LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Bambang Noorsena di Antara Katolik dan Orthodox Oriental: Sebuah Analisis Apologetik

 



1. Posisi Unik Bambang Noorsena

Dr. Bambang Noorsena adalah sosok intelektual yang menaruh perhatian besar pada tradisi Gereja purba, khususnya tradisi Siria dan Aleksandria. Ia mengangkat kembali bahasa Aram dan warisan liturgi Timur sebagai kunci memahami iman Kristen mula-mula. Dari sisi ini, ia sering terdengar “katolik” dalam arti menolak individualisme Protestan dan mengakui pentingnya tradisi. Namun, jika dicermati lebih dalam, biasnya justru lebih dekat dengan Orthodox Oriental ketimbang Katolik Roma.

Ia simpatik terhadap Kristologi miafisit—gagasan bahwa Kristus memiliki satu kodrat ilahi-manusia yang menyatu—dan cenderung memandang Konsili Khalkedon (451) sebagai manuver politik. Sikap semacam ini jelas berbeda dengan iman Katolik yang mengakui Khalkedon sebagai konsili ekumenis yang sah dan perlu, demi menjaga keseimbangan iman: Kristus benar-benar Allah dan benar-benar manusia, dua kodrat yang bersatu dalam satu pribadi.


2. Katolik: Jalan Tengah antara Timur dan Barat

Gereja Katolik melihat dirinya sebagai rumah di mana Timur dan Barat sama-sama bernapas. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa tradisi Gereja-gereja Timur adalah otentik dan penuh rahmat. Liturgi Siria, teologi Aleksandria, spiritualitas gurun—semua itu kekayaan yang juga milik Katolik.

Namun, Katolik tidak berhenti di romantisasi Timur. Roh Kudus membimbing Gereja sepanjang sejarah, termasuk melalui perkembangan teologi di Barat Latin: Konsili Khalkedon, St. Agustinus, St. Tomas Aquinas, dan seterusnya. Maka ketika Noorsena condong menilai Timur lebih “murni” dan Barat lebih “menyimpang,” di situlah apologet Katolik perlu meluruskan: kesatuan iman bukan hasil seleksi tradisi, melainkan kesetiaan pada seluruh ziarah Gereja yang dijaga Roh Kudus.


3. Orthodox Oriental: Identitas yang Bertahan

Orthodox Oriental memang menolak Khalkedon dan mempertahankan Kristologi miafisit. Mereka sering menuduh Barat terlalu “rasional” dan “legalistis.” Noorsena banyak bersuara dengan idiom yang serupa: kagum pada akar Siria, tetapi kritis terhadap Roma.

Namun, perlu dicatat: Gereja-gereja Oriental pun tidak bebas dari luka sejarah. Perpecahan internal, politisasi kekuasaan, bahkan konflik antar patriarkat menunjukkan bahwa “kemurnian Timur” juga tidak steril. Katolik menyadari hal ini, sehingga tidak menuhankan satu tradisi, melainkan memandang semua dalam terang Roh Kudus yang memimpin menuju kesatuan.


4. Dialog dengan Islam

Satu kekuatan Noorsena adalah usahanya membangun dialog dengan Islam. Dengan mengangkat Injil Barnabas, bahasa Aram, dan warisan Siria, ia mencoba menjembatani komunikasi iman. Katolik tentu mendukung dialog lintas agama, sebagaimana ditegaskan dalam Nostra Aetate. Bedanya, Katolik tetap menegaskan keunikan Kristus sebagai satu-satunya Penyelamat. Dialog bukan relativisme; dialog adalah kesaksian iman yang rendah hati.


5. Apologetik Katolik: Menimbang dan Menanggapi

Dari sudut apologetik Katolik, posisi Noorsena bisa dipahami demikian:

  • Ia membantu mengingatkan bahwa iman Kristen tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari tradisi hidup Timur Tengah.

  • Ia menantang kita untuk tidak mengabaikan kekayaan liturgi dan teologi Siria.

  • Namun, ia juga rawan jatuh pada bias: mengidealkan Timur sambil merendahkan Barat.

Katolik menegaskan: Tradisi Timur dan Barat adalah dua paru-paru Gereja. Satu menekankan misteri, ikon, dan bahasa puisi; yang lain menekankan analisis, hukum, dan filsafat. Kedua-duanya sah, dan hanya bersatu penuh dalam Gereja Katolik di bawah satu gembala: Paus sebagai tanda kesatuan.


6. Penutup: Jalan Kesatuan

Apologet Katolik akan berkata: Bambang Noorsena memang dekat dengan Katolik, tetapi berhenti setengah jalan, tertarik pada pesona Timur tanpa menerima kesatuan penuh dengan Roma. Dialog dengannya tetap berharga, tetapi harus disertai klarifikasi: Kristus bukan hanya satu kodrat samar-samar, melainkan sungguh Allah dan sungguh manusia; Gereja bukan hanya mosaik Timur, tetapi tubuh universal yang dipersatukan oleh Roh Kudus dalam sejarah.

Dengan demikian, kita bisa menghargai karyanya, sekaligus menegaskan bahwa hanya dalam Gereja Katolik, Timur dan Barat bertemu dalam napas yang sama—napas yang dihembuskan Kristus sendiri.

Share This Article :
9000568233845443113