Pendahuluan
Sejarah
gereja mengenal banyak upaya untuk menyelewengkan Injil menjadi sesuatu yang
lain: ada yang menjadikannya mitos, ada yang menguranginya menjadi sekadar
moralitas, dan ada pula yang mengikatnya dalam sistem filsafat manusia. Salah
satu bentuk mutasi itu adalah Calvinisme. Ia hadir dengan wajah teologis yang
tampak intelektual, bersembunyi di balik kata-kata seperti “kedaulatan Allah”
dan “doktrin kasih karunia,” namun pada intinya ia menawarkan Injil yang
berbeda dari Injil Kristus.
Apakah
itu sekadar perbedaan tafsir? Tidak. Persoalan ini menyentuh inti Injil itu
sendiri: apakah manusia diselamatkan karena percaya kepada Yesus Kristus
yang bangkit, ataukah keselamatan hanya bagi segelintir orang pilihan yang
sejak kekal telah ditetapkan, lalu pada waktunya diberi “pencerahan rahasia”
untuk bisa percaya? Pertanyaan ini bukan kecil, sebab jawabannya menentukan
apakah yang kita pegang adalah Injil kehidupan atau sekadar injil buatan yang
menutup pintu keselamatan bagi banyak orang.
Dokumen
utama Calvinisme, Westminster Confession of Faith (1646), menyajikan
sistem teologis yang disebut “doktrin anugerah.” Namun bila dibaca jujur, ia
lebih mirip sebuah Injil Gnostik: keselamatan bukanlah respons iman terhadap
Injil yang diberitakan, melainkan hasil sebuah “pengetahuan rahasia” yang hanya
dicurahkan kepada kelompok terbatas, kaum elect. Injil semacam ini bukan kabar
gembira bagi dunia, melainkan berita eksklusif bagi segelintir.
Karena
itu, diskusi tentang Calvinisme bukan sekadar soal perbedaan denominasi,
melainkan soal Injil mana yang sebenarnya diimani. Paulus sendiri sudah
memperingatkan jemaat Korintus agar tidak menoleransi “Injil lain” (2 Kor
11:4). Tugas kita bukanlah bersikap manis dengan berkata “semua ini hanya
variasi,” tetapi berani menyingkap bahwa Calvinisme pada hakikatnya menawarkan
sebuah injil palsu, injil pemilihan, yang mencederai kebenaran Injil Kristus.
Bagian
I – Latar Belakang
Calvinisme
tidak lahir di ruang hampa. Ia merupakan anak kandung dari Reformasi abad
ke-16, ketika John Calvin berusaha merumuskan sistem teologis yang tampak rapi,
konsisten, dan akademis. Karya monumentalnya, Institutes of the Christian
Religion, menjadi fondasi bagi apa yang kelak dipadatkan dalam Westminster
Confession of Faith. Dari sinilah seluruh kerangka Calvinis dibangun:
predestinasi mutlak, anugerah tak tertolak, pemilihan tanpa syarat, dan
penebusan yang terbatas.
Sejak
awal, sistem ini menjanjikan jawaban yang “logis” atas misteri keselamatan.
Tetapi logika yang dipakai bukanlah logika Injil, melainkan logika
determinisme: Allah digambarkan sebagai penguasa yang mengatur setiap detail,
bahkan termasuk siapa yang pasti masuk surga dan siapa yang pasti masuk neraka,
tanpa ruang bagi respons bebas manusia. Dari sini lahirlah apa yang disebut
doktrin TULIP—lima poin Calvinisme—yang sering dielu-elukan sebagai ringkasan
“Injil kasih karunia.”
Namun
pengalaman menunjukkan, janji manis ini sering berakhir getir. Banyak orang
yang awalnya terpikat oleh retorika Calvinis akhirnya menemukan bahwa sistem
ini menimbulkan kebingungan, ketakutan, bahkan keputusasaan. Ada yang
bertanya-tanya: Apakah saya benar-benar bagian dari elect? Bagaimana bila
selama ini iman saya palsu? Tidak sedikit pula jemaat dan gereja yang retak
karena infiltrasi ajaran ini: mula-mula dibungkus dalam bahasa “kesetiaan pada
Firman,” lalu sedikit demi sedikit mempersempit Injil menjadi hanya milik
segelintir orang.
Dalam sejarah, gelombang Calvinisme datang dan
pergi. Ia kadang bangkit dengan penuh gairah intelektual, menguasai seminari
dan gereja, lalu layu karena tidak memberi kehidupan rohani yang sehat. Inilah
ciri khas ajaran yang, meski dibungkus seolah kuat, sesungguhnya membawa benih
perpecahan. Gereja yang dibangun di atas fondasi pengharapan bagi semua orang
tiba-tiba diubah menjadi klub eksklusif para “pilihan.”
Dengan latar belakang inilah, kritik terhadap
Calvinisme menjadi mendesak. Persoalannya bukan sekadar preferensi teologis,
tetapi tentang integritas Injil itu sendiri: apakah Injil masih kabar baik bagi
dunia, ataukah sudah berubah menjadi berita muram tentang seleksi ilahi yang
tak terbantahkan?
Bagian II – Definisi
Gnostisisme
Untuk menilai apakah Calvinisme benar
mengandung unsur Gnostik, pertama-tama kita perlu memahami apa itu Gnostisisme.
Kata gnosis berarti pengetahuan. Dalam konteks religius, Gnostisisme
adalah keyakinan bahwa keselamatan datang bukan melalui iman sederhana dan
relasi dengan Allah, melainkan melalui pengetahuan rahasia—sebuah “pencerahan
batin” yang hanya dimiliki oleh kelompok tertentu.
Sejak abad pertama, Gereja sudah berhadapan
dengan ajaran-ajaran Gnostik. Mereka mengklaim memiliki rahasia ilahi yang tak
dimiliki orang Kristen biasa. Intinya, bukan Kristus yang menyelamatkan melalui
salib dan kebangkitan-Nya, melainkan “pengetahuan istimewa” tentang siapa diri
kita dan siapa Allah. Hanya mereka yang mendapat “kunci rahasia” itulah yang
akan selamat. Maka Injil universal diubah menjadi ajaran elitis.
Contoh paling jelas terlihat dalam agama-agama
yang menekankan pencerahan sebagai jalan keselamatan. Dalam Buddhisme,
misalnya, keselamatan dipahami sebagai mencapai nirwana lewat akumulasi
pengetahuan rohani sepanjang reinkarnasi. Keselamatan bukanlah anugerah Allah
yang masuk dalam sejarah, tetapi proses pencapaian pribadi melalui pengetahuan.
Ketika pola pikir semacam ini menyusup ke dalam
Kekristenan, hasilnya adalah Injil yang berubah wajah. Orang tidak lagi diajak
untuk percaya kepada Kristus yang mati dan bangkit bagi semua, tetapi diminta
menunggu “penerangan ilahi khusus” yang hanya turun atas kelompok terbatas.
Dengan kata lain: Injil ditukar dengan sistem Gnostik.
Inilah yang menjadi inti tuduhan terhadap
Calvinisme. Sebab menurut Westminster Confession of Faith, seseorang
tidak bisa sungguh percaya kepada Kristus hanya dengan mendengar Injil. Ia
harus terlebih dahulu “dilahirkan kembali” secara sepihak oleh Roh Kudus, lalu
diberi “pencerahan rohani” yang membuatnya mampu percaya. Tanpa itu, bahkan
iman yang nyata dianggap palsu.
Dengan demikian, Calvinisme secara tidak sadar
mereproduksi pola Gnostisisme: menjadikan pengetahuan rahasia—bukan iman
sederhana kepada Kristus—sebagai syarat keselamatan.
Bagian III – Calvinisme
sebagai Injil Gnostik
Jika Gnostisisme mendefinisikan keselamatan
sebagai hasil “pencerahan rahasia,” maka Calvinisme, melalui Westminster
Confession of Faith (WCF), berjalan di jalur yang sama. Bedanya, istilah
yang dipakai bukan gnosis, melainkan regenerasi yang dipahami
secara deterministik.
1. Peran Allah Bapa
Menurut Calvinisme, Allah Bapa sejak kekekalan
telah menetapkan siapa yang akan selamat dan siapa yang binasa. Penetapan ini
mutlak, tanpa syarat, dan tidak bergantung pada respons iman manusia. Dengan
demikian, Injil bukan lagi undangan universal, tetapi deklarasi eksklusif:
hanya bagi mereka yang sudah terpilih.
2. Peran Putra
Yesus Kristus, menurut Calvinisme, hanya mati
bagi kelompok terbatas—limited atonement. Salib bukan lagi lambang kasih
Allah bagi seluruh dunia (Yoh 3:16), melainkan tiket VIP bagi para elect. Maka
kabar gembira Injil dikecilkan menjadi kabar internal: “Kristus mati untuk
kami, bukan untukmu.”
3. Peran Roh Kudus
Di sinilah inti sifat gnostiknya. WCF
menyatakan bahwa Roh Kudus lebih dahulu meregenerasi seseorang sebelum
ia bisa percaya. Dengan kata lain, iman bukanlah pintu menuju kelahiran baru,
melainkan akibat otomatis dari kelahiran baru yang diberikan hanya kepada
elect. Di saat itu, orang “dicerahkan” secara rohani, mendapat “download
supranatural,” lalu tiba-tiba mampu percaya.
4.
Konsekuensi Gnostik
- Pengetahuan Rahasia: Hanya mereka yang diberi “pencerahan” ilahi
     yang benar-benar mengenal Kristus. Iman sederhana seseorang yang percaya
     karena mendengar Injil dianggap palsu jika ia bukan bagian dari elect.
- Elitisme Rohani: Keselamatan dikhususkan bagi kelompok rahasia
     yang terpilih; orang lain sekalipun percaya dan hidup Kristen tidak
     dianggap sungguh selamat.
- Pengosongan Injil
     Universal: Roma 10:17—“Iman
     timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”—digantikan
     dengan dogma bahwa iman timbul dari regenerasi khusus yang mendahului
     pendengaran.
Dengan
demikian, Calvinisme menukar Injil yang terbuka untuk semua orang dengan sebuah
sistem mirip Gnostisisme: keselamatan melalui “pencerahan khusus” yang hanya
diberikan kepada segelintir orang. Injil kasih karunia berubah menjadi Injil
seleksi.
Bagian
IV – Westminster Confession of Faith
Dokumen
Westminster Confession of Faith (1646) adalah puncak sistematisasi
ajaran Calvinis. Apa yang sebelumnya berserakan dalam Institutes karya
Calvin, dipadatkan dalam bentuk pasal-pasal yang sampai hari ini dijunjung oleh
denominasi Reformed/Presbyterian. Namun, justru dari teks resminya terlihat
jelas bagaimana Injil direduksi menjadi skema eksklusif.
1.
Pasal 10.1 – Pemilihan Mutlak
“Semua
orang yang telah ditentukan kepada hidup kekal, dan hanya mereka itulah, pada
waktu yang ditetapkan, dipanggil secara efektif oleh Firman dan Roh.”
- Artinya: sejak
     kekekalan Allah menentukan siapa yang selamat; pada waktunya mereka akan
     “dipaksa” masuk ke dalam anugerah.
- Kritik: Injil bukan
     lagi undangan yang bebas direspons, tetapi daftar nama rahasia yang
     diumumkan secara sepihak.
2.
Pasal 10.2 – Regenerasi Dahulu, Iman Kemudian
“Manusia
sepenuhnya pasif sampai ia dihidupkan kembali oleh Roh Kudus.”
- Artinya: iman bukan
     pintu keselamatan, melainkan akibat otomatis dari regenerasi yang sudah
     terjadi.
- Kritik: Paulus menulis
     “iman timbul dari pendengaran” (Rm 10:17), bukan dari “pencerahan
     rahasia.”
3.
Pasal 10.3 – Bayi Elect
“Bayi-bayi
dari mereka yang terpilih diselamatkan oleh Kristus melalui Roh.”
- Artinya: ada bayi yang
     langsung masuk surga karena mereka elect, dan ada bayi lain yang binasa
     karena non-elect.
- Kritik: inilah wajah
     telanjang teologi deterministik: Allah dipotret sebagai hakim yang
     “berkenan” mengutuk bayi yang bahkan belum sempat berdosa secara sadar.
4.
Pasal 10.4 – Iman yang Ditolak
“Mereka
yang bukan elect, sekalipun dipanggil oleh Firman, tidak pernah sungguh-sungguh
datang kepada Kristus.”
- Artinya: orang
     non-elect bisa saja mendengar Injil, bahkan percaya, tetapi iman mereka
     otomatis dianggap palsu.
- Kritik: Injil
     universal yang berlaku bagi barangsiapa (Yoh 3:16, Rm 10:13)
     digantikan oleh Injil eksklusif yang hanya sah bila melewati filter
     pemilihan Calvinis.
5.
Konsekuensi
Dari
pasal-pasal ini jelas terlihat:
- Keselamatan = hasil
     seleksi rahasia, bukan respons iman.
- Injil = kabar gembira
     terbatas, bukan kabar baik bagi seluruh dunia.
- Gereja = komunitas
     elit spiritual, bukan tubuh Kristus yang merangkul semua orang berdosa.
Bagian
V – Konsekuensi Praktis
Sebuah
ajaran teologis tidak berhenti di atas kertas. Ia menetes ke kehidupan umat,
membentuk cara orang beribadah, melayani, bahkan memandang sesamanya. Dari
Calvinisme, lahir sejumlah konsekuensi yang tidak bisa diabaikan.
1.
Mandat Misi yang Dilemahkan
Jika
Allah sudah menentukan siapa yang selamat dan siapa yang binasa, apa gunanya
memberitakan Injil? Mengapa bersusah payah menginjili tetangga, sahabat, atau
bangsa lain, bila takdir mereka sudah dikunci sejak kekekalan?
- Hasilnya: banyak
     Calvinis menjadi apatis terhadap misi.
- Ironinya, mereka yang
     tetap berkhotbah tentang Kristus melakukannya bukan karena konsistensi
     doktrin, melainkan karena masih terikat amanat agung—meski ajaran mereka
     sendiri membuat amanat itu tampak sia-sia.
2.
Gereja sebagai Klub Eksklusif
Calvinisme
menciptakan garis tegas antara “kami” dan “mereka.”
- “Kami” adalah para
     elect, orang-orang pilihan yang mendapat anugerah khusus.
- “Mereka” adalah massa
     non-elect, yang sekalipun percaya, tetap dianggap palsu.
 Akibatnya, gereja kehilangan wajahnya sebagai rumah bagi semua orang berdosa yang mencari keselamatan. Ia berubah menjadi klub rohani yang mengedepankan identitas dogmatis, bukan tubuh Kristus yang merangkul siapa saja.
3.
Siklus Kebangkitan dan Kemerosotan
Sejarah
mencatat: setiap kali Calvinisme bangkit, ia cepat merusak tubuh yang
menampungnya. Seminari diambil alih, gereja dipengaruhi, jemaat terpecah. Lalu,
ketika luka semakin nyata, popularitasnya menurun. Fenomena ini berulang-ulang:
naik dengan semangat intelektual, lalu runtuh oleh buah pahitnya sendiri.
4.
Kebingungan dan Kecemasan Pribadi
Banyak
orang Calvinis hidup dalam kecemasan: Apakah saya sungguh-sungguh elect?
Bagaimana jika iman saya palsu? Bagaimana jika dosa saya membuktikan bahwa saya
bukan pilihan Allah?
Alih-alih memberi kepastian keselamatan, Calvinisme menanam benih keraguan.
Injil yang seharusnya memberi damai sejahtera berubah menjadi sistem yang
menimbulkan paranoia rohani.
5.
Perpecahan Umat dan Keluarga
Tidak
jarang ajaran ini memecah-belah keluarga dan jemaat. Satu pihak merasa “lebih
Alkitabiah” karena memegang TULIP, sementara pihak lain dituding sebagai
“Kristen palsu.” Hasilnya: perpecahan, luka, bahkan perpisahan di tengah tubuh
Kristus.
Dengan
demikian, buah Calvinisme bukanlah damai, sukacita, dan gairah misi, melainkan
apatisme, elitisme, kebingungan, dan perpecahan. Yesus berkata: “Dari
buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Bila buahnya pahit, bagaimana
mungkin akarnya sehat?
Bagian
VI – Bantahan Biblis
Calvinisme
berdiri tegak di atas tafsiran tertentu atas Alkitab. Namun begitu kita uji
dengan terang Kitab Suci secara utuh, bangunannya retak dari fondasi. Injil
sejati selalu universal, terbuka bagi barangsiapa yang percaya, bukan
rahasia terbatas untuk segelintir orang.
1.
Roma 10:9–17 – Iman Timbul dari Pendengaran
Paulus
menulis: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan dan
percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang
mati, maka kamu akan diselamatkan… iman timbul dari pendengaran, dan
pendengaran oleh firman Kristus.”
- Urutannya jelas:
     mendengar Firman → percaya → diselamatkan.
- Calvinisme
     membalikkan: dipilih → diregenerasi → diberi iman → baru bisa percaya. Itu
     bukan Injil Paulus, melainkan konstruksi asing.
2.
Roma 3:27–28 – Iman Bukan Pekerjaan
Calvinisme
sering menuduh bahwa jika iman berasal dari keputusan manusia, maka iman adalah
“pekerjaan.” Paulus sendiri menolak logika itu: “Manusia dibenarkan karena
iman, bukan karena perbuatan hukum Taurat.”
- Paulus membedakan iman dari pekerjaan.
- Dengan demikian, iman adalah respons yang dikehendaki Allah, bukan
     “usaha manusia” yang meniadakan anugerah.
3. Yohanes 3:16 –
Universalisme Injil
“Karena begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal.”
- Kasih Allah meliputi kosmos (dunia), bukan sekadar kelompok
     eksklusif.
- Kata kunci: “setiap orang yang percaya” (Greek: pas ho
     pisteuōn). Injil bersifat
     terbuka, bukan rahasia selektif.
4.
2 Korintus 11:4 – Injil Lain
Paulus
memperingatkan: “Jika ada orang yang memberitakan Yesus yang lain… atau
Injil yang lain, kamu mudah mentoleransinya.”
- Persis seperti jemaat
     Korintus, banyak orang Kristen hari ini mudah mentoleransi Injil palsu.
- Calvinisme jatuh ke
     dalam kategori ini, karena mengajarkan Injil seleksi, bukan Injil kasih
     bagi semua.
5.
Ulangan 30:19 – Pilihan dan Tanggung Jawab
“Aku
menghadapkan kepadamu hidup dan mati, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan,
supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.”
- Allah sendiri memberi
     manusia tanggung jawab untuk memilih.
- Jika manusia tidak
     punya kehendak bebas sama sekali, perintah Allah ini menjadi sia-sia.
Kesimpulan
bantahan biblis:
Kitab Suci secara konsisten menegaskan bahwa iman adalah respons bebas terhadap
Firman yang diberitakan. Calvinisme merampas tanggung jawab manusia, menutup
pintu Injil universal, dan menggantikannya dengan seleksi ilahi yang arbitrer.
Injil yang diberitakan Alkitab adalah kabar baik bagi semua, bukan kabar
rahasia untuk segelintir.
Bagian
VII – Kontras Teologis
Perdebatan
ini tidak bisa berhenti di level terminologi. Yang dipertaruhkan adalah wajah
Injil itu sendiri. Apakah Injil masih kabar baik bagi dunia, atau sudah
dikecilkan menjadi kabar internal untuk sebuah klub rohani?
1.
Injil Sejati
- Universal dan inklusif:
     “Barangsiapa percaya” (Yoh 3:16, Rm 10:13).
- Kasih Allah yang meluas ke seluruh dunia: Kristus
     mati bagi semua, bukan untuk segelintir.
- Iman sebagai
     respons bebas: manusia
     mendengar, percaya, dan diselamatkan.
- Kabar sukacita: semua orang berdosa, betapa pun busuk masa
     lalunya, memiliki pintu terbuka kepada keselamatan.
2.
Injil Calvinis
- Elitis dan eksklusif: hanya yang elect yang
     sah menerima “pencerahan.”
- Kasih Allah dipersempit: Kristus
     hanya mati bagi yang sudah dipilih, bukan bagi semua.
- Iman sebagai efek
     otomatis: bukan respons,
     melainkan akibat dari regenerasi sepihak.
- Kabar muram: dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian
     besar manusia sejak awal ditetapkan untuk binasa.
3.
Perbedaan Fundamental
- Sumber keselamatan: Injil sejati = Kristus yang bangkit. Injil
     Calvinis = status pemilihan rahasia.
- Subyek iman: Injil sejati = semua orang diundang. Injil
     Calvinis = hanya yang “dibukakan” secara khusus.
- Watak Injil: Injil sejati = kabar baik. Injil Calvinis =
     kabar diskriminatif.
4.
Hasil Buah Rohani
- Injil sejati menumbuhkan sukacita, misi, dan pengharapan.
- Injil Calvinis menumbuhkan kecemasan, apatisme, dan perpecahan.
Dengan demikian, kontrasnya jelas: Calvinisme
tidak sekadar tafsir yang berbeda, melainkan Injil alternatif yang menyalahi
inti kabar gembira. Injil sejati adalah undangan bagi semua orang untuk percaya
dan hidup. Injil Calvinis hanyalah pengumuman seleksi yang mengutamakan daftar
rahasia kaum elect.
Bagian VIII – Kesimpulan
Dari pembacaan jujur atas Westminster
Confession of Faith, jelas bahwa Calvinisme tidak sekadar menawarkan tafsir
baru atas Injil, melainkan menggantinya dengan injil lain: Injil pemilihan,
Injil seleksi, Injil yang bercorak gnostik. Di dalamnya, keselamatan bukan lagi
jawaban Allah atas iman manusia kepada Kristus yang bangkit, tetapi hak
istimewa yang diberikan lewat “pencerahan rahasia” hanya bagi segelintir orang.
Akibatnya, kabar baik yang seharusnya
membebaskan seluruh umat manusia dari belenggu dosa berubah menjadi kabar
buruk: sebagian besar manusia sejak kekekalan ditetapkan untuk binasa, dan iman
mereka sekalipun dianggap palsu. Gereja, yang semestinya menjadi tubuh Kristus
yang merangkul semua orang berdosa, dipersempit menjadi klub eksklusif kaum
elect.
Kitab Suci, dari Ulangan hingga Roma, dari
Yohanes hingga Korintus, dengan jelas menegaskan hal sebaliknya: Allah
mengasihi dunia, Kristus mati bagi semua, dan siapa saja yang mendengar Injil
serta percaya akan diselamatkan. Injil sejati adalah kabar gembira bagi dunia,
bukan kabar diskriminatif untuk segelintir.
Karena itu, Calvinisme harus dihadapi bukan
dengan basa-basi teologis, melainkan dengan ketegasan apostolik: ini adalah
Injil lain, dan Injil lain bukan Injil sama sekali. Paulus sudah berkata,
“Sekalipun kami atau malaikat dari sorga yang memberitakan kepadamu suatu Injil
yang berbeda… terkutuklah dia” (Gal 1:8).
Injil Kristus terlalu mulia untuk dikecilkan
oleh logika deterministik. Injil adalah kasih Allah yang tak terbatas, yang
memanggil semua orang: barangsiapa percaya akan hidup. Segala yang
membatasi panggilan itu menjadi pengkhianatan terhadap Injil itu sendiri.
Penutup Punchline
Jika Injil sejati berkata: “Barangsiapa
percaya akan diselamatkan,” maka Injil Calvinis hanya berani berbisik: “Barangsiapa
terpilih dari awal, semoga beruntung.”
Kalau Kristus mati hanya untuk segelintir, maka
salib bukan lagi lambang kasih Allah bagi dunia, melainkan papan pengumuman
daftar nama rahasia. Itu bukan Injil—itu lotere teologis.
Gereja tidak dibangun di atas rahasia seleksi,
tetapi di atas darah Kristus yang tercurah untuk semua. Dan jika ada ajaran
yang mengubah kabar baik menjadi kabar buruk, mari kita sebut apa adanya: bukan
Injil, tapi karikatur Injil.
Calvinisme mungkin terdengar pintar,
sistematik, bahkan rapi. Tetapi Injil Kristus bukan teka-teki matematis,
melainkan kabar gembira yang menerobos sejarah: Allah mengasihi dunia, Kristus
bangkit, dan siapa saja yang percaya akan hidup.
Segala yang mempersempit itu hanyalah injil
palsu yang patut kita buang ke tong sampah teologi. Karena pada akhirnya, lebih
baik dituduh “terlalu murah hati” daripada memperkecil kasih Allah yang tak
terbatas.
