LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Relativisme: Obat Tidur yang Disamarkan sebagai Teologi

 



 

Lihat pola pikirnya: dogma Katolik hanya mengikat Katolik, dogma Protestan hanya mengikat Protestan, semua sama saja, Kristus katanya “tidak terpenjara” di mana pun. Kedengarannya indah, toleran, penuh damai. Padahal ini bukan toleransi, ini obat tidur intelektual: jangan berpikir terlalu jauh, jangan klaim kebenaran, semua label sama saja.

Masalahnya, relativisme selalu berpura-pura netral. Katanya tidak ada kebenaran mutlak, tapi langsung meluncurkan dogma baru: dogma relativisme. Ironis bukan? Dia menolak dogma universal Katolik, lalu mendirikan dogma universal versinya sendiri: bahwa semua dogma hanyalah aturan internal. Itu circular reasoning yang dibungkus kata manis.


Logika Setipis Tisu Basah

Mari kita kupas “logika” yang dipamerkan:

1.     “Kalau Yesus mendirikan satu Gereja, seharusnya tidak ada gereja lain.”
Serius? Logika model TK. Jadi karena Yesus mendirikan satu Gereja, mustahil ada penyimpangan? Maka bidat tidak mungkin ada? Kalau begitu, Paulus capek-capek menulis surat menegur Galatia dan Korintus buat apa?

2.     “Kristus ada di Katolik dan di Protestan sama-sama.”
Premisnya: kebenaran tidak bisa eksklusif. Lalu kesimpulannya: klaim saya eksklusif. Kristus saya distribusikan sesuai selera.
Relativisme klasik: menolak klaim absolut dengan membuat klaim absolut.

3.     “Dogma hanya berlaku internal.”
Oke, coba balik. Kalau “jangan membunuh” hanya berlaku internal Katolik, lalu bolehkah non-Katolik membunuh? Kalau “Kristus bangkit” hanya berlaku internal, maka untuk orang luar Yesus tetap mati? Inilah relativisme—logika setipis tisu basah, begitu ditekan sobek.


Relativisme = Anti-Intelektualisme

Perhatikan juga gaya bicaranya: “jangan debat, jangan maki, jangan klaim benar, cukup hiduplah dalam kasih.” Manis sekali. Tapi ini bukan kasih, ini anti-intelektualisme. Begitu ada argumen yang memojokkan Protestan, langsung ditutup dengan kalimat “nggak usah ribut, semua sama.” Itu sama saja seperti murid malas belajar yang bilang, “ya udah deh, semua jawaban benar kok, Pak.”

Relativisme itu candu: membuat orang merasa damai karena semua klaim dianggap setara. Padahal sebenarnya itu hanya kemalasan berpikir.


Kebenaran Bukan Label

Sampai disini jelas: relativisme menafikan sejarah, menolak konsistensi, dan mengaburkan kebenaran. Gereja dianggap label, dogma dianggap aturan internal, Kristus dianggap properti umum. Hasilnya? Agama jadi sekadar merk dagang, bukan tubuh hidup yang berakar pada sejarah penebusan.

Padahal sejak awal Gereja Katolik berdiri bukan sebagai “label,” tapi sebagai realitas historis—didukung saksi rasuli, konsili, martir, dan tradisi yang konsisten. Relativisme mau menghapus semua itu demi kenyamanan.


Sinisme Penutup

Relativisme itu bukan kedewasaan, tapi pubertas intelektual yang berkepanjangan: takut pada klaim kebenaran, tapi haus diakui bijak. Ia berkoar soal kasih sambil menolak disiplin logika. Ia mengaku menolak absolutisme, tapi menjadi absolutis terhadap relativisme.

Dengan kata lain: relativisme adalah bidat paling malas—bidat yang tidak sanggup berpikir, hanya sanggup menguap.

 

Share This Article :
9000568233845443113