Pendahuluan
Salah
satu tuduhan paling klasik yang diwarisi banyak kalangan Protestan terhadap
Gereja Katolik adalah bahwa Konsili Trente (1545–1563) “menutup pintu Kitab
Suci.” Ceritanya begini: ketika para Reformator menggelorakan semangat kembali
ke Kitab Suci dalam bahasa aslinya, Gereja justru panik. Sebagai reaksi,
Trente—demikian narasi itu berbunyi—menetapkan Vulgata Latin karya St.
Hieronimus sebagai satu-satunya Alkitab resmi. Akibatnya, Gereja dianggap
menolak Ibrani dan Yunani, melarang penerjemahan ke bahasa rakyat, dan
menjerumuskan umat dalam kegelapan.
Cerita
ini begitu kuat sehingga banyak mahasiswa teologi Protestan mengulanginya tanpa
pernah membaca dokumen Trente itu sendiri. Bahkan beberapa Katolik yang goyah
imannya kerap menganggapnya sebagai bukti bahwa Gereja Katolik pernah
“menentang Firman Tuhan.” Ironisnya, kisah ini lahir dari pena John Calvin
dalam Antidote to the Council of Trent (1547), lalu diwariskan
turun-temurun sebagai sebuah “fakta.”
Namun,
benarkah demikian? Apakah Trente memang menutup jalan ke bahasa asli Kitab
Suci? Ataukah ini hanyalah mitos yang dibentuk oleh polemik Reformasi?
Artikel
ini bermaksud menelusuri pertanyaan tersebut secara sistematis. Pertama, kita
akan melihat bagaimana Calvin merumuskan tuduhan itu. Kedua, kita akan membuka
langsung teks dekret Trente Sesi IV (8 April 1546) untuk melihat apa yang
sebenarnya diputuskan. Ketiga, kita akan menimbang tradisi Katolik yang justru
mendorong studi bahasa asli baik sebelum maupun sesudah Trente. Akhirnya, kita
akan menunjukkan bahwa tuduhan tersebut lebih merupakan propaganda polemik
daripada fakta sejarah, dan bahwa Gereja Katolik tidak pernah meninggalkan
Kitab Suci, melainkan menjaga sekaligus memperdalam warisan iman.
Bagian I – Calvin dan Mitos
Trente
Ketika Konsili Trente bersidang di tengah
gelombang Reformasi, John Calvin segera menulis tanggapan keras. Dalam Antidote
to the Council of Trent (1547), ia menuduh para Bapa Konsili dengan sengaja
“mengubur” Kitab Suci di bawah otoritas Vulgata.
Calvin
menulis dalam Tracts and Treatises in Defence of the Reformed Faith
(Volume 3
“But
as the Hebrew or Greek original often serves to expose their ignorance in
quoting Scripture, to check their presumption, and so keep down their transonic
boasting, they ingeniously meet this difficulty also by determining that the
Vulgate translation only is to be held authentic. Farewell, then, to those who
have spent much time and labor in the study of languages… In condemning all
translations except the Vulgate, as the error is more gross, so the edict is
more barbarous.”
"Namun,
karena terjemahan asli Ibrani atau Yunani sering kali digunakan untuk
menyingkap ketidaktahuan mereka dalam mengutip Kitab Suci, untuk meredam
keangkuhan mereka, dan dengan demikian meredam kesombongan mereka yang
berlebihan, mereka dengan cerdik mengatasi kesulitan ini juga dengan menetapkan
bahwa hanya terjemahan Vulgata yang dianggap autentik. Selamat tinggal, bagi
mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga dalam studi bahasa...
Dengan mengutuk semua terjemahan kecuali Vulgata, sebagaimana kesalahannya
lebih parah, maka dekrit tersebut lebih biadab."
Bagi
Calvin, keputusan Trente adalah bukti kebodohan, kesombongan, bahkan kemalasan
intelektual Gereja Katolik. Ia menggambarkan seolah-olah para Bapa Konsili
melarang siapa pun membaca Kitab Suci dalam Ibrani atau Yunani, lalu memaksa
umat “menyembah” Vulgata layaknya kitab yang turun dari surga. Dengan retorika
pedas, ia menyimpulkan:
“They
not only order us to be contented with a most defective translation, but insist
on our worshipping it, just as if it had come down from heaven; and while the
blemishes are conspicuous to all, they prohibit us from desiring any
improvement.”
Retorika
ini sangat efektif bagi generasi Reformasi. Ia menegaskan sebuah gambaran:
Gereja Katolik takut terhadap cahaya kebenaran, menutup telinga terhadap ilmu,
dan mengikat umat dalam kegelapan.
Namun,
masalah utamanya adalah bahwa tuduhan Calvin ini tidak sesuai dengan teks
asli Konsili Trente. Ia melakukan eisegesis—membaca isi kepalanya sendiri
ke dalam dokumen Gereja. Faktanya, Trente tidak pernah melarang studi Kitab
Suci dalam bahasa asli, tidak pernah menolak penerjemahan, dan tidak pernah
mengklaim bahwa Vulgata turun langsung dari surga.
Apologetik
Katolik perlu menyoroti hal ini: Calvin, dengan segala kehebatannya dalam
bahasa dan logika, di sini tergelincir dalam propaganda. Tuduhannya lebih
banyak berbicara tentang ketakutannya terhadap otoritas Gereja, daripada
realitas isi dekret Trente.
Bagian
II – Teks Trente yang Sesungguhnya
Untuk
menimbang tuduhan Calvin, kita perlu membaca langsung teks Konsili Trente Sesi
IV (8 April 1546). Dalam dekret pertama, para Bapa Konsili menetapkan kanon
Kitab Suci dan menegaskan peran Vulgata.
Berikut
teks Latin yang paling sering dipelintir oleh para kritikus:
“…
ut hæc ipsa vetus et vulgata editio, quæ longo tot sæculorum usu in ipsa
Ecclesia probata est, in publicis lectionibus, disputationibus,
prædicationibus, expositionibus pro authentica habeatur; et ut nemo illam
rejicere quovis prætextu audeat vel præsumat.”
Terjemahan:
“... supaya edisi Vulgata kuno yang sudah teruji dalam Gereja melalui
penggunaan selama berabad-abad ini diakui sebagai autentik dalam bacaan
publik, dalam perdebatan, khotbah, dan penjelasan; dan supaya tidak seorang pun
berani atau berusaha menolaknya dengan dalih apa pun.”
Ada
tiga hal penting yang sering diabaikan oleh pembaca Reformasi:
1.   
Kata kunci:
“pro authentica habeatur”
Vulgata dipandang autentik untuk penggunaan publik (liturgi, khotbah,
debat), bukan sebagai satu-satunya teks yang sah secara absolut. “Autentik” di
sini berarti memiliki otoritas hukum dan pastoral bagi Gereja Latin, bukan
berarti sempurna secara filologis atau meniadakan bahasa asli.
2.   
Tidak ada
larangan studi bahasa asli
Dekret tidak mengatakan “jangan pakai Ibrani dan Yunani.” Faktanya, St.
Hieronimus sendiri menerjemahkan dari bahasa asli, dan para teolog Katolik
pra-Trente (misalnya Erasmus dan Ximenes) sudah mengedit teks Yunani dan
Ibrani. Jika Trente bermaksud melarang, tentu akan ditulis eksplisit,
sebagaimana larangan-larangan lain dinyatakan keras dalam kanon-kanon dogmatis.
3.   
Dekret kedua
justru memerintahkan revisi Vulgata
Konsili memerintahkan supaya
Vulgata direvisi secara teliti:
“…
sacrosancta Synodus statuit et decernit, ut hæc ipsa vetus et vulgata editio,
postquam emendata fuerit, quam emendatissime imprimi curetur.”
(“Konsili yang kudus ini menetapkan bahwa edisi Vulgata ini, setelah
diperbaiki, hendaknya dicetak seakurat mungkin.”)
Artinya,
Trente mengakui adanya kesalahan dalam transmisi naskah Latin, dan
membuka pintu bagi kritik teks. Vulgata bukan “berhala” yang tak boleh
disentuh, melainkan standar yang harus disempurnakan.
Analisis
Apologetik
Dengan
membaca teks aslinya, jelaslah tuduhan Calvin tidak berdasar. Ia menuduh
seolah-olah Trente “menutup mulut” para Reformator, padahal dokumen itu tidak
menyinggung larangan studi bahasa asli sama sekali. Justru Trente berfokus
pada:
- Reformasi internal: menyatukan teks liturgi di tengah banyaknya
     edisi Latin yang kacau.
- Kebijakan pastoral: memastikan umat mendapat bacaan yang konsisten,
     bukan campur aduk dari naskah yang korup.
- Keterbukaan
     filologis: memerintahkan revisi
     yang jelas-jelas membutuhkan perbandingan dengan bahasa asli.
Dengan
demikian, mitos bahwa Trente “mengubur Alkitab” runtuh oleh teks dokumen itu
sendiri.
Bagian III – Tradisi Katolik dalam Studi Bahasa
Asli
Jika benar Konsili Trente menutup pintu terhadap
bahasa asli Kitab Suci, maka seharusnya kita tidak menemukan tradisi Katolik
yang serius dalam studi Ibrani dan Yunani, baik sebelum maupun sesudah Konsili.
Faktanya justru sebaliknya: para sarjana Katolik berada di garis depan
kebangkitan ad fontes (kembali ke sumber) yang menjadi semboyan
humanisme Kristen.
1.
Sebelum Trente: Complutensian Polyglot dan Erasmus
- Complutensian
     Polyglot (1516)
 Di bawah patronase Kardinal Francisco Ximenes de Cisneros, Universitas Alcalá di Spanyol menyelesaikan karya raksasa: edisi Kitab Suci yang memuat teks Ibrani, Yunani, Latin, dan Aram berdampingan. Dalam kata pengantar, Ximenes menulis:
“…ut
omnis sacrae Scripturae studiosus fontes ipsos, ex quibus rivuli emanant,
semper ad manum habeat; ac potius ad ipsas aquas vitae aeternam rigantes
accedat, quam ex rivulis biberet.”
(“…supaya setiap pelajar Kitab Suci selalu memiliki akses ke sumber asli, dari
mana sungai-sungai itu mengalir; dan supaya ia lebih memilih minum langsung
dari air kehidupan itu sendiri daripada hanya dari anak sungainya.”)
Sulit
dibayangkan kalimat yang lebih “Protestan” daripada itu—namun lahir dari
seorang Kardinal Katolik, sebelum Luther menempelkan 95 tesisnya.
- Erasmus dari
     Rotterdam (1466–1536)
 Erasmus, seorang imam dan humanis Katolik, menerbitkan edisi kritis Perjanjian Baru Yunani (1516), lengkap dengan terjemahan Latin dan catatan filologis. Ia menjadi dasar bagi Textus Receptus yang dipakai oleh banyak Reformator, termasuk dalam Alkitab King James. Ironisnya, Reformasi justru berdiri di atas pondasi filologi Katolik.
2. Sesudah Trente: Cornelius a
Lapide dan Para Jesuit
- Cornelius a Lapide (1567–1637), imam
     Jesuit, menulis komentar Alkitab multi-volume yang luas, dengan penguasaan
     mendalam atas Ibrani dan Yunani. Ia menggunakan sumber-sumber rabinik dan
     patristik, menunjukkan bahwa Gereja Katolik bukan saja tidak menolak
     bahasa asli, tetapi terus mendorong studinya demi memperkaya tafsir Kitab
     Suci.
- Para Jesuit mendirikan sekolah-sekolah dan universitas yang
     mengajarkan bahasa Ibrani, Yunani, bahkan Arab, bukan hanya untuk
     kebutuhan akademis, tetapi juga misi dan apologetika.
3.
Konsekuensi Apologetik
- Protestan sering
     menuduh Katolik sebagai “musuh Kitab Suci.” Fakta sejarah membuktikan
     sebaliknya:
- Sebelum Luther: Katolik sudah menerbitkan edisi
      Ibrani-Yunani-Latin.
- Sesudah Trente: Katolik terus
      melahirkan komentator besar dengan basis filologis.
- Sementara itu, Reformator sendiri masih menulis teologi dalam
     bahasa Latin—bahasa yang sama yang dipertahankan Gereja. Jadi, tuduhan
     bahwa Katolik “mengabaikan bahasa asli” adalah serangan balik yang gagal.
Dengan
demikian, Trente bukanlah tembok penghalang, melainkan pagar penjaga kesatuan
teks liturgi. Tradisi Katolik tidak pernah menolak Ibrani dan Yunani, bahkan
sejak awal sudah ada kesadaran bahwa studi bahasa asli adalah bagian dari
kesetiaan pada Kitab Suci.
Bagian
IV – Kesalahpahaman Protestan dan Realitas Katolik
Setelah
menimbang tuduhan Calvin dan membaca teks Konsili Trente sendiri, jelaslah ada
jurang lebar antara narasi Reformasi dan kenyataan historis.
Narasi Reformasi menuduh: Gereja menolak bahasa asli, mengubur Kitab Suci, dan
menjadikan Vulgata berhala. Namun kenyataannya: Gereja Katolik meneguhkan
Vulgata sebagai edisi autentik untuk penggunaan publik, sambil tetap
membuka pintu selebar-lebarnya bagi studi kritis atas bahasa asli.
1.
Vulgata sebagai “Authentica”
Kata
authentica yang dipakai Trente sering disalahpahami. Calvin
menafsirkannya sebagai “satu-satunya versi yang boleh dipakai.” Padahal, dalam
tradisi hukum Gereja, authentica berarti memiliki otoritas hukum dan
liturgis, bukan berarti sempurna secara filologis atau meniadakan teks asli.
Gereja ingin keseragaman dalam liturgi, khotbah, dan pengajaran, bukan menutup
akses ke sumber-sumber asli.
2. Penegasan Pius XII (Divino
afflante Spiritu, 1943)
Empat abad setelah Trente, Paus Pius XII
menegaskan maksud sebenarnya dari dekret itu:
“And
if the Tridentine Synod wished ‘that all should use as authentic’ the Vulgate
Latin version, this, as all know, applies only to the Latin Church and to the
public use of the same Scriptures; nor does it, doubtless, in any way diminish
the authority and value of the original texts.”
(Paus
Pius XII, Divino afflante Spiritu, 1943)
Dengan
kata lain, otoritas Vulgata bersifat yuridis, bukan kritik filologis.
Vulgata dijaga sebagai warisan Gereja Latin, tetapi tidak ada sedikit pun
pengurangan nilai terhadap teks asli Ibrani, Aram, dan Yunani.
Pius
XII bahkan melanjutkan:
“…this
authority of the Vulgate in matters of doctrine by no means prevents—nay rather
today it almost demands—either the corroboration and confirmation of this same
doctrine by the original texts or the having recourse on any and every occasion
to the aid of these same texts…”
Studi
bahasa asli bukan hanya diperbolehkan, melainkan dianjurkan untuk
memperdalam pemahaman iman.
3.
Yohanes Paulus II dan Nova Vulgata (Scripturarum Thesaurus, 1979)
Paus
Yohanes Paulus II, melalui konstitusi apostolik Scripturarum Thesaurus
(1979), meneguhkan Nova Vulgata sebagai edisi resmi liturgis Latin yang
baru, hasil dari kritik teks modern dan revisi panjang. Namun Paus juga
menegaskan bahwa semua terjemahan modern dibuat langsung dari bahasa asli
Ibrani dan Yunani. Dengan demikian, Gereja menggabungkan dua hal:
- Kesetiaan tradisi: menjaga teks Latin yang sudah membentuk liturgi
     dan teologi selama berabad-abad.
- Keterbukaan ilmiah: mengoreksi dan memperbarui teks berdasarkan
     naskah asli yang lebih baik.
4.
Ironi Textus Receptus
Sementara
itu, Reformasi sendiri justru terikat pada Textus Receptus, edisi Yunani
Perjanjian Baru yang dipakai dalam Alkitab Geneva dan King James. Hari ini, Textus
Receptus dianggap kurang memadai dibandingkan edisi kritis modern seperti Nestle-Aland
Novum Testamentum Graece. Ironisnya, Gereja Katolik lebih konsisten dalam
menjaga kesatuan teks sembari tetap memperbaruinya dengan penelitian naskah
baru.
Analisis
Apologetik
Tuduhan
bahwa Gereja Katolik “mematikan Alkitab” runtuh oleh fakta-fakta ini. Gereja
tidak pernah menolak bahasa asli; sebaliknya, Gereja memadukan otoritas tradisi
dengan keterbukaan akademik. Protestantisme membangun mitos untuk
menjustifikasi perpecahan, tetapi sejarah menunjukkan: Katolik justru lebih
stabil dan seimbang dalam menggabungkan iman, teks, dan tradisi.
Bagian
V – Implikasi Apologetik
Dari
uraian sebelumnya, kita melihat bahwa apa yang dikisahkan Calvin dan diwariskan
dalam tradisi Reformed hanyalah mitos polemik, bukan realitas sejarah.
Fakta sejarah dan dokumen Gereja menunjukkan hal sebaliknya: Konsili Trente
bukan menutup pintu Kitab Suci, melainkan memperkokoh fondasi bagi pemahaman
yang lebih benar dan seragam. Dari sini muncul beberapa implikasi apologetik
penting.
1.
Katolik Menjaga, Bukan Membunuh Kitab Suci
Dengan
menetapkan Vulgata sebagai edisi authentica untuk liturgi dan
pengajaran, Gereja Katolik justru melindungi umat dari kekacauan teks akibat
banyaknya manuskrip Latin yang tidak konsisten. Trente menyatukan standar
bacaan, sama seperti Gereja perdana memakai Septuaginta Yunani sebagai teks
otoritatif di dunia Mediterania.
Dengan
kata lain, Vulgata adalah payung kesatuan, bukan penjara kebodohan.
2.
Protestantisme dan Inkonsistensi Textus Receptus
Ironi
besar muncul di pihak Reformasi. Alkitab Geneva dan King James Version berakar
pada Textus Receptus, teks Yunani yang terbatas, bahkan bermasalah
dibandingkan bukti naskah yang kini kita miliki. Sementara Calvin menuduh
Katolik menyembah Vulgata, justru Reformasi yang lama bergantung pada sebuah
edisi Yunani yang kini sudah ditinggalkan oleh para sarjana modern.
Siapa
yang sebenarnya “mengurung” umat dalam teks sempit?
3.
Katolik: Iman Dijaga oleh Teks, Tradisi, dan Magisterium
Kekristenan
tidak berdiri hanya di atas teks (sola scriptura), tetapi pada tiga pilar: Kitab
Suci, Tradisi, dan Magisterium. Konsili Trente meneguhkan hal ini dengan
sangat jelas. Maka iman Katolik tidak bergantung pada fluktuasi penemuan naskah
atau pada kritisisme filologis semata. Tradisi dan Magisterium menjamin
kesatuan tafsir dan kontinuitas iman.
Inilah
keunggulan epistemologis Katolik: iman tidak ditentukan oleh manuskrip yang
kebetulan ditemukan di gua Qumran, atau oleh preferensi pribadi seorang
profesor filologi, melainkan oleh Gereja yang sama yang menyusun kanon Kitab
Suci di abad-abad awal.
4.
Protestan Membutuhkan Katolik
Tanpa
sadar, Protestan sendiri bergantung pada karya filolog Katolik: Erasmus,
Ximenes, para Jesuit, bahkan modern seperti Cornelius a Lapide. Jika mereka
jujur, banyak “kemajuan” studi Kitab Suci Protestan berakar pada fondasi
Katolik. Maka tuduhan bahwa Katolik membenci Kitab Suci justru tampak sebagai
proyeksi retoris belaka.
Analisis
Akhir
Kesimpulannya
jelas: Konsili Trente tidak menutup Kitab Suci, tetapi meneguhkan otoritas teks
Latin yang sudah membentuk jiwa Gereja Barat selama berabad-abad, sambil tetap
menghargai studi bahasa asli. Calvin, meski jenius, di sini terperangkap dalam
propaganda dan eisegesis. Mitos itu terus diwariskan karena nyaman dipakai
sebagai senjata anti-Katolik.
Namun
kenyataan sejarah dan kesaksian Magisterium menyingkapkan sebaliknya: Gereja
Katolik adalah penjaga Kitab Suci, bukan musuhnya.
Bagian
VI – Kesimpulan
Narasi
Reformasi yang diwariskan Calvin tentang Konsili Trente ternyata hanyalah
sebuah mitos. Ia menuduh Gereja Katolik menutup mulut para Reformator dengan
“mengangkat Vulgata sebagai berhala.” Namun, teks asli Konsili menunjukkan hal
berbeda: Gereja hanya meneguhkan Vulgata sebagai edisi autentik untuk
penggunaan publik dalam liturgi dan pengajaran, sembari memerintahkan
revisi kritis agar lebih setia kepada bahasa asli.
Sejarah juga membantah tuduhan itu. Jauh
sebelum Luther, Kardinal Ximenes telah menerbitkan Complutensian Polyglot,
sementara Erasmus Katolik menyunting Perjanjian Baru Yunani yang justru menjadi
basis Alkitab Reformasi. Sesudah Trente, Gereja melahirkan komentator agung
seperti Cornelius a Lapide, menegaskan tradisi filologis Katolik yang tak
pernah mati.
Magisterium Gereja, dari Divino afflante
Spiritu (Pius XII) hingga Scripturarum Thesaurus (Yohanes Paulus
II), menegaskan bahwa Vulgata adalah warisan otoritatif Gereja Latin, tetapi
studi bahasa asli tetap perlu dan bahkan dituntut. Dengan demikian, Katolik
memadukan kesetiaan tradisi dengan keterbukaan ilmiah—sesuatu
yang gagal dipahami oleh polemik Calvin.
Implikasi apologetiknya jelas: Protestantisme
sejak awal berdiri di atas mitos tentang “Katolik melawan Kitab Suci,” padahal
faktanya justru Gereja Katoliklah yang menjaga kesatuan teks, melahirkan studi
bahasa asli, dan memelihara tafsir Kitab Suci dalam terang Tradisi. Protestan
bergantung pada fondasi Katolik, tetapi menutupinya dengan retorika polemik.
Maka, tuduhan bahwa Trente mengubur Kitab Suci
runtuh oleh dokumen sejarah. Gereja Katolik tidak pernah menolak Firman Allah,
melainkan menjaga dan menafsirkannya setia pada Roh Kudus yang membimbing
Gereja sepanjang zaman.
Doa Penutup
Allah yang Mahakuasa, Bapa Tuhan kami Yesus
Kristus, Engkau telah memberi Gereja-Mu Kitab Suci dan Tradisi yang hidup.
Singkirkanlah dari hati kami mitos dan prasangka, dan teguhkanlah kami dalam
kebenaran-Mu. Semoga Katolik dan Protestan dipersatukan kembali dalam satu
pengakuan iman, agar dunia percaya kepada Putra-Mu, Sang Sabda yang hidup.
St. Hieronimus, pelindung para penerjemah Kitab
Suci, doakanlah kami.
