LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Benarkah Kebangkitan Yesus Itu Kontra dengan Tanakh? Tanggapan Katolik atas Klaim Rabbi Tovia Singer



Dalam dunia apologetik lintas iman, Rabbi Tovia Singer sering menjadi salah satu suara yang paling vokal dalam menolak keabsahan teologi Kristen, terutama soal kebangkitan Yesus. Dalam sebuah diskusi yang banyak disimak, ia mengajukan argumen bahwa seluruh doktrin kebangkitan Yesus sebagai dasar keselamatan bukan hanya tidak ditemukan dalam Tanakh (Alkitab Ibrani), tetapi bahkan bertentangan secara fundamental dengan isi Tanakh.

Menurut beliau, Tanakh tidak pernah menyebutkan bahwa Mesias akan mati dan bangkit pada hari ketiga, apalagi menjadikan kepercayaan atas kebangkitan itu sebagai syarat keselamatan. Sebaliknya, tokoh-tokoh seperti Daniel dan ketiga sahabatnya dipuji justru karena mereka setia pada hukum Taurat, bukan karena mereka percaya pada tokoh tertentu yang bangkit dari kematian. Baginya, iman kepada Yesus sebagai jalan keselamatan bukan hanya asing, tapi merupakan penyimpangan dari ajaran Yahudi sejati.

Pertanyaannya: Apakah tuduhan ini sahih secara hermeneutis, metafisik, dan logis? Mari kita lihat dari perspektif iman Katolik.
 
1. Hermeneutika Katolik: Tanakh dan Perjanjian Baru adalah Satu Kesatuan

Gagasan bahwa kebangkitan Yesus bertentangan dengan Tanakh hanya masuk akal jika kita membaca Tanakh dengan kacamata legalistik-literal, seperti yang dilakukan Rabbi Tovia. Namun, iman Katolik membaca Tanakh bukan sekadar sebagai kumpulan hukum dan sejarah, melainkan sebagai janji Allah yang digenapi dalam Kristus.

Prinsip utama hermeneutika Katolik:


“Perjanjian Baru tersembunyi dalam yang Lama, dan yang Lama dijelaskan dalam yang Baru.” (St. Agustinus)


Dengan demikian, peristiwa Daniel di gua singa atau tiga sahabat dalam perapian bukan tandingan dari kebangkitan Yesus, melainkan bayangan tipologis (pra-gambaran) dari kemenangan Kristus atas maut.

Kebangkitan juga bukan gagasan asing dalam Tanakh:


Daniel 12:2: “Banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah akan bangun.”


Mazmur 16:10: “Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan.”


Hosea 6:2: “Pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya.”

Teks-teks ini, dibaca secara spiritual dan tipologis, mendasari pemahaman para penulis Perjanjian Baru. Maka, ketika Paulus berkata bahwa Kristus bangkit “sesuai dengan Kitab Suci” (1 Kor 15:3), ia tidak sedang melakukan kebohongan hermeneutis, melainkan mengikuti tradisi tafsir Yahudi sendiri, yaitu midrash.
 
2. Metafisika Inkarnasi dan Kebangkitan: Antara Daniel dan Kristus

Rabbi Tovia ingin agar Mesias hanya menjadi tokoh politis-kultural: keturunan Daud, memimpin bangsa, membangun Bait Allah, dan membawa perdamaian. Tapi dalam tradisi Katolik yang mengakar dalam filsafat realisme metafisik, Mesias bukan hanya figur duniawi, tetapi Sang Logos yang menjadi manusia.


“Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita.” (Yoh 1:14)

Yesus tidak datang hanya untuk mendirikan kerajaan Israel, tetapi untuk menebus manusia dari kuasa dosa dan maut. Ia adalah Ipsum Esse Subsistens (Ada itu sendiri), yang masuk dalam sejarah manusia untuk mengangkat kita menjadi partisipan dalam kodrat Ilahi (2 Ptr 1:4).

Dengan bangkit dari kematian, Kristus bukan sekadar tokoh sejarah, tapi manifestasi dari tindakan Allah sendiri dalam sejarah, sebagaimana api tidak membakar tubuh para sahabat Daniel—Yesus masuk ke dalam maut, dan mengalahkannya dari dalam.
 
3. Logika dan Klaim Iman: Beda Bukti Historis dan Bukti Teologis

Rabbi Tovia mengatakan, “Kristen tersesat karena mengklaim ada bukti historis atas kebangkitan Yesus, padahal tidak bisa dibuktikan secara empiris.” Ini adalah kekeliruan logika kategoris.

Dalam teologi Katolik:


Bukti sejarah bukan satu-satunya dasar iman, tetapi motiva credibilitatis—yaitu alasan masuk akal untuk percaya.


Iman melampaui bukti, tapi tidak bertentangan dengan akal. Iman bukan anti-logika, tapi trans-logika.

Maka, menyatakan bahwa "karena tidak ada ayat eksplisit maka doktrinnya tidak sah" adalah argumen dari keheningan (argumentum ex silentio), sebuah kesalahan logika klasik.
 
4. Siapa yang Kontradiktif?

Justru klaim Rabbi Tovia tentang Mesias yang tidak boleh mati membuatnya terjebak dalam logika sempit:


Jika Mesias tidak boleh mati, bagaimana dengan para nabi dan imam yang dibunuh karena setia kepada Tuhan? Apakah kematian mereka membatalkan misi kenabian?


Jika kebangkitan tidak mungkin, mengapa kitab Daniel sendiri berbicara tentang orang yang dibangkitkan pada akhir zaman?

Iman Kristen tidak menyalahgunakan Tanakh. Ia menggenapinya dalam terang Kristus—bukan dengan membatalkan, melainkan mengangkat maknanya ke dalam rencana keselamatan yang kekal.
Penutup: Kristus, Kebangkitan, dan Imanku

Bagi kami umat Katolik, iman kepada Kristus bukan karena kami butuh dongeng penghiburan, tapi karena kami melihat dalam diri-Nya kegenapan janji Allah.

Kami tidak menyangkal kisah Daniel—kami memuliakannya. Tapi kami juga percaya bahwa kisah Daniel menunjuk pada sesuatu yang lebih besar: Yesus Kristus, Tuhan atas kehidupan dan kematian.

Maka, ketika kami percaya bahwa Ia bangkit pada hari ketiga, kami tidak menentang Tanakh. Kami justru berkata bersama nabi-nabi itu:


“Kematian, di manakah sengatmu? Maut, di manakah kemenanganmu?” (1 Kor 15:55)

Jika Anda ingin mendalami hal ini atau memiliki pertanyaan lain tentang iman Katolik dan hubungannya dengan Kitab Suci Yahudi, mari berdiskusi. Iman itu bukan ilusi—tapi jawaban atas kerinduan terdalam jiwa manusia.


✝️ Kristus telah bangkit. Ia hidup. Dan Ia menggenapi semua yang telah dijanjikan.

Share This Article :
9000568233845443113