Pendahuluan
Dalam polemik Protestan–Katolik, sering muncul tuduhan
klasik: ajaran Gereja Katolik tidak murni alkitabiah karena sarat dengan
pengaruh filsafat Yunani. Tuduhan ini kembali diulang oleh MYM, yang menuduh
doktrin Katolik lahir dari konstruksi Aristoteles dan Plato, bukan dari wahyu
Kitab Suci. Ekaristi disebut produk teori “substansi dan aksiden,” selibat
dituduh warisan Platonisme, dan teologi Aquinas dikatakan hanya hasil spekulasi
Aristotelian.
Sekilas, klaim ini tampak meyakinkan bagi mereka yang
tidak terbiasa dengan sejarah teologi. Namun, jika dianalisis dengan teknik meta-argumen—yakni
analisis bukan hanya pada isi argumen, tetapi juga pada struktur, asumsi dasar,
dan koherensi internalnya—kita akan menemukan bahwa retorika MYM rapuh. Ia
jatuh pada kontradiksi performatif: menolak filsafat sambil menggunakannya;
mengklaim sola scriptura tapi membangun kerangka pikir dengan filsafat
yang sama ia tolak.
Lebih jauh, tuduhan bahwa Katolik tidak alkitabiah
karena memakai filsafat terbongkar sebagai false dichotomy. Protestan
pun tidak bisa menghindar dari filsafat. Calvinisme lahir dari Platonisme
melalui Agustinus; Van Til membangun apologetikanya dengan idealisme. Dengan
kata lain, tidak ada teologi yang bebas dari filsafat. Bahkan menolak
filsafat adalah sebuah filsafat—fideisme, yaitu iman yang memutus akal.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas argumen MYM
dengan pendekatan meta-argumen, menyingkap asumsi dasarnya, menunjukkan
kesalahan logis yang dipakai, sekaligus menegaskan posisi Katolik: filsafat
adalah instrumen, bukan berhala. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa
Katolik justru lebih jujur dan konsisten dalam mengintegrasikan iman dan akal
budi, sementara retorika Protestan sering kali munafik—memakai filsafat sambil
berpura-pura menolaknya.
Bagian I. Kerangka Meta-Argumen
Sebelum membedah argumen MYM, penting untuk
menjelaskan apa yang dimaksud dengan meta-argumen. Istilah ini merujuk
pada analisis yang tidak berhenti pada isi atau materi argumen, melainkan
menelaah kerangka dan struktur dari argumen itu sendiri. Dengan
kata lain, meta-argumen mengajukan pertanyaan: apakah sebuah klaim konsisten
dengan asumsi yang ia pakai? Apakah logikanya sahih, atau justru membantah
dirinya sendiri?
Dalam tradisi filsafat, metode meta-argumen ini
digunakan untuk menguji apakah suatu pernyataan runtuh karena kontradiksi
internal. Misalnya, jika seseorang berkata: “Tidak ada kebenaran absolut”,
maka klaim itu secara otomatis menggugurkan dirinya, karena ia sendiri diajukan
sebagai sebuah kebenaran absolut. Inilah yang disebut kontradiksi
performatif—sebuah pernyataan yang meniadakan dirinya sendiri.
Teknik meta-argumen relevan dalam konteks apologetika
Katolik–Protestan, karena banyak tuduhan terhadap Katolik tidak hanya salah
dalam isi, tetapi rapuh dalam strukturnya. Retorika MYM merupakan contoh
klasik: ia menolak filsafat sebagai dasar teologi, namun seluruh bangunan
polemiknya justru berdiri di atas filsafat. Dengan meta-argumen, kelemahan
semacam ini bisa ditunjukkan secara tajam dan sistematis.
Prinsip dasar meta-argumen yang akan dipakai dalam
analisis ini ada tiga:
1.    
Koherensi
asumsi – apakah dasar yang dipakai
konsisten dengan kesimpulan yang diambil?
2.    
Validitas
logika – apakah konklusi betul-betul
mengikuti premis yang disusun?
3.    
Performativitas
argumen – apakah argumen itu runtuh
oleh kontradiksi dirinya sendiri?
Dengan kerangka ini, kita dapat menilai apakah
retorika MYM layak disebut argumen apologetis yang valid, atau sekadar polemik
yang dibungkus jargon filosofis.
Bagian II. Asumsi Dasar MYM
Argumen MYM berdiri di atas satu asumsi fundamental: jika
teologi memakai filsafat, maka teologi itu tidak alkitabiah. Dari asumsi
inilah seluruh bangunan polemiknya ditegakkan. Ia mengklaim bahwa doktrin
Katolik—entah itu transubstansiasi, selibat, atau teologi Aquinas—tidak murni
berasal dari Alkitab, melainkan dari infiltrasi filsafat Yunani.
Namun, di balik pernyataan ini, terdapat beberapa praanggapan
tersembunyi yang tidak pernah ia buktikan:
1.    
Sola Scriptura sebagai standar kebenaran tunggal.
MYM berangkat dari keyakinan bahwa hanya Alkitab yang sah sebagai dasar
teologi. Segala bentuk refleksi teologis yang melibatkan filsafat dipandang
sebagai pencemaran. Tetapi asumsi ini sendiri tidak pernah ditemukan dalam
Alkitab. Sola scriptura adalah sebuah konstruksi pasca-Reformasi, bukan
dogma yang diwariskan para rasul.
2.    
Filsafat identik dengan penyesatan.
Ia berangkat dari bayangan bahwa filsafat Yunani adalah sumber racun yang masuk
ke dalam iman. Padahal, tradisi Kristen sejak awal menggunakan filsafat untuk
memperdalam iman: Paulus sendiri mengutip penyair Yunani (Kis 17:28), dan para
Bapa Gereja menggunakan kategori filsafat untuk menjelaskan iman kepada dunia
Helenistik. Menolak filsafat sama dengan menolak bahasa dan konsep yang
memungkinkan pewartaan Injil dipahami lintas budaya.
3.    
Protestanisme bebas dari filsafat.
MYM ingin menciptakan dikotomi: Katolik = filsafat, Protestan = Alkitab. Tetapi
sejarah teologi menyangkal asumsi ini. Calvin jelas dipengaruhi Platonisme
melalui Agustinus. Luther banyak berhutang pada nominalisme abad pertengahan.
Cornelius Van Til membangun apologetikanya di atas idealisme modern. Dengan kata lain, Protestanisme tidak pernah “murni
Alkitab.”
Dengan demikian, asumsi dasar MYM rapuh sejak awal. Ia
mendasarkan seluruh serangannya pada klaim yang tidak bisa ia buktikan dan
bertentangan dengan fakta sejarah. Bahkan jika ia bersikeras bahwa Katolik
salah karena dipengaruhi filsafat, ia harus konsisten menolak Protestanisme
yang lahir dari rahim filsafat yang sama.
Bagian III. Inkonsistensi Internal
Setelah menyingkap asumsi dasarnya, segera terlihat
bahwa retorika MYM tidak hanya rapuh, tetapi juga penuh kontradiksi internal.
Ia menolak filsafat, namun di saat yang sama, seluruh kuliahnya berdiri di atas
landasan filsafat.
1. Menolak sambil memakai
MYM menyebut transubstansiasi sebagai “produk
Aristoteles,” selibat sebagai “warisan Platonisme,” dan teologi Aquinas sebagai
“Aristotelianisme yang dibaptis.” Dengan kata lain, ia membaca Katolik
sepenuhnya lewat kacamata filsafat Yunani. Namun, pernyataan-pernyataan itu
sendiri adalah analisis filosofis. Ia mengutuk dengan tangan kiri apa yang
ia genggam erat dengan tangan kanan.
2. Katolik = filsafat, Protestan = Alkitab?
Ia membangun dikotomi palsu: Katolik bersandar pada
filsafat, Protestan bersandar pada Alkitab. Tetapi di tengah pembicaraannya, ia
mengakui bahwa Calvinisme adalah sebuah kerangka filosofis; bahkan ia menyebut
Calvin sendiri sebagai “filsuf.” Artinya, standar yang ia pakai untuk menyerang
Katolik justru menghantam Protestan di titik yang sama. Kontradiksi
performatif ini membuat tuduhannya tak lebih dari senjata makan tuan.
3. Retorika versus realitas
MYM berulang kali menekankan bahwa basis iman hanyalah
Alkitab, bukan filsafat. Namun, yang ia lakukan selama satu jam penuh justru
bukan eksposisi Kitab Suci, melainkan kuliah sejarah filsafat yang dipelintir
untuk melawan Katolik. Ia berbicara dengan idiom Aristoteles
(substansi–aksiden, penggerak pertama), dengan diksi Platonik (dunia ide–dunia
bayangan), lalu menutup dengan seruan “kembali ke Alkitab.” Retorikanya dan
realitas isi pembicaraannya saling meniadakan.
Dengan demikian, MYM tidak konsisten dengan dirinya
sendiri. Ia menolak filsafat, tapi tidak bisa melepaskan diri dari filsafat. Ia
menyerang Katolik karena memakai filsafat, tapi diam-diam mengakui bahwa
Protestanisme juga berhutang kepada filsafat. Inilah inkonsistensi internal
yang akan semakin tampak ketika kita menelaah kesalahan logika formal yang ia
lakukan.
Bagian IV. Kesalahan Logika
Selain asumsi rapuh dan kontradiksi internal, retorika
MYM penuh dengan cacat logika. Inilah titik paling lemah dari klaimnya, karena
sebuah argumen tidak hanya dinilai dari isi, melainkan juga dari bentuk
logisnya. Beberapa kesalahan paling menonjol adalah sebagai berikut:
1. Genetic Fallacy
MYM menolak transubstansiasi hanya karena “asalnya
dari Aristoteles.” Ini adalah kekeliruan klasik: menolak sebuah gagasan karena
asal-usulnya, bukan karena kebenarannya. Jika logika ini konsisten, maka
seluruh iman Protestan pun harus ditolak, karena lahir dari rahim humanisme
Renaisans dan filsafat modern. Bahkan Alkitab Perjanjian Baru sendiri—ditulis
dalam bahasa Yunani dan memakai kosakata filsafat Helenistik—akan gugur dengan
kriteria yang sama.
2. Strawman Argument
Ia menggambarkan Ekaristi seolah-olah murni produk
spekulasi Aristotelian tentang substansi dan aksiden. Padahal, ajaran Gereja
berakar langsung pada Kitab Suci: “Inilah Tubuh-Ku… Inilah Darah-Ku” (Yoh 6:51;
1 Kor 11:24–25). Aristoteles hanya menyediakan bahasa filsafat untuk
menjelaskan misteri iman yang sudah diimani sejak abad pertama. Dengan
demikian, MYM menyerang karikatur, bukan ajaran Katolik yang sesungguhnya.
3. False Dichotomy
MYM memaksa audiens memilih: Alkitab atau filsafat.
Seolah-olah keduanya tidak bisa berdampingan. Padahal, semua teologi selalu
berfilsafat, sebab berfilsafat berarti menggunakan akal budi untuk memahami
iman. Bahkan Protestanisme sendiri penuh dengan filsafat: dari determinisme
Agustinus sampai idealisme Van Til. Menolak Katolik dengan alasan ini sama saja
menolak seluruh tradisi Protestan.
4. Non Sequitur
Ia berargumen bahwa Calvin lebih alkitabiah karena
kutipan Kitab Sucinya melimpah. Tetapi banyaknya kutipan tidak menjamin
kebenaran teologis. Seorang bidat pun bisa mengutip Alkitab dari Kejadian
sampai Wahyu tanpa benar-benar memahami maknanya. Kuantitas rujukan bukan
kualitas argumentasi.
5. Equivocation
Dalam menjelaskan “substansi” dan “aksiden,” MYM
mencampuradukkan istilah teknis Aristotelian dengan contoh sehari-hari seperti
“buku” atau “kuas.” Ia lalu menyimpulkan bahwa jika contoh itu absurd, maka
doktrin Katolik pun absurd. Padahal konsep Aristoteles jauh lebih kompleks
daripada ilustrasi dangkal itu. Ia jatuh ke dalam penyalahgunaan
istilah—mencampur bahasa teknis dengan bahasa populer untuk menyesatkan audiens
awam.
Dengan sederet kesalahan ini, jelas bahwa argumen MYM
tidak memenuhi syarat sebagai argumen logis, apalagi teologis. Ia lebih
menyerupai retorika polemis yang mengandalkan efek psikologis pada audiens,
daripada argumentasi serius yang tahan uji.
Bagian V. Katolik –
Filsafat sebagai Instrumen, Bukan Berhala
Salah satu kesalahpahaman
terbesar dalam retorika MYM adalah anggapan bahwa Gereja Katolik “menyembah”
filsafat Yunani dan menukar wahyu dengan spekulasi. Tuduhan ini menunjukkan
kurangnya pemahaman akan posisi Katolik terhadap akal budi dan iman.
1. Posisi Katolik
Gereja Katolik tidak pernah
mengajarkan bahwa filsafat adalah sumber iman. Filsafat hanyalah instrumentum—alat
bantu yang dipakai untuk menjelaskan misteri iman dengan bahasa yang dapat
dipahami manusia. Iman bersumber dari Kitab Suci dan Tradisi, sedangkan
filsafat berfungsi sebagai sarana untuk mengartikulasikan dan membela iman
tersebut.
Konsili Vatikan I dengan tegas
menyatakan: manusia dengan akal budinya mampu mengenal Allah sebagai Pencipta
dan sebagai Ada yang mutlak. Tetapi misteri-misteri iman—seperti Tritunggal
atau Inkarnasi—hanya dapat diketahui melalui wahyu ilahi. Dengan demikian,
filsafat melayani wahyu, bukan menggantikannya.
2. Analogi Bahasa
Menuduh Katolik sesat karena
memakai filsafat sama absurdnya dengan menuduh Kitab Suci sesat karena ditulis
dalam bahasa Yunani. Yunani hanyalah medium, bukan isi. Begitu pula Aristoteles
bagi Aquinas: ia adalah penyedia kosakata untuk menjelaskan iman, bukan
pencipta iman itu sendiri. Filsafat bagi Gereja bagaikan pena bagi penulis:
tanpa pena, kata-kata tak tertulis; tetapi isi pesan tidak diciptakan pena,
melainkan oleh sang pengarang.
3. Kejujuran
Katolik
Katolik jujur mengakui peran
filsafat: iman butuh akal untuk dipahami dan dipertanggungjawabkan. Protestan
yang menolak filsafat, pada kenyataannya tetap berfilsafat diam-diam. Ketika
mereka menyusun dogmatika, membela predestinasi, atau merumuskan sola scriptura,
mereka sebenarnya sedang berfilsafat—hanya saja tidak mau mengakuinya.
Dengan demikian, Katolik lebih
konsisten: ia menerima filsafat sebagai alat untuk menolong akal budi berjumpa
dengan iman. Protestan seperti MYM justru terjebak dalam kemunafikan
intelektual: memakai filsafat sambil berpura-pura menolaknya.
Bagian VI.
Meta-Argumen Menusuk
Pada titik ini, meta-argumen
menyingkap ironi terbesar dalam retorika MYM: menolak filsafat adalah
filsafat.
1. Penolakan yang
Membantah Diri Sendiri
Ketika MYM berseru, “Saya
hanya mau Alkitab, bukan filsafat,” ia sebenarnya sedang mengajukan sebuah
pernyataan filosofis. Itu adalah posisi epistemologis yang disebut fideisme—yakni
keyakinan bahwa iman harus dipisahkan dari akal budi. Dengan kata lain, ia
tidak berhasil keluar dari filsafat; ia hanya mengganti satu filsafat dengan
filsafat lain, yang lebih miskin dan tertutup.
2. Kontradiksi Performatif
Inilah inti kontradiksi performatif:
- Ia menolak filsafat sambil terus-menerus
     menggunakan filsafat untuk menyerang Katolik.
- Ia menuduh Katolik sesat karena dipengaruhi
     filsafat, namun mengakui bahwa Protestanisme sendiri sarat dengan
     filsafat.
- Ia berusaha tampil sebagai pembela Kitab Suci
     murni, namun seluruh kuliahnya adalah uraian historis-filosofis, bukan
     eksposisi biblis.
Dengan demikian, argumennya tidak hanya lemah; ia
runtuh oleh bobotnya sendiri.
3. Konsistensi Katolik
Sebaliknya, posisi Katolik jauh
lebih konsisten. Gereja mengakui keterbatasan akal budi, tetapi sekaligus
menegaskan bahwa akal budi adalah karunia Allah yang harus dipakai untuk
memahami iman. Katolik tidak menuhankan filsafat, tetapi juga tidak memutuskannya.
Inilah integrasi iman dan akal budi yang ditegaskan oleh Santo Yohanes Paulus
II dalam Fides et Ratio: iman dan akal adalah dua sayap yang menuntun
jiwa menuju kebenaran.
4. Tusukan Akhir
Maka meta-argumen menutup
lingkaran dengan tajam: MYM menolak filsafat, tetapi hanya berhasil
menunjukkan bahwa ia sendiri tidak bisa hidup tanpa filsafat. Katolik jujur
dalam mengakui kenyataan ini, Protestan sering menyangkalnya. Akibatnya, yang
satu tampak konsisten, yang lain terperangkap dalam retorika yang meniadakan
dirinya sendiri.
Kesimpulan
Analisis meta-argumen atas retorika MYM memperlihatkan
bahwa tuduhannya terhadap Gereja Katolik tidak berdiri di atas dasar yang
kokoh. Ia membangun serangan dari asumsi yang rapuh, jatuh dalam kontradiksi
internal, dan berulang kali melanggar kaidah logika elementer. Klaim bahwa
Katolik tidak alkitabiah karena dipengaruhi filsafat justru runtuh karena tiga
alasan mendasar:
1.    
Asumsi yang
tidak terbukti – Sola Scriptura tidak
pernah diajarkan Kitab Suci; penolakan filsafat hanya sekadar dogma polemis.
2.    
Kontradiksi
performatif – Ia menolak filsafat
sambil memakai filsafat, menuduh Katolik bersandar pada akal budi sambil
mengakui Calvinisme sebagai kerangka filosofis.
3.    
Kesalahan
logis – dari genetic fallacy,
strawman, false dichotomy, hingga non sequitur.
Sebaliknya, Gereja Katolik konsisten dan jujur:
filsafat dipakai sebagai instrumen, bukan sebagai berhala. Akal budi dan iman
tidak dipisahkan, tetapi diintegrasikan, karena keduanya berasal dari Allah
yang sama. Inilah keunggulan Katolik: ia tidak bersembunyi di balik retorika
semu, melainkan berani menyatakan bahwa iman dan akal budi saling melengkapi.
Meta-argumen menutup lingkaran dengan sebuah tusukan
yang tak bisa dihindari: menolak filsafat adalah sebuah filsafat.
Protestan seperti MYM mencoba lari dari filsafat, tetapi hanya terjebak dalam
filsafat yang lebih miskin—fideisme, iman tanpa akal. Gereja Katolik justru
berdiri tegak, jujur, dan konsisten: filsafat dipanggil untuk melayani iman,
bukan menggantikannya.
Dengan demikian, serangan MYM tidak lebih dari
retorika yang membantah dirinya sendiri. Katolik tetap berdiri di atas fondasi
yang kokoh: Kitab Suci, Tradisi, dan akal budi yang dipersatukan dalam terang
wahyu ilahi.