LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Protestan: Ateis yang Percaya Alkitab? Sebuah Refleksi Apologetik

 

Di tengah lanskap kekristenan modern, perbedaan antara Katolik dan Protestan sering kali direduksi menjadi soal liturgi, organisasi gereja, atau tafsir ayat-ayat tertentu. Namun ada satu dimensi yang kerap terabaikan—dan lebih dalam sifatnya—yaitu cara pandang terhadap realitas spiritual yang hidup: mujizat, penampakan, dan pengalaman rohani. Di sinilah muncul pertanyaan yang menggelitik namun penting: apakah Protestan secara fungsional mendekati posisi ateistik dalam cara mereka memahami hal-hal supranatural?

 

1. Sikap Skeptis terhadap Hal-Hal Supranatural

Banyak komunitas Protestan, terutama dari tradisi Reformed dan Evangelikal konservatif, memegang paham cessationism—gagasan bahwa karunia-karunia Roh Kudus seperti nubuat, penyembuhan, dan bahasa roh berhenti setelah zaman para rasul. Dalam kerangka ini, pengalaman spiritual dianggap berbahaya atau setidaknya tidak dapat dipercaya. Mujizat adalah bagian dari masa lalu yang telah "selesai", bukan sesuatu yang masih terjadi hari ini.

Pandangan ini secara tak langsung menyempitkan ruang kehadiran aktif Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman-pengalaman rohani—yang dalam tradisi Katolik, Ortodoks, bahkan Karismatik dianggap sebagai bagian dari dinamika iman—dihadapi dengan kecurigaan, jika tidak outright penolakan.

 

2. Kemiripan dengan Epistemologi Ateis

Menariknya, pendekatan ini memiliki kemiripan mencolok dengan epistemologi ateistik. Seorang ateis umumnya menolak klaim supranatural karena tidak dapat diuji secara empiris. Seorang Protestan cessationist, meskipun percaya pada mujizat dalam Alkitab, sering kali akan menuntut bukti rasional dan empiris ketika seseorang mengaku mengalami kehadiran Tuhan atau penyembuhan ilahi.

Hal ini menciptakan paradoks: iman kepada Alkitab tetap dipegang, namun prinsip pembuktian diadopsi dari pola pikir ateistik. Ini menimbulkan ketegangan antara klaim iman dan metode verifikasi. Mujizat dalam Kitab Suci diyakini bukan karena dialami, tetapi karena tertulis. Tapi ketika orang zaman sekarang mengaku mengalami hal serupa, skeptisisme langsung muncul.

 

3. Sikap Rasional-Modern dan Krisis Spiritualitas

Dalam banyak gereja Protestan arus utama, pendekatan terhadap iman sangat dipengaruhi oleh warisan Pencerahan (Enlightenment), yang menekankan rasionalitas, observasi ilmiah, dan objektivitas. Hal ini memang membawa kontribusi penting dalam mendewasakan iman, membebaskannya dari takhayul dan mistisisme berlebihan. Namun, ketika prinsip-prinsip ini diadopsi tanpa keseimbangan, muncullah suatu bentuk rasionalisme teologis yang menutup pintu bagi dimensi pengalaman langsung akan Allah.

Iman menjadi sesuatu yang didiskusikan, bukan dialami. Doa menjadi upaya intelektual, bukan dialog eksistensial. Mujizat dan penampakan dianggap "tidak perlu" karena wahyu sudah lengkap dalam Kitab Suci. Tapi dengan mengusir unsur misteri dari kehidupan beriman, gereja Protestan secara tidak sadar mulai mengalami kekeringan spiritual.

Sebagian bahkan menggunakan metode historis-kritis untuk menafsirkan Kitab Suci secara skeptis terhadap unsur adikodrati di dalamnya. Kisah mujizat Yesus diselidiki bukan untuk menghidupkan iman, melainkan untuk mencari penjelasan naturalistik: apakah Yesus benar-benar berjalan di atas air, atau sekadar terlihat demikian karena ilusi optik?

Pendekatan ini menjauhkan iman dari relasinya yang intim dan personal dengan Allah. Dalam suasana spiritual semacam ini, iman berubah menjadi konsep, bukan perjumpaan. Alkitab menjadi buku studi, bukan Firman yang hidup. Dan tanpa disadari, hal ini semakin membuat iman Protestan menyerupai "ateisme religius"—percaya secara teoritis, tetapi hidup tanpa kehadiran Allah yang aktif.

 

4. Tanggapan Apologetik: Iman yang Seimbang antara Akal dan Misteri

Menghadapi kecenderungan rasionalistik dalam sebagian tradisi Protestan, apologet Kristen dipanggil untuk menawarkan koreksi, bukan dengan menolak akal, tetapi dengan mengintegrasikannya secara sehat dengan misteri dan pengalaman rohani. Ini bukan panggilan untuk kembali pada takhayul, melainkan untuk menghidupkan kembali dimensi transenden yang hilang dari banyak diskursus iman.

a. Pemulihan Pandangan Sakramental

Salah satu kontribusi besar dari tradisi Katolik dan Ortodoks adalah pandangan sakramental terhadap dunia—bahwa dunia fisik bukan hanya materi, tetapi juga medium kehadiran ilahi. Air baptisan, roti dan anggur, bahkan tubuh manusia dapat menjadi sarana kehadiran Tuhan. Di sinilah apologetik Kristen dapat menyerukan pemulihan kesadaran bahwa Tuhan masih bekerja di dalam dan melalui ciptaan, bukan hanya di masa lalu atau di halaman-halaman Kitab Suci.

b. Menjembatani Iman dan Pengalaman

Iman Kristen sejati bukan hanya soal menerima doktrin yang benar, tetapi mengalami transformasi hidup. Para apologet seperti William Lane Craig dan Alister McGrath menekankan pentingnya pengalaman pribadi akan Roh Kudus sebagai elemen valid dalam epistemologi iman. Kesaksian pribadi, penyembuhan, mimpi profetik, atau rasa kehadiran ilahi yang mendalam adalah bagian dari warisan iman Kristen—dan apologet harus berani mempertahankannya sebagai bukti eksistensial dari realitas Allah.

c. Membuka Diri terhadap Mujizat

Tugas apologetik bukan hanya membela iman terhadap kritik eksternal, tetapi juga meluruskan penyempitan internal. Keengganan menerima mujizat modern sering kali lahir dari ketakutan dianggap naif. Tapi bukankah keengganan untuk percaya juga bisa menjadi bentuk ketakutan—yakni takut keluar dari zona nyaman rasionalitas? Para apologet kontemporer perlu menunjukkan bahwa percaya pada mujizat bukan berarti menolak nalar, tetapi mengakui keterbatasan nalar di hadapan misteri ilahi.

Sebagaimana C.S. Lewis katakan, “Doa bukanlah untuk mengubah Allah, tetapi untuk membuka diri kita pada realitas-Nya.” Mujizat adalah bentuk “komunikasi ilahi” dalam dunia yang sering kali tuli secara spiritual. Dengan membuka diri terhadap pengalaman ini, iman Kristen menjadi sesuatu yang hidup, menggugah, dan menyembuhkan.

 

Penutup Reflektif: Iman yang Lebih dari Sekadar Percaya

Pertanyaan “Apakah Protestan sebenarnya ateis yang percaya Alkitab?” memang terdengar tajam dan memancing kontroversi. Namun esai ini tidak bermaksud mencemooh, melainkan mengajak untuk berintrospeksi secara jujur dan mendalam: apakah cara kita memahami iman masih memberi ruang bagi Allah yang hidup dan aktif, ataukah kita telah mengurung-Nya dalam halaman-halaman sejarah dan kerangka berpikir rasional semata?

Jika iman hanya berhenti pada konsep teologis yang benar, tanpa perjumpaan dengan pribadi Allah yang transenden, maka iman itu kehilangan kekuatannya untuk mengubah. Dunia modern, yang haus akan makna dan kehadiran spiritual, justru mencari sesuatu yang otentik—bukan hanya dalam buku, tetapi dalam peristiwa, pengalaman, dan keajaiban yang menyentuh realitas hidup.

Gereja, termasuk tradisi Protestan, diundang untuk membuka kembali matanya terhadap kemungkinan bahwa Allah masih berbicara, bertindak, dan menampakkan diri—melampaui batas-batas ekspektasi teologis. Ini bukan soal meninggalkan akal budi, melainkan mengakui bahwa akal bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran.

Karena pada akhirnya, iman Kristen bukan hanya tentang percaya pada doktrin. Iman Kristen adalah tentang mengalami Allah yang hidup, dalam Firman, dalam Roh, dan dalam dunia yang penuh dengan tanda-tanda kasih-Nya.

 

 

📚 Ringkasan Poin-Poin Utama

1.     Permasalahan Utama

o    Perbedaan Katolik dan Protestan sering dipahami hanya dalam hal doktrin dan liturgi.

o    Namun, terdapat sikap skeptis Protestan terhadap mujizat dan pengalaman spiritual yang mirip dengan ateisme metodologis.

2.     Sikap Skeptis terhadap Hal Supranatural

o    Banyak Protestan (khususnya Reformed) menolak karunia roh dan mujizat modern (cessationism).

o    Pengalaman rohani dianggap subjektif atau bahkan berbahaya.

3.     Kemiripan dengan Epistemologi Ateis

o    Reliansi pada rasionalisme dan empirisisme dalam menilai klaim rohani.

o    Mujizat diterima secara historis (dalam Alkitab) tetapi ditolak secara kontemporer.

4.     Sikap Rasional-Modern

o    Iman direduksi menjadi konsep rasional, bukan perjumpaan pribadi.

o    Pengaruh modernisme menciptakan iman yang kering secara spiritual.

5.     Tanggapan Apologetik

o    Pemulihan pandangan sakramental dan pengalaman akan Tuhan.

o    Keseimbangan antara akal dan misteri dalam kehidupan iman.

o    Pembelaan terhadap validitas pengalaman spiritual dan mujizat modern.

6.     Penutup Reflektif

o    Pertanyaan provokatif ini bertujuan membangkitkan introspeksi.

o    Iman Kristen sejati bukan hanya percaya pada doktrin, tetapi juga mengalami kehadiran Allah yang hidup.

o    Apologetik perlu membawa umat kepada Allah yang tidak hanya diyakini, tetapi juga dihidupi.

 

Share This Article :
9000568233845443113