LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Apa Itu Tradisionalisme Katolik? Sebuah Pengantar Apologetik

 


Pendahuluan: Salah Kaprah tentang Tradisionalisme

Istilah tradisionalis Katolik kerap menimbulkan kesalahpahaman. Bagi sebagian orang, kata ini diasosiasikan dengan sikap menghakimi, eksklusif, atau bahkan membenci segala hal yang dianggap “kurang sempurna” dalam Gereja. Padahal, persepsi ini lahir dari dua hal: ketidaktahuan dan sejarah terkini yang penuh salah paham dan perlakuan kurang adil terhadap kaum tradisionalis.

Faktanya, tradisionalisme bukanlah “mazhab baru” dalam Gereja Katolik. Ia tidak menambah atau mengurangi ajaran, melainkan berusaha memelihara warisan iman yang autentik, sebagaimana diajarkan oleh Magisterium sepanjang zaman. Tradisionalisme sejati adalah Catholicism in its fullness—keutuhan Katolik itu sendiri.

Tulisan ini akan menguraikan prinsip-prinsip dasar tradisionalisme agar jelas perbedaannya dengan karikatur negatif yang kerap beredar.


1. Kitab Suci: Diilhamkan Secara Penuh dan Tanpa Salah

Tradisionalisme memegang teguh dogma Gereja bahwa Kitab Suci diilhamkan oleh Allah dan bebas dari kesalahan (inerrancy), baik dalam hal sejarah, teologi, maupun moral (lih. Dei Verbum 11). Kesalahan salinan (copyist errors) tidak menghapus fakta bahwa teks asli yang diilhamkan adalah sempurna.

Sayangnya, banyak kaum modernis dan liberal menolak hal ini, menganggap Alkitab sekadar kumpulan mitos yang sarat “kesalahan”. Penolakan ini bukan sikap Katolik, melainkan penyimpangan dari ajaran Gereja. Paus Benediktus XV dan Paus Pius XII telah menegaskan bahwa kesulitan dalam Kitab Suci tidak identik dengan kesalahan—mereka mengundang kita untuk mendalami konteks, bukan untuk menyangkal inspirasi ilahi.


2. Liturgi: Harta Karun Abadi Gereja

Liturgi adalah jantung kehidupan Katolik. Misa Latin Tradisional (TLM), atau yang sering disebut Usus Antiquior, adalah bentuk liturgi yang tumbuh secara organik selama berabad-abad. Paus Benediktus XVI menegaskan dalam Summorum Pontificum bahwa:

“Apa yang dianggap suci oleh generasi sebelumnya tetap suci dan agung bagi kita juga.”

Keprihatinan tradisionalis bukan soal validitas Misa Novus Ordo—Misa baru tetap sah dan menghadirkan Kurban Kristus. Masalahnya adalah disrupsi organik: Misa baru lahir dari komisi liturgi modern yang memotong banyak warisan doa, simbol, dan musik Katolik. Akibatnya, banyak ekspresi teologis kaya yang hilang atau direduksi. Membenci TLM hanya karena dianggap “terlalu Katolik” adalah sikap yang bertentangan dengan cinta Gereja sendiri.


3. Doktrin Gereja: Konsistensi Tak Pernah Dibatalkan

Gereja tidak pernah mengubah dogma. Apa yang didefinisikan oleh Konsili Lateran, Trente, atau Vatikan I tetap berlaku hari ini. Namun, banyak orang—termasuk teolog dan politisi Katolik—mengabaikan ajaran yang dianggap “tidak relevan”, misalnya tentang kebangkitan Kristus, kontrasepsi, atau moralitas politik. Tradisionalisme mengingatkan: kebenaran tidak tunduk pada survei popularitas. Gereja bukan demokrasi; ia pengemban wahyu ilahi.


4. Dogma Sosial: Kristus Raja Segala Bangsa

Dogma Social Kingship of Christ (lih. Quas Primas, Paus Pius XI) menegaskan bahwa Kristus adalah Raja tidak hanya dalam altar, tetapi juga dalam hukum, politik, dan ekonomi. Gagasan pemisahan mutlak Gereja dan Negara yang populer di zaman modern adalah ditolak oleh Gereja karena bertentangan dengan realitas Kristus sebagai Raja Semesta.

Bagaimana mungkin iman dan moral Katolik dipisahkan dari hukum publik? Jika hukum manusia melegalkan aborsi atau pencurian, umat Katolik harus berkata seperti para Rasul: “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis 5:29).


5. Tradisi Kecil (little-t): Penjaga Identitas Katolik

Selain Tradition (dengan huruf besar) yang bersifat dogmatis, Gereja juga memelihara tradisi kecil seperti devosi, doa, seni, dan simbol. Rosario, air suci, musik Gregorian—semuanya bukan syarat mutlak keselamatan, tetapi menjaga piety dan identitas Katolik. Menghapusnya berarti mengikis “jiwa Katolik” yang membentuk cara berpikir dan hidup kita. Hilangnya tradisi kecil sering diikuti oleh adopsi praktik asing yang membahayakan iman.


Mengapa Tradisionalis Kerap Dimusuhi?

Jawabannya sederhana: kebenaran tidak populer. Dunia modern (dan sebagian internal Gereja) cenderung menolak kepenuhan Katolik karena dianggap “tidak sesuai zaman”. Namun, serangan terhadap tradisionalisme bukan alasan untuk arogan. Sebaliknya, kaum tradisionalis harus menghindari sikap sombong atau kasar terhadap sesama Katolik. Apologet sejati membela kebenaran dengan karitas dan integritas, bukan dengan superioritas moral.


Catatan tentang “RadTrads”

“Radikal Tradisionalis” yang menolak Paus atau mengklaim tak ada Paus sejak 1960-an (sedevakantis) bukan tradisionalis sejati. Sikap seperti ini adalah bentuk skisma, bukan iman Katolik. Tradisionalisme sejati setia kepada Gereja, Paus, dan Magisterium—seraya mengingatkan akan nilai tradisi yang hidup.


Kesimpulan

Tradisionalisme Katolik bukan nostalgia romantis, bukan sikap eksklusif, dan bukan “mazhab” baru. Ia adalah panggilan untuk menjaga keutuhan iman, liturgi, dan budaya Katolik. Dalam dunia yang terus merelatifkan kebenaran, tradisionalisme adalah benteng yang mengingatkan kita: “Yesus Kristus tetap sama, dahulu, sekarang, dan selama-lamanya” (Ibr 13:8).

Share This Article :
9000568233845443113