Lihat pola pikirnya: dogma Katolik hanya mengikat Katolik,
dogma Protestan hanya mengikat Protestan, semua sama saja, Kristus katanya
“tidak terpenjara” di mana pun. Kedengarannya indah, toleran, penuh damai.
Padahal ini bukan toleransi, ini obat tidur intelektual: jangan berpikir
terlalu jauh, jangan klaim kebenaran, semua label sama saja.
Masalahnya, relativisme selalu
berpura-pura netral. Katanya tidak ada kebenaran mutlak, tapi langsung
meluncurkan dogma baru: dogma relativisme. Ironis bukan? Dia menolak
dogma universal Katolik, lalu mendirikan dogma universal versinya sendiri:
bahwa semua dogma hanyalah aturan internal. Itu circular reasoning yang dibungkus kata manis.
Logika Setipis Tisu Basah
Mari kita kupas “logika” yang dipamerkan:
1.     “Kalau Yesus mendirikan satu Gereja,
seharusnya tidak ada gereja lain.”
Serius? Logika model TK. Jadi karena Yesus mendirikan satu Gereja, mustahil ada
penyimpangan? Maka bidat tidak mungkin ada? Kalau begitu, Paulus capek-capek
menulis surat menegur Galatia dan Korintus buat apa?
2.     “Kristus
ada di Katolik dan di Protestan sama-sama.”
Premisnya: kebenaran tidak bisa eksklusif. Lalu kesimpulannya: klaim saya
eksklusif. Kristus saya distribusikan sesuai selera. Relativisme klasik: menolak klaim
absolut dengan membuat klaim absolut.
3.     “Dogma hanya berlaku internal.”
Oke, coba balik. Kalau “jangan membunuh” hanya berlaku internal Katolik, lalu
bolehkah non-Katolik membunuh? Kalau “Kristus bangkit” hanya berlaku internal,
maka untuk orang luar Yesus tetap mati? Inilah relativisme—logika setipis tisu
basah, begitu ditekan sobek.
Relativisme = Anti-Intelektualisme
Perhatikan juga gaya bicaranya: “jangan debat, jangan maki,
jangan klaim benar, cukup hiduplah dalam kasih.” Manis sekali. Tapi ini bukan
kasih, ini anti-intelektualisme. Begitu ada argumen yang memojokkan
Protestan, langsung ditutup dengan kalimat “nggak usah ribut, semua sama.” Itu
sama saja seperti murid malas belajar yang bilang, “ya udah deh, semua jawaban
benar kok, Pak.”
Relativisme itu candu: membuat
orang merasa damai karena semua klaim dianggap setara. Padahal sebenarnya itu hanya kemalasan
berpikir.
Kebenaran Bukan Label
Sampai disini jelas: relativisme menafikan sejarah, menolak
konsistensi, dan mengaburkan kebenaran. Gereja
dianggap label, dogma dianggap aturan internal, Kristus dianggap properti umum.
Hasilnya? Agama jadi sekadar merk dagang, bukan tubuh hidup yang berakar pada
sejarah penebusan.
Padahal sejak awal Gereja
Katolik berdiri bukan sebagai “label,” tapi sebagai realitas historis—didukung
saksi rasuli, konsili, martir, dan tradisi yang konsisten. Relativisme mau menghapus semua itu
demi kenyamanan.
Sinisme Penutup
Relativisme itu bukan kedewasaan, tapi pubertas intelektual
yang berkepanjangan: takut pada klaim kebenaran, tapi haus diakui bijak. Ia
berkoar soal kasih sambil menolak disiplin logika. Ia mengaku menolak
absolutisme, tapi menjadi absolutis terhadap relativisme.
Dengan kata lain: relativisme
adalah bidat paling malas—bidat yang tidak sanggup berpikir, hanya sanggup
menguap.
