LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Ekaristi Bukan Penghinaan, Melainkan Kenyataan

 


Bantahan Sistematis terhadap Patris Smith: 

Pendahuluan: Metode yang Cacat dan Kesaksian yang Menyesatkan

Patri Smith, dalam serangannya terhadap iman Katolik, berusaha mengguncang keyakinan umat dengan dua senjata utama: kesaksian personal dan klaim kesetiaan pada Sola Scriptura. Ia mengangkat testimoni mantan imam dan suster sebagai “bukti” bahwa doktrin Ekaristi dan Transubstansiasi adalah keliru. Namun, sejak awal, argumentasinya dibangun di atas fondasi yang rapuh. Menggunakan pengalaman subjektif untuk menyangkal sebuah doktrin yang telah dipegang selama dua milenium bukanlah metode teologis, melainkan sebuah fallacy of anecdotal evidence.

Jika ada seorang dokter yang malpraktik, apakah itu membuktikan bahwa ilmu kedokteran itu salah? Tentu tidak. Itu hanya membuktikan bahwa dokter tersebut tidak kompeten. Begitu pula dengan kesaksian mereka yang meninggalkan imannya; itu tidak membatalkan kebenaran iman tersebut, hanya menunjukkan ketidaktahuan atau ketidaksetiaan individu.

Bagian I: “Sekali untuk Selamanya” vs “Kehadiran Sakramental” – Menembak Jubah, Bukan Sasaran

Smith bersandar pada ayat-ayat seperti Ibrani 10:18 dan Yohanes 19:30 (“It is finished”) untuk menuduh Gereja Katolik “mengulang” korban Kristus. Ini adalah straw man fallacy klasik. Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa Kristus disalibkan kembali di setiap Misa.

Yang diajarkan Gereja adalah re-presentasi (penghadiran kembali) yang bersifat sakramental, bukan repetition (pengulangan) yang bersifat historis. Konsili Trente dengan tegas menyatakan: “Korban yang dipersembahkan dalam Misa adalah korban Salib yang satu dan sama.” Misa adalah pintu yang melaluinya kita dibawa secara mistik ke kaki Salib, bukan panggung untuk memaku Kristus untuk kedua kalinya.

Pertanyaan retorik untuk Patris Smith: Anda berkata korban Kristus sudah selesai dan kita hanya perlu percaya. Lalu, bagaimana caranya darah Kristus yang tertumpah di Kayu Salib dua ribu tahun lalu itu terhubung dan menyucikan Anda, Patris Smith, pada hari ini? Apakah cukup dengan Sola Fide (iman saja) dan menganggapnya sebagai simbol? Jika iya, bukankah itu justru menjadikan kuasa salib sebagai sebuah konsep abstrak, sebuah memori tanpa daya ubah yang nyata? Apakah mekanismenya? Apakah melalui halusinasi imajinasi?

Bagi Katolik, jawabannya nyata dan konkret: melalui sakramen Ekaristi yang diperintahkan-Nya sendiri. “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku” (Luk 22:19) adalah perintah untuk menghadirkan korban yang satu itu, bukan sekadar mengenangnya.

Bagian II: Transubstansiasi: Ketika Filsafat Melayani Iman

Smith menolak Transubstansiasi dengan argumen indrawi yang naif: “Roti tetap kelihatan, berbau, dan terasa seperti roti.” Argumen ini adalah category mistake. Ia mencoba mengukur realitas metafisik (hakikat terdalam) dengan alat ukur empiris (panca indera).

Filsafat, yang digunakan Gereja, membedakan antara substansi (substance - hakikat sesuatu) dan aksiden (accidents - penampakan luarnya). Dalam Mukjizat Kana, Yesus mengubah air menjadi anggur; aksidennya (warna, bentuk) tetap air, tetapi substansinya telah berubah. Tidak ada ilmuwan yang bisa membuktikan perubahan itu secara empiris, tetapi itu tidak membuat mukjizat itu tidak nyata. Transubstansiasi adalah mukjizat yang sama-sama nyata tetapi terjadi pada tingkat ontologis yang lebih dalam.

Menuntut bukti empiris untuk Transubstansiasi sama konyolnya dengan menuntut bukti cinta dengan meminta seseorang menunjukkan “cinta” itu dalam tabung reaksi.

Bagian III: Sola Scriptura – Lingkaran Setan yang Tak Terbuktikan

Klaim Smith bahwa “tidak ada ajaran Transubstansiasi dalam Alkitab” adalah argumen yang circular. Ia sudah lebih dulu berasumsi bahwa hanya apa yang tertulis secara eksplisit dalam Alkitab saja yang sahih (prinsip Sola Scriptura), lalu menggunakan asumsi yang tak terbukti itu untuk menolak segala sesuatu yang tidak ia temukan.

Padahal, iman akan Kehadiran Nyata telah dipegang sejak abad pertama, jauh sebelum kanon Alkitab ditutup:

  • St. Ignatius dari Antiokhia (murid Rasul Yohanes): “Ekaristi adalah daging Juruselamat kita Yesus Kristus.”
  • St. Yustinus Martir (abad ke-2): “Bukan sebagai roti biasa atau minuman biasa kita menerimanya... melainkan sebagai daging dan darah Yesus yang telah menjadi manusia.

Jadi, yang perlu dibuktikan Smith bukanlah ketiadaan Transubstansiasi dalam Alkitab, melainkan keabsahan prinsip Sola Scriptura-nya sendiri, yang juga tidak ada dalam Alkitab!

Bagian IV: Konsekuensi Logis dari Teologi Smith – Kristus yang Gagal dan Iman yang Hampa

Mengikuti logika Smith hingga ke ujungnya akan membawa kita pada konsekuensi yang mengerikan:

1.     Perjamuan Tuhan hanyalah simbol belaka. Kristus hadir hanya dalam imajinasi, bukan dalam realitas.

2.     Iman Kristen menjadi terputus dari masa lalu. Umat hanya bisa memandang Salib dari kejauhan seperti memandang sebuah monumen, tanpa bisa sungguh-sungguh mengambil bagian di dalamnya.

3.     Kristus dianggap gagal menjaga Gereja-Nya. Gereja yang didirikan-Nya di atas Petrus dianggap telah tersesat dalam kesalahan fatal yang fundamental selama 1500 tahun sebelum akhirnya “dikoreksi” oleh para reformator. Ini adalah penghinaan terhadap janji Kristus: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20).

Kesimpulan: Siapa yang Sesungguhnya Menghina?

Argumen Patris Smith runtuh oleh kekurangan internalnya sendiri: dibangun di atas kesaksian yang lemah, kesalahpahaman akan doktrin, pencampuran domain ilmu, dan penalaran yang melingkar.

Sebaliknya, Gereja Katolik berdiri di atas dasar yang kokoh: Kitab Suci, Tradisi Apostolik, dan akal budi yang sehat. Ekaristi bukanlah penghinaan terhadap korban Kristus. Justru, penghinaan yang sesungguhnya adalah dengan mereduksi korban-Nya yang mahal itu menjadi sekadar simbol, kenangan, atau sebuah konsep imajinatif belaka.

Yang menghina adalah menolak karunia kehadiran-Nya yang nyata yang Ia tinggalkan bagi kita, sambil berteriak “It is finished!” tanpa memahami bahwa “selesai” itu justru berarti korban yang satu dan sempurna itu kini terbuka dan dapat dihadirkan untuk semua orang, di segala tempat, hingga akhir zaman.

Jadi, Patri Smith, sebelum Anda menuduh Gereja menghina Kristus, jawablah pertanyaan ini: Bagaimana darah-Nya yang kudus itu sampai kepada Anda? Jika hanya melalui iman di dalam hati, bukankah itu membuat salib menjadi sebuah peristiwa yang terkurung dalam sejarah, dan bukan kekuatan yang mengubah hidup yang nyata dan hadir hari ini?

 

Share This Article :
9000568233845443113