LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Beridiri Teguh: Apologetika Sistematis atas Konsili Vatikan II dan Kritik Tradisionalis

 


Pendahuluan: Kepastian di Tengah Kebisingan

Perdebatan seputar Konsili Vatikan II sering dipicu oleh kekhawatiran bahwa Gereja Katolik telah melonggarkan ajarannya. Serikat Santo Pius X (SSPX) menjadi salah satu suara yang menuduh Konsili ini melemahkan keutuhan iman melalui pendekatan ekumenisme yang terlalu inklusif, penekanan yang berlebihan pada kebebasan beragama, serta pembauran antara keutamaan kepausan dan kolegialitas para uskup. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan klarifikasi teologis dan historis terhadap tuduhan tersebut, dengan menegaskan bahwa Gereja tetap teguh pada misinya yang abadi. Gereja bukanlah lembaga yang mudah goyah oleh tren, tetapi institusi yang mengarahkan pandangannya pada kebenaran yang terus-menerus diwartakan di tengah perubahan zaman.

Metodologi: Baca Sebelum Bereaksi

Menanggapi kritik terhadap Konsili Vatikan II menuntut pendekatan yang berhati-hati dan berbasis data. Analisis ini dilakukan melalui tiga lensa. Pertama, pemeriksaan kontinuitas ajaran, yakni dengan meninjau ensiklik kepausan dan dokumen magisterial yang mendahului Konsili. Kedua, penempatan dokumen Konsili dalam konteks historis, khususnya realitas pascaperang, sisa-sisa pemikiran Pencerahan, serta transformasi politik dari monarki ke republik. Ketiga, keterlibatan dengan komentar kontemporer—yakni para teolog, kanonis, dan dokumen-dokumen resmi yang menginterpretasikan Konsili Vatikan II bagi zaman ini. Pendekatan ini memastikan pembacaan yang menyeluruh, bukan reaksi emosional.

Ekumenisme: Dialog, Bukan Relativisme

Salah satu tuduhan SSPX adalah bahwa Vatikan II menempatkan semua agama pada tingkatan yang sama. Tuduhan ini tidak tepat. Dokumen Lumen Gentium secara tegas menyatakan bahwa kepenuhan Gereja Kristus berada dalam Gereja Katolik, sementara Nostra Aetate hanya mengakui unsur kebenaran yang dapat ditemukan dalam tradisi agama lain, tanpa menyamakan statusnya. Ekumenisme yang ditawarkan Vatikan II adalah dialog demi pertobatan dan pemahaman yang lebih mendalam, bukan bentuk kompromi teologis yang merelatifkan kebenaran. Bahkan Paus Fransiskus menegaskan bahwa ekumenisme adalah perjalanan rahmat yang mengundang semua untuk kembali pada kepenuhan iman, bukan sekadar diplomasi antaragama.

Kebebasan Beragama: Kebebasan untuk Kebenaran

SSPX juga kerap mengutip Dignitatis Humanae sebagai bukti bahwa Gereja mengubah doktrin mengenai kebebasan beragama. Kenyataannya, dokumen tersebut berbicara tentang kebebasan dari pemaksaan dalam ranah sipil, bukan kebebasan untuk menolak kebenaran ilahi. Gereja tetap mengajarkan bahwa manusia dipanggil untuk mencari Allah dan mengakui Gereja Katolik sebagai kepenuhan wahyu. Paus Leo XIII sebelumnya telah menyatakan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan untuk menaati Tuhan, bukan kebebasan untuk mengabaikan-Nya. Vatikan II, dengan demikian, tidak membatalkan ajaran sebelumnya, melainkan mengartikulasikannya kembali dalam bahasa yang sesuai dengan martabat manusia modern.

Kolegialitas: Harmoni dalam Kepemimpinan

Kritik lain menyebut bahwa Vatikan II mengurangi otoritas Paus dengan menonjolkan kolegialitas para uskup. Lumen Gentium justru memperlihatkan keseimbangan yang sehat: para uskup memiliki otoritas nyata, tetapi selalu dalam kesatuan dengan Paus. Kolegialitas di sini tidak berarti demokrasi, melainkan harmoni, seperti sebuah orkestra yang dipimpin oleh satu konduktor. Menariknya, SSPX sendiri mengadopsi bentuk pengambilan keputusan kolektif di dalam organisasinya, bahkan ketika mereka menolak prinsip yang sama di tingkat Gereja universal. Konsili tidak merendahkan peran Paus, melainkan memperjelas perannya dalam komunio Gereja.

Mengapa Timbul Kebingungan?

Akar kekhawatiran ini tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah. Uskup Agung Lefebvre, tokoh sentral SSPX, dibentuk oleh latar belakang monarki dan tradisi yang kuat. Pasca-Konsili, kebingungan liturgis dan pengaruh pemikiran modern memperkuat rasa curiga. Namun, perlu dicatat bahwa Lefebvre menandatangani semua dokumen Konsili. Masalah muncul bukan dari teks-teks itu sendiri, tetapi dari interpretasi dan penerapannya. Korelasi antara perubahan budaya dan pemahaman dokumen tidak selalu berarti perubahan doktrin.

Literatur dan Bacaan Kontemporer

Studi-studi terbaru menegaskan kesinambungan ajaran Vatikan II. Dokumen Dignitas Infinita (2024) memperluas pemahaman martabat manusia hingga mencakup isu bioetika, gender, dan teknologi, menegaskan prinsip-prinsip moral yang tidak berubah. Gavin D’Costa (2019) menunjukkan bagaimana ajaran Gereja tentang Israel dan dialog Yahudi-Kristen tetap berakar pada tradisi. Buku The Pope, the Council, and the Mass oleh Likoudis dan Whitehead (edisi revisi, 2006) membahas secara rinci keberatan kaum tradisionalis terhadap liturgi dan otoritas kepausan. Sementara itu, inisiatif seperti Word on Fire menunjukkan bagaimana Gereja terus mengajar, mengklarifikasi, dan meneguhkan iman inti di era digital.

Kesimpulan: Gereja sebagai Kenangan yang Hidup

Konsili Vatikan II bukanlah sebuah pemutusan, tetapi sebuah kelanjutan yang kreatif dan setia. Gereja tidak kehilangan dirinya; ia mengartikulasikan kembali imannya untuk menjawab dunia yang berubah. Ekumenisme tetap teguh pada kebenaran sambil membuka ruang dialog. Kebebasan beragama dipahami sebagai penghormatan terhadap martabat manusia, bukan relativisme. Kolegialitas tidak mengaburkan peran Paus, tetapi memperkaya kesatuan Gereja. Ketika dokumen Konsili dibaca dengan teliti, tampaklah sebuah Gereja yang tetap setia, tetapi juga mampu berbicara kepada setiap generasi.

Share This Article :
9000568233845443113