Pendahuluan
Banyak yang salah paham terhadap dogma Maria Tak Bernoda (Immaculata). Sebagian mengira ini memerlukan “rantai suci” tanpa dosa yang tak berkesudahan—seolah nenek buyut Maria pun harus kudus sempurna agar Maria kudus. Sebagian lagi menuduh Gereja Katolik membuat aturan sesuka hati (voluntarisme). Kedua tuduhan ini tidak berdasar. Dogma Maria Tak Bernoda justru lahir dari logika keselamatan yang mendalam, bukan dari otoritarianisme buta. Katekismus jelas menyebut: “Agar Maria dapat memberikan jawaban iman yang bebas terhadap panggilan ilahi, perlu bahwa ia dipenuhi oleh rahmat Allah sepenuhnya” (KGK §490). Kata “perlu” di sini adalah bahasa teologis yang serius, bukan hiperbola.
Mengapa “Perlu” dan Bukan Sekadar “Pantas”?
1. Kristologi Menjadi Pusat
Ajaran tentang Maria selalu lahir dari ajaran tentang Kristus. Yesus harus sungguh-sungguh manusia—menerima daging dari ibu-Nya—dan sungguh-sungguh Allah yang tidak dapat bersentuhan dengan dosa. Jika daging yang Ia terima ternodai oleh dosa, inkarnasi menjadi kontradiksi. Gereja tidak bicara soal “kesucian darah” secara biologis, melainkan soal kodrat manusia yang utuh dan bersih. Seperti diingatkan Kardinal Ratzinger: mengabstraksikan iman berarti menghapus Ibu. Tanpa Maria yang murni, inkarnasi Yesus tergelincir ke doketisme—Yesus hanya “tampak” manusia.
2. Tidak Ada Regress Tak Terbatas
Kesucian Maria tidak menuntut leluhur yang sama kudusnya. Mengapa? Karena yang diperlukan hanya satu tubuh manusia yang benar-benar suci untuk Sang Sabda menjadi daging. Maria menerima rahmat Kristus secara proleptik (di muka) oleh kuasa Allah (bdk. KGK §491). St. Anna tidak perlu dikandung tanpa noda, sebagaimana nenek moyang para kudus lain tetap orang berdosa. Rahmat itu selektif, efisien, dan tepat sasaran. Tuhan bertindak hemat tetapi memadai: satu rahim yang murni, cukup untuk satu Penebus.
3. Menolak “Tuhan Tukang Sulap”
Sebagian Protestan berpikir, “Kalau begitu kenapa tidak langsung Yesus yang dilindungi?” Masalahnya, Yesus bukan turun dari langit dengan tubuh siap pakai. Ia lahir dari seorang ibu, mengambil kodrat manusia yang sama dengan kita kecuali dalam hal dosa. “Men-‘zap’ Yesus” tanpa Maria yang murni memutuskan tali kemanusiaan itu. Maka bukan sekadar kehendak sewenang-wenang; ini tuntutan inkarnasi yang sejati.
Menghantam Asumsi Voluntarisme
Tuduhan bahwa Gereja sekadar mengangkat Maria karena ingin mengagungkannya adalah karikatur. Katolik menolak konsep Allah yang bertindak tanpa alasan. Logos—Sabda Ilahi—adalah rasional, bukan acak. Voluntarisme yang menekankan kuasa buta lebih sesuai dengan pola pikir nominalis, yang ironisnya banyak diwarisi Reformasi. Dogma Maria Tak Bernoda bukan “kemauan Gereja”, tetapi deduksi dari logika keselamatan: Sang Putra memerlukan kodrat manusia yang suci agar penyelamatan itu nyata, bukan simbolik.
Tiga Tingkatan Kodrat Manusia: Menutup Jalan Buntu Protestan
Kesulitan Protestan sering muncul karena hanya melihat dua kondisi manusia: pra-jatuh (tanpa dosa) dan pasca-jatuh (berdosa). Katolik melihat tiga:
- 
Tanpa dosa, belum dimuliakan – Adam dan Hawa sebelum jatuh. 
- 
Berdosa dan rapuh – umat manusia setelah kejatuhan. 
- 
Dimuliakan dan tak binasa – kebangkitan Kristus, keadaan surgawi. 
Maria ada di tingkat pertama secara rahmat, bukan kodrat ilahi. Yesus memasuki dunia bukan dengan kodrat yang jatuh, tetapi kodrat yang murni untuk mengangkat kita ke tingkat ketiga. Tanpa dogma Maria Tak Bernoda, Kristologi kehilangan pijakan: bagaimana Kristus mewarisi daging tanpa dosa dari ibu yang berdosa?
Kesimpulan: Apakah Ini Berlebihan?
Tidak. Dogma ini tidak membuat Maria ilahi, tidak meniadakan kebutuhan akan penebusan. Maria tetap diselamatkan oleh Kristus—hanya caranya berbeda: ia menerima keselamatan lebih dahulu dan secara penuh sejak awal. Itu bukan kemewahan, tetapi efisiensi kasih. Seorang Protestan yang ingin menyangkal dogma ini harus menjawab pertanyaan sederhana namun mematikan: Bagaimana Kristus bisa sungguh manusia, sungguh Allah, dan bebas dosa jika rahim yang melahirkannya tetap terikat oleh dosa?
Dogma ini adalah logika kasih, bukan rantai tak berujung. Satu rahim dipersiapkan, satu Putra lahir, satu dunia diselamatkan.
