LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Bagaimana Kita Mendapatkan Alkitab? Sebuah Dekonstruksi terhadap Kanon Protestan

Pendahuluan: Alkitab Itu Suci, Tapi Kanon Siapa?

Setiap kali Protestan berkata, “Kami hanya kembali ke Alkitab”, saya selalu ingin mengajukan pertanyaan sederhana: “Alkitab yang mana?” Mengapa? Karena klaim Sola Scriptura yang begitu dielu-elukan Protestan ternyata berdiri di atas fondasi yang retak: kanon mereka sendiri lahir 1.500 tahun setelah Kristus, bukan dari mulut Kristus, bukan dari pena para rasul, tetapi dari meja rapat para reformator yang alergi pada Tradisi.

Ironisnya, Kermit Zarley (Protestan, Co-Founder PGA Tour Bible Study, Houston AS) menjelaskan proses sejarah teks Kitab Suci dengan cukup detail, tetapi gagal mengajukan pertanyaan teologis mendasar: siapa yang punya otoritas menentukan kanon? Protestan tidak mau menjawab itu, karena jika mereka jujur, jawaban itu akan mengarah ke Gereja Katolik. Jadi mari kita bongkar satu per satu klaim dan asumsi mereka.

 

1. Fakta yang Tak Terbantahkan: Yesus Tidak Membawa Kitab Saku KJV

Zarley dengan bangga menyatakan bahwa King James Version (KJV) mendominasi dunia berbahasa Inggris selama berabad-abad, tetapi kini dianggap usang dan digantikan oleh puluhan “versi modern” yang katanya lebih akurat. Hebat! Tapi ada masalah besar di sini: siapa yang memberi otoritas kepada setiap penerjemah modern untuk menentukan kata-kata ilahi?

Lebih tragis lagi, Protestan suka membual bahwa mereka “hanya mengikuti Alkitab,” padahal mereka tidak pernah punya Alkitab selama 1.500 tahun pertama—karena Alkitab yang mereka kenal hari ini adalah hasil karya Gereja Katolik. Tanpa Konsili Hippo (393) dan Kartago (397), yang disahkan oleh Paus Damasus I, mereka bahkan tidak tahu harus memasukkan Kitab Barukh atau membuangnya.

Sinisnya: mereka mengutuk Gereja Katolik, lalu hidup dari buah kerjanya. Itu namanya parasit teologis.

 

2. Septuaginta: Kitab Suci Yesus yang Ditolak Protestan

Zarley mengakui sebuah fakta memalukan bagi Protestan: Yesus dan para rasul mengutip Septuaginta (LXX), bukan Masoretic Text (MT) yang menjadi basis Perjanjian Lama Protestan. Apa artinya? Injil Anda hari ini dikutip dari terjemahan Yunani yang Anda benci! Lebih ironis lagi, Septuaginta memuat Kitab-Kitab Deuterokanonika—yang oleh Protestan dicap “apokrif.” Jadi jika Yesus hidup hari ini, akankah Dia dilarang berkhotbah di gereja Protestan karena memakai kitab “apokrif” itu?

Kalau mau jujur, logika Protestan seperti ini:

  • Yesus pakai Septuaginta.
  • Septuaginta punya kitab yang kami buang.
  • Maka kami lebih pintar dari Yesus.

Sungguh brilian, bukan?

 

3. Masoretic Text: Pilihan yang Anti-Kristus

Kermit juga memuji upaya Masoretes (abad 7–10 M) yang katanya “menyelamatkan” bahasa Ibrani. Tapi tunggu dulu! Masoretic Text baru disusun setelah Yesus naik ke surga 700 tahun sebelumnya! Jadi Protestan, dalam semangat Sola Scriptura, justru memilih teks yang dibakukan oleh kaum Yahudi rabinik yang secara teologis menolak Mesias. Bukankah itu lucu? Untuk melawan Roma, mereka bersekutu dengan Sanhedrin.

Pertanyaan sinis: Apakah Roh Kudus cuti panjang selama tujuh abad sehingga harus menunggu Masoretes menyelamatkan firman-Nya?

 

4. Textus Receptus: Dari Erasmus ke Pabrik Ayat

Mari kita bicara tentang Perjanjian Baru. KJV—“Alkitab resmi” Protestan klasik—bersandar pada Textus Receptus, sebuah teks Yunani yang disusun Erasmus dari 13 manuskrip yang buruk dan terlambat. Bandingkan dengan sekarang: lebih dari 5.000 manuskrip Yunani sudah ditemukan, termasuk yang jauh lebih tua. Lalu mengapa KJV dipuja sebagai “the only true Bible” oleh kelompok KJV-only? Karena konsistensi bukan kebajikan dalam dunia Protestan; sensasi lebih penting daripada sejarah.

Dan ketika teks Yunani modern seperti Nestle-Aland ditemukan, apa reaksi Protestan? Panik, berdebat, lalu melahirkan ribuan versi baru. Itulah mengapa setiap kali Anda bertanya pada Protestan, “Mana Alkitab yang benar?” mereka akan menjawab, “Tergantung selera.”

 

5. Ironi Besar: Sola Scriptura Tanpa Scriptura

Jika Sola Scriptura adalah fondasi iman, mengapa fondasi itu tergantung pada Gereja Katolik untuk menentukan kanon, pada Septuaginta untuk memahami PL, dan pada Nestle-Aland untuk menyempurnakan teks? Protestan bukan hanya anak durhaka; mereka anak yang amnesia. Mereka menolak Magisterium, tetapi mengutip hasil kerja kerasnya tanpa rasa terima kasih.

Lebih parah lagi, mereka tidak pernah mengadakan konsili ekumenis untuk menetapkan kanon. Hasilnya? Denominasi mereka terpecah dalam hal yang paling mendasar: firman Tuhan itu sendiri. Mormon menambah kitab, Advent menafsir ulang, dan saksi Yehovah mencetak versi mereka sendiri. Inilah buah busuk dari akar busuk bernama Sola Scriptura.

 

Kesimpulan: Terima Kasih, Katolik

Jika hari ini Anda memegang Alkitab, ucapkan terima kasih kepada Gereja Katolik. Tanpa Gereja, Anda bahkan tidak tahu mana kitab yang “diilhami” dan mana yang tidak. Jangan lagi jatuh pada ilusi bahwa Anda “kembali ke Alkitab.” Yang Anda miliki hanyalah Alkitab yang Gereja tentukan, minus kitab-kitab yang Luther buang karena tidak cocok dengan teologinya.

Jadi lain kali ketika seorang Protestan berkata, “Kami berdiri di atas firman Tuhan”, jawablah dengan senyum sinis:
“Firman Tuhan versi siapa?
Yesus pakai Septuaginta, Anda pakai Masoretic Text. Yesus memelihara Tradisi, Anda memelihara ego. Siapa yang benar?”

 

Tagline:

Sola Scriptura? Tanpa Gereja, Anda bahkan tak punya Scriptura. Dan itu fakta historis, bukan opini.

 

Share This Article :
9000568233845443113