LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Dari Ilusi Injil ke Kebenaran Kristus: Mengapa Kebebasan Protestan Bukan Kemerdekaan

 


Pendahuluan

Kata merdeka mudah sekali dijadikan slogan, tapi tak semua yang mengucapkannya mengerti isinya. Ada bangsa yang merdeka dari penjajahan asing, tapi tetap diperbudak oleh korupsi, kerakusan, dan hawa nafsu. Begitu juga dalam hidup rohani: banyak yang mengaku sudah “dibebaskan oleh Injil,” tetapi kenyataannya masih hidup dalam perbudakan tafsir pribadi, ego rohani, dan nafsu kuasa.

Protestan kerap menjual jargon “freedom of the Gospel”—kebebasan Injil—seakan Gereja Katolik adalah rantai besi yang mengekang umat dengan hukum dan sakramen. Mereka suka menuding: Katolik ini penuh aturan, penuh kewajiban, penuh tradisi yang katanya “membelenggu.” Ironisnya, sembari menolak “otoritas Gereja,” mereka lalu sibuk tunduk pada otoritas yang lebih sewenang-wenang: tafsir pribadi pendetanya, atau bahkan tafsir liar dirinya sendiri. Katanya merdeka, padahal hanya pindah dari satu tirani ke tirani lain.

Merdeka yang sejati bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja sesuka hati. Itu bukan kemerdekaan, melainkan anarki. Kemerdekaan sejati adalah kebebasan untuk melakukan yang benar. Sama seperti bangsa ini tidak menjadi kacau setelah proklamasi, melainkan menata diri dengan konstitusi dan hukum, demikian pula iman Kristen tak bisa dilepaskan dari tatanan ilahi: Gereja, hukum moral, dan sakramen. Tanpa itu semua, kebebasan hanyalah bendera kosong yang berkibar di atas reruntuhan kebenaran.

Perspektif Katolik jelas: kebenaranlah yang memerdekakan. Seperti kata Kristus, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Thomas Aquinas menegaskan, manusia sungguh bebas justru karena ia terikat pada kebenaran. Kebebasan bukanlah kemampuan untuk memilih apa saja, melainkan kekuatan untuk memilih yang baik. Personalime Thomistik menegaskan: manusia tidak bebas dari kebenaran, melainkan bebas dalam kebenaran.

Di sinilah letak perbedaan tajam antara kemerdekaan sejati dalam Katolik dan kebebasan palsu ala Protestan. Katolik memandang hukum dan sakramen sebagai pagar kehidupan; Protestan memandangnya jeruji penjara. Katolik mengakui otoritas sebagai jalan menuju persatuan; Protestan menolak otoritas lalu terpecah-belah dalam ribuan denominasi. Katolik tunduk pada Gereja yang Kristus dirikan; Protestan tunduk pada tafsir diri masing-masing.

Maka, pertanyaan yang perlu diajukan: Apakah lebih mulia menjadi bangsa yang merdeka dengan hukum yang menata, atau bangsa yang bebas tanpa hukum, yang akhirnya saling memangsa? Demikian juga dalam iman: apakah lebih mulia menjadi umat yang merdeka dari dosa dalam Gereja, atau umat yang “bebas” tanpa Gereja, tetapi akhirnya diperbudak oleh ego dan kebingungan?

 

Bagian I: Ilusi Kebebasan Protestan

Protestan sering berteriak lantang: kami bebas, kami tidak lagi diikat oleh hukum, tradisi, dan sakramen Katolik! Mereka mengibarkan spanduk “sola fide” dan “sola scriptura” sebagai lambang kemerdekaan rohani. Tetapi bila kita singkap lapisan retorikanya, yang tampak hanyalah ilusi kebebasan.

Mari kita jujur: lepas dari otoritas Gereja tidak membuat mereka lebih merdeka, justru melemparkan mereka ke dalam jerat baru—tirani tafsir pribadi. Lihatlah akibatnya: ribuan denominasi dengan ribuan doktrin saling bertentangan, semua mengklaim Injil murni. Kebebasan semacam ini bukanlah merdeka, melainkan terjerat dalam kebingungan kolektif. Ini bukan libertas (kebebasan sejati), tapi licentia—kebebasan palsu yang liar dan tanpa arah.

Analoginya sederhana. Bayangkan bangsa yang baru merdeka dari penjajah, lalu berkata: “Kami bebas! Maka kami tolak semua hukum, kami jalani hidup sesuai selera masing-masing.” Hasilnya bukan kemerdekaan, tapi kekacauan: pasar tak teratur, jalanan penuh perampok, rakyat saling memangsa. Begitu pula dengan iman Protestan. Menolak hukum Gereja tidak melahirkan umat yang bebas, melainkan umat yang tercerai-berai, sibuk memperbudak satu sama lain dengan tafsir sempit yang dipaksakan.

Yang lebih ironis, dalam usaha melarikan diri dari “otoritas” Katolik, mereka malah tunduk pada otoritas yang lebih rapuh: pendeta favorit, buku tafsir abad ke-20, atau bahkan mimpi pribadi yang diklaim sebagai “pimpinan Roh Kudus.” Protestan merasa telah memproklamasikan kemerdekaan, padahal mereka hanya mengganti penjajah. Bukan lagi “Roma Katolik” yang mereka takuti, tapi kini mereka diperintah oleh diktator yang lebih halus—ego rohani mereka sendiri.

Maka, klaim kebebasan Injil ala Protestan sejatinya sebuah fatamorgana. Mereka berlari ke padang gurun sambil yakin sedang menuju tanah terjanji, padahal hanya terjebak dalam labirin tafsir subjektif yang tak berujung.

 

Bagian II: Kemerdekaan dalam Kitab Suci dan Tradisi

Protes Protestan runtuh seketika bila kita kembali pada sumber yang mereka klaim junjung: Kitab Suci. Sebab Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa kemerdekaan berarti bebas sebebasnya, melainkan bebas dari dosa supaya bisa melakukan yang benar.

Rasul Paulus sudah menampar logika kebebasan liar itu dengan kalimat yang tak bisa ditawar: “Kamu dipanggil untuk merdeka, tetapi jangan mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk hidup dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal 5:13). Di sini jelas: kemerdekaan Kristen bukanlah lisensi untuk semaunya, melainkan kuasa untuk melayani, untuk mengasihi, untuk memilih yang baik. Itu bukan kebebasan tanpa batas, tapi kebebasan yang diikat oleh kasih dan kebenaran.

Kristus sendiri berkata: “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Bukan emosi, bukan tafsir pribadi, bukan kebencian terhadap otoritas yang memerdekakan. Kebenaranlah yang membebaskan. Dan kebenaran itu bukan sekadar teks mati, melainkan Sabda yang menjadi daging dan kemudian memberi Gereja kuasa untuk mengajar dengan otoritas-Nya.

Tradisi Gereja, sejak awal, memahami kebebasan ini dalam kerangka sakramental. Baptis bukan rantai, melainkan pintu keluar dari perbudakan dosa asal. Ekaristi bukan beban, melainkan perjamuan yang menguatkan kebebasan rohani kita melawan kelemahan. Sakramen Tobat bukan belenggu, melainkan tali penyelamat bagi yang karam dalam dosa. Tanpa ini semua, kebebasan hanyalah teori kosong.

Ironisnya, Protestan sering mengutip Paulus untuk menolak hukum, padahal Paulus berbicara melawan hukum Taurat yang membebani, bukan hukum Kristus yang menghidupkan. Gereja Katolik tidak mengekang dengan hukum; Gereja menuntun dengan hukum Kristus. Sama seperti rambu lalu lintas di jalan: ia bukan belenggu, melainkan perlindungan. Orang yang menolak rambu bukanlah pahlawan kebebasan, melainkan calon korban tabrakan.

Dengan demikian, baik Kitab Suci maupun Tradisi tidak pernah menafsirkan kebebasan sebagai “tanpa ikatan.” Sebaliknya, keduanya menegaskan: ikatan pada Kristus dan Gereja adalah syarat mutlak kemerdekaan. Bebas dari dosa tidak sama dengan bebas dari Gereja. Justru dalam pelukan Gerejalah kebebasan itu berakar dan berbuah.

 

Bagian III: Personalisme Thomistik – Bebas Karena Terikat Kebenaran

Di titik inilah filsafat harus bicara, sebab kebebasan tanpa dasar metafisik hanyalah slogan politik rohani. Thomas Aquinas sudah lama menegaskan: kebebasan manusia (libertas) bukan berarti bisa memilih apa saja tanpa batas, melainkan kemampuan untuk memilih yang benar. Memilih yang salah tidak membuktikan manusia bebas, justru membuktikan ia rusak. Seorang pecandu narkoba yang bisa memilih antara dosis hari ini atau overdosis besok tidak sedang merdeka—ia sedang diperbudak.

Dalam kerangka personalisme Thomistik, manusia disebut bebas karena ia tertuju kepada kebenaran. Akal budi dan kehendak kita diciptakan untuk yang baik, yang benar, dan yang indah. Bila kita memutus ikatan dengan kebenaran, maka kehendak kita kehilangan arah dan akhirnya terjerat dalam kebohongan. Kebebasan sejati bukan bebas dari kebenaran, melainkan bebas dalam kebenaran.

Karol WojtyÅ‚a—yang kelak menjadi Yohanes Paulus II—memperdalam ini: pribadi manusia tidak menemukan dirinya dalam pelepasan dari ikatan, melainkan dalam pemberian diri. Relasi dengan kebenaran dan cinta bukanlah rantai, tetapi syarat bagi pribadi untuk utuh. Seorang suami yang mengaku “bebas” karena meninggalkan istri dan anak demi hidup sendiri bukanlah manusia merdeka, melainkan manusia yang lari dari martabatnya. Sama halnya, orang Kristen yang menolak ikatan dengan Gereja lalu berteriak “bebas dalam Injil” sedang merayakan kebebasan palsu.

Ikatan dengan Gereja dan sakramen bukan belenggu eksternal, melainkan sarana bagi pribadi manusia untuk sungguh menjadi dirinya. Sama seperti ikan hanya bebas bila ia berenang dalam air—begitu ia “bebas” dari air, ia mati. Manusia hanya bebas bila ia hidup dalam kebenaran Kristus. Begitu ia “bebas” dari kebenaran, ia tercekik oleh kebohongan dan ego.

Dengan demikian, personalisme Thomistik merobek habis ilusi kebebasan Protestan. Mereka mengira ikatan dengan Gereja mengurangi kebebasan, padahal tanpa ikatan itu manusia justru kehilangan fondasi untuk bebas. Mereka mengira hukum Katolik mengekang, padahal hukum itu menjaga agar kebebasan tidak runtuh. Bebas bukan berarti lepas, tapi terarah. Dan arah itu hanya satu: kebenaran yang diwartakan Kristus melalui Gereja-Nya.

 

Bagian IV: Katolik – Merdeka dari Dosa, Bukan dari Gereja

Inilah inti yang sering gagal dipahami Protestan: Gereja tidak pernah mengajarkan bahwa kita merdeka dari Gereja, melainkan merdeka dalam Gereja. Katolik percaya bahwa dosa adalah penjajahan yang paling brutal, lebih keras daripada kekuasaan kolonial mana pun. Maka, kemerdekaan sejati bukanlah teriakan kosong “bebas dari Roma” atau “bebas dari sakramen,” tetapi pelepasan dari belenggu dosa dan maut melalui Kristus yang bekerja dalam Gereja.

Sakramen-sakramen adalah senjata pembebasan. Baptis memutus rantai dosa asal—itulah proklamasi kemerdekaan pertama manusia. Ekaristi bukan “ritual wajib” yang mengekang, tetapi roti hidup yang menguatkan manusia untuk melawan kelemahan dirinya sendiri. Tobat bukan hukuman memalukan, tetapi pintu pulang yang dibuka selebar-lebarnya bagi anak yang hilang. Inilah yang Protestan tidak mau akui: bahwa kemerdekaan tanpa sakramen hanyalah fatamorgana—manis di mata, tapi kering dan mati di dalam.

Hukum Gereja pun kerap disalahpahami. Padahal, hukum bukanlah jeruji, melainkan pagar yang melindungi kebun agar tidak dihancurkan binatang buas. Sama seperti rambu lalu lintas yang mengatur kendaraan di jalan raya: tanpa itu, kebebasan berkendara berubah menjadi tabrakan massal. Begitu pula hukum Gereja—ia bukan belenggu, melainkan pelindung agar kebebasan rohani umat tidak terjun bebas ke jurang dosa.

Protestan sering menertawakan Katolik karena “terikat aturan.” Tetapi mari kita jujur: apa hasil dari kebebasan tanpa aturan mereka? Fragmentasi. Ribuan denominasi saling mengutuk, masing-masing merasa lebih murni dari yang lain. Mereka menolak tunduk pada Gereja universal, tetapi akhirnya tunduk pada komunitas kecil dengan pendeta yang lebih keras dari paus. Bebas dari Paus, jatuh dalam perbudakan tafsir pendeta. Bebas dari hukum Gereja, tapi jatuh dalam hukum yang lebih sewenang-wenang: opini pribadi.

Maka Katolik tegas: kemerdekaan bukan bebas dari Gereja, melainkan bebas dari dosa dalam Gereja. Di luar Gereja, kebebasan hanya fatamorgana; di dalam Gereja, kebebasan menjadi nyata karena berakar pada Kristus, kebenaran yang hidup.

 

Bagian V: Kritik Satir terhadap Protestan yang Anti-Tunduk

Protestan suka sekali mengklaim diri sebagai “umat Injil yang merdeka.” Mereka berkoar: kami tidak tunduk pada Paus, tidak tunduk pada hukum Gereja, hanya tunduk pada Firman. Kedengarannya gagah. Tapi mari kita kupas retorika itu: ternyata “hanya tunduk pada Firman” berarti tunduk pada tafsir subjektif masing-masing. Maka, alih-alih satu umat yang merdeka, jadilah ribuan gereja kecil dengan ribuan Injil versi pribadi.

Katanya menolak otoritas Paus karena dianggap tirani. Tetapi apa yang menggantikan Paus? Kursi pendeta lokal yang kadang lebih diktator dari siapa pun. Paus setidaknya mewakili Gereja universal dengan akar apostolik; pendeta lokal mewakili tafsir pribadi yang bisa berubah-ubah sesuai mood atau selera pasar jemaat. Itu bukan kebebasan. Itu sekadar mengganti mahkota gading dengan topi badut.

Lebih lucu lagi, Protestan menolak sakramen dengan alasan “hukum yang membelenggu,” tetapi mereka justru memberlakukan belenggu baru: aturan moral yang sewenang-wenang, ditafsirkan berbeda tiap denominasi. Ada yang mengizinkan perceraian, ada yang menolaknya. Ada yang mendukung aborsi, ada yang mengutuknya. Semua teriak: Roh Kudus memimpin kami! Tetapi Roh Kudus yang satu tidak mungkin menciptakan seribu suara yang saling mematikan. Yang memimpin di situ bukan Roh Kudus, melainkan roh kebingungan.

Dan jangan lupa ironi terbesar: Protestan menuduh Katolik terlalu terikat tradisi, padahal mereka sendiri terikat pada tradisi ciptaan abad ke-16—tradisi yang bahkan lebih muda daripada kertas di perpustakaan Vatikan. Mereka mencibir Gereja karena dianggap “Roma sentris,” tetapi apa bedanya dengan “tafsir sentris” ala Luther, Calvin, atau pendeta modern yang tampil di YouTube?

Kebebasan Protestan ibarat seorang anak remaja yang kabur dari rumah karena tidak mau tunduk pada aturan orang tua. Di luar rumah ia merasa bebas—tidak ada jam malam, tidak ada disiplin. Tetapi kebebasan itu segera runtuh ketika ia harus tunduk pada realitas: lapar, dingin, dan sendirian. Protestan merasa bebas dari Gereja, tapi akhirnya mereka tersesat dalam belantara tafsir liar yang tidak punya rumah rohani sejati.

Maka, mari kita katakan terus terang: anti-tunduk bukanlah kebebasan, melainkan pemberontakan kekanak-kanakan. Mereka menolak tunduk pada kebenaran yang memerdekakan, dan sebagai gantinya, tunduk pada ilusi diri yang menyesatkan. Itulah tragedi Protestanisme: mengganti emas dengan kuningan, mengganti Gereja dengan opini, mengganti kemerdekaan sejati dengan kebebasan palsu.

 

Bagian VI: Merdeka Sejati – Jalan Katolik

Setelah semua debu retorika ditiup angin, tersisalah satu pertanyaan telanjang: apa itu kemerdekaan sejati? Katolik menjawab dengan sederhana tapi tegas—kemerdekaan sejati adalah pembebasan dari dosa, setan, dan maut, bukan pembebasan dari Gereja. Gereja bukan penjajah, melainkan rahim yang melahirkan dan memelihara anak-anak Allah.

Bayangkan bangsa yang baru merdeka. Tanpa konstitusi, hukum, dan tatanan, kemerdekaan itu akan segera runtuh menjadi kekacauan. Begitu pula dengan iman Kristen. Tanpa otoritas, hukum moral, dan sakramen, “kemerdekaan Injil” hanyalah bendera kertas yang mudah terbakar. Katolik sadar, kebebasan tanpa arah hanyalah jalan tol menuju kehancuran. Karena itu, Gereja menjadi penuntun, sakramen menjadi penopang, hukum menjadi pagar. Semua ini bukan untuk mengekang, tetapi untuk memastikan kebebasan tetap terjaga.

Protestan boleh berkoar tentang Injil murni yang membebaskan, tetapi hasilnya nyata di hadapan kita: fragmentasi, kontradiksi, kebingungan. Seolah-olah Roh Kudus adalah pengacau lidah baru yang lebih buruk daripada Babel. Katolik tidak menafsir kebebasan sebagai kebingungan kolektif, melainkan sebagai kesatuan dalam kebenaran. Dan kebenaran itu tidak berdiri di udara, melainkan berakar dalam Gereja yang Kristus dirikan di atas batu karang.

Kemerdekaan sejati tidak ditemukan dalam teriakan anti-tunduk, melainkan dalam kesetiaan pada Kebenaran yang hidup. Sama seperti bangsa Indonesia hanya bisa berdiri tegak karena tunduk pada Pancasila sebagai dasar negara, umat Kristiani hanya bisa hidup merdeka karena tunduk pada Kristus dan Gereja-Nya.

Jalan Katolik adalah jalan yang jelas: bukan jalan liar tanpa pagar, melainkan jalan sempit yang pasti menuju hidup. Di situlah kemerdekaan sejati berdiam—bukan dalam ilusi kebebasan tanpa ikatan, melainkan dalam keterikatan pada Kristus, Sang Kebenaran yang membebaskan.

Penutup

Di ujung segala perdebatan, tersisalah garis pemisah yang jelas. Protestan membanggakan kebebasan Injil, tetapi yang mereka hasilkan hanyalah kebebasan tanpa arah—ribuan tafsir yang saling meniadakan, denominasi yang lahir setiap kali seseorang merasa lebih “murni” dari yang lain. Kebebasan mereka bukan merdeka, melainkan liar; bukan kedewasaan, melainkan remaja kabur dari rumah, menolak aturan ayah, tapi akhirnya tidur di emperan.

Katolik tidak menawarkan kebebasan semacam itu. Katolik mengajarkan kemerdekaan sejati—bebas dari dosa, bukan dari Gereja; bebas dalam kebenaran, bukan bebas dari kebenaran. Gereja bukan rantai, melainkan jalan; hukum bukan jeruji, melainkan pagar; sakramen bukan beban, melainkan senjata yang mematahkan belenggu dosa.

Personalisme Thomistik merangkum semuanya dengan jernih: manusia hanya sungguh bebas ketika ia tertuju pada yang benar. Lepas dari kebenaran, kebebasan menjadi kehancuran. Lepas dari Gereja, iman menjadi serpihan-serpihan tanpa rumah. Sementara itu, dalam Gereja, kebebasan menemukan tubuhnya, akarnya, dan buahnya—karena di situlah Kristus, Sang Kebenaran yang memerdekakan, hadir secara nyata.

Maka, mari berhenti mengagungkan ilusi. Kebebasan sejati bukanlah pekik kosong melawan otoritas, melainkan keberanian untuk tunduk pada kebenaran. Bangsa yang merdeka berdiri tegak karena hukum, umat yang merdeka berdiri tegak karena Gereja. Tanpa itu, semua kebebasan hanyalah fatamorgana—indah dipandang, tapi mati ketika dikecap.

 

Share This Article :
9000568233845443113