Filosofi dan Implikasi Teologis Pastoral
Pendahuluan
Masalah predestinasi—yakni doktrin
tentang penentuan ilahi atas keselamatan atau kutukan manusia—telah menjadi
batu ujian paling tajam dalam teologi Kristen sejak masa Bapa Gereja hingga
Reformasi. Ia adalah misteri yang menyentuh jantung pertanyaan metafisika dan
moral: Apakah manusia sungguh bebas? Apakah Allah mencintai semua orang?
Apakah kejahatan dan kutukan termasuk dalam rencana kekal-Nya? Lebih dari
sekadar perdebatan dogmatis, predestinasi adalah simpul tempat teologi bertemu
filsafat, tempat iman harus menjawab tuntutan rasionalitas dan keadilan.
Dalam lintasan sejarah, dua
pemikir besar—Santo Thomas Aquinas di abad ke-13 dan John Calvin
di abad ke-16—mengajukan jawaban yang sama-sama menjunjung tinggi kedaulatan
Allah, namun berdiri di atas fondasi metafisis yang sangat berbeda. Keduanya
percaya bahwa Allah menetapkan dari kekekalan siapa yang akan diselamatkan.
Tetapi pada Aquinas, predestinasi bersifat teratur, partisipatif, dan tertanam
dalam struktur kosmik yang rasional. Sementara pada Calvin, predestinasi tampil
sebagai ekspresi mutlak dari kehendak ilahi yang tak terselami, bahkan hingga
mencakup kutukan kekal bagi sebagian manusia.
Pertentangan ini bukan sekadar
variasi penafsiran Alkitab. Di baliknya tersembunyi dua visi metafisika yang
saling bertolak belakang: metafisika partisipasi ala Aquinas yang melihat
ciptaan sebagai pancaran dari Logos ilahi, dan metafisika voluntaristik Calvin
yang menempatkan kehendak Allah sebagai ukuran tunggal segala sesuatu, bahkan
melampaui kategori kebaikan itu sendiri.
Artikel ini hendak menyingkap
dan membedah perbedaan mendasar tersebut, bukan hanya pada level teologis,
tetapi secara filosofis, dengan menggali asumsi-asumsi metafisis,
antropologis, dan epistemologis yang menopang kedua sistem. Dengan demikian,
kita dapat memahami bukan hanya apa yang dikatakan Aquinas dan Calvin
tentang predestinasi, tetapi mengapa mereka sampai pada pandangan
itu—dan apa konsekuensinya bagi gambaran kita tentang Allah, manusia, dan
dunia.
Bagian I: Fondasi
Metafisika—Partisipasi atau Voluntarisme?
Untuk memahami perbedaan
pandangan Thomas Aquinas dan John Calvin mengenai predestinasi, kita harus
lebih dahulu menggali akar terdalam dari sistem berpikir mereka, yakni metafisika.
Karena predestinasi bukan hanya soal kehendak Allah, tetapi juga tentang apa
itu Allah, apa itu ciptaan, dan bagaimana relasi antara keduanya
dimungkinkan secara rasional.
A. Aquinas: Metafisika
Partisipasi dan Kesempurnaan Adikodrati
Metafisika Aquinas bersandar
pada warisan Aristoteles yang telah dibaptis oleh filsafat Neoplatonisme: realitas
adalah hirarki keberadaan (ordo entium), dan semua yang ada adalah
partisipasi dalam actus essendi—tindakan keberadaan—yang
bersumber dari Allah sebagai Ipsum Esse Subsistens, Keberadaan itu
sendiri.
Bagi Aquinas, segala sesuatu
yang ada tidak berdiri otonom, melainkan menerima keberadaannya dari Allah,
dan diarahkan kepada tujuan terakhir: bonum commune universi, kebaikan
tertinggi seluruh ciptaan, yaitu Allah sendiri.
Dengan kerangka ini, predestinasi
adalah bagian dari penyelenggaraan ilahi (providentia)—yakni tatanan
rasional yang dengannya Allah mengarahkan semua makhluk menuju tujuan final
mereka. Dalam
Summa Theologiae I, q.23, Aquinas menulis:
“Predestinatio est pars providentiae.”
(Predestinasi adalah bagian dari penyelenggaraan ilahi.)
Allah tidak menentukannya
secara sewenang-wenang, melainkan dalam kebijaksanaan, dengan
memperhitungkan keseluruhan tatanan dunia sebagai suatu keharmonisan antara
sebab-sebab utama dan sebab-sebab kedua. Maka, kehendak Allah tidak bersifat
merusak rasionalitas ciptaan, melainkan menopang dan menyempurnakannya.
Predestinasi bukanlah fiat yang membatalkan kebebasan manusia, tetapi penataan
misterius di mana kehendak manusia sungguh bekerja, namun tetap dalam genggaman
rahmat ilahi.
B. Calvin: Metafisika
Voluntarisme dan Kedaulatan Mutlak
John Calvin, meski mengutip
Augustinus, sesungguhnya lebih terpengaruh oleh arus voluntarisme Skolastik
akhir, seperti pada William of Ockham dan reformator awal seperti Martin
Luther. Dalam kerangka ini, titik tolak bukanlah pada esse atau telos,
melainkan pada voluntas Dei absoluta—kehendak Allah yang mutlak dan
bebas.
Allah Calvin adalah Raja yang
tak tertembus, Deus absconditus, yang menetapkan segala sesuatu
semata-mata karena Ia menghendakinya, bukan karena adanya tatanan kebaikan
atau rasionalitas yang lebih tinggi. Dalam Institutes III.21.5, Calvin
menegaskan:
“Predestinasi adalah ketetapan
abadi Allah, yang dengannya Ia menetapkan nasib setiap orang.”
Jika Aquinas menekankan bahwa
Allah menghendaki sesuatu karena itu baik, Calvin menyiratkan bahwa sesuatu
itu baik karena Allah menghendakinya. Maka, Allah tidak hanya menetapkan
keselamatan sebagian orang, tetapi juga secara aktif menetapkan kebinasaan
sebagian lain, demi kemuliaan-Nya. Ini bukan toleransi pasif terhadap
kejahatan, tetapi bagian dari dekret aktif.
Dalam kerangka ini, tidak
ada ruang bagi partisipasi ontologis, apalagi kebebasan sinergis. Allah-lah
yang menggerakkan segala sesuatu, dan kehendak manusia adalah instrumen, bukan
mitra.
Perbandingan
Inti:
| Aspek | Aquinas | Calvin | 
| Fondasi metafisis | Actus essendi,
  partisipasi ontologis | Voluntarisme, kehendak ilahi sebagai absolut | 
| Hubungan Allah-dunia | Allah sebagai sumber rasional segala keberadaan | Allah sebagai penguasa mutlak yang menetapkan
  segalanya | 
| Predestinasi | Bagian dari
  providensia dan tatanan kosmik | Dekret mutlak
  kehendak Allah, tak bergantung apa pun | 
| Etika dan rasionalitas | Rasio ilahi menata dunia secara harmonis dan adil | Kehendak ilahi adalah standar tunggal segala nilai | 
Pada titik ini, jelas bahwa kita tidak hanya
berhadapan dengan dua interpretasi Alkitab, tetapi dengan dua paradigma
metafisika: satu yang melihat dunia sebagai panggilan menuju partisipasi
dalam kebaikan ilahi, dan satu lagi yang melihat sejarah sebagai panggung
pelaksanaan dekret ilahi yang misterius dan tak terbantahkan.
Bagian II: Konsep Allah dan
Relasi Sebab—Intellectus Volens vs Voluntas Absoluta
Tak mungkin membicarakan
predestinasi tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan paling mendasar: Siapakah
Allah itu? Dan lebih dari itu: Bagaimana Allah bertindak sebagai
penyebab atas segala sesuatu? Dalam ranah ini, perbedaan antara Aquinas dan
Calvin menjadi semakin tegas. Keduanya menyembah Allah yang Mahakuasa, tetapi
konsep tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja terpolarisasi secara
radikal.
A. Thomas Aquinas: Allah
sebagai Intellectus Volens, Bukan Tirani Kehendak
Dalam sistem Aquinas, Allah
tidak pertama-tama digambarkan sebagai kekuatan yang memaksakan kehendak,
melainkan sebagai Intelek Murni yang mencintai kebaikan. Dalam Summa
Theologiae I, q.19, ia menjelaskan bahwa:
“Voluntas Dei sequitur intellectum.”
(Kehendak Allah mengikuti pengetahuan-Nya.)
Artinya, Allah menghendaki
karena Ia mengetahui kebaikan secara sempurna—dan bukan sebaliknya. Kehendak
Allah tidak bersifat arbitrer, melainkan menyatu dengan kodrat-Nya sebagai
kebaikan murni (bonum per essentiam). Maka, setiap tindakan Allah,
termasuk predestinasi, tidak bisa dipisahkan dari kebijaksanaan dan
keadilan-Nya.
Dari sinilah Aquinas menyusun
gagasan relasi sebab yang khas: Allah adalah penyebab utama (causa
prima) yang bekerja melalui penyebab sekunder (causae secundae),
termasuk kehendak bebas manusia. Allah bukan pesaing manusia dalam ruang
kehendak, melainkan mensponsori kebebasan itu dengan memberinya dasar
ontologis dan arah tujuan.
Predestinasi, dalam konteks
ini, adalah pengetahuan dan kehendak Allah yang mengarahkan manusia kepada
keselamatan dengan cara yang selaras dengan kodratnya sebagai makhluk
rasional. Maka, rahmat Allah tidak menghapus kebebasan, tetapi membebaskannya
dari kerusakan dosa dan menyempurnakannya.
B. John Calvin: Allah sebagai Voluntas
Absoluta, Sumber Tunggal Semua Kausalitas
Berbeda dengan Aquinas, Calvin
menempatkan kehendak Allah sebagai prinsip pertama dan terakhir, bahkan
di atas kebijaksanaan dan keadilan sebagaimana dimengerti oleh akal manusia. Dalam Institutes III.23.1, ia menyatakan:
“The
will of God is the highest rule of justice.”
(Kehendak Allah adalah tolok ukur keadilan tertinggi.)
Maka, bagi Calvin, Allah adalah ens tyrannicum
metaphysicum—bukan dalam pengertian moral, tetapi dalam kerangka filosofis:
Allah bertindak tidak karena sesuatu itu baik, melainkan sesuatu itu baik
karena Allah menghendakinya. Inilah inti dari metafisika kehendak murni.
Dalam kerangka ini, semua peristiwa di dunia, termasuk
kejatuhan manusia, ditetapkan secara aktif oleh Allah. Tidak ada ruang
untuk “pengetahuan pra-destinasi” seperti dalam Aquinas. Bahkan kehendak bebas
manusia bukan hanya terluka, tetapi sama sekali tidak berdaya—bondage
of the will—dan hanya menjadi alat untuk mengeksekusi dekret Allah.
Model relasi sebab yang dianut
Calvin cenderung menuju okasionalisme: segala sebab kedua tidak memiliki
otonomi sejati. Akibatnya, bahkan kejahatan dan dosa—meskipun secara retoris
disebut sebagai “diizinkan”—sebenarnya ditentukan dalam dekret Allah demi
kemuliaan-Nya.
Perbandingan Konseptual
| Aspek | Aquinas | Calvin | 
| Sifat kehendak Allah | Mengikuti intelek, tertib dan rasional | Mendahului intelek, mutlak dan
  tak terselami | 
| Prinsip moral | Allah menghendaki karena sesuatu itu baik | Sesuatu baik karena Allah menghendakinya | 
| Relasi Allah–ciptaan | Allah sebagai penyebab utama yang bekerja melalui
  sebab-sebab sekunder | Allah sebagai satu-satunya aktor sejati (cenderung
  monokausalitas) | 
| Status kehendak manusia | Disempurnakan oleh rahmat | Tidak berdaya tanpa intervensi mutlak rahmat | 
| Tempat keadilan dalam predestinasi | Diintegrasikan dalam kebijaksanaan ilahi | Ditentukan oleh dekret, sekalipun tampak
  bertentangan secara moral | 
Perbedaan ini sangat mendalam. Jika bagi Aquinas Allah
bertindak sesuai dengan kodrat-Nya sebagai kebaikan itu sendiri, bagi
Calvin Allah bertindak semata karena Ia bisa. Yang satu menekankan keteraturan,
yang lain menekankan kehendak yang tak tertaklukkan. Yang satu membuka
ruang bagi rasionalitas iman, yang lain meneguhkan keterpakuan
manusia pada misteri dekret ilahi.
Bagian III: Antropologi dan
Kebebasan Manusia—Kemitraan Rahmat atau Pementasan Degradasi?
Predestinasi bukan hanya
tentang Allah. Ia juga berbicara tentang manusia—apa itu kehendak, apa
itu kebebasan, dan bagaimana manusia dapat bekerja sama (atau tidak) dengan
rahmat ilahi. Di sinilah perbedaan Aquinas dan Calvin menjelma menjadi dua gambaran
eksistensial yang sangat kontras: satu menghormati kebebasan manusia
sebagai sesuatu yang dikuduskan oleh rahmat, yang lain menundukkan kehendak
manusia di bawah bayang-bayang kehendak ilahi yang tak tertolak.
A. Aquinas: Kebebasan yang
Disempurnakan oleh Rahmat
Dalam sistem Aquinas,
kebebasan manusia bukan ilusi, bukan pula sisa usang dari dosa asal.
Sebaliknya, kebebasan adalah bagian dari kodrat rasional manusia, yang
tetap ada bahkan setelah kejatuhan, meskipun telah menjadi lemah dan rentan
terhadap kesesatan.
Aquinas membedakan dua jenis
kehendak:
1.     Kebebasan kodrati
(liberum arbitrium) – potensi untuk memilih berdasarkan penalaran.
2.     Kebebasan aktual
yang benar (libertas perfecta) – kehendak yang diarahkan dengan benar oleh
akal dan rahmat.
Rahmat ilahi tidak memaksa
manusia, tetapi menggerakkannya dari dalam, sesuai dengan kodrat
rasionalnya. Dalam istilah filsafat, ini adalah sinergisme: rahmat Allah
tidak menggantikan kehendak manusia, melainkan menyembuhkan dan
menyempurnakannya (gratia non tollit naturam, sed perficit).
Predestinasi, dalam model ini,
melibatkan kerja sama manusia dengan rahmat—tanpa mengandaikan bahwa
manusia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Allah bertindak terlebih dahulu
(gratia praeveniens), tetapi respons manusia tetaplah nyata dan bernilai. Maka,
hidup moral, doa, dan sakramen bukan teater kosong, melainkan jalan
partisipasi nyata dalam rencana keselamatan.
B. Calvin: Kebebasan yang
Diikat, Kehendak yang Dijadikan Boneka
Sebaliknya, dalam antropologi
Calvin, kehendak manusia telah rusak secara total akibat dosa asal.
Tidak hanya melemah, tetapi mati secara rohani. Manusia tidak mungkin
menginginkan Allah tanpa terlebih dahulu dilahirkan kembali secara sepihak
oleh rahmat.
Konsep ini dikenal sebagai bondage
of the will (perbudakan kehendak), yang diwarisi dari Martin Luther. Dalam
kerangka ini, manusia adalah subjek pasif dalam keselamatan: ia hanya
“dibangunkan” oleh pilihan Allah, tanpa bisa berkontribusi secara eksistensial
dalam proses tersebut. Bahkan iman adalah tanda bahwa seseorang telah
terpilih, bukan sebab mengapa seseorang dipilih.
Dalam Institutes III.24, Calvin menulis:
"They are not chosen because they believe, but
they believe because they are chosen."
Tidak ada ruang bagi sinergi. Ini adalah monergisme
murni: Allah bekerja sendiri, dan manusia hanya menerima atau ditolak.
Bahkan kehendak yang tampaknya merespons adalah hasil dari tindakan Allah
yang sudah selesai sebelumnya.
Konsekuensinya? Seluruh
kehidupan moral menjadi sekunder. Kebaikan, pertobatan, bahkan
iman itu sendiri hanyalah tanda, bukan sarana. Maka, semua tindakan manusia
kehilangan nilai kausal terhadap keselamatan. Dalam istilah filosofis, kehendak
manusia tidak lebih dari instrumen dekret ilahi, bukan subjek bebas
dalam drama keselamatan.
Perbandingan
Antropologis
| Aspek | Aquinas | Calvin | 
| Pandangan tentang kehendak | Rusak karena dosa, tetapi tetap memiliki liberum
  arbitrium | Dirusak total, tidak mampu memilih kebaikan rohani | 
| Peran rahmat | Menyembuhkan dan menyempurnakan kodrat | Mengganti dan menguasai kodrat yang mati | 
| Model kerja keselamatan | Sinergisme: Allah dan manusia bekerja bersama | Monergisme: Allah bekerja sendiri, manusia pasif | 
| Nilai tindakan manusia | Bernilai sebagai
  partisipasi dalam rahmat | Tidak bernilai secara kausal; hanya manifestasi
  predestinasi | 
| Konsekuensi eksistensial | Harapan dan partisipasi aktif dalam keselamatan | Ketergantungan mutlak dan kemungkinan kecemasan
  rohani | 
Pada titik ini, menjadi jelas bahwa dua doktrin
predestinasi ini bukan hanya menyangkut pertanyaan “siapa yang diselamatkan,”
tetapi apa artinya menjadi manusia di hadapan Allah. Aquinas
mempertahankan martabat manusia sebagai makhluk rasional yang dipanggil untuk
merespons cinta. Calvin, dalam semangat teologis yang tulus, lebih memilih
meniadakan kemungkinan kerjasama agar seluruh kemuliaan kembali kepada
Allah—namun dengan harga mahal: hilangnya agensi manusia.
BREAK SESSION
Bagian IV: Teleologi dan Tata
Moral—Menuju Kebaikan atau Demi Kemuliaan?
Pertanyaan tentang
predestinasi tidak bisa dilepaskan dari arah tujuan akhir (telos) dan struktur
moral dunia. Dalam hal ini, benturan antara Aquinas dan Calvin semakin
nyata: mereka tidak hanya berbeda dalam cara pandang tentang kehendak Allah dan
kebebasan manusia, tetapi juga dalam makna akhir dari keselamatan itu
sendiri, dan struktur nilai yang menopang dunia ciptaan.
Apakah manusia ditentukan
untuk bersatu dengan Allah dalam kebahagiaan kekal? Ataukah ia dijadikan
instrumen untuk memperlihatkan kemuliaan Allah, baik dalam keselamatan
maupun dalam kebinasaan? Di sinilah kita menyaksikan dua paradigma teleologis
yang tidak saling bertemu.
A. Aquinas: Teleologi Ciptaan
Menuju Beatitudo
Dalam metafisika Aquinas,
seluruh ciptaan diarahkan oleh Allah sebagai causa finalis—penyebab
tujuan. Tuhan menciptakan bukan untuk mempermainkan, melainkan untuk menyempurnakan
makhluk-Nya dalam relasi cinta dan kebahagiaan. Manusia dipanggil untuk
mencapai beatitudo: kebahagiaan kekal dalam kontemplasi akan Allah, yang
merupakan tujuan sejati dari eksistensinya.
“Finis
ultimus humanae vitae est beatitudo in visione Dei.”
(Tujuan akhir hidup manusia adalah
kebahagiaan dalam memandang Allah.)
Karena itu, dalam sistem Aquinas, predestinasi tidak
hanya berkaitan dengan status individual (selamat atau binasa), tetapi juga
menyangkut tatanan moral dan rasional dunia. Allah adalah lex aeterna—hukum
kekal—yang menciptakan tata moral objektif melalui hukum kodrati (lex
naturalis) dan hukum ilahi (lex divina).
Predestinasi, dalam kerangka ini, tidak meniadakan
norma moral, melainkan mendukungnya. Kehidupan manusia bermoral adalah jalan
menuju kesatuan dengan tujuan finalnya, bukan panggung ilusi dari skenario
yang sudah ditentukan.
Dengan demikian, tatanan dunia bukanlah teater
kehendak ilahi yang tak terselami, melainkan semesta yang terstruktur secara
rasional dan etis, tempat manusia dapat mengenali dan menanggapi panggilan
keselamatannya.
B. Calvin: Tata Moral sebagai Ekspresi Kemuliaan Ilahi
Calvin meletakkan tujuan tertinggi dari segala
sesuatu bukan pada beatitudo manusia, melainkan pada kemuliaan Allah (gloria
Dei). Predestinasi tidak diarahkan pada penyempurnaan makhluk, melainkan
pada manifestasi mutlak dari atribut ilahi, baik belas kasih maupun
keadilan.
Dalam Institutes III.23.6, Calvin menulis:
“God has appointed the reprobate to eternal damnation,
to the praise of His justice, and the elect to eternal life, to the praise of
His mercy.”
Dengan kata lain, keselamatan dan kebinasaan sama-sama
berfungsi sebagai alat untuk memperlihatkan kemuliaan Allah. Tidak ada
hirarki nilai moral di luar dari apa yang didekretkan Allah. Moralitas bukanlah
partisipasi dalam hukum kodrati atau struktur finalitas, melainkan perintah
yang valid karena berasal dari Allah, bukan karena rasional atau tertanam
dalam kodrat makhluk.
Ini menimbulkan implikasi serius: tindakan baik
tidak diarahkan pada kebahagiaan kodrati atau supernatural, tetapi hanya
sebagai konfirmasi bahwa seseorang adalah bagian dari yang terpilih. Sebaliknya,
hidup berdosa hanya menjadi cermin keadilan Allah yang menghukum.
Paradigma ini memunculkan
semacam fatalisme moral—jika tidak secara praktis, maka secara
ontologis. Tata nilai tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung sepenuhnya pada
dekret. Maka, teologi moral kehilangan daya normatif universal, karena
semuanya dikembalikan pada kehendak ilahi yang mutlak, bukan kebaikan objektif
yang dapat dikenali oleh akal budi.
Perbandingan
Teleologis dan Moral
| Aspek | Aquinas | Calvin | 
| Tujuan akhir manusia | Beatitudo (kebahagiaan kekal dalam persatuan dengan
  Allah) | Kemuliaan Allah (baik dalam keselamatan maupun
  kebinasaan) | 
| Fungsi tatanan moral | Jalan menuju tujuan akhir, partisipasi dalam hukum
  ilahi | Konfirmasi dari
  status predestinasi yang telah ditentukan | 
| Dasar nilai moral | Rasional dan kodrati, partisipasi dalam lex
  aeterna | Ditetapkan oleh kehendak Allah, tanpa dasar rasional
  intrinsik | 
| Pandangan tentang dunia | Tatanan kosmik
  yang rasional dan tertib | Panggung untuk
  deklarasi atribut Allah yang tak terselami | 
| Implikasi spiritual | Dorongan untuk pertobatan, harapan akan
  penyempurnaan | Potensi
  keputusasaan atau antinomianisme tersembunyi | 
Akhirnya, kita sampai pada
benturan esensial: bagi Aquinas, keselamatan adalah pemenuhan tujuan kodrat
dan rahmat secara integral, sedangkan bagi Calvin, keselamatan (dan
kutukan) adalah sarana untuk menyatakan kemuliaan Tuhan secara mutlak,
bahkan ketika itu melampaui rasionalitas atau keadilan manusia.
Yang satu melihat dunia
sebagai ordo amoris, tatanan cinta yang rasional. Yang lain melihat
dunia sebagai ordo gloriae, tatanan kemuliaan ilahi yang misterius dan
tak terjangkau.
Bagian V: Epistemologi dan
Problema Kepastian—Misteri yang Menenangkan atau Dekret yang Menghantui?
Setelah membahas fondasi
metafisika, kehendak ilahi, antropologi, dan tujuan akhir, kini kita sampai
pada konsekuensi praktis dan eksistensial yang sangat menentukan: bisakah
manusia mengetahui dirinya termasuk dalam predestinasi? Dan jika tidak,
bagaimana ia hidup di hadapan misteri ilahi yang menentukannya secara kekal?
Pertanyaan ini membawa kita
pada epistemologi predestinasi—yakni cara mengetahui dan menanggapi
predestinasi secara sadar. Sekali lagi, Aquinas dan Calvin berdiri pada dua
poros yang sangat berbeda: satu bersandar pada rasionalitas analogis dan
kepercayaan pada rahmat objektif, yang lain menekankan kesaksian
subjektif dan pengalaman batin yang rawan ambiguitas.
A. Aquinas: Pengetahuan
Analogis dan Kepastian melalui Gereja
Bagi Aquinas, Allah adalah
misteri yang dapat diketahui melalui analogi, meskipun tidak secara
sempurna. Dalam Summa Theologiae I, q.12 dan q.13, ia menjelaskan bahwa
kita dapat berbicara tentang Allah melalui analogia entis—analogi
keberadaan. Maka, meskipun predestinasi bersifat tersembunyi dalam kehendak
ilahi, manusia dapat mengenali tanda-tandanya melalui efek-efek rahmat
dalam hidupnya.
Namun Aquinas dengan tegas
menolak bahwa manusia bisa mengetahui dengan pasti bahwa dirinya
termasuk dalam predestinasi—kecuali melalui wahyu pribadi yang sangat jarang
(ST I, q.23, a.5). Karenanya, ia lebih menekankan pada kepercayaan yang
rendah hati (fiducia) dan ketekunan dalam kasih karunia,
daripada pada kepastian subjektif.
Kepastian akan keselamatan
diperoleh melalui sarana objektif Gereja: sakramen, ajaran, doa, dan
kehidupan moral. Dalam hal ini, epistemologi Aquinas bersifat komunal dan
sakramental. Manusia tidak perlu menggali ke dalam relung jiwanya untuk
menemukan bukti pilihan ilahi; cukup berjalan dalam iman yang dihidupi
secara nyata.
Dengan demikian, misteri
predestinasi tidak menghantui, melainkan mengundang rasa syukur dan
ketekunan.
B. Calvin: Kepastian Melalui Kesaksian Subjektif dan
Ketegangan Batin
Berbeda dengan Aquinas, Calvin menekankan bahwa kepastian
akan predestinasi adalah mungkin dan bahkan perlu. Dalam Institutes
III.24.5, ia menulis:
“Let us not hesitate to be assured of our election.”
Namun bagaimana caranya? Bagi Calvin, kepastian itu
diperoleh melalui kesaksian Roh Kudus dalam batin dan iman yang teguh
kepada janji Injil. Ini adalah pendekatan subjektif dan introspektif:
manusia harus membaca tanda-tanda pemilihan Allah dalam hatinya, dalam imannya,
dan dalam kesetiaan hidupnya.
Namun pendekatan ini memiliki paradoks internal.
Calvin juga mengakui bahwa Allah terkadang memberikan “iman sementara”
kepada orang yang pada akhirnya ditolak, seperti yang ia kutip dari Ibrani
6. Maka, bagaimana membedakan antara iman sejati dan iman palsu?
Di sinilah letak ketegangan eksistensial yang besar dalam tradisi Calvinis.
Karena sumber kepastian adalah batin manusia,
maka ancaman keraguan dan keputusasaan selalu mengintai. Hal ini memunculkan kekhawatiran
spiritual yang intens, terutama dalam kalangan Puritan dan pietis, yang
sering kali dilanda pertanyaan: “Apakah saya sungguh-sungguh dipilih, atau
hanya merasa dipilih?”
Perbandingan
Epistemologis
| Aspek | Aquinas | Calvin | 
| Kemungkinan mengetahui predestinasi | Tidak bisa dipastikan secara pasti kecuali oleh
  wahyu khusus | Bisa diyakini melalui iman dan kesaksian Roh Kudus | 
| Sumber kepastian | Sarana objektif:
  sakramen, Gereja, moralitas | Sarana
  subjektif: iman pribadi, pengalaman batin | 
| Pendekatan | Analogis dan komunal | Introspektif dan individualistik | 
| Implikasi spiritual | Ketekunan rendah
  hati dalam misteri | Potensi krisis iman atau kecemasan rohani | 
| Peran Gereja | Mediator rahmat dan pengokoh iman | Sekunder terhadap
  pengalaman rohani individual | 
Dalam kerangka Aquinas,
misteri predestinasi tidak menuntut untuk diselami secara tuntas,
melainkan untuk dihormati dalam semangat kepercayaan, karena iman bukan
tentang kalkulasi nasib, melainkan relasi dengan Allah yang mengasihi.
Sebaliknya, dalam sistem
Calvin, kepastian adalah kewajiban rohani, tetapi diperoleh melalui
jalan yang rapuh—yakni perasaan batin yang bisa ditipu atau berubah.
Ironisnya, usaha Calvin untuk menegaskan jaminan keselamatan justru membuka
pintu kecemasan yang tak kunjung reda.
Predestinasi dalam Perspektif
Filsafat: Aquinas dan Calvin dalam Dua Wajah Ilahi.
Bagian VI: Konsekuensi
Historis dan Filsafat Sosial—Antara Keselarasan Kosmis dan Mesin Takdir
Filsafat tidak pernah berhenti
pada doktrin. Ia selalu menuntut: Dan apa artinya bagi dunia nyata?
Dalam konteks predestinasi, perbedaan antara Aquinas dan Calvin bukan hanya
soal spekulasi metafisis, melainkan juga melahirkan implikasi sosial,
historis, dan antropologis yang luas. Cara suatu masyarakat memandang Tuhan
dan manusia akan membentuk cara ia menyusun sistem politik, etika, pendidikan,
bahkan sains.
Sejarah memberi kesaksian
bahwa pandangan Aquinas dan Calvin menghasilkan dua tradisi yang sangat
berbeda dalam membentuk wajah peradaban Barat.
A. Tradisi Thomistik:
Keselarasan Alam, Martabat Manusia, dan Rasionalitas Sosial
Pemikiran Aquinas menjadi
fondasi humanisme Kristen, yakni pandangan bahwa manusia adalah makhluk
rasional yang diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei) dan dipanggil
untuk mencapai kesempurnaan melalui rahmat dan kebajikan.
Implikasi sosialnya sangat besar:
- Politik dan hukum alam:
     Karena akal budi mampu mengenali lex naturalis, maka masyarakat
     dapat dibangun atas dasar hukum kodrati. Prinsip-prinsip keadilan, hak
     milik, keutamaan moral, dan tatanan sosial rasional memiliki fondasi
     objektif.
- Etika publik: Kehidupan
     bermoral bukan sekadar ekspresi iman pribadi, tetapi kontribusi manusia
     terhadap keteraturan kosmos dan kehendak Allah.
- Pendidikan dan kebudayaan:
     Didorong oleh keyakinan bahwa akal manusia dapat menyingkap realitas,
     tradisi Thomistik mendorong rasionalitas ilmiah, pendidikan liberal
     arts, dan sintesis iman–akal.
- Gereja dan masyarakat:
     Gereja berperan sebagai penjaga rahmat dan kebenaran moral, tetapi tidak
     memonopoli pengetahuan. Negara memiliki otonomi tertentu sejauh berjalan
     dalam terang hukum kodrati.
Maka, sistem predestinasi Aquinas tidak melahirkan
determinisme, melainkan ordo amoris—tatanan cinta yang rasional, di
mana manusia, meskipun lemah, tetap bermartabat dan bertanggung jawab.
B. Tradisi Calvinis: Determinisme Sosial, Kerja
sebagai Bukti, dan Dualisme Ilahi-Manusia
Sebaliknya, dalam tradisi Calvinis, pemahaman
predestinasi sebagai dekret absolut membawa implikasi serius bagi relasi
sosial dan budaya:
- Ekonomi dan kerja: Max
     Weber mencatat dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism
     bahwa ketidakpastian akan status keselamatan mendorong kaum Calvinis awal untuk
     mencari “tanda” pemilihan Allah melalui keberhasilan ekonomi dan etos
     kerja ekstrem. Kerja bukan lagi partisipasi dalam tatanan kosmik,
     melainkan indikator spiritual.
- Politik dan teokrasi:
     Dalam komunitas Calvinis awal (seperti Jenewa), negara dilihat sebagai
     instrumen pelaksanaan kehendak Allah. Hal ini melahirkan bentuk teokrasi
     disipliner, di mana kebebasan pribadi tunduk pada penilaian kolektif
     tentang “tanda-tanda pemilihan.”
- Sains dan determinisme:
     Hilangnya telos dalam ciptaan membuka jalan bagi mekanisme
     deterministik dalam sains dan filsafat. Tanpa orientasi pada tujuan
     final, dunia menjadi mekanisme yang bergerak sesuai dekret, bukan
     tatanan yang menuju kebaikan.
- Antropologi sosial:
     Dengan asumsi bahwa manusia terbagi secara mutlak antara “terpilih” dan
     “terkutuk”, masyarakat mudah tergelincir pada polaritas moral—“kita” vs
     “mereka”—yang dapat melegitimasi eksklusi sosial dan religius.
Maka, walaupun niatnya adalah menegaskan kemuliaan
Allah, sistem predestinasi Calvinis justru mengancam integritas tanggung
jawab manusia, dan dalam praktik sosialnya bisa berujung pada alienasi,
ketakutan, dan kecurigaan terhadap sesama.
Perbandingan
Konsekuensi Sosial dan Historis
| Aspek Sosial | Aquinas (Thomistik) | Calvin (Reformasi) | 
| Etika Kerja | Kehidupan
  bermoral sebagai partisipasi dalam ordo amoris | Kerja sebagai tanda pemilihan, pembuktian spiritual | 
| Politik | Tatanan sosial rasional berdasarkan hukum kodrati | Teokrasi lokal,
  potensi moralistik dan otoriter | 
| Ekonomi | Kerja sebagai pelayanan
  dan pemenuhan kodrat | Kemajuan ekonomi
  sebagai refleksi anugerah ilahi | 
| Pandangan Dunia | Teleologis dan hierarkis, bersifat partisipatif | Mekanistik,
  berorientasi pada kehendak ilahi mutlak | 
| Relasi antar manusia | Martabat
  universal berdasarkan imago Dei | Polarisasi moral berdasarkan status elektif | 
| Relasi Gereja dan Masyarakat | Gereja sebagai penuntun moral dan sakramental | Gereja sebagai
  komunitas eksklusif dari para terpilih | 
Sebagai penutup bagian ini,
dapat dikatakan bahwa predestinasi tidak berhenti di menara gading teologis. Ia
meresap ke dalam jantung peradaban. Aquinas membangun dunia di mana
manusia diajak untuk mengenal dan mencintai Allah melalui keteraturan ciptaan.
Calvin, dengan semangat yang membara, membangun teologi yang kuat dan
tegas—namun menanam benih bagi dunia yang semakin terlepas dari finalitas
ilahi, dan semakin cemas dalam mencari bukti keselamatan di dalam sejarah yang
dingin dan netral.
Bagian VII: Kesimpulan
Filsafati dan Evaluasi Kritis—Antara Keteraturan Cinta dan Bayang-Bayang Dekret
Perdebatan antara Thomas
Aquinas dan John Calvin tentang predestinasi bukanlah sekadar pertikaian tafsir
atas Kitab Suci, atau perbedaan gaya pastoral. Yang sesungguhnya terjadi adalah
pertarungan antara dua paradigma metafisika dan antropologi, yang
menjelma menjadi dua wajah tentang Tuhan dan dua cara memandang martabat
manusia.
Aquinas dan Jalan Keteraturan
Cinta (Ordo Amoris)
Aquinas mewariskan kepada kita
suatu pandangan yang menyatukan antara kedaulatan Allah dan kebebasan
manusia, antara kehendak ilahi dan rasionalitas ciptaan, antara rahmat
dan kodrat. Predestinasi, dalam terang metafisika partisipasi, adalah penataan
ilahi yang tidak menghancurkan kodrat manusia, tetapi justru
menyempurnakannya. Allah bukanlah tiran metafisis, melainkan causa bonitatis,
sebab segala kebaikan yang menarik makhluk menuju kesempurnaan mereka.
Dalam sistem ini, iman
tidak dipisahkan dari akal, dan pengharapan akan keselamatan tidak
dipisahkan dari usaha moral dan kehidupan sakramental. Ketegangan antara
rahmat dan kebebasan tetap ada, tetapi dijaga dalam keseimbangan yang mendalam
oleh struktur filsafat realis yang terbuka pada misteri ilahi.
Calvin dan Jalan Dekret yang
Mengguncang (Ordo Gloriae)
Calvin, dalam upayanya
menegaskan supremasi Allah dan radikalitas rahmat, membangun sistem yang
konsisten secara logis tetapi mengorbankan koherensi metafisika dan
kedalaman antropologi. Allah menjadi kehendak absolut yang tidak tunduk
pada rasionalitas moral atau tujuan final selain kemuliaan-Nya sendiri.
Predestinasi, dalam sistem
Calvin, memang menghibur sebagian orang yang merasa “pasti terpilih”, tetapi
juga menciptakan krisis eksistensial bagi mereka yang tidak pernah bisa
yakin. Sistem ini menggugurkan tatanan moral sebagai jalan keselamatan, dan
menundukkan dunia kepada bayang-bayang kehendak yang tidak dapat ditebak dan
tidak dapat digugat.
Evaluasi Kritis Filsafati
Jika kita menilai dari
perspektif filsafat realis dan etika rasional, sistem Aquinas memiliki koherensi
ontologis, moral, dan antropologis yang jauh lebih stabil. Ia menjunjung
tinggi integritas manusia, tanpa melemahkan kedaulatan Allah. Ia memungkinkan
relasi cinta antara Pencipta dan ciptaan, bukan dominasi unilateral dari
kehendak misterius.
Calvin, meskipun tegas dan
konsisten, membawa teologi ke jurang fideisme, di mana kehendak Allah
tidak lagi bisa dipahami sebagai bonum, tetapi hanya sebagai potestas.
Ini bukan hanya mengguncang gambaran tentang Allah sebagai cinta, tetapi juga
meniadakan dasar filsafati bagi dialog iman dan akal.
Penutup
Pada akhirnya, kita tidak
hanya dihadapkan pada dua teori tentang predestinasi, melainkan dua pilihan
tentang bagaimana kita ingin hidup di hadapan Allah:
- Di hadapan Allah Aquinas,
     kita adalah anak-anak yang diangkat ke dalam misteri cinta-Nya, yang
     berjalan di dalam rahmat melalui akal dan kehendak bebas yang dipulihkan.
- Di hadapan Allah Calvin,
     kita adalah makhluk yang dipilah sejak kekekalan, dan hanya dapat berharap
     telah menjadi bagian dari mereka yang tak tertolak.
Satu sistem membuka harapan
dalam partisipasi akan kebaikan; yang lain meninggalkan kita dalam teka-teki
dekret yang tak dapat ditembus. Maka, bagi mereka yang tetap percaya bahwa Tuhan
adalah kebaikan itu sendiri, dan bahwa manusia diciptakan untuk
mengenal, mencintai, dan bersatu dengan-Nya, jalan Aquinas—dengan segala
kerendahan hati dan kebijaksanaannya—tetap lebih selaras dengan terang akal dan
terang wahyu.
"Deus
non est tyrannus voluntatis, sed ordo amoris."
Tuhan bukanlah tiran kehendak, tetapi tatanan cinta.
Lampiran Kontekstual: Nusa
Tenggara Timur sebagai Cermin Dua Teologi
Indonesia Timur, khususnya Provinsi
Nusa Tenggara Timur, menyimpan jejak historis dari perjumpaan dua sistem
religius besar: Protestantisme Calvinis yang dibawa oleh zending
Belanda, dan Katolik Roma yang Thomistik yang diwariskan oleh misi
Portugis dan kemudian Misionaris SVD. Wilayah ini menyediakan laboratorium
hidup untuk menilai secara sosial dan kultural bagaimana teologi
predestinasi membentuk habitus masyarakat.
Flores dan Lingkup Katolik:
Spiritualitas Partisipatif dan Keadaban Komunal
Wilayah Flores (termasuk
Lembata, Adonara, dan sebagian Rote) adalah jantung Katolik Indonesia, dengan
akar misi Katolik sejak abad ke-16 dan penguatan kembali melalui SVD sejak
akhir abad ke-19. Di sini, kita melihat:
- Etos kolektif yang kuat:
     gotong royong, komunitas basis, semangat pendidikan berbasis tarekat
     Katolik.
- Kehadiran lembaga sosial-karitatif: sekolah Katolik, rumah sakit misi, koperasi
     petani, yang tidak semata bersifat administratif, tetapi berakar dalam
     teologi rahmat dan perbuatan baik sebagai partisipasi dalam keselamatan.
- Perkembangan ekonomi relatif lebih stabil: meski tetap tergolong daerah tertinggal,
     wilayah Flores menunjukkan kemajuan pendidikan, kapasitas organisasional,
     dan tata kelola desa yang lebih rapi daripada kawasan Timor pedalaman dan
     Sumba.
Semua ini mengalir dari teologi yang tidak menolak
kodrat manusia, tetapi mengajaknya untuk bekerja sama dengan rahmat dalam
sejarah konkret.
Timor dan Sumba: Etika Takdir dan Ketegangan Kultural
Sebaliknya, di wilayah Timor Tengah Selatan, Timor
Barat, dan Sumba—yang mayoritas Protestan dengan warisan zending Calvinis—kita
menemukan beberapa fenomena yang layak dicermati:
- Tingginya angka kemiskinan dan putus sekolah, terutama di desa-desa GMIT yang minim
     kaderisasi dan kekurangan guru. Banyak sekolah Protestan gulung tikar
     karena tidak adanya dukungan lembaga religius.
- Spiritualitas yang cenderung individualistik dan eskatologis, tanpa jangkauan sosial yang mapan. Kerja sosial
     gereja dibatasi pada ranah rohani tanpa ekosistem karitatif.
- Absennya infrastruktur karitatif sistemik: tidak ada rumah sakit Protestan yang bertahan
     lama, minimnya panti asuhan atau pusat pendidikan yang mandiri, dan
     ketergantungan besar pada bantuan pemerintah.
Hal ini mencerminkan buah dari sistem teologi yang tidak
mendorong partisipasi aktif dalam penyelamatan sejarah, karena dalam logika
Calvinistik, karya sosial tidak menyelamatkan, hanya menjadi “buah” dari
pemilihan Allah—jika memang sudah terpilih.
Maka, tak heran jika di beberapa desa, kita mendapati “kerajinan
ibadah” tetapi “kemiskinan struktural”. Doa-doa panjang di rumah ibadah
berdiri berdampingan dengan jalan rusak, anak putus sekolah, dan pertikaian
adat yang tak selesai.
Satu Kasus Nyata: TTS dan
Kemiskinan Struktural
Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS)—wilayah dengan lebih dari 88% penduduk Protestan—secara
statistik hampir selalu berada di urutan tertinggi dalam angka kemiskinan
dan gizi buruk di NTT. Sekalipun masyarakat religius dan setia beribadah,
tidak tampak kesinambungan antara iman dan pembangunan sosial.
Bandingkan dengan Larantuka
atau Maumere, di mana keberadaan kongregasi Katolik membentuk habitus
kebudayaan integral, yang menyatukan iman, pendidikan, kesehatan, dan
pembangunan manusia seutuhnya.
Refleksi: Teologi Mewujud dalam
Struktur Sosial
Perbedaan ini tentu tidak dapat
disederhanakan semata-mata dari agama. Namun struktur teologis menentukan
struktur etis, dan struktur etis membentuk habitus sosial. Ketika
sebuah sistem menolak kerja sebagai jalan keselamatan, ia akan gagal membangun
motivasi komunal jangka panjang.
Predestinasi ala Calvin
menyuburkan budaya spiritual yang berorientasi pada pemisahan mutlak antara
“yang terpilih” dan “yang tidak”, dan jika ini diterjemahkan ke dalam
masyarakat, akan lahir elitisme rohani, keengganan bertanggung jawab pada
sesama, dan sikap fatalistik terhadap struktur penderitaan.
Sebaliknya, Thomisme Katolik
mengajarkan bahwa keselamatan adalah jalan partisipatif, dan setiap
bentuk pelayanan, pendidikan, pengorbanan sosial, adalah partisipasi dalam
karya keselamatan Allah. Maka, ia memunculkan budaya sosial yang menubuhkan
iman dalam sejarah.