Pendahuluan
Dalam beberapa tahun
terakhir, kita sering mendengar kisah orang Katolik yang berpindah ke
Protestan. Bukan karena mereka tiba-tiba menemukan kebenaran baru yang lebih
meyakinkan, melainkan karena alasan yang sangat praktis: perceraian. Bagi
sebagian orang, Gereja Katolik dianggap terlalu keras, terlalu rumit, bahkan
terlalu lambat ketika berhadapan dengan kasus perkawinan yang retak. Proses
annulment dipandang berbelit-belit, penuh pemeriksaan, dan—yang paling
“menyakitkan”—tidak menjanjikan hasil sesuai harapan. Di titik inilah godaan
muncul: mengapa tidak mencari “jalan pintas” di luar Gereja, di mana perceraian
lebih mudah diterima dan perkawinan ulang bisa diberkati tanpa masalah?
Fenomena ini tentu
menyedihkan, terlebih ketika terjadi di tengah keluarga kita sendiri. Mereka
yang seharusnya menemukan penghiburan dalam sakramen justru merasa terbebani
olehnya. Tetapi di sini kita perlu berhenti sejenak: apakah benar Gereja
terlalu keras? Ataukah sebenarnya Gereja hanya setia pada ajaran Kristus,
sementara manusialah yang enggan menanggung salib kesetiaan?
Tulisan ini hendak
mengajak kita melihat persoalan ini dengan lebih jernih: mulai dari dasar Kitab
Suci, ajaran resmi Gereja, hingga tantangan pastoral yang nyata di lapangan.
Kita juga akan menimbang usulan-usulan praktis, seperti menunda sakramen perkawinan
demi mengurangi angka perceraian, dan mengujinya dalam terang iman Katolik.
Pada akhirnya, kita akan sampai pada satu pertanyaan mendasar: apakah kita
beriman untuk mencari kenyamanan, ataukah untuk setia kepada Kristus yang
menuntut kesetiaan sampai akhir?
Bagian I – Realitas
Fenomenologis
Fenomena orang Katolik
yang berpindah ke Protestan karena masalah perkawinan bukanlah sesuatu yang
bisa kita abaikan. Banyak yang bersaksi bahwa alasan utama konversi bukanlah
doktrin Trinitas, bukan soal devosi Maria, apalagi karena perbedaan pandangan tentang
Ekaristi. Yang paling sering terdengar jauh lebih sederhana: “Di Katolik susah
kalau mau cerai, di Protestan lebih gampang.”
Alasan ini menunjukkan
wajah iman zaman kini: agama sering dipandang sebagai sarana untuk memudahkan
hidup, bukan sebagai jalan untuk menghidupi kebenaran. Gereja Katolik, dengan
proses panjang annulment-nya, memang tidak menyediakan “pintu darurat” instan
bagi pasangan yang retak. Sebaliknya, banyak komunitas Protestan menawarkan
pintu yang lebih lebar: perceraian diakui, perkawinan ulang bisa diterima,
bahkan ada yang menafsir ulang Kitab Suci untuk mendukung fleksibilitas ini.
Dalam kenyataan pastoral,
mereka yang pindah seringkali bukan mencari Injil yang lebih murni, melainkan
melarikan diri dari konsekuensi janji yang pernah mereka ucapkan di hadapan
Allah. Dengan kata lain, konversi ini lebih mencerminkan pilihan praktis ketimbang
keputusan teologis.
Namun, fenomena ini juga
menyingkap kelemahan kita sendiri. Tidak jarang, umat Katolik merasa Gereja
hanya hadir sebagai “hakim” dalam proses perkawinan, bukan sebagai “ibu” yang
mendampingi. Kurangnya pendampingan pranikah, minimnya komunitas yang menopang
keluarga muda, serta budaya kesetiaan yang melemah—semua itu membuat banyak
pasangan merasa sendirian saat badai datang. Di sinilah kita perlu jujur: tidak
semua masalah ada di luar, sebagian juga lahir dari kelalaian pastoral kita.
Fenomena ini dengan jelas
memperlihatkan pertarungan dua arus: arus kesetiaan kepada sabda Kristus versus
arus pencarian kenyamanan yang cepat dan mudah. Pilihan setiap orang akan
menunjukkan di mana ia berdiri.
Bagian II – Dasar
Kitab Suci tentang Kesetiaan
Sakramen perkawinan
bukanlah ciptaan Gereja Katolik atau hasil kompromi budaya, melainkan berdiri
di atas sabda Yesus sendiri. Maka, ketika ada yang menganggap Gereja “terlalu
keras” soal perceraian, sebetulnya yang dianggap terlalu keras itu bukan Gereja,
tetapi Injil Kristus.
1. Perintah Yesus
tentang tak terceraikannya perkawinan
Dalam Injil Matius, Yesus
menegaskan dengan kata-kata yang tidak bisa dinegosiasikan: “Apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6). Orang
Farisi pernah mencoba mencari celah hukum Musa untuk membenarkan perceraian,
tetapi Yesus menutup semua pintu jalan pintas itu. Maka, Gereja tidak punya
wewenang untuk membuka celah yang Kristus sendiri sudah tutup.
2. Perkawinan sebagai
misteri kasih Kristus
St. Paulus dalam surat
kepada jemaat di Efesus menggambarkan perkawinan sebagai misteri besar: “Sebab
itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku
maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Ef 5:31–32). Kesetiaan
suami-istri adalah lambang kesetiaan Kristus yang tidak pernah meninggalkan
Gereja-Nya. Kalau perkawinan dianggap bisa diputus begitu saja, itu berarti
kita sedang mengaburkan kesetiaan Kristus sendiri.
3. Jalan salib dalam
kesetiaan
Yesus juga berkata: “Setiap
orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya
setiap hari, dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Perkawinan Kristen adalah bagian
dari jalan salib ini. Ia bukan sekadar pesta penuh bunga, melainkan panggilan
untuk tetap setia bahkan dalam penderitaan, konflik, dan luka. Justru dalam
kesetiaan itulah rahmat Kristus bekerja, mengubah kelemahan manusia menjadi
kekuatan kasih.
Bagian III – Ajaran
Gereja Katolik
Sejak awal, Gereja Katolik
menempatkan perkawinan bukan hanya sebagai kontrak sosial, tetapi sebagai sakramen—tanda
rahmat Allah yang menyatukan pria dan wanita dalam ikatan yang tak terceraikan.
Karena itu, sikap tegas Gereja terhadap perceraian bukanlah “aturan buatan
Vatikan,” melainkan konsekuensi logis dari iman akan Kristus.
1. Katekismus Gereja Katolik
·                    
KGK 1640: “Ikatan perkawinan
yang sah … tak dapat diputuskan oleh kuasa manusia. Gereja tidak mempunyai
kuasa untuk menyatakan tidak sah ikatan ini, kalau perkawinan itu sudah sah dan
disempurnakan.”
·                    
KGK 1649: mengakui kenyataan bahwa
ada pasangan yang bercerai secara sipil, tetapi tetap menegaskan bahwa ikatan
sakramental tetap ada, dan karenanya mereka tidak bebas untuk menikah lagi.
Ini menunjukkan konsistensi: Gereja sadar akan realitas
manusia yang rapuh, namun tetap tidak bisa meniadakan sabda Kristus.
2. Familiaris Consortio (St. Yohanes Paulus II, 1981)
Dokumen penting ini menyebut keluarga sebagai “jalan Gereja.”
Gereja dipanggil untuk melindungi perkawinan, bukan sekadar dengan aturan,
tetapi juga dengan pendampingan. Yohanes Paulus II menekankan pentingnya
persiapan perkawinan yang serius, dukungan komunitas, dan pastoral bagi
keluarga yang retak. Dengan kata lain, Gereja tidak hanya berkata “tidak boleh
cerai,” tetapi juga menawarkan jalan konkret untuk membantu pasangan tetap
setia.
3. Amoris Laetitia (Paus Fransiskus, 2016)
Paus Fransiskus membawa nuansa belas kasih ke dalam diskusi
ini. Ia mengakui bahwa banyak pasangan hidup dalam situasi sulit, dan Gereja
dipanggil untuk hadir bukan sebagai hakim yang menghakimi dari jauh, melainkan
sebagai ibu yang mendampingi dengan sabar. Namun, belas kasih ini bukan
relativisme: sakramen tetap tidak bisa ditawar, meski pendekatan pastoral bisa
lebih lembut dan penuh pengertian.
4. Perbedaan dengan Protestan
Di sinilah garis demarkasi jelas terlihat. Banyak komunitas
Protestan menerima perceraian bahkan perkawinan ulang sebagai hal yang wajar,
dengan dasar tafsiran tertentu atas Kitab Suci. Gereja Katolik, sebaliknya,
memilih tetap teguh sekalipun tampak keras, karena yang dipertaruhkan bukan
sekadar kenyamanan umat, melainkan kesetiaan pada Injil Kristus.
Dengan demikian, posisi Gereja Katolik tidak bisa dipahami
sekadar sebagai “aturan keras.” Ia adalah wujud kesetiaan pada Kristus, yang
telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen, tanda kasih abadi antara Dia dan
Gereja-Nya.
Bagian IV – Tantangan Pastoral
Kalau Kitab Suci dan ajaran Gereja sudah begitu jelas, mengapa
masih banyak orang Katolik merasa Gereja terlalu “rumit” dalam soal perkawinan?
Jawabannya ada pada ranah pastoral: bagaimana ajaran itu dihidupi, diterapkan,
dan didampingi di lapangan.
1. Proses Annulment yang Dirasakan Sulit
Banyak orang mengeluh bahwa proses pembatalan perkawinan
(annulment) di Gereja sangat panjang, melibatkan banyak saksi, dokumen, dan
pemeriksaan. Seringkali orang merasa diperlakukan seperti terdakwa di
pengadilan. Padahal, tujuan dari annulment bukanlah menyulitkan, melainkan memastikan
kebenaran: apakah sebuah perkawinan sejak awal memang sah secara
sakramental atau tidak. Jika benar-benar sah, Gereja tidak punya kuasa untuk
membatalkannya; kalau sejak awal cacat, barulah bisa dinyatakan tidak sah.
Jadi, yang dipertaruhkan bukan sekadar “administrasi,” melainkan kebenaran
sakramen.
2. Bahaya Menunda Sakramen
Ada yang mengusulkan agar sakramen perkawinan diberikan
setelah beberapa tahun menikah secara sipil, seperti pola sakramen krisma yang
datang setelah baptisan. Sekilas terdengar praktis, tapi sebenarnya berbahaya.
Sebab sakramen bukan “hadiah kelulusan” setelah masa percobaan, melainkan
rahmat yang menopang pasangan justru di tahun-tahun awal ketika mereka paling
rentan. Menunda sakramen berarti membiarkan pasangan berjalan tanpa rahmat
Kristus di titik yang paling rawan godaan.
3. Kurangnya Pendampingan Pranikah
Seringkali kursus pranikah hanya formalitas beberapa pertemuan
singkat. Padahal, sakramen perkawinan menuntut pemahaman mendalam tentang iman,
komitmen, dan kesiapan untuk berkorban. Tanpa pembekalan serius, pasangan muda
masuk ke sakramen dengan bekal rapuh, sehingga mudah goyah ketika badai datang.
4. Minimnya Komunitas Penopang
Banyak pasangan merasa sendirian dalam menghadapi masalah.
Setelah pesta perkawinan selesai, komunitas jarang hadir untuk mendampingi. Di
sinilah Gereja perlu memperkuat lingkungan, komunitas basis, dan
gerakan keluarga, supaya perkawinan bukan hanya tanggung jawab dua orang,
tetapi dijaga oleh seluruh tubuh Kristus.
Dengan demikian, kesulitan pastoral ini bukan alasan untuk
mengubah hakikat sakramen, melainkan panggilan bagi Gereja untuk memperbaiki
cara mendampingi umat. Tantangannya jelas: bagaimana agar kebenaran Injil tetap
terjaga, tetapi umat juga merasakan kehangatan Gereja sebagai ibu, bukan hanya
kekakuan lembaga sebagai hakim.
Bagian V – Apologetik terhadap “Jalan Pintas”
Fenomena orang Katolik pindah ke Protestan karena perceraian
sering dibungkus dengan kalimat manis: “Di sana lebih fleksibel,” atau “lebih
sesuai dengan realitas manusia.” Namun bila dibedah lebih dalam, alasan itu
sejatinya hanyalah jalan pintas untuk lari dari salib kesetiaan.
1. Lari dari Salib, Bukan Menuju Injil
Yesus sendiri sudah memperingatkan bahwa mengikuti Dia berarti
memikul salib (Luk 9:23). Sakramen perkawinan adalah salah satu salib itu:
janji seumur hidup yang tidak bisa ditarik kembali. Mereka yang berpaling ke
Protestan bukan sedang mencari Injil yang lebih murni, tetapi sedang mencari
Injil versi ringan—tanpa salib, tanpa tuntutan setia. Itu bukan kekristenan,
melainkan kompromi.
2. Protestan dan Standar yang Diturunkan
Banyak komunitas Protestan menerima perceraian dan perkawinan
ulang sebagai hal wajar. Tetapi di titik ini jelas terlihat: mereka menurunkan
standar Injil demi kenyamanan manusia. Jika Gereja Katolik dituduh “terlalu
keras,” maka sejujurnya Protestanlah yang “terlalu lunak.” Bedanya jelas: yang
satu setia pada sabda Kristus, yang lain mengalah pada tuntutan dunia.
3. Fleksibilitas vs Relativisme
Sering muncul usulan agar Katolik lebih “fleksibel.” Tetapi
fleksibilitas yang merelatifkan sabda Tuhan hanyalah bentuk lain dari
relativisme. Gereja boleh kreatif dalam cara mendampingi, boleh penuh belas
kasih dalam pendekatan pastoral, tetapi tidak pernah boleh mengkhianati Injil
dengan membuka pintu perceraian. Belas kasih tidak pernah berarti membenarkan
kesalahan; belas kasih sejati justru menolong manusia untuk setia dalam
kelemahannya.
4. Argumen Praktis Bukan Argumen Teologis
Mereka yang konversi karena perceraian sebenarnya tidak sedang
membuat keputusan teologis. Mereka tidak pindah karena meyakini sola scriptura
atau sola fide lebih benar. Mereka pindah karena praktis: ingin bebas menikah
lagi. Ini bukanlah konversi iman, melainkan sekadar manuver sosial. Dan siapa
pun yang memilih agama karena alasan praktis, cepat atau lambat akan kecewa
lagi, sebab iman yang sejati tidak pernah lahir dari kenyamanan, melainkan dari
kebenaran.
Dengan demikian, alasan konversi karena perceraian
sesungguhnya membongkar logika jalan pintas: bukan mencari kebenaran Kristus,
melainkan menghindari tuntutan Kristus. Maka jawaban apologetik Katolik harus
jelas: yang keras itu bukan Gereja, tetapi Injil sendiri. Gereja hanya setia
menjaga sabda yang tidak bisa dinegosiasikan.
Bagian VI – Jalan Solusi
Menanggapi fenomena orang Katolik yang pindah ke Protestan
karena alasan perceraian, Gereja tidak cukup hanya berkata “jangan.” Kita perlu
menyediakan jalan pendampingan yang nyata, agar umat yang rapuh tidak merasa
ditinggalkan. Solusi ini bukan berarti menurunkan standar Injil, melainkan
menguatkan umat supaya mampu setia.
1. Penguatan Praeparatio Matrimonii
Persiapan perkawinan tidak boleh hanya sebatas kursus
formalitas tiga kali pertemuan. Harus ada formasi serius yang menyentuh aspek
iman, psikologi, komunikasi, dan tanggung jawab. Pasangan harus sadar sejak
awal bahwa perkawinan bukan proyek romantis jangka pendek, tetapi komitmen
seumur hidup. Dengan formasi yang kuat, mereka tidak kaget ketika badai pertama
datang.
2. Komunitas Penopang Hidup Keluarga
Perkawinan tidak bisa berdiri sendiri. Gereja perdana sudah
menyadari pentingnya hidup berkomunitas (lih. Kis 2:42–47). Begitu juga
pasangan Katolik sekarang: mereka butuh lingkungan basis, kelompok keluarga,
dan gerakan rohani yang menopang mereka. Komunitas seperti ini bisa menjadi
rumah tempat mereka berbagi pergumulan, mencari nasihat, dan saling menopang
dalam kesetiaan.
3. Pastoral untuk Keluarga yang Retak
Tidak semua perkawinan berjalan mulus. Ada pasangan yang
sampai di ambang perceraian. Di sinilah Gereja harus hadir sebagai ibu, bukan
sekadar hakim. Pastoral konseling, rekonsiliasi, dan dukungan psikologis perlu
digiatkan. Annulment tetap harus dijalankan dengan keadilan, tetapi prosesnya
bisa dibuat lebih ramah, transparan, dan penuh pengertian, tanpa mengurangi
ketelitian.
4. Pendidikan Iman Sejak Dini
Budaya perceraian seringkali lahir dari mentalitas “instan.”
Maka pendidikan iman sejak dini penting: anak-anak dan OMK harus diajar bahwa
sakramen bukan beban, melainkan rahmat yang menopang. Dengan membentuk generasi
muda yang memahami makna perkawinan sejak awal, kita mencegah krisis besar di
kemudian hari.
Dengan jalan-jalan ini, Gereja bukan hanya berkata “jangan
lari ke Protestan,” tetapi menunjukkan bahwa di dalam tubuh Kristus ada ruang
bagi setiap kelemahan, ada pendampingan nyata, dan ada rahmat yang menopang.
Kesetiaan memang berat, tetapi Gereja dipanggil untuk membuat beban itu
tertanggung bersama-sama, bukan dibiarkan sendiri.
Bagian VII – Penutup
Fenomena orang Katolik yang berpindah ke Protestan karena
alasan perceraian menyingkap dua wajah iman yang berbeda. Di satu sisi, ada
Injil Kristus yang tegas: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia” (Mat 19:6). Di sisi lain, ada mentalitas manusia yang
ingin mencari jalan pintas, menghindari salib, dan memilih kenyamanan ketimbang
kesetiaan.
Gereja Katolik memilih untuk berdiri di sisi Kristus, meski
konsekuensinya dianggap keras. Gereja tidak menciptakan aturan, melainkan
menjaga janji Tuhan. Kalau ada yang merasa terbebani, itu bukan karena Gereja
menambah beban, melainkan karena sabda Kristus memang menuntut kesetiaan seumur
hidup. Di titik inilah iman diuji: apakah kita beriman untuk mencari kemudahan,
ataukah untuk setia kepada Dia yang setia sampai wafat di salib?
Namun, kesetiaan ini tidak boleh dipertahankan dengan wajah
dingin dan kaku. Gereja dipanggil bukan hanya sebagai hakim yang menjaga
aturan, tetapi juga sebagai ibu yang mendampingi anak-anaknya. Pendampingan
pranikah yang serius, komunitas yang menopang, pastoral untuk keluarga yang
terluka, serta pendidikan iman yang mendalam—semua itu adalah bagian dari misi
Gereja untuk memastikan umat sanggup memikul salib dengan rahmat, bukan dengan
kekuatan sendiri.
Mereka yang lari ke Protestan karena perceraian bukan sedang
menemukan kebenaran, tetapi sedang menjauh dari salib Kristus. Tugas kita bukan
sekadar mengutuk keputusan itu, melainkan menunjukkan dengan hidup kita sendiri
bahwa kesetiaan dalam perkawinan, betapapun berat, adalah mungkin—karena
Kristuslah yang mempersatukan, menopang, dan menyelamatkan.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan dunia bukan perkawinan yang
gampang diputus, melainkan saksi-saksi kesetiaan yang berani bertahan. Sebab di
dalam kesetiaan suami dan istri, dunia dapat melihat cermin kasih Kristus yang
tak pernah meninggalkan Gereja-Nya.
