LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Barangsiapa atau Segelintir? Kontras Teologis antara Injil Kristus dan Injil Calvinis

 



 

Pendahuluan

Sejarah gereja mengenal banyak upaya untuk menyelewengkan Injil menjadi sesuatu yang lain: ada yang menjadikannya mitos, ada yang menguranginya menjadi sekadar moralitas, dan ada pula yang mengikatnya dalam sistem filsafat manusia. Salah satu bentuk mutasi itu adalah Calvinisme. Ia hadir dengan wajah teologis yang tampak intelektual, bersembunyi di balik kata-kata seperti “kedaulatan Allah” dan “doktrin kasih karunia,” namun pada intinya ia menawarkan Injil yang berbeda dari Injil Kristus.

Apakah itu sekadar perbedaan tafsir? Tidak. Persoalan ini menyentuh inti Injil itu sendiri: apakah manusia diselamatkan karena percaya kepada Yesus Kristus yang bangkit, ataukah keselamatan hanya bagi segelintir orang pilihan yang sejak kekal telah ditetapkan, lalu pada waktunya diberi “pencerahan rahasia” untuk bisa percaya? Pertanyaan ini bukan kecil, sebab jawabannya menentukan apakah yang kita pegang adalah Injil kehidupan atau sekadar injil buatan yang menutup pintu keselamatan bagi banyak orang.

Dokumen utama Calvinisme, Westminster Confession of Faith (1646), menyajikan sistem teologis yang disebut “doktrin anugerah.” Namun bila dibaca jujur, ia lebih mirip sebuah Injil Gnostik: keselamatan bukanlah respons iman terhadap Injil yang diberitakan, melainkan hasil sebuah “pengetahuan rahasia” yang hanya dicurahkan kepada kelompok terbatas, kaum elect. Injil semacam ini bukan kabar gembira bagi dunia, melainkan berita eksklusif bagi segelintir.

Karena itu, diskusi tentang Calvinisme bukan sekadar soal perbedaan denominasi, melainkan soal Injil mana yang sebenarnya diimani. Paulus sendiri sudah memperingatkan jemaat Korintus agar tidak menoleransi “Injil lain” (2 Kor 11:4). Tugas kita bukanlah bersikap manis dengan berkata “semua ini hanya variasi,” tetapi berani menyingkap bahwa Calvinisme pada hakikatnya menawarkan sebuah injil palsu, injil pemilihan, yang mencederai kebenaran Injil Kristus.

 

Bagian I – Latar Belakang

Calvinisme tidak lahir di ruang hampa. Ia merupakan anak kandung dari Reformasi abad ke-16, ketika John Calvin berusaha merumuskan sistem teologis yang tampak rapi, konsisten, dan akademis. Karya monumentalnya, Institutes of the Christian Religion, menjadi fondasi bagi apa yang kelak dipadatkan dalam Westminster Confession of Faith. Dari sinilah seluruh kerangka Calvinis dibangun: predestinasi mutlak, anugerah tak tertolak, pemilihan tanpa syarat, dan penebusan yang terbatas.

Sejak awal, sistem ini menjanjikan jawaban yang “logis” atas misteri keselamatan. Tetapi logika yang dipakai bukanlah logika Injil, melainkan logika determinisme: Allah digambarkan sebagai penguasa yang mengatur setiap detail, bahkan termasuk siapa yang pasti masuk surga dan siapa yang pasti masuk neraka, tanpa ruang bagi respons bebas manusia. Dari sini lahirlah apa yang disebut doktrin TULIP—lima poin Calvinisme—yang sering dielu-elukan sebagai ringkasan “Injil kasih karunia.”

Namun pengalaman menunjukkan, janji manis ini sering berakhir getir. Banyak orang yang awalnya terpikat oleh retorika Calvinis akhirnya menemukan bahwa sistem ini menimbulkan kebingungan, ketakutan, bahkan keputusasaan. Ada yang bertanya-tanya: Apakah saya benar-benar bagian dari elect? Bagaimana bila selama ini iman saya palsu? Tidak sedikit pula jemaat dan gereja yang retak karena infiltrasi ajaran ini: mula-mula dibungkus dalam bahasa “kesetiaan pada Firman,” lalu sedikit demi sedikit mempersempit Injil menjadi hanya milik segelintir orang.

Dalam sejarah, gelombang Calvinisme datang dan pergi. Ia kadang bangkit dengan penuh gairah intelektual, menguasai seminari dan gereja, lalu layu karena tidak memberi kehidupan rohani yang sehat. Inilah ciri khas ajaran yang, meski dibungkus seolah kuat, sesungguhnya membawa benih perpecahan. Gereja yang dibangun di atas fondasi pengharapan bagi semua orang tiba-tiba diubah menjadi klub eksklusif para “pilihan.”

Dengan latar belakang inilah, kritik terhadap Calvinisme menjadi mendesak. Persoalannya bukan sekadar preferensi teologis, tetapi tentang integritas Injil itu sendiri: apakah Injil masih kabar baik bagi dunia, ataukah sudah berubah menjadi berita muram tentang seleksi ilahi yang tak terbantahkan?

 

Bagian II – Definisi Gnostisisme

Untuk menilai apakah Calvinisme benar mengandung unsur Gnostik, pertama-tama kita perlu memahami apa itu Gnostisisme. Kata gnosis berarti pengetahuan. Dalam konteks religius, Gnostisisme adalah keyakinan bahwa keselamatan datang bukan melalui iman sederhana dan relasi dengan Allah, melainkan melalui pengetahuan rahasia—sebuah “pencerahan batin” yang hanya dimiliki oleh kelompok tertentu.

Sejak abad pertama, Gereja sudah berhadapan dengan ajaran-ajaran Gnostik. Mereka mengklaim memiliki rahasia ilahi yang tak dimiliki orang Kristen biasa. Intinya, bukan Kristus yang menyelamatkan melalui salib dan kebangkitan-Nya, melainkan “pengetahuan istimewa” tentang siapa diri kita dan siapa Allah. Hanya mereka yang mendapat “kunci rahasia” itulah yang akan selamat. Maka Injil universal diubah menjadi ajaran elitis.

Contoh paling jelas terlihat dalam agama-agama yang menekankan pencerahan sebagai jalan keselamatan. Dalam Buddhisme, misalnya, keselamatan dipahami sebagai mencapai nirwana lewat akumulasi pengetahuan rohani sepanjang reinkarnasi. Keselamatan bukanlah anugerah Allah yang masuk dalam sejarah, tetapi proses pencapaian pribadi melalui pengetahuan.

Ketika pola pikir semacam ini menyusup ke dalam Kekristenan, hasilnya adalah Injil yang berubah wajah. Orang tidak lagi diajak untuk percaya kepada Kristus yang mati dan bangkit bagi semua, tetapi diminta menunggu “penerangan ilahi khusus” yang hanya turun atas kelompok terbatas. Dengan kata lain: Injil ditukar dengan sistem Gnostik.

Inilah yang menjadi inti tuduhan terhadap Calvinisme. Sebab menurut Westminster Confession of Faith, seseorang tidak bisa sungguh percaya kepada Kristus hanya dengan mendengar Injil. Ia harus terlebih dahulu “dilahirkan kembali” secara sepihak oleh Roh Kudus, lalu diberi “pencerahan rohani” yang membuatnya mampu percaya. Tanpa itu, bahkan iman yang nyata dianggap palsu.

Dengan demikian, Calvinisme secara tidak sadar mereproduksi pola Gnostisisme: menjadikan pengetahuan rahasia—bukan iman sederhana kepada Kristus—sebagai syarat keselamatan.

 

Bagian III – Calvinisme sebagai Injil Gnostik

Jika Gnostisisme mendefinisikan keselamatan sebagai hasil “pencerahan rahasia,” maka Calvinisme, melalui Westminster Confession of Faith (WCF), berjalan di jalur yang sama. Bedanya, istilah yang dipakai bukan gnosis, melainkan regenerasi yang dipahami secara deterministik.

1. Peran Allah Bapa

Menurut Calvinisme, Allah Bapa sejak kekekalan telah menetapkan siapa yang akan selamat dan siapa yang binasa. Penetapan ini mutlak, tanpa syarat, dan tidak bergantung pada respons iman manusia. Dengan demikian, Injil bukan lagi undangan universal, tetapi deklarasi eksklusif: hanya bagi mereka yang sudah terpilih.

2. Peran Putra

Yesus Kristus, menurut Calvinisme, hanya mati bagi kelompok terbatas—limited atonement. Salib bukan lagi lambang kasih Allah bagi seluruh dunia (Yoh 3:16), melainkan tiket VIP bagi para elect. Maka kabar gembira Injil dikecilkan menjadi kabar internal: “Kristus mati untuk kami, bukan untukmu.”

3. Peran Roh Kudus

Di sinilah inti sifat gnostiknya. WCF menyatakan bahwa Roh Kudus lebih dahulu meregenerasi seseorang sebelum ia bisa percaya. Dengan kata lain, iman bukanlah pintu menuju kelahiran baru, melainkan akibat otomatis dari kelahiran baru yang diberikan hanya kepada elect. Di saat itu, orang “dicerahkan” secara rohani, mendapat “download supranatural,” lalu tiba-tiba mampu percaya.

4. Konsekuensi Gnostik

  • Pengetahuan Rahasia: Hanya mereka yang diberi “pencerahan” ilahi yang benar-benar mengenal Kristus. Iman sederhana seseorang yang percaya karena mendengar Injil dianggap palsu jika ia bukan bagian dari elect.
  • Elitisme Rohani: Keselamatan dikhususkan bagi kelompok rahasia yang terpilih; orang lain sekalipun percaya dan hidup Kristen tidak dianggap sungguh selamat.
  • Pengosongan Injil Universal: Roma 10:17—“Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”—digantikan dengan dogma bahwa iman timbul dari regenerasi khusus yang mendahului pendengaran.

Dengan demikian, Calvinisme menukar Injil yang terbuka untuk semua orang dengan sebuah sistem mirip Gnostisisme: keselamatan melalui “pencerahan khusus” yang hanya diberikan kepada segelintir orang. Injil kasih karunia berubah menjadi Injil seleksi.

 

 

Bagian IV – Westminster Confession of Faith

Dokumen Westminster Confession of Faith (1646) adalah puncak sistematisasi ajaran Calvinis. Apa yang sebelumnya berserakan dalam Institutes karya Calvin, dipadatkan dalam bentuk pasal-pasal yang sampai hari ini dijunjung oleh denominasi Reformed/Presbyterian. Namun, justru dari teks resminya terlihat jelas bagaimana Injil direduksi menjadi skema eksklusif.

1. Pasal 10.1 – Pemilihan Mutlak

“Semua orang yang telah ditentukan kepada hidup kekal, dan hanya mereka itulah, pada waktu yang ditetapkan, dipanggil secara efektif oleh Firman dan Roh.”

  • Artinya: sejak kekekalan Allah menentukan siapa yang selamat; pada waktunya mereka akan “dipaksa” masuk ke dalam anugerah.
  • Kritik: Injil bukan lagi undangan yang bebas direspons, tetapi daftar nama rahasia yang diumumkan secara sepihak.

2. Pasal 10.2 – Regenerasi Dahulu, Iman Kemudian

“Manusia sepenuhnya pasif sampai ia dihidupkan kembali oleh Roh Kudus.”

  • Artinya: iman bukan pintu keselamatan, melainkan akibat otomatis dari regenerasi yang sudah terjadi.
  • Kritik: Paulus menulis “iman timbul dari pendengaran” (Rm 10:17), bukan dari “pencerahan rahasia.”

3. Pasal 10.3 – Bayi Elect

“Bayi-bayi dari mereka yang terpilih diselamatkan oleh Kristus melalui Roh.”

  • Artinya: ada bayi yang langsung masuk surga karena mereka elect, dan ada bayi lain yang binasa karena non-elect.
  • Kritik: inilah wajah telanjang teologi deterministik: Allah dipotret sebagai hakim yang “berkenan” mengutuk bayi yang bahkan belum sempat berdosa secara sadar.

4. Pasal 10.4 – Iman yang Ditolak

“Mereka yang bukan elect, sekalipun dipanggil oleh Firman, tidak pernah sungguh-sungguh datang kepada Kristus.”

  • Artinya: orang non-elect bisa saja mendengar Injil, bahkan percaya, tetapi iman mereka otomatis dianggap palsu.
  • Kritik: Injil universal yang berlaku bagi barangsiapa (Yoh 3:16, Rm 10:13) digantikan oleh Injil eksklusif yang hanya sah bila melewati filter pemilihan Calvinis.

5. Konsekuensi

Dari pasal-pasal ini jelas terlihat:

  • Keselamatan = hasil seleksi rahasia, bukan respons iman.
  • Injil = kabar gembira terbatas, bukan kabar baik bagi seluruh dunia.
  • Gereja = komunitas elit spiritual, bukan tubuh Kristus yang merangkul semua orang berdosa.

 

Bagian V – Konsekuensi Praktis

Sebuah ajaran teologis tidak berhenti di atas kertas. Ia menetes ke kehidupan umat, membentuk cara orang beribadah, melayani, bahkan memandang sesamanya. Dari Calvinisme, lahir sejumlah konsekuensi yang tidak bisa diabaikan.

1. Mandat Misi yang Dilemahkan

Jika Allah sudah menentukan siapa yang selamat dan siapa yang binasa, apa gunanya memberitakan Injil? Mengapa bersusah payah menginjili tetangga, sahabat, atau bangsa lain, bila takdir mereka sudah dikunci sejak kekekalan?

  • Hasilnya: banyak Calvinis menjadi apatis terhadap misi.
  • Ironinya, mereka yang tetap berkhotbah tentang Kristus melakukannya bukan karena konsistensi doktrin, melainkan karena masih terikat amanat agung—meski ajaran mereka sendiri membuat amanat itu tampak sia-sia.

2. Gereja sebagai Klub Eksklusif

Calvinisme menciptakan garis tegas antara “kami” dan “mereka.”

  • “Kami” adalah para elect, orang-orang pilihan yang mendapat anugerah khusus.
  • “Mereka” adalah massa non-elect, yang sekalipun percaya, tetap dianggap palsu.
    Akibatnya, gereja kehilangan wajahnya sebagai rumah bagi semua orang berdosa yang mencari keselamatan. Ia berubah menjadi klub rohani yang mengedepankan identitas dogmatis, bukan tubuh Kristus yang merangkul siapa saja.

3. Siklus Kebangkitan dan Kemerosotan

Sejarah mencatat: setiap kali Calvinisme bangkit, ia cepat merusak tubuh yang menampungnya. Seminari diambil alih, gereja dipengaruhi, jemaat terpecah. Lalu, ketika luka semakin nyata, popularitasnya menurun. Fenomena ini berulang-ulang: naik dengan semangat intelektual, lalu runtuh oleh buah pahitnya sendiri.

4. Kebingungan dan Kecemasan Pribadi

Banyak orang Calvinis hidup dalam kecemasan: Apakah saya sungguh-sungguh elect? Bagaimana jika iman saya palsu? Bagaimana jika dosa saya membuktikan bahwa saya bukan pilihan Allah?
Alih-alih memberi kepastian keselamatan, Calvinisme menanam benih keraguan. Injil yang seharusnya memberi damai sejahtera berubah menjadi sistem yang menimbulkan paranoia rohani.

5. Perpecahan Umat dan Keluarga

Tidak jarang ajaran ini memecah-belah keluarga dan jemaat. Satu pihak merasa “lebih Alkitabiah” karena memegang TULIP, sementara pihak lain dituding sebagai “Kristen palsu.” Hasilnya: perpecahan, luka, bahkan perpisahan di tengah tubuh Kristus.

 

Dengan demikian, buah Calvinisme bukanlah damai, sukacita, dan gairah misi, melainkan apatisme, elitisme, kebingungan, dan perpecahan. Yesus berkata: “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Bila buahnya pahit, bagaimana mungkin akarnya sehat?

 

Bagian VI – Bantahan Biblis

Calvinisme berdiri tegak di atas tafsiran tertentu atas Alkitab. Namun begitu kita uji dengan terang Kitab Suci secara utuh, bangunannya retak dari fondasi. Injil sejati selalu universal, terbuka bagi barangsiapa yang percaya, bukan rahasia terbatas untuk segelintir orang.

1. Roma 10:9–17 – Iman Timbul dari Pendengaran

Paulus menulis: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan… iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

  • Urutannya jelas: mendengar Firman → percaya → diselamatkan.
  • Calvinisme membalikkan: dipilih → diregenerasi → diberi iman → baru bisa percaya. Itu bukan Injil Paulus, melainkan konstruksi asing.

2. Roma 3:27–28 – Iman Bukan Pekerjaan

Calvinisme sering menuduh bahwa jika iman berasal dari keputusan manusia, maka iman adalah “pekerjaan.” Paulus sendiri menolak logika itu: “Manusia dibenarkan karena iman, bukan karena perbuatan hukum Taurat.”

  • Paulus membedakan iman dari pekerjaan.
  • Dengan demikian, iman adalah respons yang dikehendaki Allah, bukan “usaha manusia” yang meniadakan anugerah.

3. Yohanes 3:16 – Universalisme Injil

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

  • Kasih Allah meliputi kosmos (dunia), bukan sekadar kelompok eksklusif.
  • Kata kunci: “setiap orang yang percaya” (Greek: pas ho pisteuōn). Injil bersifat terbuka, bukan rahasia selektif.

4. 2 Korintus 11:4 – Injil Lain

Paulus memperingatkan: “Jika ada orang yang memberitakan Yesus yang lain… atau Injil yang lain, kamu mudah mentoleransinya.”

  • Persis seperti jemaat Korintus, banyak orang Kristen hari ini mudah mentoleransi Injil palsu.
  • Calvinisme jatuh ke dalam kategori ini, karena mengajarkan Injil seleksi, bukan Injil kasih bagi semua.

5. Ulangan 30:19 – Pilihan dan Tanggung Jawab

“Aku menghadapkan kepadamu hidup dan mati, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.”

  • Allah sendiri memberi manusia tanggung jawab untuk memilih.
  • Jika manusia tidak punya kehendak bebas sama sekali, perintah Allah ini menjadi sia-sia.

 

Kesimpulan bantahan biblis:
Kitab Suci secara konsisten menegaskan bahwa iman adalah respons bebas terhadap Firman yang diberitakan. Calvinisme merampas tanggung jawab manusia, menutup pintu Injil universal, dan menggantikannya dengan seleksi ilahi yang arbitrer. Injil yang diberitakan Alkitab adalah kabar baik bagi semua, bukan kabar rahasia untuk segelintir.


 

Bagian VII – Kontras Teologis

Perdebatan ini tidak bisa berhenti di level terminologi. Yang dipertaruhkan adalah wajah Injil itu sendiri. Apakah Injil masih kabar baik bagi dunia, atau sudah dikecilkan menjadi kabar internal untuk sebuah klub rohani?

1. Injil Sejati

  • Universal dan inklusif: “Barangsiapa percaya” (Yoh 3:16, Rm 10:13).
  • Kasih Allah yang meluas ke seluruh dunia: Kristus mati bagi semua, bukan untuk segelintir.
  • Iman sebagai respons bebas: manusia mendengar, percaya, dan diselamatkan.
  • Kabar sukacita: semua orang berdosa, betapa pun busuk masa lalunya, memiliki pintu terbuka kepada keselamatan.

2. Injil Calvinis

  • Elitis dan eksklusif: hanya yang elect yang sah menerima “pencerahan.”
  • Kasih Allah dipersempit: Kristus hanya mati bagi yang sudah dipilih, bukan bagi semua.
  • Iman sebagai efek otomatis: bukan respons, melainkan akibat dari regenerasi sepihak.
  • Kabar muram: dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian besar manusia sejak awal ditetapkan untuk binasa.

3. Perbedaan Fundamental

  • Sumber keselamatan: Injil sejati = Kristus yang bangkit. Injil Calvinis = status pemilihan rahasia.
  • Subyek iman: Injil sejati = semua orang diundang. Injil Calvinis = hanya yang “dibukakan” secara khusus.
  • Watak Injil: Injil sejati = kabar baik. Injil Calvinis = kabar diskriminatif.

4. Hasil Buah Rohani

  • Injil sejati menumbuhkan sukacita, misi, dan pengharapan.
  • Injil Calvinis menumbuhkan kecemasan, apatisme, dan perpecahan.

 

Dengan demikian, kontrasnya jelas: Calvinisme tidak sekadar tafsir yang berbeda, melainkan Injil alternatif yang menyalahi inti kabar gembira. Injil sejati adalah undangan bagi semua orang untuk percaya dan hidup. Injil Calvinis hanyalah pengumuman seleksi yang mengutamakan daftar rahasia kaum elect.

Bagian VIII – Kesimpulan

Dari pembacaan jujur atas Westminster Confession of Faith, jelas bahwa Calvinisme tidak sekadar menawarkan tafsir baru atas Injil, melainkan menggantinya dengan injil lain: Injil pemilihan, Injil seleksi, Injil yang bercorak gnostik. Di dalamnya, keselamatan bukan lagi jawaban Allah atas iman manusia kepada Kristus yang bangkit, tetapi hak istimewa yang diberikan lewat “pencerahan rahasia” hanya bagi segelintir orang.

Akibatnya, kabar baik yang seharusnya membebaskan seluruh umat manusia dari belenggu dosa berubah menjadi kabar buruk: sebagian besar manusia sejak kekekalan ditetapkan untuk binasa, dan iman mereka sekalipun dianggap palsu. Gereja, yang semestinya menjadi tubuh Kristus yang merangkul semua orang berdosa, dipersempit menjadi klub eksklusif kaum elect.

Kitab Suci, dari Ulangan hingga Roma, dari Yohanes hingga Korintus, dengan jelas menegaskan hal sebaliknya: Allah mengasihi dunia, Kristus mati bagi semua, dan siapa saja yang mendengar Injil serta percaya akan diselamatkan. Injil sejati adalah kabar gembira bagi dunia, bukan kabar diskriminatif untuk segelintir.

Karena itu, Calvinisme harus dihadapi bukan dengan basa-basi teologis, melainkan dengan ketegasan apostolik: ini adalah Injil lain, dan Injil lain bukan Injil sama sekali. Paulus sudah berkata, “Sekalipun kami atau malaikat dari sorga yang memberitakan kepadamu suatu Injil yang berbeda… terkutuklah dia” (Gal 1:8).

Injil Kristus terlalu mulia untuk dikecilkan oleh logika deterministik. Injil adalah kasih Allah yang tak terbatas, yang memanggil semua orang: barangsiapa percaya akan hidup. Segala yang membatasi panggilan itu menjadi pengkhianatan terhadap Injil itu sendiri.

 

 

Penutup Punchline

Jika Injil sejati berkata: “Barangsiapa percaya akan diselamatkan,” maka Injil Calvinis hanya berani berbisik: “Barangsiapa terpilih dari awal, semoga beruntung.”

Kalau Kristus mati hanya untuk segelintir, maka salib bukan lagi lambang kasih Allah bagi dunia, melainkan papan pengumuman daftar nama rahasia. Itu bukan Injil—itu lotere teologis.

Gereja tidak dibangun di atas rahasia seleksi, tetapi di atas darah Kristus yang tercurah untuk semua. Dan jika ada ajaran yang mengubah kabar baik menjadi kabar buruk, mari kita sebut apa adanya: bukan Injil, tapi karikatur Injil.

Calvinisme mungkin terdengar pintar, sistematik, bahkan rapi. Tetapi Injil Kristus bukan teka-teki matematis, melainkan kabar gembira yang menerobos sejarah: Allah mengasihi dunia, Kristus bangkit, dan siapa saja yang percaya akan hidup.

Segala yang mempersempit itu hanyalah injil palsu yang patut kita buang ke tong sampah teologi. Karena pada akhirnya, lebih baik dituduh “terlalu murah hati” daripada memperkecil kasih Allah yang tak terbatas.

 

Share This Article :
9000568233845443113