Di tengah lanskap kekristenan modern, perbedaan antara Katolik dan Protestan sering kali direduksi menjadi soal liturgi, organisasi gereja, atau tafsir ayat-ayat tertentu. Namun ada satu dimensi yang kerap terabaikan—dan lebih dalam sifatnya—yaitu cara pandang terhadap realitas spiritual yang hidup: mujizat, penampakan, dan pengalaman rohani. Di sinilah muncul pertanyaan yang menggelitik namun penting: apakah Protestan secara fungsional mendekati posisi ateistik dalam cara mereka memahami hal-hal supranatural?
1. Sikap
Skeptis terhadap Hal-Hal Supranatural
Banyak komunitas Protestan,
terutama dari tradisi Reformed dan Evangelikal konservatif, memegang paham cessationism—gagasan
bahwa karunia-karunia Roh Kudus seperti nubuat, penyembuhan, dan bahasa roh
berhenti setelah zaman para rasul. Dalam kerangka ini, pengalaman spiritual
dianggap berbahaya atau setidaknya tidak dapat dipercaya. Mujizat adalah bagian
dari masa lalu yang telah "selesai", bukan sesuatu yang masih terjadi
hari ini.
Pandangan ini secara tak
langsung menyempitkan ruang kehadiran aktif Roh Kudus dalam kehidupan
sehari-hari. Pengalaman-pengalaman rohani—yang dalam tradisi Katolik, Ortodoks,
bahkan Karismatik dianggap sebagai bagian dari dinamika iman—dihadapi dengan kecurigaan,
jika tidak outright penolakan.
2. Kemiripan
dengan Epistemologi Ateis
Menariknya, pendekatan ini
memiliki kemiripan mencolok dengan epistemologi ateistik. Seorang ateis
umumnya menolak klaim supranatural karena tidak dapat diuji secara empiris.
Seorang Protestan cessationist, meskipun percaya pada mujizat dalam Alkitab,
sering kali akan menuntut bukti rasional dan empiris ketika seseorang mengaku
mengalami kehadiran Tuhan atau penyembuhan ilahi.
Hal ini menciptakan paradoks: iman
kepada Alkitab tetap dipegang, namun prinsip pembuktian diadopsi dari pola
pikir ateistik. Ini menimbulkan ketegangan antara klaim iman dan metode
verifikasi. Mujizat dalam Kitab Suci diyakini bukan karena dialami, tetapi
karena tertulis. Tapi ketika orang zaman sekarang mengaku mengalami hal serupa,
skeptisisme langsung muncul.
3. Sikap Rasional-Modern dan Krisis Spiritualitas
Dalam banyak gereja Protestan arus utama, pendekatan terhadap
iman sangat dipengaruhi oleh warisan Pencerahan (Enlightenment), yang
menekankan rasionalitas, observasi ilmiah, dan objektivitas. Hal ini memang
membawa kontribusi penting dalam mendewasakan iman, membebaskannya dari
takhayul dan mistisisme berlebihan. Namun, ketika prinsip-prinsip ini diadopsi
tanpa keseimbangan, muncullah suatu bentuk rasionalisme teologis yang
menutup pintu bagi dimensi pengalaman langsung akan Allah.
Iman menjadi sesuatu yang didiskusikan, bukan dialami.
Doa menjadi upaya intelektual, bukan dialog eksistensial. Mujizat dan
penampakan dianggap "tidak perlu" karena wahyu sudah lengkap dalam
Kitab Suci. Tapi dengan mengusir unsur misteri dari kehidupan beriman, gereja
Protestan secara tidak sadar mulai mengalami kekeringan spiritual.
Sebagian bahkan menggunakan metode historis-kritis untuk
menafsirkan Kitab Suci secara skeptis terhadap unsur adikodrati di dalamnya.
Kisah mujizat Yesus diselidiki bukan untuk menghidupkan iman, melainkan untuk
mencari penjelasan naturalistik: apakah Yesus benar-benar berjalan di atas air,
atau sekadar terlihat demikian karena ilusi optik?
Pendekatan ini menjauhkan iman dari relasinya yang intim dan
personal dengan Allah. Dalam suasana spiritual semacam ini, iman berubah
menjadi konsep, bukan perjumpaan. Alkitab menjadi buku studi, bukan
Firman yang hidup. Dan tanpa disadari, hal ini semakin membuat iman Protestan
menyerupai "ateisme religius"—percaya secara teoritis, tetapi
hidup tanpa kehadiran Allah yang aktif.
4. Tanggapan
Apologetik: Iman yang Seimbang antara Akal dan Misteri
Menghadapi kecenderungan
rasionalistik dalam sebagian tradisi Protestan, apologet Kristen dipanggil
untuk menawarkan koreksi, bukan dengan menolak akal, tetapi dengan mengintegrasikannya
secara sehat dengan misteri dan pengalaman rohani. Ini bukan panggilan
untuk kembali pada takhayul, melainkan untuk menghidupkan kembali dimensi
transenden yang hilang dari banyak diskursus iman.
a. Pemulihan
Pandangan Sakramental
Salah satu kontribusi besar
dari tradisi Katolik dan Ortodoks adalah pandangan sakramental terhadap
dunia—bahwa dunia fisik bukan hanya materi, tetapi juga medium kehadiran ilahi.
Air baptisan, roti dan anggur, bahkan tubuh manusia dapat menjadi sarana
kehadiran Tuhan. Di sinilah apologetik Kristen dapat menyerukan pemulihan
kesadaran bahwa Tuhan masih bekerja di dalam dan melalui ciptaan, bukan
hanya di masa lalu atau di halaman-halaman Kitab Suci.
b.
Menjembatani Iman dan Pengalaman
Iman Kristen sejati bukan
hanya soal menerima doktrin yang benar, tetapi mengalami transformasi hidup.
Para apologet seperti William Lane Craig dan Alister McGrath menekankan
pentingnya pengalaman pribadi akan Roh Kudus sebagai elemen valid dalam
epistemologi iman. Kesaksian pribadi, penyembuhan, mimpi profetik, atau rasa
kehadiran ilahi yang mendalam adalah bagian dari warisan iman Kristen—dan
apologet harus berani mempertahankannya sebagai bukti eksistensial dari
realitas Allah.
c. Membuka
Diri terhadap Mujizat
Tugas apologetik bukan hanya
membela iman terhadap kritik eksternal, tetapi juga meluruskan penyempitan
internal. Keengganan menerima mujizat modern sering kali lahir dari
ketakutan dianggap naif. Tapi bukankah keengganan untuk percaya juga bisa
menjadi bentuk ketakutan—yakni takut keluar dari zona nyaman rasionalitas? Para
apologet kontemporer perlu menunjukkan bahwa percaya pada mujizat bukan berarti
menolak nalar, tetapi mengakui keterbatasan nalar di hadapan misteri
ilahi.
Sebagaimana C.S. Lewis
katakan, “Doa bukanlah untuk mengubah Allah, tetapi untuk membuka diri kita
pada realitas-Nya.” Mujizat adalah bentuk “komunikasi ilahi” dalam dunia yang
sering kali tuli secara spiritual. Dengan membuka diri terhadap pengalaman ini,
iman Kristen menjadi sesuatu yang hidup, menggugah, dan menyembuhkan.
Penutup Reflektif: Iman yang Lebih dari Sekadar Percaya
Pertanyaan “Apakah Protestan sebenarnya ateis yang percaya
Alkitab?” memang terdengar tajam dan memancing kontroversi. Namun esai ini
tidak bermaksud mencemooh, melainkan mengajak untuk berintrospeksi secara
jujur dan mendalam: apakah cara kita memahami iman masih memberi ruang bagi
Allah yang hidup dan aktif, ataukah kita telah mengurung-Nya dalam
halaman-halaman sejarah dan kerangka berpikir rasional semata?
Jika iman hanya berhenti pada konsep teologis yang benar,
tanpa perjumpaan dengan pribadi Allah yang transenden, maka iman itu kehilangan
kekuatannya untuk mengubah. Dunia modern, yang haus akan makna dan kehadiran
spiritual, justru mencari sesuatu yang otentik—bukan hanya dalam buku, tetapi
dalam peristiwa, pengalaman, dan keajaiban yang menyentuh realitas hidup.
Gereja, termasuk tradisi Protestan, diundang untuk membuka
kembali matanya terhadap kemungkinan bahwa Allah masih berbicara, bertindak,
dan menampakkan diri—melampaui batas-batas ekspektasi teologis. Ini bukan soal
meninggalkan akal budi, melainkan mengakui bahwa akal bukanlah satu-satunya
jalan menuju kebenaran.
Karena pada akhirnya, iman Kristen bukan hanya tentang
percaya pada doktrin. Iman Kristen adalah tentang mengalami Allah yang
hidup, dalam Firman, dalam Roh, dan dalam dunia yang penuh dengan tanda-tanda
kasih-Nya.
📚 Ringkasan Poin-Poin Utama
1. Permasalahan Utama
o
Perbedaan Katolik dan Protestan
sering dipahami hanya dalam hal doktrin dan liturgi.
o Namun, terdapat sikap skeptis
Protestan terhadap mujizat dan pengalaman spiritual yang mirip dengan ateisme
metodologis.
2. Sikap Skeptis terhadap Hal
Supranatural
o Banyak Protestan (khususnya Reformed)
menolak karunia roh dan mujizat modern (cessationism).
o Pengalaman rohani dianggap subjektif
atau bahkan berbahaya.
3. Kemiripan dengan Epistemologi Ateis
o Reliansi pada rasionalisme dan
empirisisme dalam menilai klaim rohani.
o
Mujizat diterima secara historis
(dalam Alkitab) tetapi ditolak secara kontemporer.
4. Sikap Rasional-Modern
o
Iman direduksi menjadi konsep
rasional, bukan perjumpaan pribadi.
o Pengaruh modernisme menciptakan iman
yang kering secara spiritual.
5. Tanggapan Apologetik
o
Pemulihan pandangan sakramental dan
pengalaman akan Tuhan.
o Keseimbangan antara akal dan misteri
dalam kehidupan iman.
o
Pembelaan terhadap validitas
pengalaman spiritual dan mujizat modern.
6. Penutup Reflektif
o Pertanyaan provokatif ini bertujuan
membangkitkan introspeksi.
o Iman Kristen sejati bukan hanya
percaya pada doktrin, tetapi juga mengalami kehadiran Allah yang hidup.
o Apologetik perlu membawa umat kepada
Allah yang tidak hanya diyakini, tetapi juga dihidupi.