Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Sabtu, 27 Agustus 2011

LITURGI PERKAWINAN DALAM GEREJA KATOLIK

Pandangan umum tentang liturgi
Liturgi adalah kegiatan perayaan umat beriman, dalamnya dikenangkan dan dialami hadirnya Allah dengan karya-Nya yang menyelamatkan manausia. Puncak karya penyelamatan adalah misteri Paska Yesus Kristus.
Bagi umat beriman, liturgi adalah puncak dan sumber serta pusat kegiatan Gereja.
Liturgi adalah suatu kegiatan perayaan simbolis (sakramental).
Liturgi Perkawinan
Berdasarkan pemahaman umum tentang liturgi, dapatlah dikatakan satu dua pokok pikiran tentang liturgi perkawinan sebagai berikut.
1. Liturgi perkwinan bukanlah perayaan dua orang atau satu keluarga saja, tetapi merupakan perayaan/kegiatan bersama seluruh Gereja, bersama umat beriman di lingkungan/stasi/paroki.
2. Liturgi perkawinan bukanlah hanya tindakan mengenangkan kehadiran Allah yang setia menyelamatkan dan mempersatukan dengan cinta di masa lampau, tetapi juga merupakan suatu kenangan yang membuat peristiwa itu hidup dan dialami kembali. Dengan “merayakannya” diharapkan inti misteri itu dihayati dalam hidup harian selanjutnya dan akhirnya mencapai kesempurnaannya dalam surga. Hendaknya diingat bahwa di surga orang tidak mengawinkan dan tidak juga dikawinkan, tetapi akan mengalami persatuan cinta kasih yang membahagiakan dengan Allah dan semua orang kudus dalam kebadian.
3. Peristiwa utama yang dirayakan dalam liturgi perkawinan adalah misteri Paska Yesus Kristus, pada peristiwa mana kedua mempelai mengambil bagian secara khusus sebagai suami-isteri (mati dan bangkit bersama Kristus bagi satu sama lain. Dalam hal ini akan nampak inti kesatuan antara suami dan istri.
4. Liturgi perkawinan bukanlah suatu momen biasa sebagai hanya salah satu bagian dari seluruh kehidupan mempelai, tetapi merupakan “saat inti” yang dalam arti tertentu merangkum/meliputi seluruh kegiatan Gereja khususnya kegiatan kedua mempelai; di satu pihak saat ini menjadi puncak dari seluruh kegiatan sebagai pacar-tunangan, dan di pihak lain menjadi sumber rahmat dan kekuatan untuk seluruh kegiatan sebagai suami isteri nanti. “Hendaknya diusahakan agar upacara liturgi perkawinan di gereja janganlah dirasa sebagai formalitas gerejani belaka, sedangkan upacara adat yang menyusul dianggap sebagai puncak perayaan yang sesungguhnya. Umat harus dididik agar menghindarkan penyelenggaraan persta mewah yang menelan biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab sakramen perkawinan tidak diberikan oleh Kristus sebagai kesempatan untuk menonjolkan diri serta meningkatkan gengsi keluarga yang bersangkutan, melainkan untuk memberi restu dan dukungan kepada mempelai baru yang siap sedia mengemban tugas pelayanan suci kepada Gereja dan masyarakat.”[1]
5. Liturgi perkawinan bukanlah suatu upacara sipil biasa, atau sekedar suatu perayaan demi memenuhi persyaratan hukum, tetapi merupakan suatu perayaan simbolis (sakramental) di mana para mempelai mencicipi pengalaman persatuan dan cinta surgawi bersama Allah, persatuan cinta antara Yesus Kristus dan Gereja. Suasana persatuan itu harus dirasakan sebagai pengalaman yang sungguh menyelamatkan. Kesempurnaannya akan dialami di surga yaitu kebahagiaan abadi dalam persatuan dengan Bapa, Anak dan Roh Kudus bersama segala orang kudus. Sebagai suatu perayaan pengalaman iman, liturgi perkawinan tidak boleh menjadi hanya suatu kesempatan didaktik-kateketik. Dengan kata lain, dalam liturgi perkawinan tidak boleh diberikan penjelasan panjang lebar tentang arti/jalannya upacara kepada mempelai. Para mempelai sudah harus tahu sebelumnya (sudah memperoleh pendidikan dan katekese liturgi perkawinan sebelum perayaan) sehingga dalam liturgi perkawinan mereka dapat “mengalaminya” dengan lebih penuh, atau mereka dapat dengan lebih sadar merayakan dan menghayatinya. Oleh karena itu baiklah lebih dahulu dipelajari susunan upacara atau liturgi perkawinan serta arti dari bagian-bagian perayaan itu. Bila tiba waktunya sebaiknya dibuat “latihan” menjelang perayaan. Latihan seperti itu tidak hanya membantu memperlacar jalannya perayaan tetapi lebih dari itu menolong para mempelai dan pelayan-pelayan khusus lainnya untuk mulai “meresapi” dan “menghayati” makna dari liturgi perkawinan itu sendiri.
Tata liturgi perkawinan
Ada sejumlah kemungkinan tata laksana liturgi perkawinan. Dapatlah dibedakan berdasarkan tempat, pemimpin dan iman dari mempelai.
1. Upacara perkawinan di dalam Ekaristi. Ada rumus doa-doa Ekaristi yang khusus untuk perkawinan. Upacara nikah dilaksanakan sesudah liturgi sabda. Dipimpin oleh imam. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara perkawinan (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); liturgi ekaristi; penutup.
2. Upacara perkawinan di luar Ekaristi. Diselenggarakan dalam liturgi sabda. Sesudah homili/kotbah diadakan upcara perkawinan. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara nikah (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup. Bisa dipimpin oleh imam atau diakon.
3. Upacara perkawinan di rumah. Dapat dibuat dengan pertimbangan pastoral khusus. Hendaknya diperhatikan agar “jangan sampai karena ini timbul perbedaan antara orang kaya dan orang miskin”. Bila para hadirin sebagian besar orang katolik bisa dipakai upacara perkawinan dalam Ekaristi. Bila sebagian besarnya orang bukan katolik bisa dipakai upacara perkawinan di luar Ekaristi. Upacara-upacara adat setempat dapat dimasukkan kalau tidak menyimpang dari ajaran injil. Untuk itu perlu penelitian dan kerja sama antara para pendukung adat, antropolog, pastor. Bagi umat perlu diberikan penjelasan yang memadai.[u1] [2]
4. Upacara perkawinan yang dipimpin oleh awam. Hanya dalam keadaan tertentu/khusus upacara perkawinan dapat dipimpin oleh seorang awam. Untuk itu pemimpin awam tersebut harus mendapat tugas/wewenang dari pimpinan Gereja. Rumus dan tata laksana liturginya kurang lebih sama dengan upacara perkawinan di luar Ekaristi. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara nikah (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup.
5. Upacara perkawinan mempelai katolik dengan mempelai kristen dari Gereja lain. Untuk penyelenggaraan perkawinan campur ini harus ada ijin dari pimpinan Gereja. Bila dilakukan, kedua belah pihak harus bebas dari “tekanan batin” dan peristiwa seperti ini tidak boleh menjadi penghalang dialog ekumenis. Lebih cocok kalau dibuat upacara perkawinan di luar Ekaristi. Bisa juga dipakai upacara perkawinan di dalam Ekaristi dengan penyesuaian seperlunya. Dapat pula dipakai upacara perkawinan campur yang diselenggarakan secara ekumenis. Tugas pimpinan liturgi perkawinan dapat dibagi antara imam dan pendeta/ketua Gereja Kristen lain dengan memperhatikan hal-hal berikut:
* Kalau tidak ada dispensasi dari “forma canonica” (= tata peneguhan yaitu perjanjian nikah ke dua mempelai sah bila dilangsungkan di hadapan ordinaris wilayah atau pastor-paroki atau imam maupun diakon yang diberi delegasi, yang meneguhkannya serta dihadapan 2 orang saksi) maka perjanjian nikah harus diterima oleh seorang imam.
* Kalau ada dispensasi dari “forma canonica” maka perjanjian nikah boleh diterima oleh pendeta dan disaksikan oleh imam.
* Tetapi tidak diperbolehkan bahwa perjanjian nikah diterima oleh pendeta/pimpinan dari pihak Gereja lain dan oleh imam dari pihak katolik. Juga tidak boleh diterima dua kali: oleh pemimpin upacara 1, lalu menyusul pemimpin 2.
* Hendaknya diadakan penyesuaian seperlunya, agar tidak menyinggung perasaan pihak yang lain, misalnya dengan menghindarkan istilah “sakramen perkawinan”.[3]
Tata laksana upacara perkawinan campur: Pembukaan; Pelayanan Firman/Liturgi Sabda; Pemberkatan Perkawinan (Perjanjian Nikah, Peresmian Perkawinan, Pemberkatan Mempelai, Simbol-simbol Perkawinan); Doa Syafaat/Doa Umat; Penutup.
6. Upacara perkawinan mempelai katolik dengan mempelai bukan kristen. Lebih baik diadakan di luar Ekaristi. Urutannya: Pembukaan, Liturgi Sabda, Upacara Perkawinan (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup.[4]
7. Upacara convalidatio. Bila suami-istri mau “membereskan” perkawinan mereka di hadapan Gereja (bila terdapat halangan yang bersifat menggagalkan seperti kekurangan sehubungan dengan kesepakatan dan tata peneguhan sehingga perkawinan yang sudah diadakan menjadi tidak syah, haruslah dibereskan supaya menjadi syah). Dalam upacara convalidatio ini perjanjian nikah harus dibaharui di hadapan imam dan dua saksi. Urutannya: Pembukaan, Liturgi Sabda, Pembaharuan Janji Nikah, Penutup.[5]
8. Pemberkatan suami istri yang sudah kawin di luar Gereja. Bila ada suami istri yang menjadi katolik, dapat diselenggarakan upacara ini untuk meneguhkan perkawinan mereka yang sudah syah itu (tetapi terjadi ketika mereka belum dipermandikan). Dalam upacara ini perjanjian nikah dapat dibaharui di hadapan imam. Urutannya: Pembukaan; Liturgi Sabda; Pembaharuan Janji Nikah dan Peneguhan; Penutup.[6]
9. Upacara perkawinan sipil. Bila dua orang yang belum dibaptis (katekumen atau simpatisan) menghadap pastor/imam untuk nikah secara katolik. Pastor hanya bisa melayani mereka kalau ia mempunyai kuasa dari pemerintah setempat untuk bertindak sebagai pengantar agama dalam perkawinan. Pandangan masyarakat setempat harus diperhatikan. Nikah secara katolik ini tidak/belum merupakan sakramen. Urutannya: Pembukaan; (Liturgi Sabda); Amanat Perkawinan; Peresmian-Perjanjian Nikah; Peneguhan oleh imam; Doa atas mempelai; Penandatanganan naskah perjanjian; lambang-lambang Perkawinan; Doa umat; Penutup.[7]
Unsur-unsur Pokok Liturgi Perkawinan
1. Liturgi Sabda. Ada bacaan-bacaan, mazmur tanggapan, homili/kotbah. Dalam bagian ini kita alami hadinya Tuhan lewat pemakluman dan penjelasan sabda-nya. Tuhan sungguh-sungguh hadir dan bersabda kepada kita sebagai persekutuan beriman, khususnya kepada para calon mempelai. Tuhan bersabda untuk meyakinkan kita (khususnya para calon mempelai) bahwa Ia tetap mencintai kita, bahwa Ia setia dalam Perjanjian-Nya dengan kita, bahwa Ia tidak bosan-bosannya menegur kita bila kita mulai lupa akan janji kita kepada-Nya, bahwa Ia senantiasa menguatkan dan menghibur kita dalam setiap kesulitan dan kesusahan, bahwa Ia selalu membantu kita mengatasi kelemahan-kelemahan dalam cinta, bahwa Ia selalu menyelamatkan kita. Karena kesetiaan-Nya itu Ia selalu memberi kita pedoman-pedoman untuk hidup saling mencintai dan saling melayani dengan penuh rasa tanggungjawab. Dalam bagian ini kita harus menyadari pentingnya Sabda Tuhan sebagai dasar hidup perkawinan. Seluruh keluarga harus hidup sesuai dengan pedoman Sabda Allah. Secara konkrit kita diajak untuk mulai di dalam rumah menghargai kehadiran Tuhan dalam Kitab Suci dengan membaca, merenungkan dan menghayati-Nya dalam hidup harian.
2. Perjanjian Nikah. Sesudah homili, mempelai dipersilahkan berdiri, juga orang tua/wali dan saksi. Sesuai adat setempat imam boleh mengajak para mempelai untuk meminta doa restu kepada orang tua mereka. Hendaknya tindakan ini mengingatkan kita untuk berterimakasih kepada orang tua karena kerelaan dan cinta mereka, karena restu, berkat, dorongan dan pengampunan yang diberikan kepada para mempelai. Coba bayangkan kesulitan yang dialami ketika para orang tua tidak merestui sang pacar, tunangan bahkan menolak dengan tegas dan ganti memberi restu mereka menyumpah dan mengutuk. Maka restu saat ini mengungkapkan saling pengertian, kerelaan orang tua menerima para calon mempelai apa adanya, serta pengorbanan mereka demi kebahagiaan para calon mempelai. Sepantasnya restu ini diterima dan dialami dengan penuh rasa syukur.
Sesudah menerima restu dari orang tua, para calon mempelai menyatakan (dengan menjawabi pertanyaan tentang) kesediaan-kerelaan dan keikhlasan hati untuk saling menerima dan saling mencintai sebagai suami istri. Dengan suara jelas-kuat, di hadapan imam, saksi dan umat yang hadir para calon mempelai menyatakan kesediaan dan keikhlasan hati. Dengan ini mereka menyatakan kebebasan dalam pilihan mereka. Tidak ada satu paksaan pun dalam relasi para calon mempelai. Sebagai manusia bebas mereka telah saling mengundang dan memilih untuk mencintai satu sama lain.
Lalu menyusul Perjanjian Nikah. Dalam bagian ini para pihak mengucapkan Perjanjian Nikah: secara resmi mau mengikat diri pada yang lain dan demikian mengikat yang lain kepada diri sendiri sebagai suami atau istri sambil berjanji untuk mencintai yang lain dengan setia dan ikhlas hati seumur hidup, dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Mereka meragakan janji setia itu dengan meletakkan tangan kiri di atas Kitab Suci yang dipegang imam dan mengangkat tangan kanan sambil mengucapkan kata-kata janji setia. Dapat pula Kitab Suci itu ditumpangkan di atas bahu para mempelai. Pada saat ini lewat kata-kata dan tindakan simbolis mereka berjanji untuk saling mencintai dengan setia seumur hidup. Dengan janji ini mereka mengikat satu sama lain secara resmi sebagai suami-istri.
3. Peneguhan dan pemberkatan perkawinan. Dalam bagian ini imam atas nama Gereja meneguhkan peresmian perkawinan para mempelai. Ia menegaskan bahwa perkawinan itu adalah perkawinan kristen yang syah, dipersatukan oleh Allah dan tidak boleh diceraikan manusia. Dan supaya perkawinan ini menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan, imam berdoa memohon berkat untuk para mempelai.
Imam berdoa bagi mempelai wanita: supaya hatinya penuh rahmat cinta dan damai, dan menjadi isteri yang setia serta ibu yang baik.
Imam berdoa juga bagi mempelai pria: supaya berusaha menunaikan tanggungjawab terhadap istri, anak-anak dan masyarakat.
4. Penandatanganan naskah perjanjian nikah. Dapat dibuat pada kesempatan ini atau pada bagian penutup. Ini merupakan bukti tertulis dari janji nikah. Dengan tanda tangan dari semua pihak (para mempelai, imam, para saksi) naskah tertulis dari janji nikah itu menjadi sebuah dokumen resmi menurut hukum.
5. Lalu dibuat simbol-simbol perkawinan. Ditawarkan dua simbol: a) pemberkatan dan pengenaan cincin; b) pembukaan selubung. Boleh juga dipilih simbol lain yang sesuai dengan budaya setempat. Sebagai simbol perkawinan, semuanya mengungkapkan kesetiaan dan cinta satu sama lain yang mengikat para mempelai sebagai suami istri dan menjadi sumber kebahagiaan sejati.
6. Doa Umat/Doa Syafaat. Secara khusus hari ini para mempelai harus sadar bahwa umat beriman merestui perkawinan mereka dan turut mendoakan mereka serta seluruh keluarga demi kebahagiaan dalam hidup di bumi ini maupun di akhirat nanti.
7. Bila diteruskan dengan perayaan Ekaristi maka unsur-unsur berikut ini mempunyai arti khusus.
a. Persiapan Persembahan. Dalam bagian ini para mempelai mempersiapkan segala yang perlu untuk memberi/mempersembahkan dri (keluarga) dalam persatuan dengan bahan korban syukur Yesus Kristus (roti dan anggur).
b. Doa Syukur Agung. Dalam persatuan dengan Yesus Kristus, seluruh umat beriman, khususnya para mempelai, menyampaikan korban syukur-pujian kepada Allah penuh cinta dan sumber kebahagiaan sejati. Syukur pujian atas segala anugerah (karya agung Allah) yang telah dialami selama ini oleh para mempelai, secara istimewa pada hari ini dalam persatuan cinta para mempelai sebagai suami istri.
c. Doa Damai dan Salam Damai. Kita mengungkapkan damai satu sama lain. Hendaknya para mempelai melupakan segala yang menyakitkan di masa lampau. Dan bila di masa depan akan alami kesulitan dalam keluarga, ingatlah akan damai yang Tuhan anugerhkan secara khusus pada perayaan perkawinan ini.
d. Komunio. Dibuat dalam dua rupa. Sesuai dengan kebiasaan setempat dapat dilakukan dengan saling menyuap. Hal ini mengungkapkan sikap saling memberi dan menerima serta kebahagiaan dalam persatuan di antara suami istri dan dengan Yesus Kristus. Sesudah komunio biasanya ada kesempatan berdoa secara pribadi. Bersyukurlah kepada Allah atas anugerah-anugerah-Nya teristimewa untuk rahmat perkawinan ini. Patut diingat dalam doa semua orang yang berjasa baik langsung maupun tidak langsung, khususnya bagi orang tua, teman-teman (termasuk mantan-mantan pacar kalau ada, sebab mereka juga mempunyai andil untuk membina para mempelai menjadi matang dalam mencinta).
e. Berkat dan pengutusan. Para mempelai mendapat berkat khusus hari ini. Dengan ini mau diungkapkan bahwa Tuhan selalu menyertai mereka dalam hidup dan karya setiap hari, khususnya dalam melaksanakan tugas-tugas perutusan, agar menjadi saksi cinta Allah dan menjadi berkat serta kebahagiaan bagi orang lain.
Semoga liturgi perkawinan dirayakan sebagai puncak dan sumber kegiatan hidup para mempelai.
Oleh: Rm Bernardus Boli Ujan, SVD



[1] PWI-Liturgi, Upacara Perkawinan. Buku PemimpinUpacara, Ende: 1976, hlm 13. Selanjutnya dipakai singkatan UP.
[2] Bdk UP, hlm 47.
[3] Bdk UP, hlm 57-74.
[4] Bdk UP, hlm 75.
[5] Bdk UP, hlm 87.
[6] Bdk UP, hlm 91-94.
[7] Bdk UP, hlm 95-96.


[u1]Betapa sering upaya penyesuaian dilakukan tanpa mengindahkan hak umat untuk memberikan pendapat atau penilaian serta hak untuk memperoleh penjelasan yang memadai.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget