Pendahuluan
Sejarah adalah
guru yang keras kepala: ia tidak tunduk pada propaganda, meskipun sering
dipaksa. Selama hampir enam abad sebelum mesin cetak Gutenberg, Kitab Suci
tidak berada di rak-rak rumah jemaat, melainkan di jantung Gereja—dilantunkan
dalam liturgi, diukir dalam ikon, dinyanyikan dalam mazmur, dan diwartakan
dalam homili. Umat awam, yang sebagian besar buta huruf, tidak pernah
“dibiarkan lapar” akan Sabda Allah. Mereka memakannya dalam bentuk yang paling
murni: sakramental, komunal, dan liturgis.
Namun datanglah
abad ke-16, ketika sekelompok reformator menuduh Gereja Katolik
“menyembunyikan” Alkitab. Ironi pahitnya: tanpa Gereja Katolik yang menjaga,
menyalin, dan menetapkan kanon Kitab Suci, tidak akan ada Alkitab yang bisa
mereka genggam untuk berkoar-koar. Tuduhan ini bagaikan anak tiri yang menuduh
ibu kandungnya tidak pernah memberinya makan, padahal selama berabad-abad
hidupnya hanya bertahan karena air susu ibunya.
Inilah mitos
Protestan yang terus diwariskan hingga kini: bahwa Katolik memenjarakan Firman
Allah demi kekuasaan. Padahal, kenyataannya jauh berbeda. Gereja justru
melindungi Sabda Allah dari disalahgunakan oleh tafsir liar dan nafsu pribadi.
Protestan suka berteriak Sola Scriptura, tetapi kenyataan yang
dihasilkan adalah Sola Interpretatio—segala tafsir sesuai selera pendeta
lokal atau “ilham Roh” yang entah mengapa selalu cocok dengan opini pribadi.
Pendahuluan ini
bertolak dari ironi tersebut: bahwa yang dituduh sebagai “penyembunyi Alkitab”
adalah justru sang penjaga Kitab, sementara yang mengaku “membebaskan Alkitab”
justru melahirkan Babel baru—puluhan ribu denominasi yang saling menuding salah
tafsir. Sejarah sudah cukup memberi bukti: di tangan Gereja, Firman Allah
adalah roti hidup; di tangan tafsir liar, Firman Allah bisa berubah jadi racun
yang memecah belah.
Bagian I.
Realitas Historis
Sebelum
Gutenberg, tidak ada Bible shop di setiap sudut kota, apalagi aplikasi
Alkitab dalam genggaman ponsel. Kitab Suci adalah manuskrip mahal, ditulis
tangan di atas perkamen oleh para biarawan yang bekerja berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun hanya untuk menyalin satu naskah. Butuh waktu, tenaga, dan dana
besar—sebuah barang mewah yang hanya bisa dimiliki biara, katedral, atau
bangsawan.
Artinya,
ketidakhadiran “Alkitab pribadi” di rumah jemaat bukan karena Gereja melarang,
melainkan karena kondisi sejarah yang objektif. Menuduh Gereja Katolik
“menyembunyikan Alkitab” sama konyolnya dengan menuduh nenek moyang kita
“anti-listrik” karena mereka hidup di zaman sebelum Thomas Edison.
Namun, kendati
Alkitab fisik jarang dimiliki umat awam, Firman Allah tidak pernah absen dari
kehidupan mereka. Justru sebaliknya, seluruh hidup mereka diresapi oleh Sabda:
- Dalam liturgi: Kitab Suci dibacakan setiap
hari Minggu, dilagukan dalam mazmur, diproklamasikan dalam Injil,
dijelaskan dalam homili.
- Dalam seni: Dinding katedral penuh mosaik dan
lukisan yang menarasikan Injil bagi mereka yang tak bisa membaca huruf.
- Dalam doa: Doa harian, Rosario, antifon, dan
himne adalah “Alkitab yang dinyanyikan” oleh umat sepanjang tahun liturgi.
Sementara umat
Protestan modern suka berlagak seolah-olah tanpa Alkitab pribadi iman mustahil
hidup, umat Katolik abad pertengahan sudah hidup dari Sabda Allah yang
dibacakan, dinyanyikan, diukir, dan dihidupi. Firman Allah bukan benda koleksi
di meja kerja, tetapi napas komunitas.
Ironi
berikutnya: para reformator yang berkoar menuduh Katolik “mencegah umat membaca
Kitab Suci” justru tidak menyadari bahwa kanon Alkitab yang mereka pakai
adalah warisan Katolik. Butuh waktu berabad-abad konsili Gereja (Hippo 393,
Kartago 397, Trente 1546) untuk menetapkan apa yang disebut “Kitab Suci.”
Protestan tinggal datang belakangan, mengambil Alkitab itu, membuang tujuh
kitab (Deuterokanonika), lalu dengan enteng menuduh Gereja sebagai
“penyembunyi.”
Sejarah di sini
bicara jelas: Gereja Katolik adalah arkivaris yang menjaga Firman Allah
tetap utuh, sementara Reformasi adalah editor amatiran yang datang belakangan,
mencoret-coret teks lalu mengaku lebih murni. Katolik berabad-abad menyajikan
roti, sementara Protestan tiba-tiba mengklaim roti itu basi, padahal mereka
sendiri yang memotongnya jadi serpihan-serpihan tafsir pribadi.
Bagian II. Propaganda Reformasi
Narasi bahwa Gereja Katolik
“menyembunyikan Kitab Suci” lahir bukan dari data sejarah, melainkan dari
propaganda Reformasi. Luther, Calvin, dan kawan-kawan mereka membutuhkan musuh
imajiner: Gereja Katolik sebagai institusi jahat yang menahan Firman Allah demi
mempertahankan kuasa. Narasi ini ampuh, sebab siapa pun yang lapar pasti marah
jika dituduh sengaja tidak diberi makan.
Tetapi mari kita buka topengnya. Apa fakta
sesungguhnya?
- Alkitab
ada justru karena Gereja.
Tanpa konsili, tanpa kerja keras biarawan penyalin, tanpa pengorbanan Gereja menjaga manuskrip di biara dan katedral, tidak akan ada Alkitab yang bisa diangkat-angkat di mimbar Protestan. Dengan kata lain, Reformasi mewarisi roti dari Katolik, lalu menuduh Katolik tidak pernah memberi makan. Logika yang setara dengan anak ingrat yang menuduh ibunya pelit, padahal selama ini dialah yang diberi makan sampai kenyang. - Yang mereka sebut “kebebasan Kitab Suci” justru
melahirkan perbudakan tafsir.
Slogan Sola Scriptura tampak manis di telinga, tetapi realitasnya segera menunjukkan bencana: fragmentasi denominasi, ribuan tafsir kontradiktif, dan perselisihan yang tiada habisnya. Apakah itu kebebasan? Atau justru Babel baru? Gereja Katolik menekankan tafsir dalam komunitas dan tradisi agar umat tidak tersesat, sementara Reformasi menyerahkan Alkitab ke masing-masing individu tanpa kompas. Hasilnya jelas: kekacauan eklesiologis. - Tuduhan “Katolik melarang baca Alkitab” adalah
manipulasi.
Ya, ada masa ketika Gereja melarang edisi-edisi palsu atau tafsir yang menyesatkan, misalnya versi Vernakular yang dipelintir oleh kelompok sesat. Itu tindakan pastoral melindungi umat, bukan menutup akses. Sama halnya dokter melarang pasien minum obat palsu: itu bukan anti-obat, itu justru melindungi kesehatan. Tapi Reformasi membalik fakta ini jadi propaganda “Katolik menutup Firman Allah.”
Ironinya, propaganda ini masih
dipertahankan hingga abad 21. Kaum Protestan modern sering mengulang mantra itu
tanpa menyadari betapa ahistorisnya tuduhan tersebut. Mereka tak pernah
bertanya: “Kalau benar Katolik menyembunyikan Alkitab, bagaimana mungkin
Alkitab masih ada untuk kami pakai?” Seperti orang yang memaki petani rakus,
sambil mengunyah nasi dari sawah petani itu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
narasi Reformasi bukanlah sejarah, melainkan retorika. Protestan butuh
identitas, dan cara paling cepat mendapatkannya adalah dengan menciptakan musuh
imajiner: Roma si ‘penyekap Alkitab.’ Padahal, tanpa Roma, mereka takkan punya
Alkitab sama sekali.
Bagian III. Bahaya Membaca
Terisolasi
Reformasi mengumandangkan semboyan Sola
Scriptura seolah-olah Kitab Suci adalah manual ajaib yang cukup dibaca
sendirian di kamar, lalu otomatis Roh Kudus akan “memberi terang” tafsir yang
benar. Kedengarannya rohani. Faktanya, inilah pintu masuk ke bencana tafsir:
setiap orang merasa dirinya nabi baru dengan hak mutlak mengartikan Firman
Allah.
Gereja Katolik sejak awal sadar
bahaya ini. Membaca Kitab Suci tanpa tradisi sama seperti orang awam mencoba
membedah organ tubuh tanpa ilmu kedokteran—hasilnya bukan penyembuhan,
melainkan mayat di meja. Itulah sebabnya Gereja selalu menekankan konteks
komunitas, tradisi, dan Magisterium sebagai pagar yang menjaga agar teks
tidak dipelintir seenaknya.
Sejarah membuktikan betapa cepatnya
tafsir pribadi bisa berubah jadi racun. Arius di abad ke-4 cukup dengan satu
ayat (“Bapa lebih besar daripada Aku”) untuk membangun bidat yang hampir
melumpuhkan seluruh Kekristenan. Luther cukup dengan kata “iman” untuk menolak
hampir seluruh sakramen. Calvin cukup dengan logika dingin predestinasi untuk
melahirkan teologi yang menampilkan Allah sebagai tiran kosmik.
Dan lihatlah hasil Reformasi hari
ini:
- Ribuan denominasi saling berseberangan.
- Ayat yang sama menghasilkan puluhan tafsir.
- Roh Kudus yang sama, katanya, justru “membisikkan”
hal berbeda pada tiap pendeta.
Apakah ini bukti
kebebasan? Tidak. Ini adalah bukti chaos hermeneutis.
Sindiran
pahitnya: Protestan berkoar “Alkitab cukup!”, tetapi mereka sendiri tidak
pernah bisa sepakat apa arti “cukup” itu. Baptis, Pentakosta, Advent,
Karismatik—semua membaca Alkitab yang sama, semua mengaku dipimpin Roh yang
sama, tapi hasilnya adalah Babel baru: 40.000 lebih denominasi yang saling
menuding sesat.
Gereja Katolik
tidak menutup akses pada Kitab Suci, tetapi memastikan bahwa Firman Allah tetap
jadi roti, bukan racun. Umat Katolik tidak dibiarkan makan sendiri di dapur,
melainkan dijamu dalam pesta liturgi, dengan makanan yang sama, bergizi, dan
dijamin keasliannya. Protestan, sebaliknya, membiarkan tiap orang jadi juru
masak, sehingga dapurnya penuh makanan gosong, asin berlebihan, atau bahkan
beracun.
Inilah inti
bahaya membaca terisolasi: Firman Allah, bila diputus dari komunitas dan
tradisi, akan kehilangan rasanya yang asli, diganti bumbu tafsir pribadi yang
menyesatkan.
Bagian IV. Cara Katolik Membaca Kitab Suci
Gereja Katolik tidak pernah membaca Kitab Suci
dengan cara datar, serampangan, atau emosional. Ada empat jalan utama yang
membentuk tradisi pembacaan Katolik—sebuah metode yang bukan sekadar “membaca”,
tetapi mengunyah, mencerna, dan menghidupi Firman Allah.
1. Liturgis
Alkitab pertama-tama adalah buku Gereja,
bukan buku pribadi. Ia bernapas dalam liturgi. Injil tidak sekadar “dibacakan”,
tetapi diproklamasikan di tengah umat, diterangi homili, disertai nyanyian dan
doa. Pada Malam Paskah, misalnya, kisah kebangkitan bukan sekadar informasi
sejarah, tetapi peristiwa yang dihadirkan kembali dalam sakramen. Umat
tidak hanya mendengar, tetapi masuk ke dalam peristiwa.
Bandingkan dengan kebiasaan Protestan: ayat dibaca
sepotong, lalu pendeta mengoceh panjang-lebar sesuai tafsir pribadi. Firman
Allah jadi bahan pidato, bukan sakramen hidup.
2. Kanonik
Tidak ada ayat berdiri sendiri. Katolik membaca
Kitab Suci dalam kesatuan seluruh kanon. Kisah manna di padang gurun
(Kel 16) menemukan makna penuhnya dalam Yohanes 6 ketika Yesus menyatakan diri
sebagai roti hidup. Tradisi Katolik melihat Kitab Suci sebagai satu simfoni:
tiap bagian saling melengkapi, bukan saling dipisahkan.
Protestan, sebaliknya, sering mengutip ayat lepas
sebagai slogan: “Hanya iman!” (Rom 3:28, versi Luther), sambil menutup mata
pada Yakobus 2:24 yang secara gamblang menyebut “manusia dibenarkan bukan hanya
oleh iman.” Tafsir tambal-sulam ini bukan kanonik, melainkan
fragmentaris.
3.
Kristologis
Segala sesuatu
dalam Kitab Suci menunjuk kepada Kristus. Hamba yang menderita dalam Yesaya 53,
Daud melawan Goliat, bahkan kisah Yunus di perut ikan—semuanya berakar dan
berpuncak pada Yesus Kristus. Itulah sebabnya Gereja Katolik membaca Alkitab
dengan kunci Kristologis: bukan siapa pun, bukan pendapat subjektif, melainkan
Kristus yang tersalib dan bangkit.
Protestan sering
mengklaim “Kristus pusat Alkitab”, tetapi praktiknya banyak gereja justru
menjadikan emosi pribadi, mujizat instan, atau kemakmuran duniawi
sebagai pusat khotbah. Kristus disingkirkan, diganti motivasi.
4. Doktrinal
Gereja membaca
Kitab Suci dalam terang ajaran yang lahir darinya. Doktrin bukan dipaksakan ke
atas teks, melainkan distilasi murni dari Kitab Suci. Istilah “Trinitas”
mungkin tidak tertulis, tetapi seluruh Kitab Suci memancarkannya. Maka, Gereja
mengartikulasikan kebenaran itu dalam Konsili, menjaga agar tafsir tidak liar.
Protestan
menolak tradisi doktrinal dengan alasan “hanya Alkitab”, tetapi pada akhirnya
mereka sendiri membuat “doktrin” baru: sola fide, sola scriptura, rapture,
predestinasi, prosperity gospel—semuanya hasil tafsir pribadi yang kemudian
diperlakukan seperti dogma. Ironisnya, mereka mencemooh doktrin Katolik sambil
menciptakan doktrin buatan sendiri di setiap denominasi baru.
Kesimpulan
Sementara
Cara Katolik
membaca Kitab Suci adalah cara yang menyeluruh: liturgis, kanonik, Kristologis,
dan doktrinal. Inilah yang menjaga agar Firman Allah tetap menjadi roti
kehidupan, bukan serpihan tafsir kontradiktif.
Protestan suka berkata, “Kami punya Alkitab!”
Betul. Tapi Katolik punya cara membaca yang konsisten dua milenium. Apa
gunanya punya peta kalau setiap orang menafsirkannya berbeda, lalu semua orang
tersesat ke jurang yang berbeda?
Bagian V. Mengapa Umat Awam Tidak
Membaca Sendiri?
Protestan sering mengangkat satu
tuduhan klise: “Gereja Katolik melarang umat membaca Alkitab!” Mereka
membayangkan Gereja abad pertengahan seperti seorang tiran yang menyimpan Kitab
Suci di lemari besi, kuncinya digantung di leher Paus, sementara umat kecil
dibiarkan kelaparan rohani. Gambaran ini laku dijual dalam khotbah-khotbah
anti-Katolik, tapi sayangnya, tidak ada hubungannya dengan kenyataan sejarah.
1. Faktor
Praktis
Sebelum mesin
cetak ditemukan, satu salinan Kitab Suci bisa menelan biaya setara rumah
sederhana. Alkitab ditulis tangan di atas perkamen, disalin oleh biarawan
selama bertahun-tahun. Bagaimana mungkin setiap petani di desa terpencil bisa
punya Alkitab pribadi? Jadi, ketiadaan Alkitab pribadi bukan karena Gereja
melarang, melainkan karena kondisi material zaman itu.
Bandingkan
dengan zaman sekarang: setiap orang bisa mengunduh aplikasi Alkitab gratis di
ponsel. Namun, apakah keadaan iman umat Kristen lebih sehat? Justru yang kita
saksikan adalah kebingungan, perpecahan, dan ribuan tafsir liar. Jadi
masalahnya bukan ada-tidaknya Kitab Suci pribadi, melainkan bagaimana Kitab
Suci dipahami.
2. Faktor Pendidikan
Mayoritas umat abad pertengahan
buta huruf. Membaca Alkitab pribadi jelas mustahil bagi mereka. Gereja menjawab
kebutuhan itu bukan dengan menyerah, melainkan dengan mewartakan Firman
dalam bentuk yang bisa diakses: bacaan liturgi, homili, lagu, ikon, patung,
bahkan arsitektur katedral yang penuh dengan kisah Kitab Suci. Bagi umat
sederhana, tembok gereja adalah “Alkitab bergambar” yang lebih fasih daripada
seribu terjemahan.
Sementara itu, propaganda Reformasi
menafsirkan kondisi ini sebagai “penyekapan.” Padahal, yang disebut
“penyekapan” itulah yang membuat Injil tetap sampai ke telinga dan hati umat
sederhana.
3. Faktor Teologis
Alkitab bukan novel pribadi yang
bisa dibaca dengan bebas sesuai selera. Ia adalah Sabda Allah yang butuh
kerangka penafsiran otentik: tradisi apostolik dan Magisterium. Gereja tahu
bahaya kalau setiap orang mengutip ayat seenaknya tanpa bimbingan. Yang lahir
bukan kesatuan iman, tetapi kebingungan massal.
Bukti? Reformasi. Begitu Alkitab
“dibebaskan,” maka lahirlah 40.000 denominasi, semua mengaku “setia pada
Alkitab.” Sungguh ironis: mereka menuduh Katolik mengurung Alkitab, padahal
setelah Alkitab mereka “bebaskan,” justru mereka memenjarakan diri dalam tafsir
masing-masing.
4. Sindiran Tajam
Protestan sering berkoar, “Kami
mengembalikan Alkitab ke tangan umat!” Faktanya, yang mereka lakukan adalah mengembalikan
tafsir ke tangan masing-masing pendeta. Alkitab memang dibagikan, tapi
kunci tafsir tetap digenggam oleh khotbah subjektif. Umat tidak benar-benar
merdeka, mereka hanya berpindah dari bimbingan Magisterium yang konsisten ke
dalam tirani tafsir pribadi yang kontradiktif.
Kesimpulan Sementara
Alasan umat awam dahulu tidak
membaca Alkitab sendiri bukan karena Gereja kejam, melainkan karena realitas
sejarah dan kesadaran pastoral. Gereja tidak mau Sabda Allah berubah jadi mainan
tafsir liar. Katolik tidak anti-Alkitab, justru Gereja Katoliklah yang
membuat Alkitab tetap utuh, bisa dibacakan, dipahami, dan dihidupi.
Sementara itu, slogan Reformasi
tentang “membebaskan Alkitab” hanyalah ilusi. Yang mereka bebaskan bukan Firman
Allah, melainkan nafsu tafsir.
Bagian VI. Katolik: Penjaga,
Bukan Penyekap
Protestan senang
membangun narasi dramatis: Katolik menutup rapat Alkitab agar umat awam tetap
bodoh dan tunduk pada otoritas Roma. Kisah ini enak dikhotbahkan, mudah dijual
di mimbar, tetapi rapuh di hadapan sejarah. Fakta yang tak bisa dibantah: tanpa
Gereja Katolik, tidak akan ada Alkitab.
1. Penjaga
Kanon
Kanon Kitab Suci
tidak jatuh dari langit lengkap 73 kitab dengan indeks rapi. Ia dibentuk dalam
rahim Gereja, ditetapkan dalam konsili—Hippo (393), Kartago (397), dan
ditegaskan kembali di Trente (1546) sebagai respons terhadap mutilasi Luther.
Jadi, siapa yang menyusun daftar kitab yang hari ini dibaca Protestan maupun
Katolik? Gereja Katolik.
Mereka yang menuduh Katolik menyembunyikan Alkitab justru membaca dari kanon
yang ditentukan Katolik. Ironi tingkat tinggi: menuduh ibu tidak pernah
melahirkan anak, padahal dirinya ada karena rahim sang ibu.
2. Penyalin
dan Penjaga Manuskrip
Biarawan-biarawan
Katolik menghabiskan hidup menyalin Kitab Suci dengan tangan, menyelamatkannya
dari kehancuran perang, kebakaran, dan invasi. Biara-biara Eropa adalah “bank
data” Sabda Allah, jauh sebelum ada USB, Google Drive, atau aplikasi Alkitab digital.
Kalau Gereja memang ingin menyembunyikan Kitab Suci, mengapa biarawan-biarawan
ini mengorbankan hidup hanya untuk menyalinnya berulang kali?
Bandingkan
dengan Reformasi: Luther cukup duduk manis, mengambil hasil kerja berabad-abad
itu, lalu dengan seenaknya mencoret tujuh kitab Deuterokanonika karena “tidak
sesuai teologinya.” Siapa sebenarnya yang menyembunyikan Firman Allah?
3. Penjaga
Tafsir
Katolik tidak
hanya menjaga teks, tetapi juga tafsir. Alkitab tidak ditafsirkan liar, tetapi
dibaca dalam terang tradisi apostolik dan ajaran konsili. Doktrin-doktrin
besar—Trinitas, Inkarnasi, Ekaristi—bukan tambahan, melainkan distilasi
murni dari Kitab Suci yang dijaga Gereja. Tanpa penjagaan ini, Alkitab akan
ditarik ke sana kemari sesuai kepentingan pribadi, seperti yang terjadi dalam
ribuan denominasi Protestan.
4. Sindiran
yang Tak Terelakkan
Protestan sering
menuduh Katolik menutup Alkitab dari umat. Faktanya, Protestanlah yang
merobek Alkitab dari tubuh Gereja. Mereka bukan membebaskan Firman Allah,
tetapi memenggalnya, lalu menjual potongannya dengan merek dagang
masing-masing. Katolik menjaga Alkitab tetap utuh, Protestan menjadikannya
franchise.
Kesimpulan
Gereja Katolik
tidak pernah menjadi penyekap Firman, melainkan ibu yang melahirkan,
menyusui, dan menjaga Sabda Allah agar tetap hidup dalam Gereja. Kalau umat
Protestan hari ini bisa mengutip Mazmur, Injil Yohanes, atau Surat Paulus, itu
karena Gereja Katolik setia menyalin, menjaga, dan mewariskan.
Singkatnya: Katolik
adalah penjaga Alkitab; Protestan hanyalah penyewa warisan.
Penutup
Sejarah telah
memberi kesaksian yang keras dan tidak bisa dipalsukan oleh retorika. Selama
berabad-abad, Gereja Katolik menjaga Kitab Suci—menyalin dengan darah dan
tinta, melantunkannya dalam liturgi, memahatnya dalam seni, dan menafsirnya
dalam terang tradisi apostolik. Tanpa rahim Gereja, tidak ada kanon, tidak ada
manuskrip, tidak ada Injil yang bisa diangkat-angkat hari ini.
Maka, tuduhan
bahwa Katolik “menyembunyikan Alkitab” tidak lebih dari mitos Reformasi:
propaganda murahan untuk menjustifikasi pemberontakan. Kenyataannya, yang
disebut “membebaskan Alkitab” oleh Protestan justru melahirkan kekacauan
tafsir, ribuan denominasi, dan Babel rohani yang masih berlangsung hingga kini.
Katolik menjaga
Alkitab tetap menjadi roti kehidupan; Protestan menjadikannya serpihan
tafsir yang saling bertabrakan. Katolik menghidupi Sabda Allah dalam liturgi,
sakramen, dan tradisi; Protestan menjadikannya slogan khotbah yang bisa berubah
sesuai tren teologi pasar. Katolik membacanya dengan akal, hati, dan tubuh
Gereja; Protestan sering kali membacanya dengan perasaan, ego, dan ambisi
pendeta lokal.
Inilah ironinya:
mereka menuduh Katolik sebagai penyekap Firman, padahal justru Katoliklah yang
setia menjadi penjaga. Mereka berkoar Sola Scriptura, padahal yang nyata
adalah Sola Interpretatio—segala tafsir menurut selera masing-masing.
Maka mari kita
katakan apa adanya: tanpa Gereja Katolik, tidak akan ada Alkitab.
Protestan hidup dari roti yang dipanggang Katolik, lalu menuduh dapurnya kotor.
Itu bukan fakta sejarah, itu hanya halusinasi teologis.
Firman Allah
tidak pernah dikurung. Ia selalu diwartakan, diproklamasikan, dan dihidupi
dalam Gereja. Justru di luar Gereja-lah Firman itu terpecah belah. Katolik
bukan penyekap Alkitab, Katolik adalah mater et magistra—ibu dan guru
yang melahirkan, menjaga, dan membagikan Sabda Allah kepada dunia.
Punchline
terakhir: Protestan mengklaim Alkitab, tapi Katoliklah yang memeliharanya.
Protestan ribut soal “otoritas Firman”, tapi Katoliklah yang membuat Firman itu
tetap terdengar. Jadi siapa sebenarnya penjaga Alkitab? Jawabannya jelas: Roma.