LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Tatanan Kosmik vs. Nominalisme: Mengapa Katolik Menghormati Para Kudus – Memeriksa Lip Service Katolik tentang Penyembahan

Dalam percakapan antara iman Katolik dan banyak bentuk pemikiran Protestan, sering kali muncul tuduhan bahwa umat Katolik "menyembah Maria" atau "mengidolakan orang-orang kudus". Namun tuduhan ini biasanya lahir dari kegagalan memahami kerangka metafisik yang menjadi dasar bagi spiritualitas dan devosi Katolik. Pada intinya, perbedaan ini bersumber dari dua pandangan dunia yang sangat berbeda: tatanan kosmik realistik dan pandangan nominalistik modern.

 

1. Tatanan Kosmik: Dunia Sebagai Hierarki Partisipatif

Tradisi Katolik, yang mewarisi filsafat Aristoteles dan dikembangkan oleh Thomas Aquinas, mengakui bahwa realitas tidak datar, melainkan tersusun secara hierarkis. Semua ciptaan memiliki tempat dalam ordo entis (tatanan keberadaan), di mana masing-masing makhluk berpartisipasi secara berbeda dalam keberadaan dan kebaikan yang berasal dari Allah.
Allah adalah Ipsum Esse Subsistens (Keberadaan itu sendiri), satu-satunya yang memiliki keberadaan dalam diri-Nya sendiri (Ens a se).
Semua makhluk adalah ens ab alio, yaitu ada karena keberadaan yang diberikan, bukan karena dirinya sendiri.
Ada tingkatan keberadaan: batu < tumbuhan < hewan < manusia < malaikat < Maria < Allah.

Maka, penghormatan dalam tradisi Katolik adalah tanggapan proporsional terhadap keberadaan:
Latria hanya kepada Allah karena Dia satu-satunya Sumber segala sesuatu.
Dulia kepada para kudus karena mereka memantulkan cahaya ilahi secara lebih cemerlang dari kita.
Hiperdulia kepada Maria karena ia adalah makhluk paling sempurna dalam sejarah keselamatan, Theotokos (Bunda Allah).

2. Nominalisme: Hilangnya Hierarki dan Penyeragaman Ibadah

Banyak bentuk pemikiran Protestan modern, secara sadar atau tidak, mewarisi warisan nominalisme, suatu aliran filsafat yang menolak bahwa ada bentuk atau esensi universal yang nyata. Bagi nominalisme, segala sesuatu hanyalah individu-individu lepas yang ditentukan oleh nama-nama dan fungsi semata.
Tidak ada "tingkatan keberadaan" yang objektif.
Ibadah bukan respons terhadap struktur kosmik, melainkan sekadar ekspresi niat atau emosi subyektif.
Maka, segala bentuk sujud, nyanyian, atau pujian dianggap sebagai ibadah, tak peduli kepada siapa itu diarahkan.

Dari sinilah muncul asumsi keliru: jika seorang Katolik berdoa di depan patung Maria sambil menitikkan air mata, maka ia "pasti menyembahnya". Padahal, dalam kerangka Katolik, tindakan ini bukan ditentukan oleh gestur luar, tapi oleh ontologi objek yang dihormati.

3. Yang Menentukan Bukan Tindakan Subjek, Tapi Keberadaan Objek

Dalam kerangka realisme metafisik:

Tindakan manusia tidak dapat mengubah struktur ontologis dari ciptaan.

Maria tetap makhluk, tak peduli seberapa besar cinta dan devosi yang ditujukan kepadanya. Tidak ada tindakan manusia yang dapat membuatnya menjadi Tuhan. Ini adalah pelajaran penting: kultus bukan ditentukan oleh intensitas, tapi oleh kebenaran ontologis.

Maka, ketika orang Protestan berkata, “kalau begitu tidak usah dihormati,” yang tampak adalah hilangnya sense of wonder terhadap Being — rasa kagum dan hormat kepada kenyataan adanya tatanan yang lebih tinggi daripada kita. Katolik tidak menyamakan Maria dengan Tuhan, tapi justru menghormatinya karena Allah telah meninggikannya.

4. Penutup: Mengapa Penghormatan Itu Masuk Akal dan Benar

Dalam dunia yang masih mengenal keindahan struktur, penghormatan kepada yang luhur adalah bagian dari tata adil. Kita menghormati orang tua, guru, pahlawan bangsa — bukan karena mereka Tuhan, tetapi karena mereka pantas dihormati.

Begitu pula Maria dan para kudus. Mereka tidak kita sembah, tetapi kita hormati karena Allah sendiri telah memuliakan mereka. Dan dengan menghormati mereka, kita sebenarnya memuliakan Allah, yang telah bekerja secara luar biasa dalam hidup mereka.

Penghormatan Katolik bukan ilusi, bukan penyembahan palsu, melainkan bentuk logis dan metafisik dari ketundukan kepada struktur realitas yang dikaruniakan Allah.


Jika Protestan ingin memahami devosi Katolik, maka mereka perlu memulihkan rasa kagum mereka terhadap Being — dan kembali kepada visi dunia sebagai ciptaan yang bertingkat, tertata, dan penuh makna.

Share This Article :
9000568233845443113