I.
Pendahuluan
Reformasi
tidak dapat dipandang sekadar sebagai polemik teologis sempit; ia adalah
guncangan besar yang merombak struktur Kekristenan Barat. Gerakan yang awalnya
dimaksudkan untuk membersihkan praktik-praktik korupsi di tubuh Gereja
berkembang menjadi kekuatan sentrifugal yang memecah kesatuan Gereja yang
tampak. Dari mimbar Wittenberg lahirlah bukan satu pengakuan yang murni,
melainkan serangkaian kredo yang saling bersaing, masing-masing mengaku
berpegang pada Kitab Suci, namun menyimpang dalam doktrin, tata ibadah, dan
model kepemimpinan gerejawi. Perpecahan ini bukanlah kebetulan; ia inheren
dalam struktur gerakan itu. Penekanan Protestan pada sola Scriptura dan
penolakan terhadap magisterium yang mengikat menaburkan benih disintegrasi yang
kini tumbuh menjadi rimba denominasi dan gereja-gereja independen.
Saya
mengajukan tesis bahwa fragmentasi Protestan bukan efek sampingan yang tak
diinginkan, melainkan ciri mendasar dari sebuah gerakan yang melepaskan diri
dari otoritas pusat. Fenomena ini sering berkembang menjadi absurditas:
denominasi berlipat ganda, batas doktrin bergeser, dan apa yang semula disebut
reformasi berubah menjadi siklus skisma dan penegasan diri tanpa akhir. Figur
seperti Decky Nggadas dan suara-suara kontemporer lain yang menentang dogma
Katolik secara tak sadar memperlihatkan titik lemahnya sendiri; sambil
mencemooh kesatuan sebagai otoriter, mereka berdiri di atas tanah yang penuh
retakan.
Kita
akan merujuk pada literatur akademik terkini untuk memeriksa fragmentasi
sebagai peristiwa historis sekaligus problem teologis. Analisis GrzymaĆa-Busse
(2024) tentang fragmentasi teritorial menempatkan Reformasi dalam ekologi
politiknya, menunjukkan bahwa lemahnya kekuasaan pusat memberi napas bagi
Protestantisme—dan celah untuk retak. Buku The End of Protestantism
(2016) karya Leithart dibaca hampir seperti pengakuan kelelahan terhadap
warisan retakan ini, sementara penelitian sosiologis de Muynck dkk. (2023)
mengungkap bagaimana pluralisme tidak hanya membentuk teologi, tetapi juga
identitas diri. Bahasa perang rohani yang digunakan Youvan (2024) menambahkan
lapisan lain, menunjukkan bagaimana bahkan pemikir Protestan memandang
perpecahan sebagai kewajiban.
Posisi
yang diambil di sini secara sadar Katolik: persatuan bukan musuh kebenaran,
melainkan pelayannya. Klaim Gereja atas universalitas tidak dimaksudkan untuk
menekan keberagaman, tetapi untuk mengikatnya pada pusat otoritatif.
Fragmentasi justru menguak batas-batas penilaian pribadi. Untuk meminjam
metafora: Reformasi tidak sekadar membebaskan Kitab Suci; ia melepaskannya
tanpa kendali, menjadikan setiap pembaca sebagai “paus” bagi dirinya sendiri.
Artikel ini bertujuan menunjukkan bahwa nilai-nilai yang diagungkan oleh
Protestan—pluralitas, otonomi, desentralisasi—memiliki logika bawaan yang
mengarah pada pembubaran diri.
II.
Dimensi Historis dan Politik Fragmentasi
Kebenaran
mendasar tentang kelahiran Protestanisme adalah bahwa ia tidak lahir dalam
ruang steril. Reformasi adalah produk dari persilangan antara geografi politik
dan protes teologis. Seperti dicatat secara tajam oleh Anna GrzymaĆa-Busse
(2024), Protestanisme berkembang karena Eropa pada abad pertengahan akhir
adalah mosaik yang retak. Kekaisaran Romawi Suci hanyalah tenunan longgar dari
kerajaan, keuskupan, dan kota-kota merdeka—setiap wilayah menjadi laboratorium
kemungkinan reformasi, setiap pusat kekuasaan menjadi inkubator bagi perbedaan
doktrin. Di tempat otoritas Roma melemah oleh jarak atau terganggu oleh ambisi
pangeran, teologi baru menemukan perlindungan. Fragmentasi bukan hanya latar;
ia adalah syarat lahirnya gerakan.
Paradoks
ini kontras dengan model Katolik. Sentralisasi Gereja Katolik memungkinkannya
mereformasi dengan ritme yang lambat namun terarah, menjaga kesinambungan.
Sebaliknya, keberhasilan Protestanisme bergantung pada desentralisasi.
GrzymaĆa-Busse menunjukkan bagaimana penguasa teritorial menjadikan teologi
Reformasi sebagai alat untuk menegaskan kedaulatan dari Roma, seringkali lebih
demi kalkulasi politik daripada kesungguhan rohani. Luther dan tesis-tesisnya
bertahan di bawah naungan Friedrich yang Bijaksana bukan hanya karena substansi
teologinya, tetapi karena ia bermanfaat bagi agenda politik sang pelindung.
Memutuskan rantai Roma menjadi simbol kemerdekaan, dan setiap wilayah yang
bebas kemudian bertindak sebagai “Roma kecilnya sendiri”, menafsirkan Kitab
Suci sesuai kepentingan lokal.
Gerakan
sentrifugal ini berkembang cepat. Lutheranisme, Zwinglianisme, Calvinisme, dan
arus-arus radikal—Anabaptis, spiritualis, anti-Trinitarian—semuanya mengklaim
Kitab Suci yang sama, tetapi tiba pada kesimpulan yang berbeda-beda dan sering
tak dapat didamaikan. Pengakuan Augsburg (1530) berupaya memadatkan ajaran
Lutheran, namun hanya dalam hitungan tahun, sengketa soal Perjamuan Kudus dan
predestinasi memecah kubu itu. Pada abad ketujuh belas, peta Protestan menjadi
mosaik penuh warna: gereja negara, gereja independen, dan komunitas sektarian
berdiri berdampingan. Ketiadaan magisterium tidak pernah netral; ia justru
menjadi mesin perpecahan.
Dari perspektif Katolik, ada ironi di sini.
Fragmentasi sering dijunjung sebagai bukti kesetiaan pada Alkitab, tetapi sola
Scriptura tidak pernah menghasilkan satu nada murni. Kitab Suci berubah menjadi
medan perebutan, di mana suara terkuat atau yang paling terlindung secara
politik mendominasi tafsir. Keragaman denominasi modern—mulai dari Anglikan
berliturgi tinggi hingga jaringan karismatik dan megachurch independen—adalah
jejak panjang dari lahirnya Reformasi yang sarat motif politik. Mengutip Leithart,
“gereja yang retak tidak mungkin memenuhi doa Kristus tentang kesatuan.”
Keberhasilan Reformasi dalam merebut ruang teritorial dibayar dengan mahalnya
koherensi ajaran.
Bagi tujuan apologetika, penelusuran ini bukan
nostalgia melainkan argumen. Ketika figur-figur seperti Decky Nggadas
mengkritik dogma Katolik dengan suara lantang, mereka berbicara dari mimbar
yang berdiri di atas fondasi yang retak. Tanpa magisterium, klaim kebenaran
mudah berubah menjadi preferensi yang bersifat pribadi. Reformasi memenangkan
otonomi politik, tetapi sekaligus menanam benih rapuhnya konsistensi teologis.
III. Refleksi Teologis tentang Perpecahan dan
Absurditasnya
Jika bagian sebelumnya memetakan geografi
fragmentasi, bagian ini menyentuh jantung persoalan: dimensi teologis. Inti
dari klaim Protestanisme adalah bahwa Kitab Suci menjadi satu-satunya aturan
iman yang sempurna (sola Scriptura). Namun, prinsip ini goyah ketika
bersentuhan dengan kenyataan interpretasi manusia. Setiap tradisi—Lutheran,
Baptis, Pentakosta—menegaskan bahwa pembacaannya terhadap Alkitab “jelas” dan
“murni,” tetapi hasilnya adalah perbedaan yang mencolok dalam doktrin mendasar:
sakramen, keselamatan, eklesiologi, bahkan Kristologi. Alih-alih menjadi sumber
kesatuan, Kitab Suci justru menjadi cermin yang terbelah, memantulkan
wajah-wajah otoritas yang berbeda.
Peter
J. Leithart, dalam The End of Protestantism: Pursuing Unity in a Fragmented
Church (2016), menulis dengan nada pengakuan, bukan serangan. Ia melihat
dari dalam, berduka atas warisan yang retak. Leithart menyatakan bahwa
Protestanisme harus “mati untuk dirinya sendiri” agar dapat dilahirkan kembali
dalam bentuk yang lebih luas dan lebih katolik—persekutuan yang
melampaui kesukuan denominasi. Pilihan katanya tentang “mengejar persatuan”
mencerminkan keletihan rohani. Ia mengakui bahwa prinsip-prinsip Reformator,
meski penuh semangat, bersifat sentrifugal: mereka meruntuhkan tembok tetapi
tidak mampu menjaga batu-batu tetap tersusun. Hingga kini, dunia Protestan
terus merasakan gejala ini: sinode tanpa akhir, aliran baru, tren teologi yang
cepat naik dan turun. Tubuh tanpa kepala sulit berjalan lurus.
Keanehan
teologis menjadi semakin jelas ketika Protestan sendiri menyebut perpecahan
sebagai luka rohani. Douglas Youvan (2024) memandang fragmentasi sebagai
strategi musuh, sebuah serangan spiritual terhadap tubuh Kristus. Ia
menggambarkan perpecahan bukan sekadar akibat intelektual, tetapi krisis rohani
yang menuntut pertobatan dan kerendahan hati. Bahasa militannya justru
mengonfirmasi argumen lama Katolik: kebenaran tidak dapat diiris tanpa
kehilangan bentuknya. Jika Gereja adalah tubuh Kristus, maka fragmentasi
bukanlah ekspresi keragaman, melainkan mutilasi.
Kritik
Katolik di sini tidak didorong oleh sikap menang-menang, tetapi oleh logika:
jika Kristus berdoa “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21), mungkinkah
ribuan mimbar yang saling bersaing mewujudkan doa itu? Fragmentasi sering
dijustifikasi sebagai kebebasan, tetapi kerap jatuh menjadi kebingungan dan
kebiasaan memecah diri. Tokoh seperti Decky Nggadas dan polemik serupa menolak
paus, konsili, dan kredo sebagai buatan manusia, tetapi gagal menjelaskan
mengapa penafsiran pribadi mereka sendiri harus dianggap otoritatif. Ironinya
telanjang: mereka mengutuk magisterium sebagai “otoriter,” sembari menjadikan
hati nurani sendiri sebagai paus yang menentukan.
Bagi
apologetika Katolik, inilah absurditas yang perlu ditunjukkan. Kekuatan
Protestanisme adalah kelemahannya: dengan memberi setiap orang percaya hak
untuk menafsirkan, ia menciptakan bukan imamat semua orang percaya
tetapi kepulauan paus. Hasilnya bukan kesatuan, melainkan kebenaran yang
terfragmentasi, masing-masing mengklaim otoritas, masing-masing siap diprotes
generasi berikutnya. Kitab Suci yang tercerabut dari tradisi dan magisterium
berubah menjadi medan tempur, di mana teks yang sama diarahkan pada tujuan yang
saling bertentangan. Dalam kondisi seperti itu, ortodoksi mengecil menjadi
“pandangan kelompok kami hari ini.”
IV. Lanskap Sosiologis dan
Budaya Fragmentasi
Fragmentasi tidak berhenti pada ranah teologi;
ia merembes ke dalam jaringan budaya, politik, dan identitas sosial. Di mana
doktrin pecah, komunitas ikut retak. Sosiolog yang mempelajari dampak Reformasi
mencatat bahwa keunggulan Protestanisme dalam beradaptasi—sifat yang membuatnya
dinamis dan kontekstual—pada saat yang sama menjadikannya secara inheren tidak
stabil. Keyakinan dipelintir sesuai kebutuhan zaman, dan zaman selalu berubah.
Penelitian B. de Muynck dan koleganya (2023)
memberikan ilustrasi konkret di Transylvania, di mana Ortodoks, Katolik,
Reformasi, Lutheran, Baptis, dan kelompok Neo-Protestan hidup berdampingan,
masing-masing membawa jejak sejarah, luka, dan ingatan kolektif. Mereka
menyebutnya “membangun komunitas dalam masyarakat yang terfragmentasi,” namun
tersirat bahwa energi yang dihabiskan untuk mengelola perbedaan sangat besar.
Agama tidak hanya menjadi urusan ibadah, melainkan identitas kelompok,
perangkat hukum, dan kelangsungan budaya. Pada titik terbaik, lahirlah
pluralisme yang rapuh namun indah; pada titik terburuk, ia merosot menjadi
kesukuan dan polarisasi.
Di sinilah argumen apologetik menemukan
pijakannya. Katolik kerap dituduh seragam, padahal keragaman internalnya luar
biasa: ritus Latin dan Timur, puluhan ordo religius, devosi lokal, bahasa, dan
tradisi yang berbeda, semuanya dipersatukan oleh satu pengakuan iman dan
magisterium. Sebaliknya, Protestanisme sering kali mengubah keragaman menjadi
pemisahan. Tanpa otoritas yang mengikat, setiap perubahan budaya atau gesekan
internal dapat memunculkan jemaat baru. Perbedaan dalam tata ibadah, konflik
personalitas, atau agenda politik bisa berujung pada pembentukan denominasi
baru. Untuk setiap koeksistensi yang harmonis di Transylvania, ada pula
pinggiran kota Amerika dengan empat gereja berdiri di blok yang sama tanpa satu
pun bersedia berbagi altar.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan estetika;
ia menyentuh inti kesaksian. Bagi pengamat luar, lanskap Protestan yang
terpecah sering dibaca sebagai ketidakstabilan: jika Injil adalah kabar
gembira, mengapa menghasilkan begitu banyak pertentangan? Bahkan bagi pemikir
Protestan seperti Peter Leithart, ini adalah krisis; seruannya untuk kesatuan
lahir dari kesadaran bahwa kesaksian yang retak adalah kesaksian yang lemah.
Dari sudut pandang Katolik, jawabannya bersifat historis sekaligus struktural:
kesatuan memerlukan pusat. Koherensi doktrin bukanlah rantai yang mengekang,
tetapi tulang punggung yang menopang tubuh; tanpanya, tubuh tidak mampu
berdiri.
Dengan demikian, narasi budaya menggemakan
narasi teologis: fragmentasi menguras energi komunitas, memaksa negosiasi tanpa
henti, dan mengikis kredibilitas. Bahkan ketika Protestan merayakan
“kebebasan,” sering kali kebebasan itu dipakai untuk mengatur batas internal
sendiri. Sosiolog mungkin melihat ini sebagai keniscayaan; apologet melihatnya
sebagai bukti bahwa iman yang tidak berlabuh pada otoritas yang kokoh akhirnya
rapuh.
V. Analisis Filosofis dan
Hermeneutika
Fragmentasi bukan sekadar fenomena politik atau
sosiologis; ia menyentuh inti epistemik Kekristenan. Di dasarnya ada pertanyaan
mendasar tentang otoritas dan makna: siapa yang memiliki hak untuk menafsirkan
Kitab Suci? Prinsip Protestan sola Scriptura terdengar luhur—Kitab Suci
sebagai satu-satunya otoritas tertinggi—namun penerapannya membuka medan yang
nyaris tanpa pagar. Ketika magisterium dihapus dari panggung, interpretasi
tidak lagi diikat oleh aturan iman bersama; setiap jemaat, pendeta, atau bahkan
individu pada dasarnya menjadi “magisterium tunggal.”
Di sinilah paradoks muncul. Jika Kitab Suci
benar-benar cukup jelas untuk dipahami semua orang percaya, mengapa tafsirannya
beragam hingga saling bertentangan? Mengapa gereja-gereja yang membaca teks
yang sama berpecah dalam isu baptisan, Ekaristi, struktur gereja, bahkan
doktrin Trinitas? Masalahnya bukan pada kekurangan Kitab Suci, melainkan pada
akal yang tak berlabuh. Pikiran manusia tidak pernah datang ke teks dengan
tangan kosong; ia membawa praanggapan, tradisi, bahasa, dan konteks. Umat
Protestan pun tidak benar-benar membaca “sendiri”; mereka membaca melalui lensa
warisan tertentu. Namun, tanpa penengah yang menyaring dan menguji lensa
tersebut, perbedaan tafsir menjadi jurang.
Ironi ini semakin nyata ketika Protestan
mengkritik tradisi Katolik sebagai “buatan manusia,” tetapi pada kenyataannya
setiap pengakuan iman Protestan adalah tradisi itu sendiri. Confessio
Augustana, Westminster Standards, Baptist Faith and Message—semuanya
merupakan interpretasi yang dikodifikasi. Bedanya, tidak satu pun memiliki
otoritas permanen untuk menyelesaikan perselisihan sebagaimana Konsili Trente
atau Vatikan II. Jadi, sementara “dogma Roma” dicemooh, mereka menggantinya
dengan dogma-dogma kecil yang rapuh dan mudah retak.
Dalam perspektif Katolik, otoritas bukan
ancaman bagi kebenaran, melainkan bentengnya. Thomas Aquinas menegaskan bahwa
kebenaran tidak dapat saling bertentangan; kesatuan ajaran adalah tanda
kesetiaan pada kebenaran itu sendiri. Seribu tafsiran atas ayat yang sama tidak
mungkin semuanya benar; sebagian mungkin parsial, banyak yang salah arah. Tanpa
pusat otoritatif, Kitab Suci berubah menjadi arena perebutan, dan Kekristenan
menjadi pasar ide yang bising. Tak heran jika pemikir seperti Leithart menyerukan
visi “Gereja Katolik yang Direformasi” dan penulis Protestan seperti Youvan
menggambarkan perpecahan sebagai krisis spiritual.
Bagi apologetika, inti persoalannya bukan pada
membaca Kitab Suci, melainkan pada penolakan untuk membacanya bersama Gereja.
Orang Kristen perdana tidak membayangkan penghakiman pribadi sebagai wasit
terakhir; mereka bermusyawarah dalam konsili, berpegang pada kredo, yakin bahwa
Roh Kudus bekerja dalam keseluruhan tubuh Gereja. Sebaliknya, Protestanisme
sering mengubah suara Roh menjadi gema kesadaran pribadi, rawan disamakan
dengan pendapat sendiri. Dari sinilah lahir rantai panjang denominasi dan, pada
akhirnya, absurditas “kebenaran” yang saling bersaing.
VI. Menuju Apologia Katolik
Fragmen-fragmen yang telah dibahas dalam ranah
sejarah, teologi, sosiologi, dan filsafat bermuara pada satu kesimpulan yang
tak dapat dielakkan: iman yang terpecah belah tidak mampu menanggung bobot
kebenaran. Bagi apologetika Katolik, fragmentasi Protestan bukan sekadar
fenomena sosial yang menarik untuk dicatat, tetapi sebuah persoalan
eksistensial. Kristus sendiri berdoa, “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh.
17:21), dan kesatuan bukanlah aksesori yang dapat dipilih sesuka hati; ia
merupakan unsur konstitutif dari identitas Gereja. Mengklaim bahwa perpecahan
sejalan dengan kepenuhan Injil berarti mereduksi kesatuan menjadi retorika
kosong.
Posisi Katolik berpijak pada tiga pilar utama.
Pertama, otoritas itu mutlak diperlukan. Kitab Suci tidak lahir dalam ruang
hampa; ia muncul dari rahim Gereja. Alkitab tidak jatuh dari langit dalam
bentuk terikat dan terkanonisasi; ia dipelihara, diinterpretasi, dan
dikanonisasi oleh komunitas iman. Karena itu, penafsiran yang benar
mensyaratkan kesinambungan dengan tubuh yang melestarikan dan
mengartikulasikannya. Tanpa kesinambungan ini, interpretasi menjadi pintu putar
yang tak pernah berhenti, dan banyaknya pengakuan iman bukan tanda vitalitas
melainkan gejala ketidakstabilan.
Kedua, persatuan tidak berarti menghapus
keragaman, melainkan menatanya. Gereja Katolik hidup dalam pluralitas: ritus
Latin dan Timur, liturgi Bizantium, Maronit, Syro-Malabar, dan lainnya; ordo
religius dengan spiritualitas yang beragam, dari Agustinian, Fransiskan, hingga
Yesuit. Namun semua ini berakar pada satu pengakuan iman, satu kehidupan
sakramental, dan satu magisterium. Perbedaan tidak diubah menjadi perpecahan
karena ada pusat yang menyatukan. Protestantisme sering mengaburkan batas
antara perbedaan dan perpecahan, sedangkan Katolik menegaskan bahwa hanya
otoritas yang berlabuh pada suksesi apostolik yang dapat memelihara harmoni
dalam keragaman.
Ketiga, kebenaran dijaga melalui kontinuitas.
Konsili-konsili dan paus tidak menciptakan doktrin baru; mereka menjaga,
merumuskan, dan mengartikulasikan simpanan iman yang telah ada. Tuduhan
Protestan bahwa Gereja Katolik “menambahkan” dogma seperti Maria Tak Bernoda
atau infalibilitas paus mengabaikan klaim yang lebih mendasar: bahwa definisi
itu adalah pengungkapan eksplisit dari keyakinan yang telah dipegang secara
implisit. Sebaliknya, penolakan Protestanisme terhadap otoritas akhir membuat
setiap generasi harus membangun kembali teologinya sendiri, sering kali dengan
hasil yang kontradiktif terhadap generasi sebelumnya.
Di sinilah kritik terhadap tokoh-tokoh
kontemporer seperti Decky Nggadas menemukan sasarannya. Mereka menuduh dogma
Katolik sebagai “buatan manusia,” namun membela tafsiran pribadi dengan
keyakinan setara paus. Mereka mencela magisterium sebagai otoriter, tetapi
menjadi otoritas tunggal di mimbar, blog, dan kanal YouTube mereka sendiri.
Akibatnya, lahirlah siklus protes tanpa ujung, di mana setiap reformator
berubah menjadi figur yang kelak akan ditentang oleh pengikutnya sendiri.
Seorang apologis Katolik tidak bersukacita atas
perpecahan ini; ia melihatnya sebagai luka pada tubuh Kristus. Ekumenisme bagi
Gereja Katolik bukan kompromi, melainkan undangan—undangan untuk kembali pada
kepenuhan persekutuan. Leithart dengan jujur menyebut bahwa masa depan mungkin
menuntut “kematian” bagi kesombongan denominasi. Gereja Katolik menawarkan
sesuatu yang lebih tua sekaligus lebih rendah hati: bukan kematian, tetapi
pulang. Fragmen-fragmen dapat disatukan kembali, tetapi hanya di sekitar pusat
yang tidak berubah, yang telah bertahan dari setiap pergantian zaman.
VII. Kesimpulan: Pusat Tidak
Dapat Bertahan Tanpa Pusat
Kesimpulannya, seluruh analisis—sejarah,
teologi, sosiologi, dan filsafat—mengarah pada satu kenyataan tak terbantahkan:
ketika prinsip otoritas dilepaskan, simpul persatuan terurai. Protestantisme
lahir dari protes; bahkan namanya memuat jejak perpecahan. Dari Wittenberg
hingga Westminster, Kitab Suci diagungkan, tetapi tanpa kerangka penafsiran
bersama, ia menjadi ribuan terompet yang memainkan nada yang berbeda. Kajian
akademis memperkuat hal ini: fragmentasi teritorial yang memungkinkan
pertumbuhan (GrzymaĆa-Busse), keletihan teologis yang merindukan persatuan
(Leithart), pluralisme budaya yang menegangkan kohesi (de Muynck), dan bahkan
suara-suara rohani yang mengakui perpecahan sebagai luka (Youvan).
Bagi iman Katolik, ini bukan sekadar romantisme
terhadap tatanan abad pertengahan yang hilang. Ini adalah pengakuan logis bahwa
kebenaran, agar tetap kebenaran, haruslah tunggal dan koheren. Persatuan bukan
tirani, melainkan prasyarat persekutuan. Klaim Gereja sederhana sekaligus
radikal: Kristus tidak meninggalkan kawanan-Nya untuk tercerai-berai; Ia
meninggalkan seorang gembala dan kandang yang terlihat. Di dalam lipatan ini,
ritus, bahasa, dan karisma memiliki ruang, namun semuanya dikepang dalam kesatuan,
bukan dibiarkan tercerai.
Kritikus seperti Decky Nggadas dengan gamblang
memperlihatkan paradoks ini. Mereka menolak kepausan, tetapi berbicara dari
mimbar yang menjadikan mereka paus bagi komunitas mereka sendiri; mereka
mengecam “dogma buatan manusia,” namun mengikat pengikut pada tafsir pribadi.
Ironinya tajam: protes yang akhirnya memahkotai diri sendiri. Inilah absurditas
yang harus ditunjukkan apologet Katolik dengan kesabaran dan ketegasan—bukan
untuk sekadar memenangkan perdebatan, tetapi untuk menunjuk pada koherensi yang
lebih dalam.
Maka tugas yang tersisa bukanlah kemenangan
retoris, melainkan panggilan pastoral. Ekumenisme, bagi Gereja, bukan ilusi
melainkan jawaban: dialog yang tidak mencairkan iman, persatuan yang tidak
menyeragamkan. Fragmen-fragmen dapat dikumpulkan kembali, tetapi hanya jika ada
meja yang memanggil semua untuk duduk bersama. Gereja Katolik, dengan segala
lukanya dan para kudusnya, menempatkan dirinya sebagai meja itu. Apakah dunia
akan mempercayai klaim tersebut adalah soal lain; tetapi bahwa Gereja harus berusaha
dan menghidupinya, itu adalah keharusan.
Akhirnya, pertanyaannya bukan apakah
Protestantisme telah menghasilkan buah, tetapi apakah kebunnya dapat bertahan
ketika setiap pohon menumbuhkan akar yang berbeda. Jawabannya, seperti yang
ditunjukkan di sini, tegas: tanpa pusat, fragmen akan tetap menjadi fragmen.
