LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

META-ARGUMEN ATAS RETORIKA MYM: ANTARA FILSAFAT, LOGIKA, DAN IMAN

 

Pendahuluan

Dalam polemik Protestan–Katolik, sering muncul tuduhan klasik: ajaran Gereja Katolik tidak murni alkitabiah karena sarat dengan pengaruh filsafat Yunani. Tuduhan ini kembali diulang oleh MYM, yang menuduh doktrin Katolik lahir dari konstruksi Aristoteles dan Plato, bukan dari wahyu Kitab Suci. Ekaristi disebut produk teori “substansi dan aksiden,” selibat dituduh warisan Platonisme, dan teologi Aquinas dikatakan hanya hasil spekulasi Aristotelian.

Sekilas, klaim ini tampak meyakinkan bagi mereka yang tidak terbiasa dengan sejarah teologi. Namun, jika dianalisis dengan teknik meta-argumen—yakni analisis bukan hanya pada isi argumen, tetapi juga pada struktur, asumsi dasar, dan koherensi internalnya—kita akan menemukan bahwa retorika MYM rapuh. Ia jatuh pada kontradiksi performatif: menolak filsafat sambil menggunakannya; mengklaim sola scriptura tapi membangun kerangka pikir dengan filsafat yang sama ia tolak.

Lebih jauh, tuduhan bahwa Katolik tidak alkitabiah karena memakai filsafat terbongkar sebagai false dichotomy. Protestan pun tidak bisa menghindar dari filsafat. Calvinisme lahir dari Platonisme melalui Agustinus; Van Til membangun apologetikanya dengan idealisme. Dengan kata lain, tidak ada teologi yang bebas dari filsafat. Bahkan menolak filsafat adalah sebuah filsafat—fideisme, yaitu iman yang memutus akal.

Artikel ini bertujuan untuk mengupas argumen MYM dengan pendekatan meta-argumen, menyingkap asumsi dasarnya, menunjukkan kesalahan logis yang dipakai, sekaligus menegaskan posisi Katolik: filsafat adalah instrumen, bukan berhala. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa Katolik justru lebih jujur dan konsisten dalam mengintegrasikan iman dan akal budi, sementara retorika Protestan sering kali munafik—memakai filsafat sambil berpura-pura menolaknya.

 

Bagian I. Kerangka Meta-Argumen

Sebelum membedah argumen MYM, penting untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan meta-argumen. Istilah ini merujuk pada analisis yang tidak berhenti pada isi atau materi argumen, melainkan menelaah kerangka dan struktur dari argumen itu sendiri. Dengan kata lain, meta-argumen mengajukan pertanyaan: apakah sebuah klaim konsisten dengan asumsi yang ia pakai? Apakah logikanya sahih, atau justru membantah dirinya sendiri?

Dalam tradisi filsafat, metode meta-argumen ini digunakan untuk menguji apakah suatu pernyataan runtuh karena kontradiksi internal. Misalnya, jika seseorang berkata: “Tidak ada kebenaran absolut”, maka klaim itu secara otomatis menggugurkan dirinya, karena ia sendiri diajukan sebagai sebuah kebenaran absolut. Inilah yang disebut kontradiksi performatif—sebuah pernyataan yang meniadakan dirinya sendiri.

Teknik meta-argumen relevan dalam konteks apologetika Katolik–Protestan, karena banyak tuduhan terhadap Katolik tidak hanya salah dalam isi, tetapi rapuh dalam strukturnya. Retorika MYM merupakan contoh klasik: ia menolak filsafat sebagai dasar teologi, namun seluruh bangunan polemiknya justru berdiri di atas filsafat. Dengan meta-argumen, kelemahan semacam ini bisa ditunjukkan secara tajam dan sistematis.

Prinsip dasar meta-argumen yang akan dipakai dalam analisis ini ada tiga:

1.     Koherensi asumsi – apakah dasar yang dipakai konsisten dengan kesimpulan yang diambil?

2.     Validitas logika – apakah konklusi betul-betul mengikuti premis yang disusun?

3.     Performativitas argumen – apakah argumen itu runtuh oleh kontradiksi dirinya sendiri?

Dengan kerangka ini, kita dapat menilai apakah retorika MYM layak disebut argumen apologetis yang valid, atau sekadar polemik yang dibungkus jargon filosofis.

 

Bagian II. Asumsi Dasar MYM

Argumen MYM berdiri di atas satu asumsi fundamental: jika teologi memakai filsafat, maka teologi itu tidak alkitabiah. Dari asumsi inilah seluruh bangunan polemiknya ditegakkan. Ia mengklaim bahwa doktrin Katolik—entah itu transubstansiasi, selibat, atau teologi Aquinas—tidak murni berasal dari Alkitab, melainkan dari infiltrasi filsafat Yunani.

Namun, di balik pernyataan ini, terdapat beberapa praanggapan tersembunyi yang tidak pernah ia buktikan:

1.     Sola Scriptura sebagai standar kebenaran tunggal.
MYM berangkat dari keyakinan bahwa hanya Alkitab yang sah sebagai dasar teologi. Segala bentuk refleksi teologis yang melibatkan filsafat dipandang sebagai pencemaran. Tetapi asumsi ini sendiri tidak pernah ditemukan dalam Alkitab. Sola scriptura adalah sebuah konstruksi pasca-Reformasi, bukan dogma yang diwariskan para rasul.

2.     Filsafat identik dengan penyesatan.
Ia berangkat dari bayangan bahwa filsafat Yunani adalah sumber racun yang masuk ke dalam iman. Padahal, tradisi Kristen sejak awal menggunakan filsafat untuk memperdalam iman: Paulus sendiri mengutip penyair Yunani (Kis 17:28), dan para Bapa Gereja menggunakan kategori filsafat untuk menjelaskan iman kepada dunia Helenistik. Menolak filsafat sama dengan menolak bahasa dan konsep yang memungkinkan pewartaan Injil dipahami lintas budaya.

3.     Protestanisme bebas dari filsafat.
MYM ingin menciptakan dikotomi: Katolik = filsafat, Protestan = Alkitab. Tetapi sejarah teologi menyangkal asumsi ini. Calvin jelas dipengaruhi Platonisme melalui Agustinus. Luther banyak berhutang pada nominalisme abad pertengahan. Cornelius Van Til membangun apologetikanya di atas idealisme modern.
Dengan kata lain, Protestanisme tidak pernah “murni Alkitab.”

Dengan demikian, asumsi dasar MYM rapuh sejak awal. Ia mendasarkan seluruh serangannya pada klaim yang tidak bisa ia buktikan dan bertentangan dengan fakta sejarah. Bahkan jika ia bersikeras bahwa Katolik salah karena dipengaruhi filsafat, ia harus konsisten menolak Protestanisme yang lahir dari rahim filsafat yang sama.

 

Bagian III. Inkonsistensi Internal

Setelah menyingkap asumsi dasarnya, segera terlihat bahwa retorika MYM tidak hanya rapuh, tetapi juga penuh kontradiksi internal. Ia menolak filsafat, namun di saat yang sama, seluruh kuliahnya berdiri di atas landasan filsafat.

1. Menolak sambil memakai

MYM menyebut transubstansiasi sebagai “produk Aristoteles,” selibat sebagai “warisan Platonisme,” dan teologi Aquinas sebagai “Aristotelianisme yang dibaptis.” Dengan kata lain, ia membaca Katolik sepenuhnya lewat kacamata filsafat Yunani. Namun, pernyataan-pernyataan itu sendiri adalah analisis filosofis. Ia mengutuk dengan tangan kiri apa yang ia genggam erat dengan tangan kanan.

2. Katolik = filsafat, Protestan = Alkitab?

Ia membangun dikotomi palsu: Katolik bersandar pada filsafat, Protestan bersandar pada Alkitab. Tetapi di tengah pembicaraannya, ia mengakui bahwa Calvinisme adalah sebuah kerangka filosofis; bahkan ia menyebut Calvin sendiri sebagai “filsuf.” Artinya, standar yang ia pakai untuk menyerang Katolik justru menghantam Protestan di titik yang sama. Kontradiksi performatif ini membuat tuduhannya tak lebih dari senjata makan tuan.

3. Retorika versus realitas

MYM berulang kali menekankan bahwa basis iman hanyalah Alkitab, bukan filsafat. Namun, yang ia lakukan selama satu jam penuh justru bukan eksposisi Kitab Suci, melainkan kuliah sejarah filsafat yang dipelintir untuk melawan Katolik. Ia berbicara dengan idiom Aristoteles (substansi–aksiden, penggerak pertama), dengan diksi Platonik (dunia ide–dunia bayangan), lalu menutup dengan seruan “kembali ke Alkitab.” Retorikanya dan realitas isi pembicaraannya saling meniadakan.

 

Dengan demikian, MYM tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Ia menolak filsafat, tapi tidak bisa melepaskan diri dari filsafat. Ia menyerang Katolik karena memakai filsafat, tapi diam-diam mengakui bahwa Protestanisme juga berhutang kepada filsafat. Inilah inkonsistensi internal yang akan semakin tampak ketika kita menelaah kesalahan logika formal yang ia lakukan.

 

Bagian IV. Kesalahan Logika

Selain asumsi rapuh dan kontradiksi internal, retorika MYM penuh dengan cacat logika. Inilah titik paling lemah dari klaimnya, karena sebuah argumen tidak hanya dinilai dari isi, melainkan juga dari bentuk logisnya. Beberapa kesalahan paling menonjol adalah sebagai berikut:

1. Genetic Fallacy

MYM menolak transubstansiasi hanya karena “asalnya dari Aristoteles.” Ini adalah kekeliruan klasik: menolak sebuah gagasan karena asal-usulnya, bukan karena kebenarannya. Jika logika ini konsisten, maka seluruh iman Protestan pun harus ditolak, karena lahir dari rahim humanisme Renaisans dan filsafat modern. Bahkan Alkitab Perjanjian Baru sendiri—ditulis dalam bahasa Yunani dan memakai kosakata filsafat Helenistik—akan gugur dengan kriteria yang sama.

2. Strawman Argument

Ia menggambarkan Ekaristi seolah-olah murni produk spekulasi Aristotelian tentang substansi dan aksiden. Padahal, ajaran Gereja berakar langsung pada Kitab Suci: “Inilah Tubuh-Ku… Inilah Darah-Ku” (Yoh 6:51; 1 Kor 11:24–25). Aristoteles hanya menyediakan bahasa filsafat untuk menjelaskan misteri iman yang sudah diimani sejak abad pertama. Dengan demikian, MYM menyerang karikatur, bukan ajaran Katolik yang sesungguhnya.

3. False Dichotomy

MYM memaksa audiens memilih: Alkitab atau filsafat. Seolah-olah keduanya tidak bisa berdampingan. Padahal, semua teologi selalu berfilsafat, sebab berfilsafat berarti menggunakan akal budi untuk memahami iman. Bahkan Protestanisme sendiri penuh dengan filsafat: dari determinisme Agustinus sampai idealisme Van Til. Menolak Katolik dengan alasan ini sama saja menolak seluruh tradisi Protestan.

4. Non Sequitur

Ia berargumen bahwa Calvin lebih alkitabiah karena kutipan Kitab Sucinya melimpah. Tetapi banyaknya kutipan tidak menjamin kebenaran teologis. Seorang bidat pun bisa mengutip Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu tanpa benar-benar memahami maknanya. Kuantitas rujukan bukan kualitas argumentasi.

5. Equivocation

Dalam menjelaskan “substansi” dan “aksiden,” MYM mencampuradukkan istilah teknis Aristotelian dengan contoh sehari-hari seperti “buku” atau “kuas.” Ia lalu menyimpulkan bahwa jika contoh itu absurd, maka doktrin Katolik pun absurd. Padahal konsep Aristoteles jauh lebih kompleks daripada ilustrasi dangkal itu. Ia jatuh ke dalam penyalahgunaan istilah—mencampur bahasa teknis dengan bahasa populer untuk menyesatkan audiens awam.

 

Dengan sederet kesalahan ini, jelas bahwa argumen MYM tidak memenuhi syarat sebagai argumen logis, apalagi teologis. Ia lebih menyerupai retorika polemis yang mengandalkan efek psikologis pada audiens, daripada argumentasi serius yang tahan uji.

 

Bagian V. Katolik – Filsafat sebagai Instrumen, Bukan Berhala

Salah satu kesalahpahaman terbesar dalam retorika MYM adalah anggapan bahwa Gereja Katolik “menyembah” filsafat Yunani dan menukar wahyu dengan spekulasi. Tuduhan ini menunjukkan kurangnya pemahaman akan posisi Katolik terhadap akal budi dan iman.

1. Posisi Katolik

Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa filsafat adalah sumber iman. Filsafat hanyalah instrumentum—alat bantu yang dipakai untuk menjelaskan misteri iman dengan bahasa yang dapat dipahami manusia. Iman bersumber dari Kitab Suci dan Tradisi, sedangkan filsafat berfungsi sebagai sarana untuk mengartikulasikan dan membela iman tersebut.

Konsili Vatikan I dengan tegas menyatakan: manusia dengan akal budinya mampu mengenal Allah sebagai Pencipta dan sebagai Ada yang mutlak. Tetapi misteri-misteri iman—seperti Tritunggal atau Inkarnasi—hanya dapat diketahui melalui wahyu ilahi. Dengan demikian, filsafat melayani wahyu, bukan menggantikannya.

2. Analogi Bahasa

Menuduh Katolik sesat karena memakai filsafat sama absurdnya dengan menuduh Kitab Suci sesat karena ditulis dalam bahasa Yunani. Yunani hanyalah medium, bukan isi. Begitu pula Aristoteles bagi Aquinas: ia adalah penyedia kosakata untuk menjelaskan iman, bukan pencipta iman itu sendiri. Filsafat bagi Gereja bagaikan pena bagi penulis: tanpa pena, kata-kata tak tertulis; tetapi isi pesan tidak diciptakan pena, melainkan oleh sang pengarang.

3. Kejujuran Katolik

Katolik jujur mengakui peran filsafat: iman butuh akal untuk dipahami dan dipertanggungjawabkan. Protestan yang menolak filsafat, pada kenyataannya tetap berfilsafat diam-diam. Ketika mereka menyusun dogmatika, membela predestinasi, atau merumuskan sola scriptura, mereka sebenarnya sedang berfilsafat—hanya saja tidak mau mengakuinya.

Dengan demikian, Katolik lebih konsisten: ia menerima filsafat sebagai alat untuk menolong akal budi berjumpa dengan iman. Protestan seperti MYM justru terjebak dalam kemunafikan intelektual: memakai filsafat sambil berpura-pura menolaknya.

 

Bagian VI. Meta-Argumen Menusuk

Pada titik ini, meta-argumen menyingkap ironi terbesar dalam retorika MYM: menolak filsafat adalah filsafat.

1. Penolakan yang Membantah Diri Sendiri

Ketika MYM berseru, “Saya hanya mau Alkitab, bukan filsafat,” ia sebenarnya sedang mengajukan sebuah pernyataan filosofis. Itu adalah posisi epistemologis yang disebut fideisme—yakni keyakinan bahwa iman harus dipisahkan dari akal budi. Dengan kata lain, ia tidak berhasil keluar dari filsafat; ia hanya mengganti satu filsafat dengan filsafat lain, yang lebih miskin dan tertutup.

2. Kontradiksi Performatif

Inilah inti kontradiksi performatif:

  • Ia menolak filsafat sambil terus-menerus menggunakan filsafat untuk menyerang Katolik.
  • Ia menuduh Katolik sesat karena dipengaruhi filsafat, namun mengakui bahwa Protestanisme sendiri sarat dengan filsafat.
  • Ia berusaha tampil sebagai pembela Kitab Suci murni, namun seluruh kuliahnya adalah uraian historis-filosofis, bukan eksposisi biblis.

Dengan demikian, argumennya tidak hanya lemah; ia runtuh oleh bobotnya sendiri.

3. Konsistensi Katolik

Sebaliknya, posisi Katolik jauh lebih konsisten. Gereja mengakui keterbatasan akal budi, tetapi sekaligus menegaskan bahwa akal budi adalah karunia Allah yang harus dipakai untuk memahami iman. Katolik tidak menuhankan filsafat, tetapi juga tidak memutuskannya. Inilah integrasi iman dan akal budi yang ditegaskan oleh Santo Yohanes Paulus II dalam Fides et Ratio: iman dan akal adalah dua sayap yang menuntun jiwa menuju kebenaran.

4. Tusukan Akhir

Maka meta-argumen menutup lingkaran dengan tajam: MYM menolak filsafat, tetapi hanya berhasil menunjukkan bahwa ia sendiri tidak bisa hidup tanpa filsafat. Katolik jujur dalam mengakui kenyataan ini, Protestan sering menyangkalnya. Akibatnya, yang satu tampak konsisten, yang lain terperangkap dalam retorika yang meniadakan dirinya sendiri.

 

Kesimpulan

Analisis meta-argumen atas retorika MYM memperlihatkan bahwa tuduhannya terhadap Gereja Katolik tidak berdiri di atas dasar yang kokoh. Ia membangun serangan dari asumsi yang rapuh, jatuh dalam kontradiksi internal, dan berulang kali melanggar kaidah logika elementer. Klaim bahwa Katolik tidak alkitabiah karena dipengaruhi filsafat justru runtuh karena tiga alasan mendasar:

1.     Asumsi yang tidak terbukti – Sola Scriptura tidak pernah diajarkan Kitab Suci; penolakan filsafat hanya sekadar dogma polemis.

2.     Kontradiksi performatif – Ia menolak filsafat sambil memakai filsafat, menuduh Katolik bersandar pada akal budi sambil mengakui Calvinisme sebagai kerangka filosofis.

3.     Kesalahan logis – dari genetic fallacy, strawman, false dichotomy, hingga non sequitur.

Sebaliknya, Gereja Katolik konsisten dan jujur: filsafat dipakai sebagai instrumen, bukan sebagai berhala. Akal budi dan iman tidak dipisahkan, tetapi diintegrasikan, karena keduanya berasal dari Allah yang sama. Inilah keunggulan Katolik: ia tidak bersembunyi di balik retorika semu, melainkan berani menyatakan bahwa iman dan akal budi saling melengkapi.

Meta-argumen menutup lingkaran dengan sebuah tusukan yang tak bisa dihindari: menolak filsafat adalah sebuah filsafat. Protestan seperti MYM mencoba lari dari filsafat, tetapi hanya terjebak dalam filsafat yang lebih miskin—fideisme, iman tanpa akal. Gereja Katolik justru berdiri tegak, jujur, dan konsisten: filsafat dipanggil untuk melayani iman, bukan menggantikannya.

Dengan demikian, serangan MYM tidak lebih dari retorika yang membantah dirinya sendiri. Katolik tetap berdiri di atas fondasi yang kokoh: Kitab Suci, Tradisi, dan akal budi yang dipersatukan dalam terang wahyu ilahi.

 

Share This Article :
9000568233845443113