@patris_allegro
Pendahuluan
Tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari
filsafat. Filsafat bukan hanya disiplin akademis di ruang kuliah, melainkan
struktur berpikir yang menyelinap dalam setiap cara manusia memahami realitas,
kebenaran, dan Allah sendiri. Ketika seseorang berkata, “Saya hanya mau
Alkitab, bukan filsafat,” ia sudah berfilsafat—tepatnya sedang membuat
klaim epistemologis tentang sumber pengetahuan. Dengan kata lain, filsafat
bukanlah sesuatu yang bisa ditolak, melainkan sesuatu yang tak terelakkan.
Justru karena filsafat tak terhindarkan, maka ia harus
diakui, diperiksa, dan dievaluasi secara kritis. Jika tidak, filsafat bekerja
secara diam-diam, membentuk keyakinan dan praktik tanpa koreksi, dan akhirnya
menyesatkan. Filsafat yang tak diperiksa adalah filsafat yang berbahaya.
Inilah yang terjadi dalam Protestantisme. Walaupun
kerap menuduh Gereja Katolik “tercemar” oleh filsafat Yunani, sesungguhnya
seluruh bangunan Protestanisme sendiri berdiri di atas fondasi filosofis
tertentu. Luther, Calvin, dan para reformator mengadopsi dan mewarisi kerangka
filosofis dari Agustinisme Platonik, nominalisme Ockham, dan semangat humanisme
Renaisans. Ironisnya, fondasi filosofis itu tidak pernah diakui secara jujur,
apalagi diperiksa dengan kritis. Akibatnya, ia bekerja dalam senyap sebagai presuposisi
yang tak disadari, membentuk doktrin-doktrin dan menuntun pada fragmentasi
tanpa akhir.
Kuliah ini bertujuan untuk menyingkap fondasi
filosofis Protestanisme, menunjukkan mengapa filsafat tak bisa dihindari, dan
menegaskan posisi Katolik: filsafat boleh dipakai, asal diakui dan disucikan
oleh wahyu. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa Gereja Katolik konsisten
dalam memadukan iman dan akal budi, sementara Protestanisme terjebak dalam
filsafat yang tak diperiksa—dan karena itu tersesat.
Bagian I. Filsafat – Tak Terhindarkan
Filsafat sering dianggap sebagai bidang yang jauh dari
kehidupan sehari-hari, seolah hanya milik para akademisi di menara gading.
Namun, dalam kenyataannya, filsafat adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan,
karena ia merupakan kerangka berpikir yang membentuk cara manusia menafsirkan
dunia. Setiap kali seseorang menjawab pertanyaan “Apa kebenaran?”, “Bagaimana
kita mengenal Allah?”, atau “Apa makna manusia?”, ia sudah berfilsafat, entah
ia sadar atau tidak.
1. Filsafat dalam klaim Protestan
Ketika seorang pengkhotbah berkata, “Saya hanya mau
Alkitab, bukan filsafat,” ia sebenarnya sedang mengajukan klaim filosofis.
Ia telah menempuh jalur epistemologi tertentu: bahwa sumber pengetahuan hanya
Kitab Suci. Itu bukan “non-filsafat,” melainkan sebuah filsafat yang disebut fideisme—yaitu
pandangan bahwa iman berdiri sendiri tanpa akal budi. Dengan kata lain, justru
saat seseorang menolak filsafat, ia telah berada dalam filsafat, hanya saja
dengan cara yang lebih miskin dan tidak disadari.
2. Bahaya filsafat yang tidak diperiksa
Filsafat yang diakui bisa diperiksa, diuji, dan
dikoreksi. Tetapi filsafat yang ditolak secara retoris akan tetap bekerja
diam-diam, tanpa pengawasan kritis, dan akibatnya bisa menyesatkan. Inilah yang
dimaksud oleh pepatah filsuf: “Filsafat yang tidak diperiksa akan menguasai
kita.”
3. Katolik: mengaku, memeriksa, menyucikan
Gereja Katolik memahami bahwa akal budi adalah karunia
Allah, sehingga filsafat harus dipakai, tetapi tidak boleh didewakan. Filsafat
ditempatkan sebagai instrumentum—alat untuk menjelaskan iman, bukan
sumber iman itu sendiri. Karena diakui, ia bisa dipertanyakan, dikritisi, dan
diarahkan agar tunduk pada wahyu.
Santo Thomas Aquinas adalah teladan: ia tidak menelan
Aristoteles mentah-mentah, melainkan mengintegrasikan konsep-konsepnya dengan
iman Kristen. Dengan demikian, filsafat bukan menjadi racun, tetapi menjadi
pena yang menuliskan kebenaran wahyu.
Bagian II. Katolik – Filsafat yang Diperiksa dan
Disucikan
Sejak awal, Gereja Katolik tidak pernah memandang
filsafat sebagai lawan dari iman, melainkan sebagai rekan kerja yang harus
ditundukkan kepada wahyu. Prinsipnya sederhana: karena akal budi adalah
anugerah Allah, maka ia tidak boleh diabaikan, melainkan dipakai untuk melayani
iman. Justru dengan mengakui filsafat, Gereja mampu mengarahkan dan
memurnikannya agar tidak menyesatkan.
1. Aquinas dan Integrasi Aristoteles
Santo Thomas Aquinas adalah
teladan dalam hal ini. Ia tidak membiarkan Aristoteles menjadi otoritas mutlak,
tetapi menimbang, menguji, dan menyelaraskannya dengan kebenaran wahyu.
Misalnya, konsep substansi dan aksiden dipakai bukan untuk menggantikan ajaran
Kristus tentang Ekaristi, melainkan untuk menjelaskan bagaimana sabda
Yesus—“Inilah Tubuh-Ku”—benar-benar terjadi dalam kenyataan tanpa meniadakan
pengalaman indrawi. Dengan demikian, filsafat dijadikan instrumentum, bukan principium.
2. Konsili Vatikan I: Akal dan
Wahyu
Konsili Vatikan I (1870)
menegaskan dua hal penting:
- Manusia dengan akal
     budinya dapat mengenal Allah sebagai Pencipta, sebab ciptaan menyingkapkan
     Sang Pencipta.
- Tetapi misteri
     ilahi—seperti Tritunggal, Inkarnasi, dan Ekaristi—hanya dapat diketahui
     melalui wahyu.
Artinya, filsafat berfungsi
sebagai jembatan menuju pengenalan umum akan Allah, tetapi imanlah yang
menyingkapkan misteri terdalam. Dengan kerangka ini, filsafat tidak
disakralkan, tetapi juga tidak dibuang; ia dipanggil untuk melayani iman.
3. Kejujuran Katolik
Di sinilah keunggulan Katolik
dibanding Protestanisme. Gereja Katolik jujur mengakui bahwa ia memakai
filsafat. Karena diakui, filsafat bisa diperiksa secara kritis: mana yang
sesuai dengan wahyu dipertahankan, mana yang bertentangan ditolak. Inilah sikap
dewasa: menguji segala sesuatu dan berpegang pada yang baik (1 Tes 5:21).
Protestan, sebaliknya, sering
menolak filsafat secara retoris, tetapi tanpa sadar tetap memakai dasar
filsafat tertentu—yang karena tidak diakui, akhirnya tidak pernah diperiksa.
Inilah benih kesesatan yang akan semakin tampak dalam uraian berikutnya.
Protestantisme – Filsafat yang
Tak Diakui
A. Agustinisme Platonik
B. Nominalisme Abad
Pertengahan
C. Humanisme Renaisans
D. Fideisme Anti-Rasional
Akibat dari Filsafat yang Tak
Diperiksa
1. Nominalisme → Sakramen
Kosong
2. Platonisme Agustinus →
Determinisme Keselamatan
3. Humanisme → Fragmentasi
Gereja
4. Fideisme → Relativisme Iman
Inti Akibat
Semua ini bermuara pada satu hal: karena tidak mengakui
filsafat, Protestantisme gagal memeriksa dan mengarahkan fondasi filosofisnya.
Filsafat yang tak diperiksa ini lalu merusak sakramen, memiskinkan antropologi,
memecah belah Gereja, dan melemahkan kepastian iman.
Inilah perbedaan mendasar dengan Katolik: Katolik
jujur memakai filsafat dan karena itu bisa mengujinya. Protestantisme
berpura-pura menolak filsafat, dan karena itu justru diperbudak oleh filsafat
yang salah arah.
Bagian V. Meta-Argumen – Katolik vs Protestan
Di titik ini, kita bisa menarik kesimpulan kritis
dengan memakai teknik meta-argumen: bukan hanya menimbang isi argumen
Protestan, tetapi menyingkap struktur dan kontradiksi internalnya.
1. Katolik: Filsafat yang Diakui dan Disucikan
Gereja Katolik tidak pernah malu mengakui peran
filsafat. Karena diakui, filsafat dapat diperiksa, dipilah, dan disucikan oleh
wahyu. Aristotelianisme, Platonisme, atau filsafat lainnya bukan diangkat
sebagai “wahyu kedua,” melainkan dipakai sebagai instrumen untuk menjelaskan
iman. Dengan sikap ini, Katolik menjaga integritas: akal budi dipakai sejauh ia
membantu manusia semakin mengenal Allah, tetapi tidak pernah menjadi penentu
tunggal kebenaran iman.
2. Protestan: Filsafat yang Disangkal, Tapi Diam-Diam
Dipakai
Protestanisme, lewat retorika sola scriptura,
berpura-pura menolak filsafat. Tetapi dalam kenyataannya, seluruh kerangka
doktrin utamanya—predestinasi, pembacaan simbolis sakramen, bahkan struktur
eklesiologinya—sarat dengan filsafat yang tidak pernah diakui. Inilah kontradiksi
performatif: menolak filsafat sambil tak bisa hidup tanpa filsafat.
3. Bahaya Filsafat Tak Diperiksa
Karena tidak pernah diakui, fondasi filosofis
Protestanisme tidak bisa diperiksa dan diarahkan. Hasilnya adalah kerusakan
mendalam:
- Sakramen
     jadi kosong (nominalisme).
- Keselamatan
     jadi deterministik (Platonisme).
- Gereja
     terpecah-pecah (humanisme).
- Iman
     jadi relativistik (fideisme).
4. Meta-Argumen Menusuk
Meta-argumen paling tajam dapat dirumuskan begini:
- Menolak
     filsafat adalah sebuah filsafat.
- Mengaku
     “hanya Alkitab” adalah klaim filosofis tentang epistemologi.
- Dengan
     demikian, retorika Protestan runtuh oleh kontradiksi dirinya sendiri.
Katolik lebih konsisten: ia mengakui filsafat dan
karena itu bisa mengoreksinya; Protestan menyangkal filsafat dan karena itu
diperbudak olehnya.
Kesimpulan
Filsafat bukan sesuatu yang bisa dihindari. Ia melekat dalam
setiap cara manusia berpikir dan beriman. Menolak filsafat tidak berarti
membebaskan diri darinya, melainkan hanya terjerat dalam filsafat yang tidak
disadari. Karena itu, filsafat harus diakui, diperiksa, dan ditundukkan pada
wahyu. Filsafat yang tidak diperiksa justru berbahaya, karena bekerja diam-diam
tanpa koreksi, dan inilah yang terjadi dalam Protestantisme.
Sejarah menunjukkan bahwa
Protestantisme bukan “murni Alkitab,” melainkan sarat dengan fondasi filosofis
tertentu:
- Platonisme Agustinus
     melahirkan determinisme dan pandangan negatif tentang manusia.
- Nominalisme Ockham
     mengosongkan sakramen dan mereduksi Gereja menjadi sekadar kumpulan
     individu.
- Humanisme Renaisans
     menumbuhkan subjektivisme tafsir dan memecah Gereja menjadi ribuan
     denominasi.
- Fideisme menjadikan iman
     buta, kehilangan koreksi akal budi, dan berujung pada relativisme.
Semua ini adalah buah dari filsafat yang tidak diakui
dan tidak diperiksa. Protestanisme jatuh pada kontradiksi: mengutuk Katolik
karena memakai filsafat, sambil sendiri berdiri di atas fondasi filosofis yang
lebih rapuh.
Sebaliknya, Gereja Katolik konsisten dan jujur. Ia
mengakui filsafat sebagai instrumen, memeriksanya secara kritis, dan
menyucikannya dalam terang wahyu. Karena itu, filsafat tidak menjadi berhala,
tetapi pelayan iman.
Meta-argumen terakhir menohok: menolak filsafat adalah sebuah filsafat.
Protestanisme gagal karena menyangkal hal ini; Katolik berdiri teguh karena
berani mengakuinya. Maka jelaslah: hanya dengan mengintegrasikan iman dan akal
budi, manusia dapat berjalan menuju kebenaran yang utuh—dan itulah yang Gereja
Katolik tawarkan.
Recommended Readings & Bibliografi
1. Agustinisme dan Platonisme
- Augustine, Confessions.
     Trans. Henry Chadwick. Oxford: Oxford University Press, 1991.
 → Menunjukkan bagaimana Agustinus dipengaruhi Neoplatonisme Plotinus, khususnya pandangan dualistik jiwa–tubuh.
- Rist, John. Augustine:
     Ancient Thought Baptized. Cambridge: Cambridge University Press, 1994.
 → Analisis mendalam tentang bagaimana Platonisme membentuk pemikiran Agustinus dan dampaknya pada teologi Barat.
2. Nominalisme Abad
Pertengahan dan Pengaruh pada Luther
- William of Ockham, Quodlibetal
     Questions. Trans. Alfred J. Freddoso & Francis E. Kelley. New
     Haven: Yale University Press, 1991.
 → Teks dasar nominalisme yang menolak realitas universal.
- Oberman, Heiko A. The
     Harvest of Medieval Theology: Gabriel Biel and Late Medieval Nominalism.
     Grand Rapids: Baker Academic, 1963.
 → Klasik dalam menyingkap bagaimana nominalisme Ockham melalui Biel memengaruhi Luther.
- Leinsle, Ulrich G. Introduction
     to Scholastic Theology. Washington, D.C.: Catholic University of
     America Press, 2010.
 → Memberi konteks lebih luas tentang pergeseran dari realisme skolastik ke nominalisme, yang jadi benih Reformasi.
3. Humanisme Renaisans dan Reformasi
- Erasmus, The Praise
     of Folly. Trans. Clarence H. Miller. New Haven: Yale University Press,
     2003.
 → Representasi semangat humanisme Renaisans yang juga memengaruhi Luther.
- McGrath, Alister E. Reformation
     Thought: An Introduction. 5th ed. Oxford: Wiley-Blackwell, 2012.
 → Pengantar yang baik untuk melihat keterkaitan humanisme Renaisans dengan Reformasi Protestan.
- Bouwsma, William J. John
     Calvin: A Sixteenth-Century Portrait. Oxford: Oxford University Press,
     1988.
 → Menunjukkan bagaimana Calvin dipengaruhi humanisme Renaisans sekaligus warisan skolastik.
4. Fideisme dan Kritik Rasional
- Plantinga, Alvin. Reason
     and Belief in God. In Faith and Rationality, ed. Alvin
     Plantinga & Nicholas Wolterstorff. Notre Dame: University of Notre
     Dame Press, 1983.
 → Representasi filsafat Reformed kontemporer: “reformed epistemology” yang banyak dipengaruhi fideisme.
- Gilson, Étienne. The
     Spirit of Medieval Philosophy. Trans. A. H. C. Downes. Notre Dame:
     University of Notre Dame Press, 1991.
 → Kritik Katolik klasik: filsafat harus dipakai dengan jujur dan ditundukkan pada wahyu, bukan ditolak.
- John
     Paul II. Fides et Ratio. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana,
     1998.
 → Dokumen magisterial tentang relasi iman dan akal budi; menegaskan keunggulan pendekatan Katolik terhadap filsafat.
5. Kajian Komparatif Katolik vs
Protestan
- Muller, Richard A. After
     Calvin: Studies in the Development of a Theological Tradition. Oxford:
     Oxford University Press, 2003.
 → Menguraikan fondasi filosofis dalam tradisi Reformasi setelah Calvin.
- Pelikan, Jaroslav. The
     Christian Tradition, Vol. 4: Reformation of Church and Dogma (1300–1700).
     Chicago: University of Chicago Press, 1984.
 → Referensi penting yang membahas transisi dari skolastisisme ke Reformasi, termasuk akar filosofisnya.
- Hanby, Michael. No
     God, No Science? Theology, Cosmology, Biology. Oxford:
     Wiley-Blackwell, 2013.
 → Kritik modern atas nominalisme dan dampaknya bagi teologi serta sains, relevan untuk memahami warisan Protestan.
Catatan Penutup
Karya-karya di atas bisa dibagi dua:
- Sumber klasik
     (Augustine, Ockham, Erasmus, Luther, Calvin) untuk menunjukkan langsung
     akar filosofis Protestanisme.
- Sumber sekunder (Oberman,
     Rist, McGrath, Pelikan, Gilson, dll.) untuk memberi analisis kritis atas
     fondasi tersebut.
