidak ada yang dirampas dari Kristus ketika kita menghormati ibunya.
Justru sebaliknya, terang Kristus semakin kuat ketika kita melihatnya melalui
mata seorang ibu. Itulah jalan Katolik: tidak menumpuk gelar, tetapi mengakui
fakta. Dan untuk saudara Protestan, ini bukan serangan, melainkan undangan:
berhentilah melawan bayangan, dan lihatlah kenyataan. Panggil dia dengan nama
yang Putranya sendiri beri—dan saksikan Injil menjadi utuh kembali.
