LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Katolik dan Kitab Suci: Dari Penjaga Tradisi ke Penuduhan Propaganda Reformasi

Pendahuluan

Sejarah adalah guru yang keras kepala: ia tidak tunduk pada propaganda, meskipun sering dipaksa. Selama hampir enam abad sebelum mesin cetak Gutenberg, Kitab Suci tidak berada di rak-rak rumah jemaat, melainkan di jantung Gereja—dilantunkan dalam liturgi, diukir dalam ikon, dinyanyikan dalam mazmur, dan diwartakan dalam homili. Umat awam, yang sebagian besar buta huruf, tidak pernah “dibiarkan lapar” akan Sabda Allah. Mereka memakannya dalam bentuk yang paling murni: sakramental, komunal, dan liturgis.

Namun datanglah abad ke-16, ketika sekelompok reformator menuduh Gereja Katolik “menyembunyikan” Alkitab. Ironi pahitnya: tanpa Gereja Katolik yang menjaga, menyalin, dan menetapkan kanon Kitab Suci, tidak akan ada Alkitab yang bisa mereka genggam untuk berkoar-koar. Tuduhan ini bagaikan anak tiri yang menuduh ibu kandungnya tidak pernah memberinya makan, padahal selama berabad-abad hidupnya hanya bertahan karena air susu ibunya.

Inilah mitos Protestan yang terus diwariskan hingga kini: bahwa Katolik memenjarakan Firman Allah demi kekuasaan. Padahal, kenyataannya jauh berbeda. Gereja justru melindungi Sabda Allah dari disalahgunakan oleh tafsir liar dan nafsu pribadi. Protestan suka berteriak Sola Scriptura, tetapi kenyataan yang dihasilkan adalah Sola Interpretatio—segala tafsir sesuai selera pendeta lokal atau “ilham Roh” yang entah mengapa selalu cocok dengan opini pribadi.

Pendahuluan ini bertolak dari ironi tersebut: bahwa yang dituduh sebagai “penyembunyi Alkitab” adalah justru sang penjaga Kitab, sementara yang mengaku “membebaskan Alkitab” justru melahirkan Babel baru—puluhan ribu denominasi yang saling menuding salah tafsir. Sejarah sudah cukup memberi bukti: di tangan Gereja, Firman Allah adalah roti hidup; di tangan tafsir liar, Firman Allah bisa berubah jadi racun yang memecah belah.

 



Bagian I. Realitas Historis

Sebelum Gutenberg, tidak ada Bible shop di setiap sudut kota, apalagi aplikasi Alkitab dalam genggaman ponsel. Kitab Suci adalah manuskrip mahal, ditulis tangan di atas perkamen oleh para biarawan yang bekerja berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hanya untuk menyalin satu naskah. Butuh waktu, tenaga, dan dana besar—sebuah barang mewah yang hanya bisa dimiliki biara, katedral, atau bangsawan.

Artinya, ketidakhadiran “Alkitab pribadi” di rumah jemaat bukan karena Gereja melarang, melainkan karena kondisi sejarah yang objektif. Menuduh Gereja Katolik “menyembunyikan Alkitab” sama konyolnya dengan menuduh nenek moyang kita “anti-listrik” karena mereka hidup di zaman sebelum Thomas Edison.

Namun, kendati Alkitab fisik jarang dimiliki umat awam, Firman Allah tidak pernah absen dari kehidupan mereka. Justru sebaliknya, seluruh hidup mereka diresapi oleh Sabda:

  • Dalam liturgi: Kitab Suci dibacakan setiap hari Minggu, dilagukan dalam mazmur, diproklamasikan dalam Injil, dijelaskan dalam homili.
  • Dalam seni: Dinding katedral penuh mosaik dan lukisan yang menarasikan Injil bagi mereka yang tak bisa membaca huruf.
  • Dalam doa: Doa harian, Rosario, antifon, dan himne adalah “Alkitab yang dinyanyikan” oleh umat sepanjang tahun liturgi.

Sementara umat Protestan modern suka berlagak seolah-olah tanpa Alkitab pribadi iman mustahil hidup, umat Katolik abad pertengahan sudah hidup dari Sabda Allah yang dibacakan, dinyanyikan, diukir, dan dihidupi. Firman Allah bukan benda koleksi di meja kerja, tetapi napas komunitas.

Ironi berikutnya: para reformator yang berkoar menuduh Katolik “mencegah umat membaca Kitab Suci” justru tidak menyadari bahwa kanon Alkitab yang mereka pakai adalah warisan Katolik. Butuh waktu berabad-abad konsili Gereja (Hippo 393, Kartago 397, Trente 1546) untuk menetapkan apa yang disebut “Kitab Suci.” Protestan tinggal datang belakangan, mengambil Alkitab itu, membuang tujuh kitab (Deuterokanonika), lalu dengan enteng menuduh Gereja sebagai “penyembunyi.”

Sejarah di sini bicara jelas: Gereja Katolik adalah arkivaris yang menjaga Firman Allah tetap utuh, sementara Reformasi adalah editor amatiran yang datang belakangan, mencoret-coret teks lalu mengaku lebih murni. Katolik berabad-abad menyajikan roti, sementara Protestan tiba-tiba mengklaim roti itu basi, padahal mereka sendiri yang memotongnya jadi serpihan-serpihan tafsir pribadi.

 

Bagian II. Propaganda Reformasi

Narasi bahwa Gereja Katolik “menyembunyikan Kitab Suci” lahir bukan dari data sejarah, melainkan dari propaganda Reformasi. Luther, Calvin, dan kawan-kawan mereka membutuhkan musuh imajiner: Gereja Katolik sebagai institusi jahat yang menahan Firman Allah demi mempertahankan kuasa. Narasi ini ampuh, sebab siapa pun yang lapar pasti marah jika dituduh sengaja tidak diberi makan.

Tetapi mari kita buka topengnya. Apa fakta sesungguhnya?

  1. Alkitab ada justru karena Gereja.
    Tanpa konsili, tanpa kerja keras biarawan penyalin, tanpa pengorbanan Gereja menjaga manuskrip di biara dan katedral, tidak akan ada Alkitab yang bisa diangkat-angkat di mimbar Protestan. Dengan kata lain, Reformasi mewarisi roti dari Katolik, lalu menuduh Katolik tidak pernah memberi makan. Logika yang setara dengan anak ingrat yang menuduh ibunya pelit, padahal selama ini dialah yang diberi makan sampai kenyang.
  2. Yang mereka sebut “kebebasan Kitab Suci” justru melahirkan perbudakan tafsir.
    Slogan Sola Scriptura tampak manis di telinga, tetapi realitasnya segera menunjukkan bencana: fragmentasi denominasi, ribuan tafsir kontradiktif, dan perselisihan yang tiada habisnya. Apakah itu kebebasan? Atau justru Babel baru? Gereja Katolik menekankan tafsir dalam komunitas dan tradisi agar umat tidak tersesat, sementara Reformasi menyerahkan Alkitab ke masing-masing individu tanpa kompas. Hasilnya jelas: kekacauan eklesiologis.
  3. Tuduhan “Katolik melarang baca Alkitab” adalah manipulasi.
    Ya, ada masa ketika Gereja melarang edisi-edisi palsu atau tafsir yang menyesatkan, misalnya versi Vernakular yang dipelintir oleh kelompok sesat. Itu tindakan pastoral melindungi umat, bukan menutup akses. Sama halnya dokter melarang pasien minum obat palsu: itu bukan anti-obat, itu justru melindungi kesehatan. Tapi Reformasi membalik fakta ini jadi propaganda “Katolik menutup Firman Allah.”

Ironinya, propaganda ini masih dipertahankan hingga abad 21. Kaum Protestan modern sering mengulang mantra itu tanpa menyadari betapa ahistorisnya tuduhan tersebut. Mereka tak pernah bertanya: “Kalau benar Katolik menyembunyikan Alkitab, bagaimana mungkin Alkitab masih ada untuk kami pakai?” Seperti orang yang memaki petani rakus, sambil mengunyah nasi dari sawah petani itu.

Dengan demikian, jelaslah bahwa narasi Reformasi bukanlah sejarah, melainkan retorika. Protestan butuh identitas, dan cara paling cepat mendapatkannya adalah dengan menciptakan musuh imajiner: Roma si ‘penyekap Alkitab.’ Padahal, tanpa Roma, mereka takkan punya Alkitab sama sekali.

 

Bagian III. Bahaya Membaca Terisolasi

Reformasi mengumandangkan semboyan Sola Scriptura seolah-olah Kitab Suci adalah manual ajaib yang cukup dibaca sendirian di kamar, lalu otomatis Roh Kudus akan “memberi terang” tafsir yang benar. Kedengarannya rohani. Faktanya, inilah pintu masuk ke bencana tafsir: setiap orang merasa dirinya nabi baru dengan hak mutlak mengartikan Firman Allah.

Gereja Katolik sejak awal sadar bahaya ini. Membaca Kitab Suci tanpa tradisi sama seperti orang awam mencoba membedah organ tubuh tanpa ilmu kedokteran—hasilnya bukan penyembuhan, melainkan mayat di meja. Itulah sebabnya Gereja selalu menekankan konteks komunitas, tradisi, dan Magisterium sebagai pagar yang menjaga agar teks tidak dipelintir seenaknya.

Sejarah membuktikan betapa cepatnya tafsir pribadi bisa berubah jadi racun. Arius di abad ke-4 cukup dengan satu ayat (“Bapa lebih besar daripada Aku”) untuk membangun bidat yang hampir melumpuhkan seluruh Kekristenan. Luther cukup dengan kata “iman” untuk menolak hampir seluruh sakramen. Calvin cukup dengan logika dingin predestinasi untuk melahirkan teologi yang menampilkan Allah sebagai tiran kosmik.

Dan lihatlah hasil Reformasi hari ini:

  • Ribuan denominasi saling berseberangan.
  • Ayat yang sama menghasilkan puluhan tafsir.
  • Roh Kudus yang sama, katanya, justru “membisikkan” hal berbeda pada tiap pendeta.

Apakah ini bukti kebebasan? Tidak. Ini adalah bukti chaos hermeneutis.

Sindiran pahitnya: Protestan berkoar “Alkitab cukup!”, tetapi mereka sendiri tidak pernah bisa sepakat apa arti “cukup” itu. Baptis, Pentakosta, Advent, Karismatik—semua membaca Alkitab yang sama, semua mengaku dipimpin Roh yang sama, tapi hasilnya adalah Babel baru: 40.000 lebih denominasi yang saling menuding sesat.

Gereja Katolik tidak menutup akses pada Kitab Suci, tetapi memastikan bahwa Firman Allah tetap jadi roti, bukan racun. Umat Katolik tidak dibiarkan makan sendiri di dapur, melainkan dijamu dalam pesta liturgi, dengan makanan yang sama, bergizi, dan dijamin keasliannya. Protestan, sebaliknya, membiarkan tiap orang jadi juru masak, sehingga dapurnya penuh makanan gosong, asin berlebihan, atau bahkan beracun.

Inilah inti bahaya membaca terisolasi: Firman Allah, bila diputus dari komunitas dan tradisi, akan kehilangan rasanya yang asli, diganti bumbu tafsir pribadi yang menyesatkan.

 

Bagian IV. Cara Katolik Membaca Kitab Suci

Gereja Katolik tidak pernah membaca Kitab Suci dengan cara datar, serampangan, atau emosional. Ada empat jalan utama yang membentuk tradisi pembacaan Katolik—sebuah metode yang bukan sekadar “membaca”, tetapi mengunyah, mencerna, dan menghidupi Firman Allah.

1. Liturgis

Alkitab pertama-tama adalah buku Gereja, bukan buku pribadi. Ia bernapas dalam liturgi. Injil tidak sekadar “dibacakan”, tetapi diproklamasikan di tengah umat, diterangi homili, disertai nyanyian dan doa. Pada Malam Paskah, misalnya, kisah kebangkitan bukan sekadar informasi sejarah, tetapi peristiwa yang dihadirkan kembali dalam sakramen. Umat tidak hanya mendengar, tetapi masuk ke dalam peristiwa.

Bandingkan dengan kebiasaan Protestan: ayat dibaca sepotong, lalu pendeta mengoceh panjang-lebar sesuai tafsir pribadi. Firman Allah jadi bahan pidato, bukan sakramen hidup.

2. Kanonik

Tidak ada ayat berdiri sendiri. Katolik membaca Kitab Suci dalam kesatuan seluruh kanon. Kisah manna di padang gurun (Kel 16) menemukan makna penuhnya dalam Yohanes 6 ketika Yesus menyatakan diri sebagai roti hidup. Tradisi Katolik melihat Kitab Suci sebagai satu simfoni: tiap bagian saling melengkapi, bukan saling dipisahkan.

Protestan, sebaliknya, sering mengutip ayat lepas sebagai slogan: “Hanya iman!” (Rom 3:28, versi Luther), sambil menutup mata pada Yakobus 2:24 yang secara gamblang menyebut “manusia dibenarkan bukan hanya oleh iman.” Tafsir tambal-sulam ini bukan kanonik, melainkan fragmentaris.

3. Kristologis

Segala sesuatu dalam Kitab Suci menunjuk kepada Kristus. Hamba yang menderita dalam Yesaya 53, Daud melawan Goliat, bahkan kisah Yunus di perut ikan—semuanya berakar dan berpuncak pada Yesus Kristus. Itulah sebabnya Gereja Katolik membaca Alkitab dengan kunci Kristologis: bukan siapa pun, bukan pendapat subjektif, melainkan Kristus yang tersalib dan bangkit.

Protestan sering mengklaim “Kristus pusat Alkitab”, tetapi praktiknya banyak gereja justru menjadikan emosi pribadi, mujizat instan, atau kemakmuran duniawi sebagai pusat khotbah. Kristus disingkirkan, diganti motivasi.

4. Doktrinal

Gereja membaca Kitab Suci dalam terang ajaran yang lahir darinya. Doktrin bukan dipaksakan ke atas teks, melainkan distilasi murni dari Kitab Suci. Istilah “Trinitas” mungkin tidak tertulis, tetapi seluruh Kitab Suci memancarkannya. Maka, Gereja mengartikulasikan kebenaran itu dalam Konsili, menjaga agar tafsir tidak liar.

Protestan menolak tradisi doktrinal dengan alasan “hanya Alkitab”, tetapi pada akhirnya mereka sendiri membuat “doktrin” baru: sola fide, sola scriptura, rapture, predestinasi, prosperity gospel—semuanya hasil tafsir pribadi yang kemudian diperlakukan seperti dogma. Ironisnya, mereka mencemooh doktrin Katolik sambil menciptakan doktrin buatan sendiri di setiap denominasi baru.

 

Kesimpulan Sementara

Cara Katolik membaca Kitab Suci adalah cara yang menyeluruh: liturgis, kanonik, Kristologis, dan doktrinal. Inilah yang menjaga agar Firman Allah tetap menjadi roti kehidupan, bukan serpihan tafsir kontradiktif.

Protestan suka berkata, “Kami punya Alkitab!” Betul. Tapi Katolik punya cara membaca yang konsisten dua milenium. Apa gunanya punya peta kalau setiap orang menafsirkannya berbeda, lalu semua orang tersesat ke jurang yang berbeda?

 

Bagian V. Mengapa Umat Awam Tidak Membaca Sendiri?

Protestan sering mengangkat satu tuduhan klise: “Gereja Katolik melarang umat membaca Alkitab!” Mereka membayangkan Gereja abad pertengahan seperti seorang tiran yang menyimpan Kitab Suci di lemari besi, kuncinya digantung di leher Paus, sementara umat kecil dibiarkan kelaparan rohani. Gambaran ini laku dijual dalam khotbah-khotbah anti-Katolik, tapi sayangnya, tidak ada hubungannya dengan kenyataan sejarah.

1. Faktor Praktis

Sebelum mesin cetak ditemukan, satu salinan Kitab Suci bisa menelan biaya setara rumah sederhana. Alkitab ditulis tangan di atas perkamen, disalin oleh biarawan selama bertahun-tahun. Bagaimana mungkin setiap petani di desa terpencil bisa punya Alkitab pribadi? Jadi, ketiadaan Alkitab pribadi bukan karena Gereja melarang, melainkan karena kondisi material zaman itu.

Bandingkan dengan zaman sekarang: setiap orang bisa mengunduh aplikasi Alkitab gratis di ponsel. Namun, apakah keadaan iman umat Kristen lebih sehat? Justru yang kita saksikan adalah kebingungan, perpecahan, dan ribuan tafsir liar. Jadi masalahnya bukan ada-tidaknya Kitab Suci pribadi, melainkan bagaimana Kitab Suci dipahami.

2. Faktor Pendidikan

Mayoritas umat abad pertengahan buta huruf. Membaca Alkitab pribadi jelas mustahil bagi mereka. Gereja menjawab kebutuhan itu bukan dengan menyerah, melainkan dengan mewartakan Firman dalam bentuk yang bisa diakses: bacaan liturgi, homili, lagu, ikon, patung, bahkan arsitektur katedral yang penuh dengan kisah Kitab Suci. Bagi umat sederhana, tembok gereja adalah “Alkitab bergambar” yang lebih fasih daripada seribu terjemahan.

Sementara itu, propaganda Reformasi menafsirkan kondisi ini sebagai “penyekapan.” Padahal, yang disebut “penyekapan” itulah yang membuat Injil tetap sampai ke telinga dan hati umat sederhana.

3. Faktor Teologis

Alkitab bukan novel pribadi yang bisa dibaca dengan bebas sesuai selera. Ia adalah Sabda Allah yang butuh kerangka penafsiran otentik: tradisi apostolik dan Magisterium. Gereja tahu bahaya kalau setiap orang mengutip ayat seenaknya tanpa bimbingan. Yang lahir bukan kesatuan iman, tetapi kebingungan massal.

Bukti? Reformasi. Begitu Alkitab “dibebaskan,” maka lahirlah 40.000 denominasi, semua mengaku “setia pada Alkitab.” Sungguh ironis: mereka menuduh Katolik mengurung Alkitab, padahal setelah Alkitab mereka “bebaskan,” justru mereka memenjarakan diri dalam tafsir masing-masing.

4. Sindiran Tajam

Protestan sering berkoar, “Kami mengembalikan Alkitab ke tangan umat!” Faktanya, yang mereka lakukan adalah mengembalikan tafsir ke tangan masing-masing pendeta. Alkitab memang dibagikan, tapi kunci tafsir tetap digenggam oleh khotbah subjektif. Umat tidak benar-benar merdeka, mereka hanya berpindah dari bimbingan Magisterium yang konsisten ke dalam tirani tafsir pribadi yang kontradiktif.

 

Kesimpulan Sementara

Alasan umat awam dahulu tidak membaca Alkitab sendiri bukan karena Gereja kejam, melainkan karena realitas sejarah dan kesadaran pastoral. Gereja tidak mau Sabda Allah berubah jadi mainan tafsir liar. Katolik tidak anti-Alkitab, justru Gereja Katoliklah yang membuat Alkitab tetap utuh, bisa dibacakan, dipahami, dan dihidupi.

Sementara itu, slogan Reformasi tentang “membebaskan Alkitab” hanyalah ilusi. Yang mereka bebaskan bukan Firman Allah, melainkan nafsu tafsir.

Bagian VI. Katolik: Penjaga, Bukan Penyekap

Protestan senang membangun narasi dramatis: Katolik menutup rapat Alkitab agar umat awam tetap bodoh dan tunduk pada otoritas Roma. Kisah ini enak dikhotbahkan, mudah dijual di mimbar, tetapi rapuh di hadapan sejarah. Fakta yang tak bisa dibantah: tanpa Gereja Katolik, tidak akan ada Alkitab.

1. Penjaga Kanon

Kanon Kitab Suci tidak jatuh dari langit lengkap 73 kitab dengan indeks rapi. Ia dibentuk dalam rahim Gereja, ditetapkan dalam konsili—Hippo (393), Kartago (397), dan ditegaskan kembali di Trente (1546) sebagai respons terhadap mutilasi Luther. Jadi, siapa yang menyusun daftar kitab yang hari ini dibaca Protestan maupun Katolik? Gereja Katolik.
Mereka yang menuduh Katolik menyembunyikan Alkitab justru membaca dari kanon yang ditentukan Katolik. Ironi tingkat tinggi: menuduh ibu tidak pernah melahirkan anak, padahal dirinya ada karena rahim sang ibu.

2. Penyalin dan Penjaga Manuskrip

Biarawan-biarawan Katolik menghabiskan hidup menyalin Kitab Suci dengan tangan, menyelamatkannya dari kehancuran perang, kebakaran, dan invasi. Biara-biara Eropa adalah “bank data” Sabda Allah, jauh sebelum ada USB, Google Drive, atau aplikasi Alkitab digital. Kalau Gereja memang ingin menyembunyikan Kitab Suci, mengapa biarawan-biarawan ini mengorbankan hidup hanya untuk menyalinnya berulang kali?

Bandingkan dengan Reformasi: Luther cukup duduk manis, mengambil hasil kerja berabad-abad itu, lalu dengan seenaknya mencoret tujuh kitab Deuterokanonika karena “tidak sesuai teologinya.” Siapa sebenarnya yang menyembunyikan Firman Allah?

3. Penjaga Tafsir

Katolik tidak hanya menjaga teks, tetapi juga tafsir. Alkitab tidak ditafsirkan liar, tetapi dibaca dalam terang tradisi apostolik dan ajaran konsili. Doktrin-doktrin besar—Trinitas, Inkarnasi, Ekaristi—bukan tambahan, melainkan distilasi murni dari Kitab Suci yang dijaga Gereja. Tanpa penjagaan ini, Alkitab akan ditarik ke sana kemari sesuai kepentingan pribadi, seperti yang terjadi dalam ribuan denominasi Protestan.

4. Sindiran yang Tak Terelakkan

Protestan sering menuduh Katolik menutup Alkitab dari umat. Faktanya, Protestanlah yang merobek Alkitab dari tubuh Gereja. Mereka bukan membebaskan Firman Allah, tetapi memenggalnya, lalu menjual potongannya dengan merek dagang masing-masing. Katolik menjaga Alkitab tetap utuh, Protestan menjadikannya franchise.

 

Kesimpulan

Gereja Katolik tidak pernah menjadi penyekap Firman, melainkan ibu yang melahirkan, menyusui, dan menjaga Sabda Allah agar tetap hidup dalam Gereja. Kalau umat Protestan hari ini bisa mengutip Mazmur, Injil Yohanes, atau Surat Paulus, itu karena Gereja Katolik setia menyalin, menjaga, dan mewariskan.

Singkatnya: Katolik adalah penjaga Alkitab; Protestan hanyalah penyewa warisan.

 

Penutup

Sejarah telah memberi kesaksian yang keras dan tidak bisa dipalsukan oleh retorika. Selama berabad-abad, Gereja Katolik menjaga Kitab Suci—menyalin dengan darah dan tinta, melantunkannya dalam liturgi, memahatnya dalam seni, dan menafsirnya dalam terang tradisi apostolik. Tanpa rahim Gereja, tidak ada kanon, tidak ada manuskrip, tidak ada Injil yang bisa diangkat-angkat hari ini.

Maka, tuduhan bahwa Katolik “menyembunyikan Alkitab” tidak lebih dari mitos Reformasi: propaganda murahan untuk menjustifikasi pemberontakan. Kenyataannya, yang disebut “membebaskan Alkitab” oleh Protestan justru melahirkan kekacauan tafsir, ribuan denominasi, dan Babel rohani yang masih berlangsung hingga kini.

Katolik menjaga Alkitab tetap menjadi roti kehidupan; Protestan menjadikannya serpihan tafsir yang saling bertabrakan. Katolik menghidupi Sabda Allah dalam liturgi, sakramen, dan tradisi; Protestan menjadikannya slogan khotbah yang bisa berubah sesuai tren teologi pasar. Katolik membacanya dengan akal, hati, dan tubuh Gereja; Protestan sering kali membacanya dengan perasaan, ego, dan ambisi pendeta lokal.

Inilah ironinya: mereka menuduh Katolik sebagai penyekap Firman, padahal justru Katoliklah yang setia menjadi penjaga. Mereka berkoar Sola Scriptura, padahal yang nyata adalah Sola Interpretatio—segala tafsir menurut selera masing-masing.

Maka mari kita katakan apa adanya: tanpa Gereja Katolik, tidak akan ada Alkitab. Protestan hidup dari roti yang dipanggang Katolik, lalu menuduh dapurnya kotor. Itu bukan fakta sejarah, itu hanya halusinasi teologis.

Firman Allah tidak pernah dikurung. Ia selalu diwartakan, diproklamasikan, dan dihidupi dalam Gereja. Justru di luar Gereja-lah Firman itu terpecah belah. Katolik bukan penyekap Alkitab, Katolik adalah mater et magistra—ibu dan guru yang melahirkan, menjaga, dan membagikan Sabda Allah kepada dunia.

Punchline terakhir: Protestan mengklaim Alkitab, tapi Katoliklah yang memeliharanya. Protestan ribut soal “otoritas Firman”, tapi Katoliklah yang membuat Firman itu tetap terdengar. Jadi siapa sebenarnya penjaga Alkitab? Jawabannya jelas: Roma.

 

Share This Article :
9000568233845443113