Pendahuluan
Kata merdeka mudah sekali dijadikan slogan,
tapi tak semua yang mengucapkannya mengerti isinya. Ada bangsa yang merdeka
dari penjajahan asing, tapi tetap diperbudak oleh korupsi, kerakusan, dan hawa
nafsu. Begitu juga dalam hidup rohani: banyak yang mengaku sudah “dibebaskan
oleh Injil,” tetapi kenyataannya masih hidup dalam perbudakan tafsir pribadi,
ego rohani, dan nafsu kuasa.
Protestan kerap menjual jargon “freedom of the
Gospel”—kebebasan Injil—seakan Gereja Katolik adalah rantai besi yang mengekang
umat dengan hukum dan sakramen. Mereka suka menuding: Katolik ini penuh aturan,
penuh kewajiban, penuh tradisi yang katanya “membelenggu.” Ironisnya, sembari
menolak “otoritas Gereja,” mereka lalu sibuk tunduk pada otoritas yang lebih
sewenang-wenang: tafsir pribadi pendetanya, atau bahkan tafsir liar dirinya
sendiri. Katanya merdeka, padahal hanya pindah dari satu tirani ke tirani lain.
Merdeka yang sejati bukanlah kebebasan untuk melakukan
apa saja sesuka hati. Itu bukan kemerdekaan, melainkan anarki. Kemerdekaan
sejati adalah kebebasan untuk melakukan yang benar. Sama seperti bangsa ini
tidak menjadi kacau setelah proklamasi, melainkan menata diri dengan konstitusi
dan hukum, demikian pula iman Kristen tak bisa dilepaskan dari tatanan ilahi:
Gereja, hukum moral, dan sakramen. Tanpa itu semua, kebebasan hanyalah bendera
kosong yang berkibar di atas reruntuhan kebenaran.
Perspektif Katolik jelas: kebenaranlah yang
memerdekakan. Seperti kata Kristus, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan
kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Thomas Aquinas menegaskan,
manusia sungguh bebas justru karena ia terikat pada kebenaran. Kebebasan
bukanlah kemampuan untuk memilih apa saja, melainkan kekuatan untuk memilih
yang baik. Personalime Thomistik menegaskan: manusia tidak bebas dari
kebenaran, melainkan bebas dalam kebenaran.
Di sinilah letak perbedaan tajam antara kemerdekaan
sejati dalam Katolik dan kebebasan palsu ala Protestan. Katolik memandang hukum
dan sakramen sebagai pagar kehidupan; Protestan memandangnya jeruji penjara.
Katolik mengakui otoritas sebagai jalan menuju persatuan; Protestan menolak
otoritas lalu terpecah-belah dalam ribuan denominasi. Katolik tunduk pada
Gereja yang Kristus dirikan; Protestan tunduk pada tafsir diri masing-masing.
Maka, pertanyaan yang perlu diajukan: Apakah lebih
mulia menjadi bangsa yang merdeka dengan hukum yang menata, atau bangsa yang
bebas tanpa hukum, yang akhirnya saling memangsa? Demikian juga dalam iman:
apakah lebih mulia menjadi umat yang merdeka dari dosa dalam Gereja, atau umat
yang “bebas” tanpa Gereja, tetapi akhirnya diperbudak oleh ego dan kebingungan?
Bagian I: Ilusi Kebebasan Protestan
Protestan sering berteriak lantang: kami bebas,
kami tidak lagi diikat oleh hukum, tradisi, dan sakramen Katolik! Mereka
mengibarkan spanduk “sola fide” dan “sola scriptura” sebagai lambang
kemerdekaan rohani. Tetapi bila kita singkap lapisan retorikanya, yang tampak
hanyalah ilusi kebebasan.
Mari kita jujur: lepas dari otoritas Gereja tidak
membuat mereka lebih merdeka, justru melemparkan mereka ke dalam jerat
baru—tirani tafsir pribadi. Lihatlah akibatnya: ribuan denominasi dengan ribuan
doktrin saling bertentangan, semua mengklaim Injil murni. Kebebasan semacam ini
bukanlah merdeka, melainkan terjerat dalam kebingungan kolektif. Ini bukan libertas
(kebebasan sejati), tapi licentia—kebebasan palsu yang liar dan tanpa
arah.
Analoginya sederhana. Bayangkan bangsa yang baru
merdeka dari penjajah, lalu berkata: “Kami bebas! Maka kami tolak semua hukum,
kami jalani hidup sesuai selera masing-masing.” Hasilnya bukan kemerdekaan,
tapi kekacauan: pasar tak teratur, jalanan penuh perampok, rakyat saling
memangsa. Begitu pula dengan iman Protestan. Menolak hukum Gereja tidak
melahirkan umat yang bebas, melainkan umat yang tercerai-berai, sibuk
memperbudak satu sama lain dengan tafsir sempit yang dipaksakan.
Yang lebih ironis, dalam usaha melarikan diri dari
“otoritas” Katolik, mereka malah tunduk pada otoritas yang lebih rapuh: pendeta
favorit, buku tafsir abad ke-20, atau bahkan mimpi pribadi yang diklaim sebagai
“pimpinan Roh Kudus.” Protestan merasa telah memproklamasikan kemerdekaan,
padahal mereka hanya mengganti penjajah. Bukan lagi “Roma Katolik” yang mereka
takuti, tapi kini mereka diperintah oleh diktator yang lebih halus—ego rohani
mereka sendiri.
Maka, klaim kebebasan Injil ala Protestan sejatinya
sebuah fatamorgana. Mereka berlari ke padang gurun sambil yakin sedang menuju
tanah terjanji, padahal hanya terjebak dalam labirin tafsir subjektif yang tak
berujung.
Bagian II: Kemerdekaan dalam Kitab Suci dan Tradisi
Protes Protestan runtuh seketika bila kita kembali
pada sumber yang mereka klaim junjung: Kitab Suci. Sebab Alkitab tidak pernah
mengajarkan bahwa kemerdekaan berarti bebas sebebasnya, melainkan bebas dari
dosa supaya bisa melakukan yang benar.
Rasul Paulus sudah menampar logika kebebasan liar itu
dengan kalimat yang tak bisa ditawar: “Kamu dipanggil untuk merdeka, tetapi
jangan mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk hidup dalam dosa,
melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal 5:13). Di sini
jelas: kemerdekaan Kristen bukanlah lisensi untuk semaunya, melainkan kuasa
untuk melayani, untuk mengasihi, untuk memilih yang baik. Itu bukan kebebasan
tanpa batas, tapi kebebasan yang diikat oleh kasih dan kebenaran.
Kristus sendiri berkata: “Kamu akan mengetahui
kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Bukan
emosi, bukan tafsir pribadi, bukan kebencian terhadap otoritas yang
memerdekakan. Kebenaranlah yang membebaskan. Dan kebenaran itu bukan sekadar
teks mati, melainkan Sabda yang menjadi daging dan kemudian memberi Gereja
kuasa untuk mengajar dengan otoritas-Nya.
Tradisi Gereja, sejak awal, memahami kebebasan ini
dalam kerangka sakramental. Baptis bukan rantai, melainkan pintu keluar dari
perbudakan dosa asal. Ekaristi bukan beban, melainkan perjamuan yang menguatkan
kebebasan rohani kita melawan kelemahan. Sakramen Tobat bukan belenggu,
melainkan tali penyelamat bagi yang karam dalam dosa. Tanpa ini semua,
kebebasan hanyalah teori kosong.
Ironisnya, Protestan sering mengutip Paulus untuk
menolak hukum, padahal Paulus berbicara melawan hukum Taurat yang membebani,
bukan hukum Kristus yang menghidupkan. Gereja Katolik tidak mengekang
dengan hukum; Gereja menuntun dengan hukum Kristus. Sama seperti rambu lalu
lintas di jalan: ia bukan belenggu, melainkan perlindungan. Orang yang menolak
rambu bukanlah pahlawan kebebasan, melainkan calon korban tabrakan.
Dengan demikian, baik Kitab
Suci maupun Tradisi tidak pernah menafsirkan kebebasan sebagai “tanpa ikatan.”
Sebaliknya, keduanya menegaskan: ikatan pada Kristus dan Gereja adalah syarat
mutlak kemerdekaan. Bebas dari dosa tidak
sama dengan bebas dari Gereja. Justru dalam pelukan Gerejalah kebebasan itu
berakar dan berbuah.
Bagian III: Personalisme
Thomistik – Bebas Karena Terikat Kebenaran
Di titik inilah filsafat harus
bicara, sebab kebebasan tanpa dasar metafisik hanyalah slogan politik rohani.
Thomas Aquinas sudah lama menegaskan: kebebasan manusia (libertas) bukan
berarti bisa memilih apa saja tanpa batas, melainkan kemampuan untuk memilih
yang benar. Memilih yang salah tidak membuktikan manusia bebas, justru
membuktikan ia rusak. Seorang pecandu narkoba yang bisa memilih antara dosis
hari ini atau overdosis besok tidak sedang merdeka—ia sedang diperbudak.
Dalam kerangka personalisme
Thomistik, manusia disebut bebas karena ia tertuju kepada kebenaran. Akal budi
dan kehendak kita diciptakan untuk yang baik, yang benar, dan yang indah. Bila
kita memutus ikatan dengan kebenaran, maka kehendak kita kehilangan arah dan
akhirnya terjerat dalam kebohongan. Kebebasan sejati bukan bebas dari
kebenaran, melainkan bebas dalam kebenaran.
Karol WojtyÅ‚a—yang kelak
menjadi Yohanes Paulus II—memperdalam ini: pribadi manusia tidak menemukan
dirinya dalam pelepasan dari ikatan, melainkan dalam pemberian diri. Relasi
dengan kebenaran dan cinta bukanlah rantai, tetapi syarat bagi pribadi untuk utuh.
Seorang suami yang mengaku “bebas” karena meninggalkan istri dan anak demi
hidup sendiri bukanlah manusia merdeka, melainkan manusia yang lari dari
martabatnya. Sama halnya, orang Kristen yang menolak ikatan dengan Gereja lalu
berteriak “bebas dalam Injil” sedang merayakan kebebasan palsu.
Ikatan dengan Gereja dan
sakramen bukan belenggu eksternal, melainkan sarana bagi pribadi manusia untuk
sungguh menjadi dirinya. Sama seperti ikan hanya bebas bila ia berenang dalam
air—begitu ia “bebas” dari air, ia mati. Manusia hanya bebas bila ia hidup
dalam kebenaran Kristus. Begitu ia “bebas” dari kebenaran, ia tercekik oleh
kebohongan dan ego.
Dengan demikian, personalisme
Thomistik merobek habis ilusi kebebasan Protestan. Mereka mengira ikatan dengan
Gereja mengurangi kebebasan, padahal tanpa ikatan itu manusia justru kehilangan
fondasi untuk bebas. Mereka mengira hukum Katolik mengekang, padahal hukum itu
menjaga agar kebebasan tidak runtuh. Bebas bukan berarti lepas, tapi terarah.
Dan arah itu hanya satu: kebenaran yang diwartakan Kristus melalui Gereja-Nya.
Bagian IV: Katolik – Merdeka dari Dosa, Bukan dari
Gereja
Inilah inti yang sering gagal dipahami Protestan:
Gereja tidak pernah mengajarkan bahwa kita merdeka dari Gereja,
melainkan merdeka dalam Gereja. Katolik percaya bahwa dosa adalah
penjajahan yang paling brutal, lebih keras daripada kekuasaan kolonial mana
pun. Maka, kemerdekaan sejati bukanlah teriakan kosong “bebas dari Roma” atau
“bebas dari sakramen,” tetapi pelepasan dari belenggu dosa dan maut melalui
Kristus yang bekerja dalam Gereja.
Sakramen-sakramen adalah
senjata pembebasan. Baptis memutus rantai dosa asal—itulah proklamasi
kemerdekaan pertama manusia. Ekaristi bukan “ritual wajib” yang mengekang,
tetapi roti hidup yang menguatkan manusia untuk melawan kelemahan dirinya
sendiri. Tobat bukan hukuman memalukan, tetapi pintu pulang yang dibuka
selebar-lebarnya bagi anak yang hilang. Inilah yang Protestan tidak mau akui:
bahwa kemerdekaan tanpa sakramen hanyalah fatamorgana—manis di mata, tapi
kering dan mati di dalam.
Hukum Gereja pun kerap
disalahpahami. Padahal, hukum bukanlah jeruji, melainkan pagar yang melindungi
kebun agar tidak dihancurkan binatang buas. Sama seperti rambu lalu lintas yang
mengatur kendaraan di jalan raya: tanpa itu, kebebasan berkendara berubah
menjadi tabrakan massal. Begitu pula hukum Gereja—ia bukan belenggu, melainkan
pelindung agar kebebasan rohani umat tidak terjun bebas ke jurang dosa.
Protestan sering menertawakan
Katolik karena “terikat aturan.” Tetapi mari kita jujur: apa hasil dari
kebebasan tanpa aturan mereka? Fragmentasi. Ribuan denominasi saling mengutuk,
masing-masing merasa lebih murni dari yang lain. Mereka menolak tunduk pada
Gereja universal, tetapi akhirnya tunduk pada komunitas kecil dengan pendeta
yang lebih keras dari paus. Bebas dari Paus, jatuh dalam perbudakan tafsir
pendeta. Bebas dari hukum Gereja, tapi jatuh dalam hukum yang lebih
sewenang-wenang: opini pribadi.
Maka Katolik tegas:
kemerdekaan bukan bebas dari Gereja, melainkan bebas dari dosa dalam Gereja. Di
luar Gereja, kebebasan hanya fatamorgana; di dalam Gereja, kebebasan menjadi
nyata karena berakar pada Kristus, kebenaran yang hidup.
Bagian V: Kritik Satir
terhadap Protestan yang Anti-Tunduk
Protestan suka sekali
mengklaim diri sebagai “umat Injil yang merdeka.” Mereka berkoar: kami tidak
tunduk pada Paus, tidak tunduk pada hukum Gereja, hanya tunduk pada Firman.
Kedengarannya gagah. Tapi mari kita kupas retorika itu: ternyata “hanya tunduk
pada Firman” berarti tunduk pada tafsir subjektif masing-masing. Maka,
alih-alih satu umat yang merdeka, jadilah ribuan gereja kecil dengan ribuan
Injil versi pribadi.
Katanya menolak otoritas Paus
karena dianggap tirani. Tetapi apa yang menggantikan Paus? Kursi pendeta lokal
yang kadang lebih diktator dari siapa pun. Paus setidaknya mewakili Gereja
universal dengan akar apostolik; pendeta lokal mewakili tafsir pribadi yang
bisa berubah-ubah sesuai mood atau selera pasar jemaat. Itu bukan kebebasan.
Itu sekadar mengganti mahkota gading dengan topi badut.
Lebih lucu lagi, Protestan menolak sakramen dengan
alasan “hukum yang membelenggu,” tetapi mereka justru memberlakukan belenggu
baru: aturan moral yang sewenang-wenang, ditafsirkan berbeda tiap denominasi.
Ada yang mengizinkan perceraian, ada yang menolaknya. Ada yang mendukung
aborsi, ada yang mengutuknya. Semua teriak: Roh Kudus memimpin kami!
Tetapi Roh Kudus yang satu tidak mungkin menciptakan seribu suara yang saling
mematikan. Yang memimpin di situ bukan Roh Kudus, melainkan roh kebingungan.
Dan jangan lupa ironi terbesar: Protestan menuduh
Katolik terlalu terikat tradisi, padahal mereka sendiri terikat pada tradisi
ciptaan abad ke-16—tradisi yang bahkan lebih muda daripada kertas di
perpustakaan Vatikan. Mereka mencibir Gereja karena dianggap “Roma sentris,”
tetapi apa bedanya dengan “tafsir sentris” ala Luther, Calvin, atau pendeta
modern yang tampil di YouTube?
Kebebasan Protestan ibarat seorang anak remaja yang
kabur dari rumah karena tidak mau tunduk pada aturan orang tua. Di luar rumah ia
merasa bebas—tidak ada jam malam, tidak ada disiplin. Tetapi kebebasan itu
segera runtuh ketika ia harus tunduk pada realitas: lapar, dingin, dan
sendirian. Protestan merasa bebas dari Gereja, tapi akhirnya mereka tersesat
dalam belantara tafsir liar yang tidak punya rumah rohani sejati.
Maka, mari kita katakan terus
terang: anti-tunduk bukanlah kebebasan, melainkan pemberontakan
kekanak-kanakan. Mereka menolak tunduk pada kebenaran yang memerdekakan, dan
sebagai gantinya, tunduk pada ilusi diri yang menyesatkan. Itulah tragedi
Protestanisme: mengganti emas dengan kuningan, mengganti Gereja dengan opini,
mengganti kemerdekaan sejati dengan kebebasan palsu.
Bagian VI: Merdeka Sejati – Jalan
Katolik
Setelah semua debu retorika
ditiup angin, tersisalah satu pertanyaan telanjang: apa itu kemerdekaan sejati?
Katolik menjawab dengan sederhana tapi tegas—kemerdekaan sejati adalah
pembebasan dari dosa, setan, dan maut, bukan pembebasan dari Gereja. Gereja
bukan penjajah, melainkan rahim yang melahirkan dan memelihara anak-anak Allah.
Bayangkan bangsa yang baru
merdeka. Tanpa konstitusi, hukum, dan tatanan, kemerdekaan itu akan segera
runtuh menjadi kekacauan. Begitu pula dengan iman Kristen. Tanpa otoritas,
hukum moral, dan sakramen, “kemerdekaan Injil” hanyalah bendera kertas yang mudah
terbakar. Katolik sadar, kebebasan tanpa arah hanyalah jalan tol menuju
kehancuran. Karena itu, Gereja menjadi penuntun, sakramen menjadi penopang,
hukum menjadi pagar. Semua ini bukan untuk mengekang, tetapi untuk memastikan
kebebasan tetap terjaga.
Protestan boleh berkoar
tentang Injil murni yang membebaskan, tetapi hasilnya nyata di hadapan kita:
fragmentasi, kontradiksi, kebingungan. Seolah-olah Roh Kudus adalah pengacau
lidah baru yang lebih buruk daripada Babel. Katolik tidak menafsir kebebasan
sebagai kebingungan kolektif, melainkan sebagai kesatuan dalam kebenaran. Dan
kebenaran itu tidak berdiri di udara, melainkan berakar dalam Gereja yang
Kristus dirikan di atas batu karang.
Kemerdekaan sejati tidak
ditemukan dalam teriakan anti-tunduk, melainkan dalam kesetiaan pada Kebenaran
yang hidup. Sama seperti bangsa Indonesia hanya bisa berdiri tegak karena
tunduk pada Pancasila sebagai dasar negara, umat Kristiani hanya bisa hidup merdeka
karena tunduk pada Kristus dan Gereja-Nya.
Jalan Katolik adalah jalan
yang jelas: bukan jalan liar tanpa pagar, melainkan jalan sempit yang pasti
menuju hidup. Di situlah kemerdekaan sejati berdiam—bukan dalam ilusi kebebasan
tanpa ikatan, melainkan dalam keterikatan pada Kristus, Sang Kebenaran yang
membebaskan.
Penutup
Di ujung segala perdebatan, tersisalah garis pemisah
yang jelas. Protestan membanggakan kebebasan Injil, tetapi yang mereka hasilkan
hanyalah kebebasan tanpa arah—ribuan tafsir yang saling meniadakan, denominasi
yang lahir setiap kali seseorang merasa lebih “murni” dari yang lain. Kebebasan
mereka bukan merdeka, melainkan liar; bukan kedewasaan, melainkan remaja kabur
dari rumah, menolak aturan ayah, tapi akhirnya tidur di emperan.
Katolik tidak menawarkan kebebasan semacam itu.
Katolik mengajarkan kemerdekaan sejati—bebas dari dosa, bukan dari Gereja;
bebas dalam kebenaran, bukan bebas dari kebenaran. Gereja bukan rantai,
melainkan jalan; hukum bukan jeruji, melainkan pagar; sakramen bukan beban,
melainkan senjata yang mematahkan belenggu dosa.
Personalisme Thomistik merangkum semuanya dengan
jernih: manusia hanya sungguh bebas ketika ia tertuju pada yang benar. Lepas
dari kebenaran, kebebasan menjadi kehancuran. Lepas dari Gereja, iman menjadi
serpihan-serpihan tanpa rumah. Sementara itu, dalam Gereja, kebebasan menemukan
tubuhnya, akarnya, dan buahnya—karena di situlah Kristus, Sang Kebenaran yang
memerdekakan, hadir secara nyata.
Maka, mari berhenti
mengagungkan ilusi. Kebebasan sejati bukanlah pekik kosong melawan otoritas,
melainkan keberanian untuk tunduk pada kebenaran. Bangsa yang merdeka berdiri
tegak karena hukum, umat yang merdeka berdiri tegak karena Gereja. Tanpa itu, semua
kebebasan hanyalah fatamorgana—indah dipandang, tapi mati ketika dikecap.
