Pendahuluan
Reformasi
Protestan tidak hanya melahirkan perpecahan dalam tubuh Gereja, tetapi juga
membongkar tatanan disiplin hidup rohani yang selama berabad-abad dipelihara
dalam Gereja Katolik. Salah satu titik serangan terkeras adalah soal selibat
imamat. Augsburg Confession—dokumen pengakuan iman utama Lutheran
yang ditulis tahun 1530—dalam pasal XXIII secara terbuka menolak kewajiban
selibat bagi imam. Selibat digambarkan sebagai beban yang tidak realistis,
sumber skandal moral, bahkan dipandang bertentangan dengan martabat manusia
yang diciptakan untuk hidup berkeluarga. Narasi ini kemudian menular ke hampir
semua tradisi Protestan lain, sehingga terbentuklah mitos anti-selibat:
seakan-akan selibat adalah ciptaan Gereja Katolik yang tidak memiliki dasar
Kitab Suci.
Padahal,
Kitab Suci justru menyingkapkan sebaliknya. Surat pertama Rasul Paulus kepada
jemaat di Korintus, khususnya pasal 7, menegaskan nilai luhur selibat. Paulus
bukan hanya hidup selibat, tetapi juga menyatakan bahwa hidup tidak menikah
memungkinkan seorang murid Kristus untuk membaktikan diri secara tak terbagi
kepada Tuhan. Ia bahkan berani menyebut bahwa orang yang menikahkan perawan
“berbuat baik,” tetapi yang tidak menikahkan “berbuat lebih baik” (1 Kor 7:38).
Dengan kata lain, Kitab Suci yang sama yang diklaim oleh Protestan sebagai
satu-satunya sumber iman justru berdiri tegak membela tradisi Katolik tentang
selibat.
Dari
sinilah paradoks besar muncul: Protestan berteriak “Sola Scriptura!” tetapi
menolak disiplin selibat yang secara eksplisit berakar dalam ajaran Rasul
Paulus dan teladan Kristus sendiri yang hidup tanpa menikah. Augsburg
Confession menyerang selibat bukan karena argumen biblis yang kuat,
melainkan karena alasan politis dan praktis: meredam skandal moral di kalangan
imam yang jatuh dalam kelemahan. Alih-alih memperbaiki formasi rohani dan
moral, mereka memilih jalan pintas—membuka pintu perkawinan bagi rohaniwan—seraya
menuduh Gereja Katolik menentang Kitab Suci.
Apologi
ini bertujuan untuk membongkar mitos tersebut. Dengan menempatkan Augsburg
Confession berhadapan langsung dengan 1 Korintus 7, akan tampak bahwa penolakan
Protestan terhadap selibat hanyalah konstruksi historis yang lemah, bukan
argumentasi Kitab Suci yang sahih. Lebih jauh lagi, kita akan melihat bagaimana
Gereja Katolik bukan hanya setia pada Injil, tetapi juga mampu menata disiplin
hidup imamat yang menjadi saksi profetis bagi dunia: bahwa ada cinta yang
melampaui ikatan biologis dan ada kebebasan yang lahir dari penyerahan diri
total kepada Allah.
II.
Augsburg Confession Art. XXIII: Latar Historis dan Isi
Pasal
XXIII Augsburg Confession menjadi saksi bagaimana Reformasi sejak awal
menaruh dendam terhadap tradisi selibat. Dokumen yang diajukan oleh para
pangeran Lutheran kepada Kaisar Karl V ini menolak kewajiban selibat bagi imam
dengan dalih bahwa “tidak ada kuasa manusia yang boleh melarang perkawinan,
sebab perkawinan adalah lembaga Allah sejak penciptaan.” Di sana mereka
menuding bahwa hukum selibat Gereja Katolik telah melahirkan pelacuran,
perzinahan, dan kemerosotan moral. Dengan kata lain, Augsburg tidak sekadar
mengkritik penyalahgunaan, tetapi langsung menolak prinsip selibat itu sendiri.
Argumen
Augsburg bersandar pada dua pilar: pertama, bahwa manusia diciptakan untuk
menikah; kedua, bahwa larangan menikah bagi imam telah melawan kodrat.
Perhatikan, ini bukanlah penalaran eksegetis yang jujur terhadap Kitab Suci,
melainkan retorika politis yang dihembuskan untuk membenarkan revolusi melawan
Roma. Reformasi membutuhkan legitimasi moral untuk menjawab tuduhan perpecahan
Gereja, maka dipilihlah isu selibat sebagai kambing hitam. Alih-alih
memperbaiki formasi imam yang jatuh dalam dosa, mereka menyalahkan selibat itu
sendiri.
Lebih
jauh, kita tidak boleh menutup mata terhadap motif praktis di balik penolakan
ini. Banyak imam dan biarawan yang ikut arus Reformasi sudah lebih dahulu
melanggar kaul selibat. Martin Luther sendiri keluar dari imamat, menikahi
mantan biarawati Katharina von Bora, dan menjadikan perkawinannya simbol
pembebasan dari “belenggu Roma.” Augsburg Confession, karenanya, hanyalah
kodifikasi politik dari fakta moral: para imam yang telah meninggalkan selibat
butuh pembenaran teologis, bukan pertobatan.
Di
sinilah kepalsuan logika Protestan terlihat gamblang. Mereka mengklaim menolak
selibat karena “tidak sesuai Kitab Suci,” padahal alasan utama adalah kegagalan
moral dan kebutuhan praktis. Augsburg menyamakan “abuse” dengan “essence.”
Karena ada imam jatuh dalam dosa, maka seluruh disiplin selibat dinyatakan
rusak. Logika ini cacat, sama seperti menyalahkan perkawinan hanya karena ada
suami-istri yang berzina.
Lebih
parah lagi, Augsburg mengabaikan fakta bahwa selibat telah mengakar sejak
Gereja purba. Para bapa Gereja menegaskan virginitas sebagai kesaksian
profetis. Konsili-konsili lokal sejak abad ke-4 sudah membicarakan kewajiban
imam untuk hidup dalam kesucian sempurna. Maka, klaim Augsburg bahwa selibat
adalah “penemuan Roma abad pertengahan” adalah mitos belaka, lahir dari
kebutaan historis atau, lebih jujurnya, dari niat politis untuk memutuskan diri
dari Tradisi.
Dengan
demikian, pasal XXIII bukanlah sabda Kitab Suci, melainkan manifestasi
frustrasi moral dan politik. Ia menolak selibat bukan karena menemukan
kebenaran Alkitab, tetapi karena menolak pertobatan. Augsburg memilih jalan
mudah: alih-alih memanggil imam untuk kembali setia pada kaul, mereka
melegalkan pelanggaran. Inilah saat pertama kali dalam sejarah kekristenan,
disiplin suci yang bersumber pada Injil justru dijatuhkan oleh mereka yang
mengaku “reformator.”
III.
Pembacaan Paulus dalam 1 Korintus 7
Jika
Augsburg Confession pasal XXIII menuduh selibat sebagai pelanggaran kodrat
manusia, Rasul Paulus justru dengan terang benderang menegaskannya sebagai
panggilan istimewa yang berakar pada Injil. Pasal 7 dalam surat pertama kepada
jemaat Korintus menjadi teks kunci yang membongkar kebohongan Reformasi: Kitab
Suci yang mereka klaim sebagai dasar iman justru menyatakan hal yang bertolak
belakang dengan klaim mereka.
1.
Paulus dan Karunia Selibat
Dalam
1 Korintus 7:7, Paulus berkata: “Aku ingin, supaya semua orang seperti aku;
tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang
karunia ini, yang lain karunia itu.” Paulus sendiri hidup selibat, dan
menyebut keadaannya itu bukan sekadar kebetulan, melainkan karunia ilahi.
Karunia—charisma dalam bahasa Yunani—bukan sekadar pilihan manusiawi,
tetapi anugerah Roh Kudus yang mengangkat seseorang untuk hidup dalam totalitas
penyerahan. Dari sini jelas, selibat bukan penolakan terhadap perkawinan,
melainkan jalan alternatif yang sah, dianugerahkan langsung oleh Allah.
Jika
Reformasi menganggap selibat sebagai “beban tidak manusiawi,” maka Paulus
menyebutnya justru sebagai karunia istimewa. Dengan kata lain, Augsburg
Confession tidak sekadar menolak disiplin Katolik, melainkan secara halus juga
menolak ajaran Rasul Paulus.
2.
“Tak Terbagi Hati” demi Tuhan
Pernyataan
Paulus semakin tajam dalam 1 Korintus 7:32–35: “Orang yang tidak kawin
memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana menyenangkan Tuhan.
Tetapi orang yang kawin memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana
menyenangkan istrinya, lalu hatinya terbagi.”
Ini
adalah argumen pastoral yang jelas: selibat memampukan seseorang untuk hidup
secara tak terbagi bagi pelayanan Injil. Paulus tidak sedang merendahkan
perkawinan—ia menyebut perkawinan baik dan kudus—tetapi ia menegaskan bahwa
selibat memiliki nilai lebih tinggi dalam hal pelayanan yang total. Di sini
letak signifikansi disiplin selibat imamat Katolik: bukan untuk menolak
perkawinan, melainkan untuk menjamin bahwa imam dapat membaktikan dirinya
sepenuhnya kepada Kristus dan Gereja-Nya.
Augsburg
menuduh selibat menyebabkan “skandal moral.” Paulus justru mengatakan selibat
membuka ruang kebebasan rohani yang lebih besar. Jika logika Reformasi benar,
maka Paulus mestinya dianggap “skandal berjalan” hanya karena ia hidup tidak
menikah. Ironi yang memalukan: para pengaku Sola Scriptura justru
menolak ajaran eksplisit Kitab Suci.
3.
Lebih Baik: Membandingkan Selibat dan Perkawinan
Ayat
38 menyimpulkan pandangan Paulus: “Jadi orang yang menikahkan gadisnya
berbuat baik, tetapi orang yang tidak menikahkannya berbuat lebih baik.”
Perhatikan: perkawinan disebut baik, tetapi selibat disebut lebih baik. Kata
“lebih baik” di sini bukan berarti menghapus martabat perkawinan, melainkan
menegaskan adanya tingkatan nilai: perkawinan adalah jalan menuju kekudusan,
selibat adalah tanda profetis Kerajaan Surga yang akan datang.
Augsburg
Confession menghapus perbedaan itu dengan retorika “kodrat manusia.” Tetapi
Paulus dengan berani menempatkan selibat sebagai jalan keutamaan. Dengan
demikian, Protestan yang menolak selibat imamat tidak hanya melawan tradisi
Katolik, tetapi juga menyangkal hirarki nilai yang digariskan dalam Kitab Suci
sendiri.
4. Serangan Balik terhadap Mitos
Reformasi
Dari pasal 7 ini jelas bahwa mitos
Protestan runtuh:
- Jika selibat dianggap mustahil,
     maka Paulus mestinya tidak layak disebut rasul teladan.
- Jika selibat dianggap menentang
     kodrat, maka Yesus sendiri dituduh melawan kodrat, karena Ia hidup tidak
     menikah.
- Jika perkawinan wajib bagi imam,
     maka logika itu sama saja dengan menolak kesaksian Injil bahwa ada orang
     yang dipanggil untuk hidup “demi Kerajaan Surga” (Mat 19:12).
Reformasi mencoba menyelamatkan muka
dengan mengatakan bahwa Paulus hanya berbicara “situasional.” Namun teks jelas
menyingkapkan prinsip rohani universal: selibat adalah karunia yang dimaksudkan
untuk membebaskan hati dari keterikatan duniawi. Menolak prinsip ini berarti
mereduksi Kitab Suci menjadi pragmatisme sosial belaka.
IV.
Mitos Protestan: “Suami dari Satu Istri” (1 Timotius 3:2)
Salah
satu ayat favorit Protestan untuk meruntuhkan selibat imamat adalah 1 Timotius
3:2: “Karena itu penilik jemaat haruslah seorang suami dari satu istri,
dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar.”
Dari ayat ini mereka membangun mitos bahwa Paulus “mewajibkan” seorang gembala
jemaat untuk menikah. Logika mereka sederhana—dan justru karena itu rapuh: jika
seorang penilik jemaat adalah “suami dari satu istri,” maka syarat imamat
adalah menikah. Inilah bacaan literalistis yang sering dijadikan alasan
Reformasi menolak selibat.
1.
Koreksi Teksual: Maksud Paulus Sesungguhnya
Pertama-tama,
pembacaan semacam ini buta konteks. Paulus sama sekali tidak sedang menetapkan
kewajiban menikah. Frasa “suami dari satu istri” dalam bahasa Yunani mias
gunaikos andra berarti “seorang laki-laki yang setia pada satu perempuan.” Pesan
utamanya bukan “harus menikah,” melainkan larangan poligami dan perceraian.
Paulus ingin memastikan bahwa seorang penilik jemaat tidak ternoda oleh
kebiasaan dunia Yunani-Romawi yang mempraktikkan poligami, perzinahan, atau
pergantian pasangan. Dengan kata lain, syarat itu adalah seruan moral, bukan
instruksi wajib menikah.
Kalau
ayat itu dibaca literal, konsekuensinya konyol: Yesus sendiri tidak layak jadi
Gembala Agung, Paulus sendiri tidak memenuhi syarat, Yohanes Rasul gagal sejak
awal. Apakah kita berani menyatakan Kristus dan para rasul tidak sah karena
mereka tidak menikah? Jika ya, maka seluruh iman Kristen runtuh. Tetapi jika
tidak, maka jelas bacaan Protestan atas 1 Timotius 3:2 adalah karikatur yang
tidak serius.
2.
Kesaksian Tradisi Purba
Bapa-bapa
Gereja sejak awal menafsir ayat ini sebagai tuntutan kesucian hidup perkawinan,
bukan kewajiban menikah. Santo Klemens dari Aleksandria menegaskan bahwa ayat
ini mengatur moralitas, bukan status sipil. Santo Hieronimus lebih keras lagi:
jika ayat ini mewajibkan menikah, maka para rahib, biarawan, dan perawan yang
dipuji Gereja purba akan otomatis dicap tidak sah. Agustinus bahkan
menambahkan: ayat ini meneguhkan kesetiaan dalam perkawinan, namun tidak
membatalkan superioritas virginitas sebagai tanda eskatologis. Tradisi
konsisten: teks ini tidak pernah dipahami sebagai “mandat kawin.”
3.
Inkonsistensi Logika Protestan
Mari
kita uji logika Protestan dengan standar mereka sendiri. Jika “suami dari satu
istri” wajib literal, maka:
- Seorang duda yang menikah lagi otomatis tidak boleh menjadi gembala
     jemaat. Tetapi realitas Protestan hari ini penuh dengan pendeta duda yang
     menikah kembali dan tetap melayani.
- Frasa “cakap mengajar” juga muncul dalam ayat yang sama. Apakah
     semua pendeta Protestan benar-benar “cakap mengajar”? Jika syarat itu
     dilanggar, mengapa tidak ada yang protes? Mengapa yang dipaksakan hanya soal menikah?
Inkonsistensi ini membongkar standar
ganda Reformasi: mereka membaca Kitab Suci secara literal hanya ketika
menguntungkan agenda mereka, tetapi mengabaikan konsistensinya ketika ayat yang
sama menyingkap kelemahan mereka sendiri.
4.
Serangan Balik: Paulus Meneguhkan, Bukan Menolak
Bahkan
jika kita menerima tafsiran Protestan secara literal, ayat ini tetap tidak
meniadakan selibat. Paulus sedang menata struktur jemaat awal, bukan menutup
pintu bagi panggilan khusus. 1 Korintus 7 sudah jelas menyatakan keunggulan
hidup selibat. Maka 1 Timotius 3 harus dibaca dalam terang prinsip itu: bagi
mereka yang menikah, setialah pada satu pasangan; tetapi bagi yang dipanggil
selibat, hiduplah tak terbagi bagi Tuhan. Augsburg Confession gagal melihat
harmoni ini, karena mereka lebih sibuk mencari pembenaran untuk melanggar kaul
daripada menafsirkan Kitab Suci secara utuh.
V.
Tradisi Gereja: Selibat Sebagai Kesaksian Eskatologis
Jika
Augsburg Confession hanya berputar-putar pada tuduhan pragmatis—bahwa selibat
“mustahil” dan “berbahaya”—Tradisi Gereja justru membaca selibat sebagai tanda
profetis, sebuah kesaksian eskatologis yang mengarahkan mata manusia pada dunia
yang akan datang. Di sini terlihat perbedaan kontras: Reformasi hanya berhenti
pada kodrat biologis, sedangkan Gereja Katolik mengangkat kodrat itu ke dalam
horizon ilahi.
1.
Yesus Sendiri: Model Selibat Demi Kerajaan
Segala
diskusi tentang selibat tidak bisa dilepaskan dari teladan Yesus sendiri. Ia
hidup tanpa menikah, bukan karena “tidak sempat,” melainkan karena seluruh
keberadaan-Nya adalah persembahan total kepada Bapa dan kepada Gereja sebagai
mempelai-Nya. Dalam Matius 19:12, Yesus menegaskan adanya orang yang “membiarkan
dirinya tidak kawin demi Kerajaan Surga”. Ia tidak menutup mata terhadap
kesulitan selibat, tetapi mengakuinya sebagai panggilan khusus bagi mereka yang
mampu menerimanya. Dengan kata lain, Yesus menubuatkan bahwa dalam tubuh Gereja
akan selalu ada murid-murid yang dipanggil untuk menjadi tanda hidup dunia yang
akan datang—di mana “orang tidak kawin dan tidak dikawinkan, melainkan hidup
seperti malaikat di surga” (Mat 22:30).
Augsburg
menolak selibat dengan alasan “melawan kodrat.” Tetapi siapa yang lebih
berotoritas tentang kodrat manusia daripada Dia yang menciptakannya? Jika Sang
Pencipta sendiri memilih hidup selibat, maka menolak selibat sama dengan
menolak pola hidup Kristus.
2.
Bapa-Bapa Gereja: Virginitas sebagai Puncak Kesucian
Sejak abad-abad pertama, para bapa
Gereja membela dan memuji hidup selibat sebagai kesaksian akan realitas
eskatologis.
- Santo Hieronimus menulis traktat panjang Adversus
     Jovinianum untuk menegaskan bahwa virginitas lebih unggul daripada
     perkawinan, bukan karena perkawinan rendah, tetapi karena virginitas
     langsung menunjuk pada dunia baru di mana manusia bersatu dengan Allah.
- Santo Agustinus dalam De Virginitate
     menekankan bahwa selibat adalah “cinta yang melampaui cinta biologis,”
     sebuah tanda bahwa Gereja hidup bukan untuk dunia ini semata.
- Santo Yohanes Krisostomus melihat dalam selibat sebuah
     pelayanan total: imam yang tidak menikah bebas dari keterikatan duniawi
     dan bisa menyerahkan seluruh waktunya bagi Injil.
Kesaksian konsisten ini membantah
propaganda Reformasi bahwa selibat hanyalah “penemuan abad pertengahan.”
Nyatanya, sejak abad ke-2 hingga ke-5, selibat sudah dihargai sebagai jalan
istimewa, bahkan sebelum hukum Gereja mengatur secara formal.
3. Konsili dan Disiplin Gereja
Seiring berjalannya waktu, Gereja
menata karunia ini menjadi disiplin. Konsili Elvira (abad ke-4) sudah
menyinggung kewajiban imam untuk hidup murni. Konsili Lateran dan kemudian
Konsili Trente menegaskan selibat bukan sekadar aturan praktis, melainkan ekspresi
dari visi eklesiologis: imam sebagai ikon Kristus Sang Mempelai yang memberikan
diri sepenuhnya kepada Gereja.
Paus Paulus VI dalam ensiklik Sacerdotalis
Caelibatus (1967) menegaskan tiga alasan teologis selibat: Kristologis
(meneladani Yesus), eklesiologis (tanda kasih total pada Gereja), dan
eskatologis (tanda dunia yang akan datang). Dengan demikian, selibat adalah
saksi yang berbicara melampaui pragmatisme sosial; ia adalah “tanda
kontradikasi” di dunia yang menuhankan seksualitas dan biologis.
4. Kontras dengan Reformasi
Sementara Gereja melihat selibat
sebagai signum regni (tanda kerajaan), Reformasi menolaknya karena
dianggap “tidak manusiawi.” Namun, jika logika Reformasi diterima, maka Injil
sendiri kehilangan tanda profetisnya. Gereja yang hanya mengandalkan perkawinan
akan kehilangan saksi hidup bahwa ada panggilan melampaui ikatan duniawi. Tanpa
selibat, Kristus tidak lagi tampak dalam imamat sebagai Mempelai yang total
memberi diri bagi Gereja.
Reformasi gagal melihat keindahan
tanda ini. Mereka memilih jalan instan—pastor menikah demi menghindari
skandal—tetapi menghapus dimensi profetis yang sudah menjadi bagian DNA Gereja
sejak abad-abad awal. Dengan demikian, penolakan Protestan terhadap selibat
bukan hanya salah tafsir, tetapi juga amputasi terhadap warisan iman purba.
VI. Konsekuensi dari Penolakan
Protestan
Ketika Reformasi melalui Augsburg
Confession menolak selibat imamat, mereka tidak hanya menanggalkan sebuah
disiplin Gereja, tetapi juga memicu serangkaian konsekuensi teologis,
eklesiologis, dan moral yang sampai hari ini masih membekas dalam tubuh
komunitas Protestan. Penolakan terhadap selibat demi Kerajaan Surga bukanlah
langkah netral; ia membentuk wajah Gereja yang cacat, kehilangan tanda
profetis, dan terjerat dalam kontradiksi internal.
1. Konsekuensi Teologis: Reduksi
Injil Menjadi Pragmatisme
Dengan menolak selibat, Protestan
mereduksi Injil ke dalam kategori kodrat biologis semata. Perkawinan dijadikan
satu-satunya horizon panggilan rohani, sementara karunia khusus yang diajarkan
Yesus (Mat 19:12) dan Paulus (1Kor 7:32–35) dihapus begitu saja. Injil, yang
semestinya membuka cakrawala baru tentang hidup tak terbagi bagi Allah,
dipotong agar sesuai dengan kebutuhan praktis manusia. Ini menjadikan teologi
Protestan pragmatis: bukan lagi Injil yang mengubah hidup manusia, melainkan
kelemahan manusia yang menurunkan Injil ke level kompromi.
2. Konsekuensi Eklesiologis: Gembala
Jemaat yang Hatinya Terbagi
Imam Katolik selibat menjadi tanda
radikal dari kasih Kristus yang total. Ia bebas dari keterikatan duniawi agar
dapat sepenuhnya menjadi milik Gereja. Ketika Reformasi menghapus selibat,
mereka menciptakan model “pendeta keluarga” yang pada akhirnya terbelah antara
tugas pastoral dan tanggung jawab domestik. Tidak sedikit pendeta yang akhirnya
lebih sibuk mencari nafkah demi keluarganya ketimbang melayani umat.
Akibatnya jelas: pelayanan Gereja
kehilangan daya profetis. Seorang imam Katolik dapat berpindah dari satu
pelosok dunia ke pelosok lain tanpa memikirkan masa depan keluarga duniawinya.
Tetapi pendeta Protestan terikat oleh kontrak rumah tangga: anak-anak harus
sekolah, istri harus ditopang, nafkah harus dijamin. Dengan demikian, Gereja
Protestan kehilangan tanda kebebasan rohani yang dibawa oleh selibat imamat.
3.
Konsekuensi Moral: Ilusi “Menikah = Solusi Skandal”
Reformasi
membenarkan penolakan selibat dengan alasan skandal moral para imam yang jatuh
dalam dosa seksual. Namun sejarah menunjukkan bahwa perkawinan bukanlah obat
mujarab untuk mengatasi kelemahan manusia. Gereja-gereja Protestan sendiri
sarat dengan skandal: pendeta yang berselingkuh, perceraian gembala jemaat,
bahkan kasus pelecehan seksual tetap menghantui. Fakta ini
membongkar mitos Reformasi: menikah tidak otomatis membuat pendeta suci. Yang
dibutuhkan adalah formasi rohani dan askese, bukan dispensasi pragmatis.
Dengan
membuka pintu perkawinan sebagai solusi instan, Reformasi tidak menyembuhkan
penyakit moral, melainkan menutupinya dengan kosmetik sosial. Mereka mengganti
panggilan radikal dengan kompromi kodrati, dan akibatnya justru melahirkan
generasi gembala jemaat yang tak kebal terhadap skandal.
4.
Konsekuensi Profetis: Hilangnya Tanda Dunia yang Akan Datang
Selibat
bukan sekadar aturan praktis, melainkan tanda dunia baru. Dengan menolak
selibat, Protestan menghapus dari tubuh Gereja simbol hidup yang mengingatkan
umat akan Surga. Tanpa selibat, Gereja kehilangan suara yang berkata: “Ada
kehidupan melampaui dunia ini, ada cinta yang lebih besar daripada ikatan
darah.”
Akibatnya,
Gereja Protestan cenderung terjebak dalam imajinasi duniawi: iman direduksi
pada bagaimana membangun keluarga harmonis, mengelola rumah tangga, dan sukses
sosial. Semua itu baik, tetapi jika hanya itu, Gereja kehilangan daya
nubuatnya. Gereja Katolik, dengan mempertahankan selibat imamat, tetap berdiri
sebagai saksi profetis bahwa Kerajaan Allah bukan utopia domestik, melainkan
realitas transenden yang sudah hadir di tengah dunia.
VII.
Dialog Kontemporer dan Inkoherensi Protestan
Reformasi
boleh saja lahir 500 tahun lalu, tetapi buah logikanya masih terasa getir
sampai hari ini. Penolakan Protestan terhadap selibat imamat bukan hanya
kesalahan historis, melainkan sumber inkonsistensi etis yang terus
membayang-bayangi mereka. Ironi paling mencolok adalah bagaimana Protestan
modern di satu sisi mengejek selibat Katolik sebagai “tidak manusiawi,” tetapi
di sisi lain menuntut praktik selibat dalam konteks mereka sendiri.
1.
Purity Culture: Selibat Sebelum Nikah
Gereja-gereja
evangelikal kontemporer di Amerika dan Asia Tenggara gencar mengajarkan purity
culture, yakni tuntutan agar kaum muda menjaga “selibat” sebelum menikah.
Abstinensi pra-nikah dijadikan ukuran kesalehan. Bahkan banyak gereja menuntut
bukti kemurnian seksual sebelum pemberkatan perkawinan. Pertanyaan tajam pun
muncul: jika abstinensi beberapa tahun dianggap kebajikan, mengapa selibat
seumur hidup demi Kerajaan Allah dicemooh? Bagaimana mungkin menahan diri
sampai usia 25 dianggap mulia, tetapi menahan diri demi Injil dianggap gila?
Inilah
inkonsistensi moral Protestan: mereka memuji praktik selibat ketika sesuai
agenda mereka, tetapi menolaknya ketika dipraktikkan oleh Gereja Katolik.
2. Fenomena Side B Christians:
Selibat sebagai Solusi Etis
Dalam beberapa dekade terakhir muncul
fenomena Side B Christians—kaum Protestan dengan orientasi homoseksual
yang memilih hidup selibat karena meyakini praktik homoseksual tidak sesuai
Kitab Suci. Komunitas ini, yang marak di kalangan evangelikal dan Reformed,
justru menjadi saksi bahwa Protestan pun mengakui nilai selibat. Mereka
menegaskan: demi kesetiaan pada Kristus, kami memilih hidup tanpa seks.
Ironinya jelas: Protestan bersedia
memuji selibat ketika terkait isu homoseksualitas, tetapi menolaknya ketika
menyangkut imamat Katolik. Mereka bahkan menggelar konferensi, menulis buku,
dan mengangkat selibat sebagai “solusi etis,” tetapi tetap menuduh Gereja
Katolik kejam karena menuntut selibat bagi imam. Standar ganda seperti ini
tidak lahir dari Kitab Suci, melainkan dari mentalitas polemis anti-Katolik.
3. Selibat Protestan di Balik Layar
Lebih jauh, dalam tradisi monastik
kecil yang masih bertahan di beberapa kalangan Anglikan dan Lutheran, ada juga
biarawan dan biarawati Protestan yang memilih hidup selibat. Tetapi fakta ini
sering disapu ke bawah karpet, karena keberadaannya menggugurkan klaim Augsburg
bahwa selibat adalah “mustahil.” Jika Protestan sendiri mengakui bahwa selibat
bisa dijalani dalam lingkup terbatas, maka tuduhan bahwa selibat Katolik adalah
“melawan kodrat” runtuh dengan sendirinya.
4. Kontradiksi yang Tidak Pernah
Diakui
Di hadapan fakta-fakta ini, terlihat
jelas bahwa problem Protestan bukanlah selibat itu sendiri, melainkan obsesi
untuk menolak setiap tanda khas Katolik. Selibat Katolik ditolak bukan karena
bertentangan dengan Kitab Suci, melainkan karena terlalu Katolik. Ironinya,
mereka justru menyelundupkan selibat ke dalam moralitas internal mereka
sendiri: dalam purity culture, dalam gerakan Side B, dan dalam komunitas
religius minoritas mereka.
Kontradiksi
ini membuktikan bahwa Protestan tidak konsisten. Mereka mencemooh Katolik,
tetapi diam-diam meniru praktik yang sama dalam format yang lebih sempit. Ini
bukanlah teologi yang jujur, melainkan propaganda anti-Katolik berkedok
biblisisme.
VIII.
Klarifikasi Katolik
Setelah
membongkar kebohongan Augsburg dan inkonsistensi Protestan, kini penting untuk
menegaskan posisi Katolik secara jernih. Gereja tidak pernah mengajarkan
selibat sebagai dogma iman yang mutlak, melainkan sebagai disiplin rohani yang
berakar dalam Kitab Suci dan Tradisi. Justru di sinilah keindahan Katolik:
memelihara keseimbangan antara martabat perkawinan dan nilai profetis selibat.
1.
Selibat: Disiplin, Bukan Dogma
Gereja
Katolik mengakui perkawinan sebagai sakramen yang luhur, tanda cinta Kristus
kepada Gereja. Tidak ada oposisi antara perkawinan dan selibat; keduanya adalah
jalan menuju kekudusan. Selibat bukan dogma—yakni kebenaran iman yang wajib
dipercaya oleh semua orang—melainkan disiplin khusus yang diterapkan pada ritus
Latin bagi calon imam. Disiplin ini dapat diubah, tetapi nilainya bukan sekadar
aturan teknis: ia mengekspresikan teologi mendalam tentang imamat sebagai
partisipasi dalam kasih Kristus yang total.
Di
sini Protestan sering menyebarkan karikatur: “Katolik melarang perkawinan.”
Tuduhan itu dusta. Gereja Katolik tidak pernah melarang perkawinan; bahkan
menempatkannya sebagai sakramen yang tidak bisa diceraikan. Yang dituntut
hanyalah bahwa mereka yang dipanggil menjadi imam dalam ritus Latin harus rela
mempersembahkan hidupnya secara selibat. Ini bukan
larangan universal, tetapi panggilan khusus.
2.
Keberagaman Tradisi: Timur dan Barat
Satu
lagi yang sering disembunyikan oleh propaganda Reformasi: dalam Gereja Katolik
sendiri ada variasi. Gereja-gereja Katolik Timur (misalnya Bizantin, Maronit,
Melkit) mengizinkan imam menikah sebelum tahbisan. Namun, para uskup tetap
diwajibkan selibat, dan seorang imam yang sudah menikah tidak boleh menikah
lagi setelah tahbisan. Ini menunjukkan bahwa selibat bukan “penemuan Roma abad
pertengahan,” melainkan tradisi yang hidup sejak zaman apostolik. Bahkan dalam
Gereja Timur, nilai selibat tetap dipandang tinggi dan wajib bagi hierarki
tertinggi.
Fakta
ini menggugurkan mitos Augsburg: jika Katolik benar-benar “melawan kodrat,”
mengapa Gereja Timur yang bersatu dengan Roma tetap menuntut selibat bagi
uskup? Jawabannya jelas: karena selibat adalah bagian integral dari kesaksian
Gereja universal.
3.
Kebebasan Kaul: Bukan Paksaan, tetapi Penyerahan Diri
Protestan
sering menuduh selibat sebagai “pemaksaan tiran Roma.” Tuduhan ini gagal
memahami hakikat kaul. Tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk menjadi imam;
jalan menuju imamat terbuka hanya bagi mereka yang dengan bebas menerima
disiplin selibat. Kaul selibat adalah penyerahan diri sukarela, ekspresi
kebebasan tertinggi: bebas dari keterikatan demi menyerahkan seluruh hidup
kepada Kristus dan Gereja.
Inilah
logika iman Katolik: kebebasan sejati bukan berarti menuruti hawa nafsu,
melainkan mampu mempersembahkan diri tanpa syarat. Maka imam selibat bukanlah
korban tirani, melainkan saksi kebebasan rohani yang paling radikal.
4.
Selibat Sebagai Cermin Kristus
Akhirnya,
selibat imamat dipahami sebagai partisipasi dalam kasih Kristus sendiri.
Kristus adalah Mempelai yang menyerahkan diri seutuhnya kepada Gereja. Imam
selibat, dengan tidak membagi kasihnya pada ikatan keluarga duniawi, menjadi
ikon hidup dari cinta Kristus yang total dan tanpa syarat. Ia bukan
“anti-perkawinan,” melainkan “ikon perkawinan agung” antara Kristus dan Gereja.
Dengan
demikian, selibat tidak bertentangan dengan kodrat manusia, melainkan
mengangkat kodrat itu ke dalam misteri keselamatan. Jika perkawinan adalah
sakramen cinta yang menghasilkan kehidupan baru di bumi, selibat adalah tanda
cinta eskatologis yang menunjuk pada kehidupan baru di surga. Keduanya bukan
lawan, melainkan dua sisi dari rahasia cinta yang sama.
IX.
Simpulan
Apa
yang dikerjakan Augsburg Confession dalam pasal XXIII bukanlah reformasi,
melainkan deformasi: menghapus tradisi apostolik dengan dalih pragmatis. Mereka
menolak selibat bukan karena Kitab Suci, melainkan karena skandal moral yang
tak sanggup mereka tangani. Dengan itu mereka mewariskan kepada umat Protestan
mitos beracun: seakan-akan selibat adalah ciptaan Roma yang melawan kodrat.
Namun,
Kitab Suci justru bersuara sebaliknya. Paulus dalam 1 Korintus 7 menempatkan
selibat sebagai karunia yang membebaskan hati untuk Tuhan. Yesus sendiri hidup
selibat, bahkan mengajarkan bahwa ada orang yang memilih jalan itu demi
Kerajaan Surga. Tradisi Gereja, dari para Bapa hingga Konsili, mengangkat
selibat sebagai tanda eskatologis, ikon cinta Kristus yang total bagi Gereja.
Dengan
menolak selibat, Reformasi kehilangan tanda profetis yang sejak awal menyertai
Gereja. Mereka mencemooh imam Katolik yang selibat, tetapi diam-diam menuntut
abstinensi dalam purity culture, mengakui nilai selibat bagi Side B
Christians, bahkan memelihara komunitas religius kecil yang tetap hidup
dalam kaul. Kontradiksi ini menelanjangi standar ganda mereka.
Gereja
Katolik tetap berdiri dengan sintesis yang utuh: mengangkat perkawinan sebagai
sakramen yang kudus, sekaligus memelihara selibat sebagai kesaksian
eskatologis. Dua jalan ini tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi
dalam misteri cinta Allah.
Maka
jelas: Augsburg vs. 1 Korintus 7 berakhir dengan kemenangan mutlak Kitab
Suci. Selibat bukan mitos Roma, melainkan kebenaran Injil. Protestan boleh
mengulang tuduhan lama, tetapi kebenaran tetap berdiri tegak: selibat adalah
karunia, selibat adalah kesaksian, selibat adalah tanda Kerajaan Allah yang tak
tergoncangkan.
