LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

MENOLAK FILSAFAT, MEMELUK FILSAFAT: SEBUAH KAJIAN KRITIS TENTANG PRESUPOSISI FILOSOFIS REFORMASI

 



@patris_allegro

 

Pendahuluan

Tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari filsafat. Filsafat bukan hanya disiplin akademis di ruang kuliah, melainkan struktur berpikir yang menyelinap dalam setiap cara manusia memahami realitas, kebenaran, dan Allah sendiri. Ketika seseorang berkata, “Saya hanya mau Alkitab, bukan filsafat,” ia sudah berfilsafat—tepatnya sedang membuat klaim epistemologis tentang sumber pengetahuan. Dengan kata lain, filsafat bukanlah sesuatu yang bisa ditolak, melainkan sesuatu yang tak terelakkan.

Justru karena filsafat tak terhindarkan, maka ia harus diakui, diperiksa, dan dievaluasi secara kritis. Jika tidak, filsafat bekerja secara diam-diam, membentuk keyakinan dan praktik tanpa koreksi, dan akhirnya menyesatkan. Filsafat yang tak diperiksa adalah filsafat yang berbahaya.

Inilah yang terjadi dalam Protestantisme. Walaupun kerap menuduh Gereja Katolik “tercemar” oleh filsafat Yunani, sesungguhnya seluruh bangunan Protestanisme sendiri berdiri di atas fondasi filosofis tertentu. Luther, Calvin, dan para reformator mengadopsi dan mewarisi kerangka filosofis dari Agustinisme Platonik, nominalisme Ockham, dan semangat humanisme Renaisans. Ironisnya, fondasi filosofis itu tidak pernah diakui secara jujur, apalagi diperiksa dengan kritis. Akibatnya, ia bekerja dalam senyap sebagai presuposisi yang tak disadari, membentuk doktrin-doktrin dan menuntun pada fragmentasi tanpa akhir.

Kuliah ini bertujuan untuk menyingkap fondasi filosofis Protestanisme, menunjukkan mengapa filsafat tak bisa dihindari, dan menegaskan posisi Katolik: filsafat boleh dipakai, asal diakui dan disucikan oleh wahyu. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa Gereja Katolik konsisten dalam memadukan iman dan akal budi, sementara Protestanisme terjebak dalam filsafat yang tak diperiksa—dan karena itu tersesat.

 

Bagian I. Filsafat – Tak Terhindarkan

Filsafat sering dianggap sebagai bidang yang jauh dari kehidupan sehari-hari, seolah hanya milik para akademisi di menara gading. Namun, dalam kenyataannya, filsafat adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, karena ia merupakan kerangka berpikir yang membentuk cara manusia menafsirkan dunia. Setiap kali seseorang menjawab pertanyaan “Apa kebenaran?”, “Bagaimana kita mengenal Allah?”, atau “Apa makna manusia?”, ia sudah berfilsafat, entah ia sadar atau tidak.

1. Filsafat dalam klaim Protestan

Ketika seorang pengkhotbah berkata, “Saya hanya mau Alkitab, bukan filsafat,” ia sebenarnya sedang mengajukan klaim filosofis. Ia telah menempuh jalur epistemologi tertentu: bahwa sumber pengetahuan hanya Kitab Suci. Itu bukan “non-filsafat,” melainkan sebuah filsafat yang disebut fideisme—yaitu pandangan bahwa iman berdiri sendiri tanpa akal budi. Dengan kata lain, justru saat seseorang menolak filsafat, ia telah berada dalam filsafat, hanya saja dengan cara yang lebih miskin dan tidak disadari.

2. Bahaya filsafat yang tidak diperiksa

Filsafat yang diakui bisa diperiksa, diuji, dan dikoreksi. Tetapi filsafat yang ditolak secara retoris akan tetap bekerja diam-diam, tanpa pengawasan kritis, dan akibatnya bisa menyesatkan. Inilah yang dimaksud oleh pepatah filsuf: “Filsafat yang tidak diperiksa akan menguasai kita.”

3. Katolik: mengaku, memeriksa, menyucikan

Gereja Katolik memahami bahwa akal budi adalah karunia Allah, sehingga filsafat harus dipakai, tetapi tidak boleh didewakan. Filsafat ditempatkan sebagai instrumentum—alat untuk menjelaskan iman, bukan sumber iman itu sendiri. Karena diakui, ia bisa dipertanyakan, dikritisi, dan diarahkan agar tunduk pada wahyu.

Santo Thomas Aquinas adalah teladan: ia tidak menelan Aristoteles mentah-mentah, melainkan mengintegrasikan konsep-konsepnya dengan iman Kristen. Dengan demikian, filsafat bukan menjadi racun, tetapi menjadi pena yang menuliskan kebenaran wahyu.

 

Bagian II. Katolik – Filsafat yang Diperiksa dan Disucikan

Sejak awal, Gereja Katolik tidak pernah memandang filsafat sebagai lawan dari iman, melainkan sebagai rekan kerja yang harus ditundukkan kepada wahyu. Prinsipnya sederhana: karena akal budi adalah anugerah Allah, maka ia tidak boleh diabaikan, melainkan dipakai untuk melayani iman. Justru dengan mengakui filsafat, Gereja mampu mengarahkan dan memurnikannya agar tidak menyesatkan.

1. Aquinas dan Integrasi Aristoteles

Santo Thomas Aquinas adalah teladan dalam hal ini. Ia tidak membiarkan Aristoteles menjadi otoritas mutlak, tetapi menimbang, menguji, dan menyelaraskannya dengan kebenaran wahyu. Misalnya, konsep substansi dan aksiden dipakai bukan untuk menggantikan ajaran Kristus tentang Ekaristi, melainkan untuk menjelaskan bagaimana sabda Yesus—“Inilah Tubuh-Ku”—benar-benar terjadi dalam kenyataan tanpa meniadakan pengalaman indrawi. Dengan demikian, filsafat dijadikan instrumentum, bukan principium.

2. Konsili Vatikan I: Akal dan Wahyu

Konsili Vatikan I (1870) menegaskan dua hal penting:

  • Manusia dengan akal budinya dapat mengenal Allah sebagai Pencipta, sebab ciptaan menyingkapkan Sang Pencipta.
  • Tetapi misteri ilahi—seperti Tritunggal, Inkarnasi, dan Ekaristi—hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Artinya, filsafat berfungsi sebagai jembatan menuju pengenalan umum akan Allah, tetapi imanlah yang menyingkapkan misteri terdalam. Dengan kerangka ini, filsafat tidak disakralkan, tetapi juga tidak dibuang; ia dipanggil untuk melayani iman.

3. Kejujuran Katolik

Di sinilah keunggulan Katolik dibanding Protestanisme. Gereja Katolik jujur mengakui bahwa ia memakai filsafat. Karena diakui, filsafat bisa diperiksa secara kritis: mana yang sesuai dengan wahyu dipertahankan, mana yang bertentangan ditolak. Inilah sikap dewasa: menguji segala sesuatu dan berpegang pada yang baik (1 Tes 5:21).

Protestan, sebaliknya, sering menolak filsafat secara retoris, tetapi tanpa sadar tetap memakai dasar filsafat tertentu—yang karena tidak diakui, akhirnya tidak pernah diperiksa. Inilah benih kesesatan yang akan semakin tampak dalam uraian berikutnya.

 

 

 

 

 

Protestantisme – Filsafat yang Tak Diakui

A. Agustinisme Platonik

B. Nominalisme Abad Pertengahan

C. Humanisme Renaisans

D. Fideisme Anti-Rasional

 

 

 

Akibat dari Filsafat yang Tak Diperiksa

1. Nominalisme → Sakramen Kosong

2. Platonisme Agustinus → Determinisme Keselamatan

3. Humanisme → Fragmentasi Gereja

4. Fideisme → Relativisme Iman

 

Inti Akibat

Semua ini bermuara pada satu hal: karena tidak mengakui filsafat, Protestantisme gagal memeriksa dan mengarahkan fondasi filosofisnya. Filsafat yang tak diperiksa ini lalu merusak sakramen, memiskinkan antropologi, memecah belah Gereja, dan melemahkan kepastian iman.

Inilah perbedaan mendasar dengan Katolik: Katolik jujur memakai filsafat dan karena itu bisa mengujinya. Protestantisme berpura-pura menolak filsafat, dan karena itu justru diperbudak oleh filsafat yang salah arah.

 

Bagian V. Meta-Argumen – Katolik vs Protestan

Di titik ini, kita bisa menarik kesimpulan kritis dengan memakai teknik meta-argumen: bukan hanya menimbang isi argumen Protestan, tetapi menyingkap struktur dan kontradiksi internalnya.

1. Katolik: Filsafat yang Diakui dan Disucikan

Gereja Katolik tidak pernah malu mengakui peran filsafat. Karena diakui, filsafat dapat diperiksa, dipilah, dan disucikan oleh wahyu. Aristotelianisme, Platonisme, atau filsafat lainnya bukan diangkat sebagai “wahyu kedua,” melainkan dipakai sebagai instrumen untuk menjelaskan iman. Dengan sikap ini, Katolik menjaga integritas: akal budi dipakai sejauh ia membantu manusia semakin mengenal Allah, tetapi tidak pernah menjadi penentu tunggal kebenaran iman.

2. Protestan: Filsafat yang Disangkal, Tapi Diam-Diam Dipakai

Protestanisme, lewat retorika sola scriptura, berpura-pura menolak filsafat. Tetapi dalam kenyataannya, seluruh kerangka doktrin utamanya—predestinasi, pembacaan simbolis sakramen, bahkan struktur eklesiologinya—sarat dengan filsafat yang tidak pernah diakui. Inilah kontradiksi performatif: menolak filsafat sambil tak bisa hidup tanpa filsafat.

3. Bahaya Filsafat Tak Diperiksa

Karena tidak pernah diakui, fondasi filosofis Protestanisme tidak bisa diperiksa dan diarahkan. Hasilnya adalah kerusakan mendalam:

  • Sakramen jadi kosong (nominalisme).
  • Keselamatan jadi deterministik (Platonisme).
  • Gereja terpecah-pecah (humanisme).
  • Iman jadi relativistik (fideisme).

4. Meta-Argumen Menusuk

Meta-argumen paling tajam dapat dirumuskan begini:

  • Menolak filsafat adalah sebuah filsafat.
  • Mengaku “hanya Alkitab” adalah klaim filosofis tentang epistemologi.
  • Dengan demikian, retorika Protestan runtuh oleh kontradiksi dirinya sendiri.

Katolik lebih konsisten: ia mengakui filsafat dan karena itu bisa mengoreksinya; Protestan menyangkal filsafat dan karena itu diperbudak olehnya.

 

 

Kesimpulan

Filsafat bukan sesuatu yang bisa dihindari. Ia melekat dalam setiap cara manusia berpikir dan beriman. Menolak filsafat tidak berarti membebaskan diri darinya, melainkan hanya terjerat dalam filsafat yang tidak disadari. Karena itu, filsafat harus diakui, diperiksa, dan ditundukkan pada wahyu. Filsafat yang tidak diperiksa justru berbahaya, karena bekerja diam-diam tanpa koreksi, dan inilah yang terjadi dalam Protestantisme.

Sejarah menunjukkan bahwa Protestantisme bukan “murni Alkitab,” melainkan sarat dengan fondasi filosofis tertentu:

  • Platonisme Agustinus melahirkan determinisme dan pandangan negatif tentang manusia.
  • Nominalisme Ockham mengosongkan sakramen dan mereduksi Gereja menjadi sekadar kumpulan individu.
  • Humanisme Renaisans menumbuhkan subjektivisme tafsir dan memecah Gereja menjadi ribuan denominasi.
  • Fideisme menjadikan iman buta, kehilangan koreksi akal budi, dan berujung pada relativisme.

Semua ini adalah buah dari filsafat yang tidak diakui dan tidak diperiksa. Protestanisme jatuh pada kontradiksi: mengutuk Katolik karena memakai filsafat, sambil sendiri berdiri di atas fondasi filosofis yang lebih rapuh.

Sebaliknya, Gereja Katolik konsisten dan jujur. Ia mengakui filsafat sebagai instrumen, memeriksanya secara kritis, dan menyucikannya dalam terang wahyu. Karena itu, filsafat tidak menjadi berhala, tetapi pelayan iman.

Meta-argumen terakhir menohok: menolak filsafat adalah sebuah filsafat. Protestanisme gagal karena menyangkal hal ini; Katolik berdiri teguh karena berani mengakuinya. Maka jelaslah: hanya dengan mengintegrasikan iman dan akal budi, manusia dapat berjalan menuju kebenaran yang utuh—dan itulah yang Gereja Katolik tawarkan.

 

Recommended Readings & Bibliografi

1. Agustinisme dan Platonisme

  • Augustine, Confessions. Trans. Henry Chadwick. Oxford: Oxford University Press, 1991.
    → Menunjukkan bagaimana Agustinus dipengaruhi Neoplatonisme Plotinus, khususnya pandangan dualistik jiwa–tubuh.
  • Rist, John. Augustine: Ancient Thought Baptized. Cambridge: Cambridge University Press, 1994.
    → Analisis mendalam tentang bagaimana Platonisme membentuk pemikiran Agustinus dan dampaknya pada teologi Barat.

 

2. Nominalisme Abad Pertengahan dan Pengaruh pada Luther

  • William of Ockham, Quodlibetal Questions. Trans. Alfred J. Freddoso & Francis E. Kelley. New Haven: Yale University Press, 1991.
    → Teks dasar nominalisme yang menolak realitas universal.
  • Oberman, Heiko A. The Harvest of Medieval Theology: Gabriel Biel and Late Medieval Nominalism. Grand Rapids: Baker Academic, 1963.
    → Klasik dalam menyingkap bagaimana nominalisme Ockham melalui Biel memengaruhi Luther.
  • Leinsle, Ulrich G. Introduction to Scholastic Theology. Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2010.
    → Memberi konteks lebih luas tentang pergeseran dari realisme skolastik ke nominalisme, yang jadi benih Reformasi.

 

3. Humanisme Renaisans dan Reformasi

  • Erasmus, The Praise of Folly. Trans. Clarence H. Miller. New Haven: Yale University Press, 2003.
    → Representasi semangat humanisme Renaisans yang juga memengaruhi Luther.
  • McGrath, Alister E. Reformation Thought: An Introduction. 5th ed. Oxford: Wiley-Blackwell, 2012.
    → Pengantar yang baik untuk melihat keterkaitan humanisme Renaisans dengan Reformasi Protestan.
  • Bouwsma, William J. John Calvin: A Sixteenth-Century Portrait. Oxford: Oxford University Press, 1988.
    → Menunjukkan bagaimana Calvin dipengaruhi humanisme Renaisans sekaligus warisan skolastik.

4. Fideisme dan Kritik Rasional

  • Plantinga, Alvin. Reason and Belief in God. In Faith and Rationality, ed. Alvin Plantinga & Nicholas Wolterstorff. Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1983.
    → Representasi filsafat Reformed kontemporer: “reformed epistemology” yang banyak dipengaruhi fideisme.
  • Gilson, Étienne. The Spirit of Medieval Philosophy. Trans. A. H. C. Downes. Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991.
    → Kritik Katolik klasik: filsafat harus dipakai dengan jujur dan ditundukkan pada wahyu, bukan ditolak.
  • John Paul II. Fides et Ratio. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998.
    → Dokumen magisterial tentang relasi iman dan akal budi; menegaskan keunggulan pendekatan Katolik terhadap filsafat.

 

5. Kajian Komparatif Katolik vs Protestan

  • Muller, Richard A. After Calvin: Studies in the Development of a Theological Tradition. Oxford: Oxford University Press, 2003.
    → Menguraikan fondasi filosofis dalam tradisi Reformasi setelah Calvin.
  • Pelikan, Jaroslav. The Christian Tradition, Vol. 4: Reformation of Church and Dogma (1300–1700). Chicago: University of Chicago Press, 1984.
    → Referensi penting yang membahas transisi dari skolastisisme ke Reformasi, termasuk akar filosofisnya.
  • Hanby, Michael. No God, No Science? Theology, Cosmology, Biology. Oxford: Wiley-Blackwell, 2013.
    → Kritik modern atas nominalisme dan dampaknya bagi teologi serta sains, relevan untuk memahami warisan Protestan.

 

Catatan Penutup

Karya-karya di atas bisa dibagi dua:

  • Sumber klasik (Augustine, Ockham, Erasmus, Luther, Calvin) untuk menunjukkan langsung akar filosofis Protestanisme.
  • Sumber sekunder (Oberman, Rist, McGrath, Pelikan, Gilson, dll.) untuk memberi analisis kritis atas fondasi tersebut.

 

Share This Article :
9000568233845443113