Pendahuluan
Debat
bukan sekadar adu mulut; ia adalah peta benturan cara pikir. Dalam beberapa
video yang ramai di jagat maya, Romo Patris Allegro tampil mewakili Gereja
Katolik, sementara Decky Nggadas, seorang Reformed Calvinis, berdiri di
seberang. Dari sini, Rudi Layar Teologi masuk sebagai penonton sekaligus juri
dadakan. Ia membuat tabel skor, membedah isu demi isu, dan memberi label: mana
yang unggul, mana yang kalah.
Namun,
penilaian Rudi menarik justru karena ia sering melihat sisi yang Katolik pahami
berbeda. Bagi Rudi, Allegro tampak “lari ke sana kemari”, terlalu sistematis,
terlalu mengikat diri pada konsili, terlalu menegaskan batas. Bagi yang lahir
dari tradisi Reformed yang terbiasa dengan ayat cepat dan serangan tajam, ini
mungkin tampak sebagai kelemahan. Tapi di baliknya, kita melihat wajah Gereja
Katolik yang memang tidak bermain di lorong sempit; ia membawa seluruh rumah
ajaran, memori konsili, filsafat dan tradisi.
Itulah
yang hendak kita tunjukkan di sini: apa yang oleh Rudi diberi skor minus bukan
tanda rapuh, melainkan bukti beban kematangan. Debat Allegro dan Decky menjadi
kaca pembesar yang memperlihatkan jurang perbedaan cara memandang iman: Katolik
menggelar peta, Reformed memegang fragmen. Di video ini, kita akan membaca satu
per satu “kelemahan” versi Rudi dan menunjukkan bahwa itulah justru keunggulan
Katolik.
Bagian I. Cara Berpikir: Lari
atau Menyusun Peta?
Rudi mencatat bahwa Allegro dalam debat melawan
Decky Nggadas sering terlihat “lari ke sana kemari,” tidak selalu menjawab
sesuai arah lawan. Bagi mata Reformed, ini tampak seperti taktik menghindar.
Namun bila dilihat dari kacamata Katolik, pola ini bukan penghindaran,
melainkan bentuk berpikir yang berbeda.
Gereja Katolik dibentuk oleh cara berpikir
sistematik—warisan filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas. Di sana, satu
kebenaran tak berdiri sendiri, melainkan terjalin dalam jaringan gagasan: Kitab
Suci, konsili, tradisi, dan akal budi menyatu. Karena itu, ketika satu serangan
diarahkan ke titik A, Allegro bisa menjawab dari titik B, C, atau D, bukan
karena ia kabur, tapi karena Katolik membaca seluruh peta. Ia tidak mau
terperangkap dalam permainan parsial; ia melihat keseluruhan lanskap.
Inilah yang sering disebut kelemahan oleh
pengamat seperti Rudi, padahal justru inilah kekuatan Katolik: ia menolak
fragmentasi. Dalam teologi Katolik, setiap pertanyaan memanggil bukan hanya
satu ayat, tetapi satu tubuh ajaran. Apa yang tampak “tidak fokus” bagi lawan
adalah cara Gereja menjaga agar iman tetap utuh, bukan sepotong-sepotong.
Bagian II. Figur vs.
Magisterium: Identitas Kolektif sebagai Kekuatan
Rudi memisahkan antara pribadi dan ajaran. Ia
berkata, mengkritik Allegro bukan berarti menolak ajaran Katolik; ia menyoroti
bahwa seorang figur bukanlah Gereja itu sendiri. Di satu sisi, ini benar dalam
logika debat. Namun di sisi lain, inilah yang membedakan Katolik dari tradisi
Reformed yang lebih individual: Gereja Katolik tidak pernah berbicara dari
suara tunggal.
Ketika seorang imam seperti Allegro berbicara,
ia tidak berdiri sendirian; ia berdiri di dalam tubuh Gereja yang memanggul
sejarah dua milenium. Ia meminjam lidah Konsili, Katekismus, para Bapa Gereja,
dan tradisi hidup. Karena itu, kritik pada figur tidak pernah sepenuhnya
terlepas dari ajaran, sebab figur itu adalah bagian dari rantai pengajaran
resmi. Magisterium—yakni kuasa mengajar Gereja—bukan sekadar kumpulan dokumen,
tetapi organisme yang hidup, tempat suara pribadi menyatu dalam harmoni.
Bagi Rudi, ini tampak seperti kelemahan:
mengapa suara pribadi begitu terkait dengan institusi? Tapi justru di situlah
kekuatannya. Katolik percaya bahwa kebenaran bukan hasil improvisasi seorang
individu, melainkan buah koor besar yang dijaga, diuji, dan dipelihara. Figur
bukan idolanya; figur adalah mulut komunitas. Di dunia yang mudah memecah-mecah
opini, kesatuan suara ini adalah kekuatan, bukan beban.
Bagian III. Memori dan
Konsistensi: “Perang Abad 16” yang Hidup
Rudi tampak heran dan kadang geli melihat
Allegro selalu membawa kita kembali ke suasana abad ke-16, bahkan menyebutnya
seolah “perang lama” yang dibuka lagi. Bagi penonton Reformed yang ingin debat
terasa segar dan kontekstual, ini mungkin tampak seperti obsesi sejarah. Tetapi
di sinilah kita melihat wajah Gereja Katolik yang berbeda: ia tidak pernah
menanggalkan memori.
Trente dan Vatikan II bukan dua suara yang
saling meniadakan; Vatikan II tidak membatalkan Trente, ia hanya mengubah nada
pastoralnya. Substansi tetap sama, hanya cara bicara yang lebih bersahabat.
Katolik memegang memori bukan karena romantisme, melainkan karena ia percaya
kebenaran tidak kedaluwarsa. Konsili, dogma, dan sejarah menjadi akar yang
menjaga pohon tetap tegak di tengah angin zaman.
Apa yang tampak “keras kepala” bagi pengamat
adalah tanda konsistensi. Ketika Allegro mengingatkan soal kutukan bidat,
sakramen, dan otoritas, ia bukan sekadar bernostalgia; ia mengingatkan bahwa
iman Katolik tidak lahir kemarin, dan tidak berubah arah setiap kali tren
datang. Inilah kekuatan Gereja: ia lambat, tapi tidak goyah; ia memanggul
ratusan tahun warisan tanpa merasa perlu meminta maaf karena setia.
Bagian IV. Filsafat dan Kitab
Suci: Arsitek dan Tukang
Rudi membaca perbedaan gaya dengan jelas: Decky
Nggadas tampak nyaman membedah ayat demi ayat, sedangkan Allegro memanggul
filsafat, berbicara Aristoteles, Thomas Aquinas, dan kausa instrumental. Ia
menilai ini kadang seperti tidak nyambung, seolah Allegro menghindar dari teks
yang dilempar lawan. Tapi ketidaksamaan ini lahir dari fondasi yang berbeda.
Gereja Katolik memandang Kitab Suci bukan
sekadar kumpulan ayat, melainkan bagian dari simfoni yang lebih besar: Tradisi,
Magisterium, akal budi, dan sejarah. Filsafat dipakai bukan untuk mengaburkan
teks, tetapi untuk memastikan teks dimengerti secara utuh. Allegro memandang
perdebatan bukan sekadar menembak ayat, tapi membangun rumah dari batu-batu
kebenaran yang saling menopang. Ia seperti arsitek yang merancang bangunan,
bukan tukang yang sibuk memasang satu paku.
Bagi telinga Reformed yang suka duel cepat, ini
bisa tampak melebar. Namun justru di situlah kekuatan Katolik: ia enggan
membiarkan satu ayat dicabut dari tanahnya. Dalam pandangan Gereja, ayat tanpa
kerangka bagaikan jendela tanpa dinding. Allegro mengajak lawannya melihat peta
penuh, walau itu berarti keluar dari kebiasaan main potong per potong.
Bagian V. Fragmentasi dan
Kepenuhan
Rudi mengangkat isu fragmentasi: angka-angka
populer seperti 33.000 atau 40.000 denominasi Protestan, katanya, sering cacat
metodologi. Ia benar, angka bisa dilebih-lebihkan. Namun fakta tidak hilang:
Protestantisme terbelah ke banyak cabang. Allegro tidak sedang bermain
statistik; ia bicara prinsip. Bagi Katolik, masalahnya bukan 30 ribu atau 300,
tetapi kenyataan bahwa tanpa otoritas pusat, tubuh Kristus yang satu terbelah
menjadi potongan-potongan kecil.
Rudi sendiri mengakui ada fragmentasi, tapi
berusaha melunakkan dampak dengan menyoroti kekeliruan angka. Di sinilah
kekuatan Katolik terlihat: Gereja tidak mendefinisikan diri dengan jumlah
cabang, tetapi dengan kesatuan yang berakar pada tahta Petrus. Di mata Katolik,
persatuan bukan tambahan, tapi sifat hakiki dari iman. Perpecahan adalah luka
yang nyata, bukan sekadar variasi warna.
Hal yang sama terjadi pada pembahasan baptisan.
Rudi mencatat Allegro keras: baptisan Protestan sah, tetapi tidak penuh. Itu bagi sebagian terasa
merendahkan. Padahal ini logika eklesiologi Katolik. Baptisan adalah pintu,
bukan rumah. Sah berarti membuka pintu ke dalam keselamatan, tetapi kepenuhan
iman memerlukan sakramen lain, kesatuan dengan Gereja, dan otoritas yang terjaga.
Allegro tidak sedang menghina; ia sedang jujur tentang kerangka iman yang
Katolik percayai.
Dalam dua isu ini, Rudi mencoba mengurangi beban
kritik dengan bermain pada sisi data dan istilah. Tapi justru di situlah
keunggulan Katolik muncul: bukan soal menghitung cabang atau mendebat istilah,
tetapi soal tubuh yang tetap satu, rumah yang tetap utuh, pintu yang tidak
dibiarkan berdiri tanpa tembok.
Bagian
VI. Istilah dan Ekuivokasi
Rudi
menyoroti keunggulan Decky dalam memecah istilah—“pembenaran,” “iman,” “sola
fide”—dengan presisi semantik. Ia memuji cara Reformed memisahkan makna awal
dan proses, status dan buah. Di sini, Allegro tampak kurang detail, lebih fokus
pada kritik menyeluruh terhadap doktrin seperti sola fide dan sola
scriptura. Sekilas, ini tampak sebagai kelemahan.
Namun
inilah karakter Katolik: ia tidak pernah puas dengan potongan kata. Bagi Gereja,
istilah bukan sekadar definisi; ia adalah pintu menuju misteri. Allegro tidak
membuang waktu di semantik karena ia melihat gambaran besar: iman bukan label,
tapi jalan hidup yang penuh sakramen; pembenaran bukan momen tunggal, tapi
proses rahmat. Katolik selalu waspada pada bahaya cherry-picking—memilih
kata yang nyaman dan mengabaikan yang lain. Maka ketika Allegro menyerang sola
fide atau sola scriptura, ia bukan sekadar bermain kata; ia menolak
reduksi iman menjadi satu-dua istilah yang bisa diputar sesuai selera.
Rudi melihat kejelasan Decky sebagai nilai
plus. Tapi kejelasan semantik tidak selalu sama dengan kebenaran penuh. Kata
yang jernih bisa menutup mata pada misteri. Gereja Katolik menolak menjadikan
iman seperti rumus matematis; ia lebih suka memberi ruang bagi kebenaran yang
utuh, yang menyentuh pikiran dan tubuh, sejarah dan komunitas. Allegro tampak
melompat-lompat? Tidak, ia hanya enggan terjebak di ruang kata yang sempit.
Bagian VII. Ikon, Tradisi, dan
Tubuh Gereja
Rudi menyoroti soal ikon dan tradisi patristik.
Decky Nggadas mengklaim, dengan nada tegas, bahwa gereja mula-mula tanpa
gambar, seolah-olah dukungannya nol. Allegro menolak klaim ini dan membawa
bukti sejarah: penghormatan ikon tidak muncul tiba-tiba di Konsili Nikea II,
tetapi lahir dari proses panjang. Ada fase-fase, ada pro dan kontra, ada Basil
Agung yang membela, ada Clement dan Origen yang mengkritik. Tradisi itu hidup,
bukan garis lurus.
Rudi akhirnya mengakui klaim Decky terlalu
menyapu rata. Ia bahkan memberikan skor kepada Allegro untuk ketepatan sejarah.
Di sinilah kita melihat pola yang sama: hal yang tampak bertele-tele bagi
sebagian justru adalah kekuatan Katolik. Gereja tidak malu dengan
kompleksitasnya. Ia tidak takut dengan catatan sejarah yang penuh warna, karena
iman Katolik percaya bahwa rahmat bekerja melalui waktu, budaya, dan tubuh
manusia.
Ikon bagi Katolik bukan hiasan; ia tanda
kehadiran. Tradisi bukan beban; ia memori yang menjaga agar iman tidak
kehilangan dagingnya. Protestan sering ingin memisahkan tubuh dari jiwa, kata
dari rupa; Katolik menyatukannya. Maka ketika Allegro bicara ikon dan tradisi,
ia tidak sekadar membela masa lalu. Ia membela iman yang bertubuh—iman yang
meyakini bahwa Allah masuk ke dunia materi, dan karena itu dunia materi boleh
menjadi jendela menuju Allah.
Bagian VIII. Retorika dan
Permainan
Rudi Layar Teologi juga menyinggung soal gaya
dan nada. Ia melihat kedua pihak sama-sama keras, kadang melempar istilah yang
tajam, bahkan sarkas. Ia mengingatkan bahwa serangan personal sering
mengaburkan substansi. Tetapi ia juga mengakui: inilah ritme YouTube, inilah
gaya era digital—konten keras sering lebih didengar ketimbang uraian akademik
panjang.
Bagi Katolik, retorika bukan musuh, tetapi alat.
Sejak zaman para nabi dan para bapa Gereja, kata-kata pernah dipakai untuk
mengguncang dan menghibur. Allegro bermain di medan ini: kadang tegas, kadang
sarkas, kadang penuh warna. Apakah ini kelemahan? Hanya jika kita lupa bahwa
tujuan debat bukan hanya memuaskan lawan bicara, tetapi mengajar umat yang
menonton. Dalam eklesiologi Katolik, seorang imam bukan sekadar berargumen; ia
berkotbah, ia membentuk hati.
Rudi menilai gaya keras bisa membuat substansi
kabur, dan di sana ia punya alasan. Tetapi fakta bahwa Allegro memilih format
“monolog tajam” menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: Katolik sadar bahwa
kebenaran harus diulang, ditegaskan, bahkan dipertajam supaya terdengar di
tengah riuhnya media. Gaya ini bukan pengganti isi, tapi kendaraan untuk
menyampaikan isi. Di balik kata yang keras, Gereja tetap membawa warisan yang
sama: bukan untuk memecah, tetapi untuk memanggil pulang.
Bagian IX. Penutup
Debat Allegro dan Decky yang dipetakan oleh Rudi
Layar Teologi memberi kita lebih dari sekadar hiburan akademik; ia membuka
ruang untuk membaca cara pikir dua tradisi. Rudi mencoba netral, memberi skor,
menimbang fakta dan gaya. Ia menyoroti apa yang tampak sebagai “kelemahan”
Allegro: berpindah topik, terlalu sistematis, terlalu membawa sejarah, terlalu
filosofis, dan terlalu yakin pada magisterium. Namun ketika kita lihat lebih
dekat, semua itu justru adalah DNA Katolik.
Allegro tidak bermain di lorong sempit karena
Gereja Katolik tidak pernah berdiri di lorong; ia berdiri di aula luas yang
menghubungkan Kitab Suci, tradisi, filsafat, dan sejarah. Ia membawa ingatan
abad-abad, karena Gereja percaya bahwa kebenaran tak lapuk oleh waktu. Ia
bicara dengan suara konsili, karena iman bukan proyek individu. Ia bicara
dengan filsafat, karena iman bukan anti-akal. Ia menegaskan kesatuan, karena
iman tidak hidup di potongan-potongan.
Bagi pengamat Reformed, ini bisa tampak lambat,
berat, bahkan berlebihan. Tetapi kekuatan kadang tampak seperti kelemahan bagi
yang terbiasa bergerak cepat. Gereja Katolik memanggul sejarahnya seperti
petani memanggul air ke ladang: berat, tapi menyuburkan.
Debat ini bukan sekadar tentang siapa yang
menang angka. Ia tentang cara melihat iman: apakah sebagai fragmen yang dipilih
atau sebagai tubuh yang utuh. Dan ketika Rudi menulis skor, ia tanpa sadar
menegaskan satu hal: bahkan kritik paling tajam pada Katolik memantulkan
kekhasan Gereja—kesatuan, memori, dan keberanian untuk tetap menjadi Katolik di
tengah dunia yang serba cepat.
Debat Allegro dan Decky yang dikomentari Rudi
sebenarnya membuka satu pesan yang jelas: Katolik memang terlihat berat,
melebar, dan tak segesit lawan-lawannya. Tapi itu karena ia memanggul seluruh
rumah iman, bukan sekadar berdiri di pintu.
Rudi mungkin memberi skor minus di beberapa
sisi, tapi setiap minus itu adalah tanda beban yang hanya bisa dipanggul oleh
Gereja yang sadar sejarahnya. Lari ke sana kemari? Bagi Katolik, itu bukan
lari—itu merangkai peta. Terlalu sistematis? Itu bukan kelemahan—itu tanda
bahwa iman ini punya tulang punggung.
Dan di akhir, yang tampak seperti kelemahan
justru jadi keunggulan: di dunia yang senang memecah, Katolik tetap berdiri
sebagai satu tubuh. Karena Gereja bukan sekadar menjawab soal, ia menjaga
warisan. Bukan sekadar membantah, ia mengajarkan. Bukan sekadar berdebat, ia
memanggil pulang.
Paradoks “kelemahan yang justru jadi kekuatan”
punya jejak kuat dalam Kitab Suci. Rasul Paulus memakainya sebagai jantung
teologi salib—sesuatu yang tampak hina tapi justru menjadi kemenangan. Beberapa
teks yang sangat tepat untuk mendukung tema ini:
1 Korintus 1:25
“Sebab yang bodoh dari Allah
lebih besar hikmatnya daripada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat
daripada manusia.”
2 Korintus 12:9-10
“Tetapi jawab Tuhan kepadaku:
‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku
menjadi sempurna.’ Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku,
supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di
dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan
dan kesesakan oleh karena Kristus; sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”
Ibrani 11:34
“…mereka yang karena lemah
menjadi kuat, yang dalam peperangan menjadi gagah perkasa, yang memukul mundur
pasukan musuh.”
Ayat-ayat ini menunjukkan pola yang sama: di
mata dunia, kelemahan tampak kalah; di mata Allah, kelemahan adalah ruang bagi
kuasa-Nya.