LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Doa untuk yang Meninggal: Paulus, Onesiforus, dan Kesaksian Iman Gereja



Ada ayat dalam Kitab Suci yang sering diabaikan, bahkan oleh banyak orang Kristen sendiri. Dalam surat terakhirnya, yang ditulis dari penjara Roma menjelang ajal, Paulus menyinggung seorang sahabatnya, Onesiforus. Ia menulis: “Semoga Tuhan memberikan rahmat kepada keluarganya… Semoga ia mendapat rahmat dari Tuhan pada hari itu.” (2Tim 1:16–18).

Sekilas, baris itu tampak sederhana. Namun siapa yang mau jujur pada teks akan terkejut: Paulus sedang berdoa bukan untuk seorang hidup, melainkan untuk seorang yang sudah wafat. Doanya berbentuk permohonan eskatologis—“pada hari itu”—yang jelas menunjuk pada pengadilan terakhir. Ini bukan sekadar salam. Ini adalah doa untuk arwah.

Kesaksian Kitab Suci dan Masalah bagi Protestan

Bagi banyak Protestan, doa bagi orang mati dianggap “tidak alkitabiah.” Tetapi di sini, teks suci justru memperlihatkan sebaliknya. Paulus tidak menutup buku setelah sahabatnya wafat. Ia tidak berkata: “Sudah selesai, doa tidak ada gunanya lagi.” Sebaliknya, ia mengangkat Onesiforus ke hadapan Kristus, memohonkan belas kasih.

Jika kategori teologi Anda menolak doa bagi arwah, maka ayat ini bukan hanya “mengganggu,” tapi mengguncang seluruh bangunan sistem Anda. Maka tidak heran, banyak khotbah Protestan akan melompati ayat ini dengan diam-diam, atau memelintirnya dengan tafsiran akrobatik.

Kasih yang Tidak Mati

Tetapi bagi Gereja Katolik, inilah justru konfirmasi iman yang paling dalam: kasih tidak berhenti di pintu kematian. Seorang ibu yang kehilangan anak tetap berbicara padanya di hati. Seorang anak tetap mendoakan ayahnya yang sudah tiada. Kita tahu naluri ini bukan kelemahan psikologis, melainkan gema kebenaran ilahi: cinta menembus maut. Dan doa adalah bahasa cinta itu.

Paulus, dengan rantai di tangannya dan maut di depan matanya, menunjukkan pada kita bahwa kasih sejati tak kenal “cukup sampai di sini.” Ia berdoa, karena kasih menuntut doa.

Tradisi Gereja Sejak Awal

Dari Katakombe Roma hingga gurun Mesir, umat Kristiani mula-mula menulis di makam: “Semoga Allah memberimu damai.” Doa bagi arwah bukanlah tambahan abad pertengahan, tetapi denyut awal Gereja itu sendiri. Bahkan dalam tradisi Yahudi sebelum Kristus, kita menemukan doa serupa: Yudas Makabe mengumpulkan persembahan untuk para prajurit yang gugur, “supaya dosa mereka dihapuskan” (2Mak 12:43–45). Kitab Suci sendiri menyebut tindakan ini “suatu perbuatan yang mulia dan saleh.”

Maka, ketika Gereja berdoa bagi arwah, ia bukan menentang Alkitab, melainkan justru setia pada warisan Israel dan Rasul-rasul. Konsili Trente menegaskan hal ini, dan Katekismus Gereja Katolik §1032 menuliskan jelas: sejak awal Gereja “mendoakan orang mati, agar mereka dibebaskan dari dosa.”

Purgatorium: Pembersihan, Bukan “Kesempatan Kedua”

Banyak salah paham mengira purgatorium adalah “jalan keluar kedua” bagi orang berdosa. Salah total. Gereja mengajarkan: purgatorium adalah pemurnian terakhir bagi mereka yang mati dalam persahabatan dengan Allah, tetapi masih perlu disucikan (KGK 1030–1031).

Bayangkan seorang pengantin yang bersiap masuk perjamuan kawin. Ia sudah diundang, ia sudah diterima. Namun sebelum bertemu Mempelai, ia perlu dimurnikan, dirias, dibuat pantas. Doa kita untuk arwah ibarat uluran tangan kasih, membantu mereka berpakaian pesta.

Keberatan Protestan dan Jawaban Katolik

  1. “Ibrani 9:27: Manusia mati satu kali, lalu dihakimi.”
    Ya, benar. Gereja Katolik setuju penuh. Tetapi teks itu tidak menutup ruang pemurnian. Hakim yang adil bisa juga menyucikan. Pengadilan bukan hanya vonis binasa atau selamat instan, melainkan juga bisa berupa pengudusan yang terakhir.

  2. “Yesus tidak pernah memerintahkan doa untuk arwah.”
    Ia juga tidak pernah melarangnya. Yang Ia tegaskan: Allah adalah Allah orang hidup, bukan Allah orang mati (Mrk 12:27). Abraham, Ishak, Yakub hidup bagi-Nya—dan kalau mereka hidup bagi-Nya, mereka juga tetap terikat dengan kita. Maka doa melampaui batas biologis.

  3. “Itu meremehkan karya salib.”
    Sama sekali tidak. Kita tidak menambah apa pun pada Kalvari. Kita hanya memohon agar buah penebusan itu diterapkan penuh kepada mereka yang kita kasihi. Ini bukan pelemahan rahmat, melainkan keyakinan bahwa rahmat Kristus lebih luas dari sekat waktu.

Hidupkan Iman Ini

Tradisi Gereja bukanlah fosil, melainkan nafas. Apa artinya bagi kita? Sederhana: jangan putuskan cinta di liang kubur. Ingatlah orang-orang yang telah mendahului kita. Ucapkan doa yang diajarkan Gereja: “Ya Tuhan, berilah istirahat kekal kepada mereka, dan sinarilah mereka dengan cahaya abadi.” Bisikkan sebelum tidur, doakan dalam Rosario, persembahkan Misa untuk mereka.

Itulah cara kita menjadi Katolik seutuhnya: menyatukan kasih, doa, dan harapan melampaui batas maut. Seperti kata Santa Monika pada putranya, Augustinus: “Ingatlah aku di altar Tuhan.” Ia tidak minta monumen, tidak minta air mata, hanya doa dalam Ekaristi. Itulah iman Gereja—iman yang percaya bahwa dalam Kristus, keluarga Allah tetap satu, melampaui waktu dan ruang.

Share This Article :
9000568233845443113