Pendahuluan:
Perjalanan Sebagai Ikon Iman
Perjalanan
saya dari Kupang menuju Nagekeo lewat Ende awalnya terasa seperti rutinitas
pastoral biasa. Namun, semakin jauh roda kendaraan berputar, semakin saya
sadari bahwa perjalanan ini adalah ikon kecil tentang Gereja Katolik yang hidup
di bumi NTT—sebuah Gereja yang bukan hanya institusi, melainkan denyut nadi
masyarakat. Dari Bandara Ende hingga jalan-jalan Nagekeo, saya melihat Gereja
hadir sebagai rahim iman, sebagai ruang perjumpaan, sekaligus sebagai terang
yang menuntun di tengah kegelapan zaman.
“Kamu adalah garam dunia… Kamu adalah
terang dunia” (Mat 5:13–14). Sabda Yesus itu bukan sekadar hiasan liturgi;
ia benar-benar terasa dalam setiap percakapan, senyum, bahkan luka yang saya
jumpai selama perjalanan ini.
1. Dijemput oleh Pastor, Diantar oleh
Kepala Desa
Ketika saya tiba di Bandara Ende, dijemput
langsung oleh Pastor Paroki Maunori, RM Ino, saya merasa disambut oleh Gereja
sebagai ibu yang setia menunggu anaknya pulang. Kami sempat singgah di Katedral
Ende, sebuah jeda singkat yang sarat makna. Gedung itu berdiri sebagai saksi
sejarah pewartaan iman Katolik di Flores—sebuah iman yang tidak pernah padam
meski badai zaman silih berganti.
Namun yang paling mengena justru cara saya
pulang: diantar oleh Kepala Desa Pautola bersama ibunya yang bekerja sebagai
tenaga kesehatan. Di sini saya melihat wajah lain dari Gereja: bukan hanya imam
di altar, tetapi juga pemimpin masyarakat yang berjuang menjaga kehidupan
sehari-hari. Kepala desa berbicara tentang dinamika sosial-politik, sementara
sang ibu tentang tantangan pelayanan kesehatan di desa. Saya mendengar dan
merasakan, di tanah Flores, Gereja dan masyarakat tidak terpisah. Pastor dan kepala desa, altar dan
rumah adat, misa dan musyawarah desa—semuanya saling mengisi.
Refleksi apologetik di sini
sederhana: Gereja Katolik bukan enclave eksklusif yang bersembunyi di balik
tembok. Ia berjalan bersama umat, sebagaimana ditegaskan Konsili Vatikan II: “Sukacita
dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang… adalah juga
sukacita dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus” (Gaudium et
Spes 1).
2. OMK, Relativisme, dan Luka
Generasi Digital
Mbay Youth Day menampilkan sukacita
orang muda: nyanyian, sorak, dan semangat pelayanan. Namun di balik gegap
gempita itu, saya mendengar kabar yang mengiris hati: seorang anggota OMK yang
selama ini sangat aktif ditemukan meninggal, dengan dugaan bunuh diri.
Saya terdiam. Bagaimana mungkin
seorang muda yang begitu terlibat dalam kegiatan Gereja bisa berakhir dengan
jalan segetir itu? Peristiwa ini memperlihatkan wajah ganda generasi digital:
enerjik dan kreatif, tetapi sekaligus rapuh dan rentan terhadap relativisme,
sekularisme, bahkan nihilisme.
Yohanes Paulus II dalam Christifideles
Laici menulis bahwa orang muda sering kali “menjadi korban disorientasi
yang ditawarkan dunia modern.” Sementara Paus Fransiskus dalam Christus
Vivit (CV 72) menegaskan: “Kaum muda tidak takut akan tuntutan iman;
mereka takut akan hidup tanpa makna.”
Apologetika Katolik hari ini harus
mampu menjawab kegelisahan itu. Bukan sekadar membantah Protestantisme atau
ateisme, melainkan memperlihatkan bahwa iman Katolik adalah jangkar
eksistensial. Bahwa dalam Kristus, hidup manusia bukan kebetulan, melainkan
panggilan menuju keselamatan.
Tragedi OMK ini mengingatkan saya
bahwa Gereja harus lebih dari sekadar penyelenggara acara. Ia harus menjadi
rumah yang memeluk luka, tempat orang muda menemukan makna sejati, bukan
sekadar hiburan rohani.
3. Kompol Cosmas Ria Pay: Luka
Sosial Sebagai Tanda Zaman
Di saat pertemuan OMK berlangsung,
berita lain viral di media: Kompol Cosmas Ria Pay, putra Ngada, seorang
kembar dari Pater Dami Ria Pay yang juga pernah saya kenal di Seminari,
tiba-tiba menjadi sorotan karena kasus hukum dan jabatan.
Nama
Cosmas bukan asing bagi banyak orang di Flores. Ia dikenal sebagai anak daerah,
seorang aparat, seorang saudara. Tetapi kini ia menjadi headline karena
persoalan disiplin institusi. Bagi saya, peristiwa ini lebih dari sekadar isu
personal; ia menyingkap luka sosial masyarakat kita. Martabat manusia begitu
mudah dipertaruhkan di ruang publik yang keras, di mana hukum, politik, dan
gosip bercampur.
Di
sinilah Gereja harus berdiri. Apologetika kita tidak bisa hanya berkutat pada
dogma abstrak; ia harus berbicara tentang martabat manusia. Fratelli Tutti
(FT 11) menegaskan: “Kebenaran tanpa belas kasih menjadi kekerasan; belas
kasih tanpa kebenaran menjadi kompromi murahan.” Kasus Cosmas menjadi
kairos: sebuah panggilan bagi Gereja untuk menjadi saksi kebenaran sekaligus
rumah belas kasih.
Saya
melihat, sebagaimana Gereja menemani keluarga korban bunuh diri dengan
penghiburan, demikian pula Gereja harus berani mendampingi mereka yang terpuruk
dalam stigma publik.
4.
Gereja Katolik di NTT: Garam dan Terang yang Tetap Asin dan Menyala
Dari
pengalaman dijemput pastor hingga diantar kepala desa, dari sorak OMK hingga
kabar duka, dari altar Katedral hingga ruang gosip politik, saya menyadari:
inilah wajah Gereja Katolik di NTT. Sebuah Gereja yang asin dan menyala.
Flores,
khususnya Nagekeo, dikenal karena “rasa Katoliknya” yang kuat. Tetapi rasa ini
bukan sekadar statistik umat atau kemeriahan pesta iman. Rasa ini hadir dalam
kehidupan sehari-hari: dalam kesetiaan imam dan suster, dalam kepedulian
masyarakat, dalam solidaritas menghadapi tragedi, dan dalam keberanian Gereja
berdiri di ruang publik.
Apologetika
kita di Indonesia harus menekankan hal ini: kekuatan Katolik bukan hanya pada
argumen rasional, melainkan pada kesaksian historis dan sosial. Bahwa Gereja
yang satu, kudus, katolik, dan apostolik benar-benar hidup, menyentuh
masyarakat, dan bertahan melampaui ideologi zaman.
Penutup:
Perjalanan Sebagai Doa
Perjalanan
saya ke Nagekeo dan kembali ke Kupang bukan hanya catatan logistik pastoral. Ia
adalah doa panjang yang ditulis dengan roda mobil, tawa OMK, air mata duka, dan
percakapan sederhana dengan kepala desa.
Saya
percaya: Gereja Katolik akan tetap berdiri tegak di bumi NTT dan Indonesia. Ia
akan terus melahirkan, memeluk, dan menuntun. Ia akan tetap menjadi rahim yang
memberi hidup, rumah yang memberi teduh, dan terang yang tak pernah padam.
“Aku
menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20). Sabda ini bukan
janji kosong. Saya merasakannya sendiri di tanah Flores: janji itu hidup di
altar, di jalan desa, di hati umat, dan dalam kisah-kisah getir sekalipun.

