LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

PREDESTINASI: THOMAS AQUINAS VS JOHN CALVIN

 

Filosofi dan Implikasi Teologis Pastoral

 

 


Pendahuluan

Masalah predestinasi—yakni doktrin tentang penentuan ilahi atas keselamatan atau kutukan manusia—telah menjadi batu ujian paling tajam dalam teologi Kristen sejak masa Bapa Gereja hingga Reformasi. Ia adalah misteri yang menyentuh jantung pertanyaan metafisika dan moral: Apakah manusia sungguh bebas? Apakah Allah mencintai semua orang? Apakah kejahatan dan kutukan termasuk dalam rencana kekal-Nya? Lebih dari sekadar perdebatan dogmatis, predestinasi adalah simpul tempat teologi bertemu filsafat, tempat iman harus menjawab tuntutan rasionalitas dan keadilan.

Dalam lintasan sejarah, dua pemikir besar—Santo Thomas Aquinas di abad ke-13 dan John Calvin di abad ke-16—mengajukan jawaban yang sama-sama menjunjung tinggi kedaulatan Allah, namun berdiri di atas fondasi metafisis yang sangat berbeda. Keduanya percaya bahwa Allah menetapkan dari kekekalan siapa yang akan diselamatkan. Tetapi pada Aquinas, predestinasi bersifat teratur, partisipatif, dan tertanam dalam struktur kosmik yang rasional. Sementara pada Calvin, predestinasi tampil sebagai ekspresi mutlak dari kehendak ilahi yang tak terselami, bahkan hingga mencakup kutukan kekal bagi sebagian manusia.

Pertentangan ini bukan sekadar variasi penafsiran Alkitab. Di baliknya tersembunyi dua visi metafisika yang saling bertolak belakang: metafisika partisipasi ala Aquinas yang melihat ciptaan sebagai pancaran dari Logos ilahi, dan metafisika voluntaristik Calvin yang menempatkan kehendak Allah sebagai ukuran tunggal segala sesuatu, bahkan melampaui kategori kebaikan itu sendiri.

Artikel ini hendak menyingkap dan membedah perbedaan mendasar tersebut, bukan hanya pada level teologis, tetapi secara filosofis, dengan menggali asumsi-asumsi metafisis, antropologis, dan epistemologis yang menopang kedua sistem. Dengan demikian, kita dapat memahami bukan hanya apa yang dikatakan Aquinas dan Calvin tentang predestinasi, tetapi mengapa mereka sampai pada pandangan itu—dan apa konsekuensinya bagi gambaran kita tentang Allah, manusia, dan dunia.

Bagian I: Fondasi Metafisika—Partisipasi atau Voluntarisme?

Untuk memahami perbedaan pandangan Thomas Aquinas dan John Calvin mengenai predestinasi, kita harus lebih dahulu menggali akar terdalam dari sistem berpikir mereka, yakni metafisika. Karena predestinasi bukan hanya soal kehendak Allah, tetapi juga tentang apa itu Allah, apa itu ciptaan, dan bagaimana relasi antara keduanya dimungkinkan secara rasional.

A. Aquinas: Metafisika Partisipasi dan Kesempurnaan Adikodrati

Metafisika Aquinas bersandar pada warisan Aristoteles yang telah dibaptis oleh filsafat Neoplatonisme: realitas adalah hirarki keberadaan (ordo entium), dan semua yang ada adalah partisipasi dalam actus essenditindakan keberadaan—yang bersumber dari Allah sebagai Ipsum Esse Subsistens, Keberadaan itu sendiri.

Bagi Aquinas, segala sesuatu yang ada tidak berdiri otonom, melainkan menerima keberadaannya dari Allah, dan diarahkan kepada tujuan terakhir: bonum commune universi, kebaikan tertinggi seluruh ciptaan, yaitu Allah sendiri.

Dengan kerangka ini, predestinasi adalah bagian dari penyelenggaraan ilahi (providentia)—yakni tatanan rasional yang dengannya Allah mengarahkan semua makhluk menuju tujuan final mereka. Dalam Summa Theologiae I, q.23, Aquinas menulis:

“Predestinatio est pars providentiae.”
(Predestinasi adalah bagian dari penyelenggaraan ilahi.)

Allah tidak menentukannya secara sewenang-wenang, melainkan dalam kebijaksanaan, dengan memperhitungkan keseluruhan tatanan dunia sebagai suatu keharmonisan antara sebab-sebab utama dan sebab-sebab kedua. Maka, kehendak Allah tidak bersifat merusak rasionalitas ciptaan, melainkan menopang dan menyempurnakannya. Predestinasi bukanlah fiat yang membatalkan kebebasan manusia, tetapi penataan misterius di mana kehendak manusia sungguh bekerja, namun tetap dalam genggaman rahmat ilahi.

B. Calvin: Metafisika Voluntarisme dan Kedaulatan Mutlak

John Calvin, meski mengutip Augustinus, sesungguhnya lebih terpengaruh oleh arus voluntarisme Skolastik akhir, seperti pada William of Ockham dan reformator awal seperti Martin Luther. Dalam kerangka ini, titik tolak bukanlah pada esse atau telos, melainkan pada voluntas Dei absoluta—kehendak Allah yang mutlak dan bebas.

Allah Calvin adalah Raja yang tak tertembus, Deus absconditus, yang menetapkan segala sesuatu semata-mata karena Ia menghendakinya, bukan karena adanya tatanan kebaikan atau rasionalitas yang lebih tinggi. Dalam Institutes III.21.5, Calvin menegaskan:

“Predestinasi adalah ketetapan abadi Allah, yang dengannya Ia menetapkan nasib setiap orang.”

Jika Aquinas menekankan bahwa Allah menghendaki sesuatu karena itu baik, Calvin menyiratkan bahwa sesuatu itu baik karena Allah menghendakinya. Maka, Allah tidak hanya menetapkan keselamatan sebagian orang, tetapi juga secara aktif menetapkan kebinasaan sebagian lain, demi kemuliaan-Nya. Ini bukan toleransi pasif terhadap kejahatan, tetapi bagian dari dekret aktif.

Dalam kerangka ini, tidak ada ruang bagi partisipasi ontologis, apalagi kebebasan sinergis. Allah-lah yang menggerakkan segala sesuatu, dan kehendak manusia adalah instrumen, bukan mitra.

 

Perbandingan Inti:

Aspek

Aquinas

Calvin

Fondasi metafisis

Actus essendi, partisipasi ontologis

Voluntarisme, kehendak ilahi sebagai absolut

Hubungan Allah-dunia

Allah sebagai sumber rasional segala keberadaan

Allah sebagai penguasa mutlak yang menetapkan segalanya

Predestinasi

Bagian dari providensia dan tatanan kosmik

Dekret mutlak kehendak Allah, tak bergantung apa pun

Etika dan rasionalitas

Rasio ilahi menata dunia secara harmonis dan adil

Kehendak ilahi adalah standar tunggal segala nilai

 

Pada titik ini, jelas bahwa kita tidak hanya berhadapan dengan dua interpretasi Alkitab, tetapi dengan dua paradigma metafisika: satu yang melihat dunia sebagai panggilan menuju partisipasi dalam kebaikan ilahi, dan satu lagi yang melihat sejarah sebagai panggung pelaksanaan dekret ilahi yang misterius dan tak terbantahkan.

 

 

Bagian II: Konsep Allah dan Relasi Sebab—Intellectus Volens vs Voluntas Absoluta

Tak mungkin membicarakan predestinasi tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan paling mendasar: Siapakah Allah itu? Dan lebih dari itu: Bagaimana Allah bertindak sebagai penyebab atas segala sesuatu? Dalam ranah ini, perbedaan antara Aquinas dan Calvin menjadi semakin tegas. Keduanya menyembah Allah yang Mahakuasa, tetapi konsep tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja terpolarisasi secara radikal.

 

A. Thomas Aquinas: Allah sebagai Intellectus Volens, Bukan Tirani Kehendak

Dalam sistem Aquinas, Allah tidak pertama-tama digambarkan sebagai kekuatan yang memaksakan kehendak, melainkan sebagai Intelek Murni yang mencintai kebaikan. Dalam Summa Theologiae I, q.19, ia menjelaskan bahwa:

“Voluntas Dei sequitur intellectum.”
(Kehendak Allah mengikuti pengetahuan-Nya.)

Artinya, Allah menghendaki karena Ia mengetahui kebaikan secara sempurna—dan bukan sebaliknya. Kehendak Allah tidak bersifat arbitrer, melainkan menyatu dengan kodrat-Nya sebagai kebaikan murni (bonum per essentiam). Maka, setiap tindakan Allah, termasuk predestinasi, tidak bisa dipisahkan dari kebijaksanaan dan keadilan-Nya.

Dari sinilah Aquinas menyusun gagasan relasi sebab yang khas: Allah adalah penyebab utama (causa prima) yang bekerja melalui penyebab sekunder (causae secundae), termasuk kehendak bebas manusia. Allah bukan pesaing manusia dalam ruang kehendak, melainkan mensponsori kebebasan itu dengan memberinya dasar ontologis dan arah tujuan.

Predestinasi, dalam konteks ini, adalah pengetahuan dan kehendak Allah yang mengarahkan manusia kepada keselamatan dengan cara yang selaras dengan kodratnya sebagai makhluk rasional. Maka, rahmat Allah tidak menghapus kebebasan, tetapi membebaskannya dari kerusakan dosa dan menyempurnakannya.

 

B. John Calvin: Allah sebagai Voluntas Absoluta, Sumber Tunggal Semua Kausalitas

Berbeda dengan Aquinas, Calvin menempatkan kehendak Allah sebagai prinsip pertama dan terakhir, bahkan di atas kebijaksanaan dan keadilan sebagaimana dimengerti oleh akal manusia. Dalam Institutes III.23.1, ia menyatakan:

“The will of God is the highest rule of justice.”
(Kehendak Allah adalah tolok ukur keadilan tertinggi.)

Maka, bagi Calvin, Allah adalah ens tyrannicum metaphysicum—bukan dalam pengertian moral, tetapi dalam kerangka filosofis: Allah bertindak tidak karena sesuatu itu baik, melainkan sesuatu itu baik karena Allah menghendakinya. Inilah inti dari metafisika kehendak murni.

Dalam kerangka ini, semua peristiwa di dunia, termasuk kejatuhan manusia, ditetapkan secara aktif oleh Allah. Tidak ada ruang untuk “pengetahuan pra-destinasi” seperti dalam Aquinas. Bahkan kehendak bebas manusia bukan hanya terluka, tetapi sama sekali tidak berdayabondage of the will—dan hanya menjadi alat untuk mengeksekusi dekret Allah.

Model relasi sebab yang dianut Calvin cenderung menuju okasionalisme: segala sebab kedua tidak memiliki otonomi sejati. Akibatnya, bahkan kejahatan dan dosa—meskipun secara retoris disebut sebagai “diizinkan”—sebenarnya ditentukan dalam dekret Allah demi kemuliaan-Nya.

 

Perbandingan Konseptual

Aspek

Aquinas

Calvin

Sifat kehendak Allah

Mengikuti intelek, tertib dan rasional

Mendahului intelek, mutlak dan tak terselami

Prinsip moral

Allah menghendaki karena sesuatu itu baik

Sesuatu baik karena Allah menghendakinya

Relasi Allah–ciptaan

Allah sebagai penyebab utama yang bekerja melalui sebab-sebab sekunder

Allah sebagai satu-satunya aktor sejati (cenderung monokausalitas)

Status kehendak manusia

Disempurnakan oleh rahmat

Tidak berdaya tanpa intervensi mutlak rahmat

Tempat keadilan dalam predestinasi

Diintegrasikan dalam kebijaksanaan ilahi

Ditentukan oleh dekret, sekalipun tampak bertentangan secara moral

 

Perbedaan ini sangat mendalam. Jika bagi Aquinas Allah bertindak sesuai dengan kodrat-Nya sebagai kebaikan itu sendiri, bagi Calvin Allah bertindak semata karena Ia bisa. Yang satu menekankan keteraturan, yang lain menekankan kehendak yang tak tertaklukkan. Yang satu membuka ruang bagi rasionalitas iman, yang lain meneguhkan keterpakuan manusia pada misteri dekret ilahi.

 

Bagian III: Antropologi dan Kebebasan Manusia—Kemitraan Rahmat atau Pementasan Degradasi?

Predestinasi bukan hanya tentang Allah. Ia juga berbicara tentang manusia—apa itu kehendak, apa itu kebebasan, dan bagaimana manusia dapat bekerja sama (atau tidak) dengan rahmat ilahi. Di sinilah perbedaan Aquinas dan Calvin menjelma menjadi dua gambaran eksistensial yang sangat kontras: satu menghormati kebebasan manusia sebagai sesuatu yang dikuduskan oleh rahmat, yang lain menundukkan kehendak manusia di bawah bayang-bayang kehendak ilahi yang tak tertolak.

 

A. Aquinas: Kebebasan yang Disempurnakan oleh Rahmat

Dalam sistem Aquinas, kebebasan manusia bukan ilusi, bukan pula sisa usang dari dosa asal. Sebaliknya, kebebasan adalah bagian dari kodrat rasional manusia, yang tetap ada bahkan setelah kejatuhan, meskipun telah menjadi lemah dan rentan terhadap kesesatan.

Aquinas membedakan dua jenis kehendak:

1.     Kebebasan kodrati (liberum arbitrium) – potensi untuk memilih berdasarkan penalaran.

2.     Kebebasan aktual yang benar (libertas perfecta) – kehendak yang diarahkan dengan benar oleh akal dan rahmat.

Rahmat ilahi tidak memaksa manusia, tetapi menggerakkannya dari dalam, sesuai dengan kodrat rasionalnya. Dalam istilah filsafat, ini adalah sinergisme: rahmat Allah tidak menggantikan kehendak manusia, melainkan menyembuhkan dan menyempurnakannya (gratia non tollit naturam, sed perficit).

Predestinasi, dalam model ini, melibatkan kerja sama manusia dengan rahmat—tanpa mengandaikan bahwa manusia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Allah bertindak terlebih dahulu (gratia praeveniens), tetapi respons manusia tetaplah nyata dan bernilai. Maka, hidup moral, doa, dan sakramen bukan teater kosong, melainkan jalan partisipasi nyata dalam rencana keselamatan.

 

B. Calvin: Kebebasan yang Diikat, Kehendak yang Dijadikan Boneka

Sebaliknya, dalam antropologi Calvin, kehendak manusia telah rusak secara total akibat dosa asal. Tidak hanya melemah, tetapi mati secara rohani. Manusia tidak mungkin menginginkan Allah tanpa terlebih dahulu dilahirkan kembali secara sepihak oleh rahmat.

Konsep ini dikenal sebagai bondage of the will (perbudakan kehendak), yang diwarisi dari Martin Luther. Dalam kerangka ini, manusia adalah subjek pasif dalam keselamatan: ia hanya “dibangunkan” oleh pilihan Allah, tanpa bisa berkontribusi secara eksistensial dalam proses tersebut. Bahkan iman adalah tanda bahwa seseorang telah terpilih, bukan sebab mengapa seseorang dipilih.

Dalam Institutes III.24, Calvin menulis:

"They are not chosen because they believe, but they believe because they are chosen."

Tidak ada ruang bagi sinergi. Ini adalah monergisme murni: Allah bekerja sendiri, dan manusia hanya menerima atau ditolak. Bahkan kehendak yang tampaknya merespons adalah hasil dari tindakan Allah yang sudah selesai sebelumnya.

Konsekuensinya? Seluruh kehidupan moral menjadi sekunder. Kebaikan, pertobatan, bahkan iman itu sendiri hanyalah tanda, bukan sarana. Maka, semua tindakan manusia kehilangan nilai kausal terhadap keselamatan. Dalam istilah filosofis, kehendak manusia tidak lebih dari instrumen dekret ilahi, bukan subjek bebas dalam drama keselamatan.

 

Perbandingan Antropologis

Aspek

Aquinas

Calvin

Pandangan tentang kehendak

Rusak karena dosa, tetapi tetap memiliki liberum arbitrium

Dirusak total, tidak mampu memilih kebaikan rohani

Peran rahmat

Menyembuhkan dan menyempurnakan kodrat

Mengganti dan menguasai kodrat yang mati

Model kerja keselamatan

Sinergisme: Allah dan manusia bekerja bersama

Monergisme: Allah bekerja sendiri, manusia pasif

Nilai tindakan manusia

Bernilai sebagai partisipasi dalam rahmat

Tidak bernilai secara kausal; hanya manifestasi predestinasi

Konsekuensi eksistensial

Harapan dan partisipasi aktif dalam keselamatan

Ketergantungan mutlak dan kemungkinan kecemasan rohani

 

Pada titik ini, menjadi jelas bahwa dua doktrin predestinasi ini bukan hanya menyangkut pertanyaan “siapa yang diselamatkan,” tetapi apa artinya menjadi manusia di hadapan Allah. Aquinas mempertahankan martabat manusia sebagai makhluk rasional yang dipanggil untuk merespons cinta. Calvin, dalam semangat teologis yang tulus, lebih memilih meniadakan kemungkinan kerjasama agar seluruh kemuliaan kembali kepada Allah—namun dengan harga mahal: hilangnya agensi manusia.

 

BREAK SESSION

 

Bagian IV: Teleologi dan Tata Moral—Menuju Kebaikan atau Demi Kemuliaan?

Pertanyaan tentang predestinasi tidak bisa dilepaskan dari arah tujuan akhir (telos) dan struktur moral dunia. Dalam hal ini, benturan antara Aquinas dan Calvin semakin nyata: mereka tidak hanya berbeda dalam cara pandang tentang kehendak Allah dan kebebasan manusia, tetapi juga dalam makna akhir dari keselamatan itu sendiri, dan struktur nilai yang menopang dunia ciptaan.

Apakah manusia ditentukan untuk bersatu dengan Allah dalam kebahagiaan kekal? Ataukah ia dijadikan instrumen untuk memperlihatkan kemuliaan Allah, baik dalam keselamatan maupun dalam kebinasaan? Di sinilah kita menyaksikan dua paradigma teleologis yang tidak saling bertemu.

 

A. Aquinas: Teleologi Ciptaan Menuju Beatitudo

Dalam metafisika Aquinas, seluruh ciptaan diarahkan oleh Allah sebagai causa finalis—penyebab tujuan. Tuhan menciptakan bukan untuk mempermainkan, melainkan untuk menyempurnakan makhluk-Nya dalam relasi cinta dan kebahagiaan. Manusia dipanggil untuk mencapai beatitudo: kebahagiaan kekal dalam kontemplasi akan Allah, yang merupakan tujuan sejati dari eksistensinya.

“Finis ultimus humanae vitae est beatitudo in visione Dei.”
(Tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan dalam memandang Allah.)

Karena itu, dalam sistem Aquinas, predestinasi tidak hanya berkaitan dengan status individual (selamat atau binasa), tetapi juga menyangkut tatanan moral dan rasional dunia. Allah adalah lex aeterna—hukum kekal—yang menciptakan tata moral objektif melalui hukum kodrati (lex naturalis) dan hukum ilahi (lex divina).

Predestinasi, dalam kerangka ini, tidak meniadakan norma moral, melainkan mendukungnya. Kehidupan manusia bermoral adalah jalan menuju kesatuan dengan tujuan finalnya, bukan panggung ilusi dari skenario yang sudah ditentukan.

Dengan demikian, tatanan dunia bukanlah teater kehendak ilahi yang tak terselami, melainkan semesta yang terstruktur secara rasional dan etis, tempat manusia dapat mengenali dan menanggapi panggilan keselamatannya.

 

B. Calvin: Tata Moral sebagai Ekspresi Kemuliaan Ilahi

Calvin meletakkan tujuan tertinggi dari segala sesuatu bukan pada beatitudo manusia, melainkan pada kemuliaan Allah (gloria Dei). Predestinasi tidak diarahkan pada penyempurnaan makhluk, melainkan pada manifestasi mutlak dari atribut ilahi, baik belas kasih maupun keadilan.

Dalam Institutes III.23.6, Calvin menulis:

“God has appointed the reprobate to eternal damnation, to the praise of His justice, and the elect to eternal life, to the praise of His mercy.”

Dengan kata lain, keselamatan dan kebinasaan sama-sama berfungsi sebagai alat untuk memperlihatkan kemuliaan Allah. Tidak ada hirarki nilai moral di luar dari apa yang didekretkan Allah. Moralitas bukanlah partisipasi dalam hukum kodrati atau struktur finalitas, melainkan perintah yang valid karena berasal dari Allah, bukan karena rasional atau tertanam dalam kodrat makhluk.

Ini menimbulkan implikasi serius: tindakan baik tidak diarahkan pada kebahagiaan kodrati atau supernatural, tetapi hanya sebagai konfirmasi bahwa seseorang adalah bagian dari yang terpilih. Sebaliknya, hidup berdosa hanya menjadi cermin keadilan Allah yang menghukum.

Paradigma ini memunculkan semacam fatalisme moral—jika tidak secara praktis, maka secara ontologis. Tata nilai tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung sepenuhnya pada dekret. Maka, teologi moral kehilangan daya normatif universal, karena semuanya dikembalikan pada kehendak ilahi yang mutlak, bukan kebaikan objektif yang dapat dikenali oleh akal budi.

 

Perbandingan Teleologis dan Moral

Aspek

Aquinas

Calvin

Tujuan akhir manusia

Beatitudo (kebahagiaan kekal dalam persatuan dengan Allah)

Kemuliaan Allah (baik dalam keselamatan maupun kebinasaan)

Fungsi tatanan moral

Jalan menuju tujuan akhir, partisipasi dalam hukum ilahi

Konfirmasi dari status predestinasi yang telah ditentukan

Dasar nilai moral

Rasional dan kodrati, partisipasi dalam lex aeterna

Ditetapkan oleh kehendak Allah, tanpa dasar rasional intrinsik

Pandangan tentang dunia

Tatanan kosmik yang rasional dan tertib

Panggung untuk deklarasi atribut Allah yang tak terselami

Implikasi spiritual

Dorongan untuk pertobatan, harapan akan penyempurnaan

Potensi keputusasaan atau antinomianisme tersembunyi

 

Akhirnya, kita sampai pada benturan esensial: bagi Aquinas, keselamatan adalah pemenuhan tujuan kodrat dan rahmat secara integral, sedangkan bagi Calvin, keselamatan (dan kutukan) adalah sarana untuk menyatakan kemuliaan Tuhan secara mutlak, bahkan ketika itu melampaui rasionalitas atau keadilan manusia.

Yang satu melihat dunia sebagai ordo amoris, tatanan cinta yang rasional. Yang lain melihat dunia sebagai ordo gloriae, tatanan kemuliaan ilahi yang misterius dan tak terjangkau.

 

Bagian V: Epistemologi dan Problema Kepastian—Misteri yang Menenangkan atau Dekret yang Menghantui?

Setelah membahas fondasi metafisika, kehendak ilahi, antropologi, dan tujuan akhir, kini kita sampai pada konsekuensi praktis dan eksistensial yang sangat menentukan: bisakah manusia mengetahui dirinya termasuk dalam predestinasi? Dan jika tidak, bagaimana ia hidup di hadapan misteri ilahi yang menentukannya secara kekal?

Pertanyaan ini membawa kita pada epistemologi predestinasi—yakni cara mengetahui dan menanggapi predestinasi secara sadar. Sekali lagi, Aquinas dan Calvin berdiri pada dua poros yang sangat berbeda: satu bersandar pada rasionalitas analogis dan kepercayaan pada rahmat objektif, yang lain menekankan kesaksian subjektif dan pengalaman batin yang rawan ambiguitas.

 

A. Aquinas: Pengetahuan Analogis dan Kepastian melalui Gereja

Bagi Aquinas, Allah adalah misteri yang dapat diketahui melalui analogi, meskipun tidak secara sempurna. Dalam Summa Theologiae I, q.12 dan q.13, ia menjelaskan bahwa kita dapat berbicara tentang Allah melalui analogia entis—analogi keberadaan. Maka, meskipun predestinasi bersifat tersembunyi dalam kehendak ilahi, manusia dapat mengenali tanda-tandanya melalui efek-efek rahmat dalam hidupnya.

Namun Aquinas dengan tegas menolak bahwa manusia bisa mengetahui dengan pasti bahwa dirinya termasuk dalam predestinasi—kecuali melalui wahyu pribadi yang sangat jarang (ST I, q.23, a.5). Karenanya, ia lebih menekankan pada kepercayaan yang rendah hati (fiducia) dan ketekunan dalam kasih karunia, daripada pada kepastian subjektif.

Kepastian akan keselamatan diperoleh melalui sarana objektif Gereja: sakramen, ajaran, doa, dan kehidupan moral. Dalam hal ini, epistemologi Aquinas bersifat komunal dan sakramental. Manusia tidak perlu menggali ke dalam relung jiwanya untuk menemukan bukti pilihan ilahi; cukup berjalan dalam iman yang dihidupi secara nyata.

Dengan demikian, misteri predestinasi tidak menghantui, melainkan mengundang rasa syukur dan ketekunan.

 

B. Calvin: Kepastian Melalui Kesaksian Subjektif dan Ketegangan Batin

Berbeda dengan Aquinas, Calvin menekankan bahwa kepastian akan predestinasi adalah mungkin dan bahkan perlu. Dalam Institutes III.24.5, ia menulis:

“Let us not hesitate to be assured of our election.”

Namun bagaimana caranya? Bagi Calvin, kepastian itu diperoleh melalui kesaksian Roh Kudus dalam batin dan iman yang teguh kepada janji Injil. Ini adalah pendekatan subjektif dan introspektif: manusia harus membaca tanda-tanda pemilihan Allah dalam hatinya, dalam imannya, dan dalam kesetiaan hidupnya.

Namun pendekatan ini memiliki paradoks internal. Calvin juga mengakui bahwa Allah terkadang memberikan “iman sementara” kepada orang yang pada akhirnya ditolak, seperti yang ia kutip dari Ibrani 6. Maka, bagaimana membedakan antara iman sejati dan iman palsu? Di sinilah letak ketegangan eksistensial yang besar dalam tradisi Calvinis.

Karena sumber kepastian adalah batin manusia, maka ancaman keraguan dan keputusasaan selalu mengintai. Hal ini memunculkan kekhawatiran spiritual yang intens, terutama dalam kalangan Puritan dan pietis, yang sering kali dilanda pertanyaan: “Apakah saya sungguh-sungguh dipilih, atau hanya merasa dipilih?”

 

 

 

 

Perbandingan Epistemologis

Aspek

Aquinas

Calvin

Kemungkinan mengetahui predestinasi

Tidak bisa dipastikan secara pasti kecuali oleh wahyu khusus

Bisa diyakini melalui iman dan kesaksian Roh Kudus

Sumber kepastian

Sarana objektif: sakramen, Gereja, moralitas

Sarana subjektif: iman pribadi, pengalaman batin

Pendekatan

Analogis dan komunal

Introspektif dan individualistik

Implikasi spiritual

Ketekunan rendah hati dalam misteri

Potensi krisis iman atau kecemasan rohani

Peran Gereja

Mediator rahmat dan pengokoh iman

Sekunder terhadap pengalaman rohani individual

 

Dalam kerangka Aquinas, misteri predestinasi tidak menuntut untuk diselami secara tuntas, melainkan untuk dihormati dalam semangat kepercayaan, karena iman bukan tentang kalkulasi nasib, melainkan relasi dengan Allah yang mengasihi.

Sebaliknya, dalam sistem Calvin, kepastian adalah kewajiban rohani, tetapi diperoleh melalui jalan yang rapuh—yakni perasaan batin yang bisa ditipu atau berubah. Ironisnya, usaha Calvin untuk menegaskan jaminan keselamatan justru membuka pintu kecemasan yang tak kunjung reda.

Predestinasi dalam Perspektif Filsafat: Aquinas dan Calvin dalam Dua Wajah Ilahi.

 

Bagian VI: Konsekuensi Historis dan Filsafat Sosial—Antara Keselarasan Kosmis dan Mesin Takdir

Filsafat tidak pernah berhenti pada doktrin. Ia selalu menuntut: Dan apa artinya bagi dunia nyata? Dalam konteks predestinasi, perbedaan antara Aquinas dan Calvin bukan hanya soal spekulasi metafisis, melainkan juga melahirkan implikasi sosial, historis, dan antropologis yang luas. Cara suatu masyarakat memandang Tuhan dan manusia akan membentuk cara ia menyusun sistem politik, etika, pendidikan, bahkan sains.

Sejarah memberi kesaksian bahwa pandangan Aquinas dan Calvin menghasilkan dua tradisi yang sangat berbeda dalam membentuk wajah peradaban Barat.

 

A. Tradisi Thomistik: Keselarasan Alam, Martabat Manusia, dan Rasionalitas Sosial

Pemikiran Aquinas menjadi fondasi humanisme Kristen, yakni pandangan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei) dan dipanggil untuk mencapai kesempurnaan melalui rahmat dan kebajikan.

Implikasi sosialnya sangat besar:

  • Politik dan hukum alam: Karena akal budi mampu mengenali lex naturalis, maka masyarakat dapat dibangun atas dasar hukum kodrati. Prinsip-prinsip keadilan, hak milik, keutamaan moral, dan tatanan sosial rasional memiliki fondasi objektif.
  • Etika publik: Kehidupan bermoral bukan sekadar ekspresi iman pribadi, tetapi kontribusi manusia terhadap keteraturan kosmos dan kehendak Allah.
  • Pendidikan dan kebudayaan: Didorong oleh keyakinan bahwa akal manusia dapat menyingkap realitas, tradisi Thomistik mendorong rasionalitas ilmiah, pendidikan liberal arts, dan sintesis iman–akal.
  • Gereja dan masyarakat: Gereja berperan sebagai penjaga rahmat dan kebenaran moral, tetapi tidak memonopoli pengetahuan. Negara memiliki otonomi tertentu sejauh berjalan dalam terang hukum kodrati.

Maka, sistem predestinasi Aquinas tidak melahirkan determinisme, melainkan ordo amoris—tatanan cinta yang rasional, di mana manusia, meskipun lemah, tetap bermartabat dan bertanggung jawab.

 

B. Tradisi Calvinis: Determinisme Sosial, Kerja sebagai Bukti, dan Dualisme Ilahi-Manusia

Sebaliknya, dalam tradisi Calvinis, pemahaman predestinasi sebagai dekret absolut membawa implikasi serius bagi relasi sosial dan budaya:

  • Ekonomi dan kerja: Max Weber mencatat dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism bahwa ketidakpastian akan status keselamatan mendorong kaum Calvinis awal untuk mencari “tanda” pemilihan Allah melalui keberhasilan ekonomi dan etos kerja ekstrem. Kerja bukan lagi partisipasi dalam tatanan kosmik, melainkan indikator spiritual.
  • Politik dan teokrasi: Dalam komunitas Calvinis awal (seperti Jenewa), negara dilihat sebagai instrumen pelaksanaan kehendak Allah. Hal ini melahirkan bentuk teokrasi disipliner, di mana kebebasan pribadi tunduk pada penilaian kolektif tentang “tanda-tanda pemilihan.”
  • Sains dan determinisme: Hilangnya telos dalam ciptaan membuka jalan bagi mekanisme deterministik dalam sains dan filsafat. Tanpa orientasi pada tujuan final, dunia menjadi mekanisme yang bergerak sesuai dekret, bukan tatanan yang menuju kebaikan.
  • Antropologi sosial: Dengan asumsi bahwa manusia terbagi secara mutlak antara “terpilih” dan “terkutuk”, masyarakat mudah tergelincir pada polaritas moral—“kita” vs “mereka”—yang dapat melegitimasi eksklusi sosial dan religius.

Maka, walaupun niatnya adalah menegaskan kemuliaan Allah, sistem predestinasi Calvinis justru mengancam integritas tanggung jawab manusia, dan dalam praktik sosialnya bisa berujung pada alienasi, ketakutan, dan kecurigaan terhadap sesama.

 

Perbandingan Konsekuensi Sosial dan Historis

Aspek Sosial

Aquinas (Thomistik)

Calvin (Reformasi)

Etika Kerja

Kehidupan bermoral sebagai partisipasi dalam ordo amoris

Kerja sebagai tanda pemilihan, pembuktian spiritual

Politik

Tatanan sosial rasional berdasarkan hukum kodrati

Teokrasi lokal, potensi moralistik dan otoriter

Ekonomi

Kerja sebagai pelayanan dan pemenuhan kodrat

Kemajuan ekonomi sebagai refleksi anugerah ilahi

Pandangan Dunia

Teleologis dan hierarkis, bersifat partisipatif

Mekanistik, berorientasi pada kehendak ilahi mutlak

Relasi antar manusia

Martabat universal berdasarkan imago Dei

Polarisasi moral berdasarkan status elektif

Relasi Gereja dan Masyarakat

Gereja sebagai penuntun moral dan sakramental

Gereja sebagai komunitas eksklusif dari para terpilih

 

Sebagai penutup bagian ini, dapat dikatakan bahwa predestinasi tidak berhenti di menara gading teologis. Ia meresap ke dalam jantung peradaban. Aquinas membangun dunia di mana manusia diajak untuk mengenal dan mencintai Allah melalui keteraturan ciptaan. Calvin, dengan semangat yang membara, membangun teologi yang kuat dan tegas—namun menanam benih bagi dunia yang semakin terlepas dari finalitas ilahi, dan semakin cemas dalam mencari bukti keselamatan di dalam sejarah yang dingin dan netral.

 

Bagian VII: Kesimpulan Filsafati dan Evaluasi Kritis—Antara Keteraturan Cinta dan Bayang-Bayang Dekret

Perdebatan antara Thomas Aquinas dan John Calvin tentang predestinasi bukanlah sekadar pertikaian tafsir atas Kitab Suci, atau perbedaan gaya pastoral. Yang sesungguhnya terjadi adalah pertarungan antara dua paradigma metafisika dan antropologi, yang menjelma menjadi dua wajah tentang Tuhan dan dua cara memandang martabat manusia.

Aquinas dan Jalan Keteraturan Cinta (Ordo Amoris)

Aquinas mewariskan kepada kita suatu pandangan yang menyatukan antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia, antara kehendak ilahi dan rasionalitas ciptaan, antara rahmat dan kodrat. Predestinasi, dalam terang metafisika partisipasi, adalah penataan ilahi yang tidak menghancurkan kodrat manusia, tetapi justru menyempurnakannya. Allah bukanlah tiran metafisis, melainkan causa bonitatis, sebab segala kebaikan yang menarik makhluk menuju kesempurnaan mereka.

Dalam sistem ini, iman tidak dipisahkan dari akal, dan pengharapan akan keselamatan tidak dipisahkan dari usaha moral dan kehidupan sakramental. Ketegangan antara rahmat dan kebebasan tetap ada, tetapi dijaga dalam keseimbangan yang mendalam oleh struktur filsafat realis yang terbuka pada misteri ilahi.

Calvin dan Jalan Dekret yang Mengguncang (Ordo Gloriae)

Calvin, dalam upayanya menegaskan supremasi Allah dan radikalitas rahmat, membangun sistem yang konsisten secara logis tetapi mengorbankan koherensi metafisika dan kedalaman antropologi. Allah menjadi kehendak absolut yang tidak tunduk pada rasionalitas moral atau tujuan final selain kemuliaan-Nya sendiri.

Predestinasi, dalam sistem Calvin, memang menghibur sebagian orang yang merasa “pasti terpilih”, tetapi juga menciptakan krisis eksistensial bagi mereka yang tidak pernah bisa yakin. Sistem ini menggugurkan tatanan moral sebagai jalan keselamatan, dan menundukkan dunia kepada bayang-bayang kehendak yang tidak dapat ditebak dan tidak dapat digugat.

Evaluasi Kritis Filsafati

Jika kita menilai dari perspektif filsafat realis dan etika rasional, sistem Aquinas memiliki koherensi ontologis, moral, dan antropologis yang jauh lebih stabil. Ia menjunjung tinggi integritas manusia, tanpa melemahkan kedaulatan Allah. Ia memungkinkan relasi cinta antara Pencipta dan ciptaan, bukan dominasi unilateral dari kehendak misterius.

Calvin, meskipun tegas dan konsisten, membawa teologi ke jurang fideisme, di mana kehendak Allah tidak lagi bisa dipahami sebagai bonum, tetapi hanya sebagai potestas. Ini bukan hanya mengguncang gambaran tentang Allah sebagai cinta, tetapi juga meniadakan dasar filsafati bagi dialog iman dan akal.

 

Penutup

Pada akhirnya, kita tidak hanya dihadapkan pada dua teori tentang predestinasi, melainkan dua pilihan tentang bagaimana kita ingin hidup di hadapan Allah:

  • Di hadapan Allah Aquinas, kita adalah anak-anak yang diangkat ke dalam misteri cinta-Nya, yang berjalan di dalam rahmat melalui akal dan kehendak bebas yang dipulihkan.
  • Di hadapan Allah Calvin, kita adalah makhluk yang dipilah sejak kekekalan, dan hanya dapat berharap telah menjadi bagian dari mereka yang tak tertolak.

Satu sistem membuka harapan dalam partisipasi akan kebaikan; yang lain meninggalkan kita dalam teka-teki dekret yang tak dapat ditembus. Maka, bagi mereka yang tetap percaya bahwa Tuhan adalah kebaikan itu sendiri, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengenal, mencintai, dan bersatu dengan-Nya, jalan Aquinas—dengan segala kerendahan hati dan kebijaksanaannya—tetap lebih selaras dengan terang akal dan terang wahyu.

 

"Deus non est tyrannus voluntatis, sed ordo amoris."
Tuhan bukanlah tiran kehendak, tetapi tatanan cinta.

 

Lampiran Kontekstual: Nusa Tenggara Timur sebagai Cermin Dua Teologi

Indonesia Timur, khususnya Provinsi Nusa Tenggara Timur, menyimpan jejak historis dari perjumpaan dua sistem religius besar: Protestantisme Calvinis yang dibawa oleh zending Belanda, dan Katolik Roma yang Thomistik yang diwariskan oleh misi Portugis dan kemudian Misionaris SVD. Wilayah ini menyediakan laboratorium hidup untuk menilai secara sosial dan kultural bagaimana teologi predestinasi membentuk habitus masyarakat.

Flores dan Lingkup Katolik: Spiritualitas Partisipatif dan Keadaban Komunal

Wilayah Flores (termasuk Lembata, Adonara, dan sebagian Rote) adalah jantung Katolik Indonesia, dengan akar misi Katolik sejak abad ke-16 dan penguatan kembali melalui SVD sejak akhir abad ke-19. Di sini, kita melihat:

  • Etos kolektif yang kuat: gotong royong, komunitas basis, semangat pendidikan berbasis tarekat Katolik.
  • Kehadiran lembaga sosial-karitatif: sekolah Katolik, rumah sakit misi, koperasi petani, yang tidak semata bersifat administratif, tetapi berakar dalam teologi rahmat dan perbuatan baik sebagai partisipasi dalam keselamatan.
  • Perkembangan ekonomi relatif lebih stabil: meski tetap tergolong daerah tertinggal, wilayah Flores menunjukkan kemajuan pendidikan, kapasitas organisasional, dan tata kelola desa yang lebih rapi daripada kawasan Timor pedalaman dan Sumba.

Semua ini mengalir dari teologi yang tidak menolak kodrat manusia, tetapi mengajaknya untuk bekerja sama dengan rahmat dalam sejarah konkret.

Timor dan Sumba: Etika Takdir dan Ketegangan Kultural

Sebaliknya, di wilayah Timor Tengah Selatan, Timor Barat, dan Sumba—yang mayoritas Protestan dengan warisan zending Calvinis—kita menemukan beberapa fenomena yang layak dicermati:

  • Tingginya angka kemiskinan dan putus sekolah, terutama di desa-desa GMIT yang minim kaderisasi dan kekurangan guru. Banyak sekolah Protestan gulung tikar karena tidak adanya dukungan lembaga religius.
  • Spiritualitas yang cenderung individualistik dan eskatologis, tanpa jangkauan sosial yang mapan. Kerja sosial gereja dibatasi pada ranah rohani tanpa ekosistem karitatif.
  • Absennya infrastruktur karitatif sistemik: tidak ada rumah sakit Protestan yang bertahan lama, minimnya panti asuhan atau pusat pendidikan yang mandiri, dan ketergantungan besar pada bantuan pemerintah.

Hal ini mencerminkan buah dari sistem teologi yang tidak mendorong partisipasi aktif dalam penyelamatan sejarah, karena dalam logika Calvinistik, karya sosial tidak menyelamatkan, hanya menjadi “buah” dari pemilihan Allah—jika memang sudah terpilih.

Maka, tak heran jika di beberapa desa, kita mendapati “kerajinan ibadah” tetapi “kemiskinan struktural”. Doa-doa panjang di rumah ibadah berdiri berdampingan dengan jalan rusak, anak putus sekolah, dan pertikaian adat yang tak selesai.

Satu Kasus Nyata: TTS dan Kemiskinan Struktural

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)—wilayah dengan lebih dari 88% penduduk Protestan—secara statistik hampir selalu berada di urutan tertinggi dalam angka kemiskinan dan gizi buruk di NTT. Sekalipun masyarakat religius dan setia beribadah, tidak tampak kesinambungan antara iman dan pembangunan sosial.

Bandingkan dengan Larantuka atau Maumere, di mana keberadaan kongregasi Katolik membentuk habitus kebudayaan integral, yang menyatukan iman, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan manusia seutuhnya.

 

Refleksi: Teologi Mewujud dalam Struktur Sosial

Perbedaan ini tentu tidak dapat disederhanakan semata-mata dari agama. Namun struktur teologis menentukan struktur etis, dan struktur etis membentuk habitus sosial. Ketika sebuah sistem menolak kerja sebagai jalan keselamatan, ia akan gagal membangun motivasi komunal jangka panjang.

Predestinasi ala Calvin menyuburkan budaya spiritual yang berorientasi pada pemisahan mutlak antara “yang terpilih” dan “yang tidak”, dan jika ini diterjemahkan ke dalam masyarakat, akan lahir elitisme rohani, keengganan bertanggung jawab pada sesama, dan sikap fatalistik terhadap struktur penderitaan.

Sebaliknya, Thomisme Katolik mengajarkan bahwa keselamatan adalah jalan partisipatif, dan setiap bentuk pelayanan, pendidikan, pengorbanan sosial, adalah partisipasi dalam karya keselamatan Allah. Maka, ia memunculkan budaya sosial yang menubuhkan iman dalam sejarah.

 

Share This Article :
9000568233845443113