Seringkali kita mendengar dari saudara-saudari kita yang Protestan
sebuah pernyataan seperti ini:
“Kami hanya percaya pada Alkitab, bukan pada tradisi buatan manusia.”
“Gereja
mula-mula itu sederhana, tidak ada paus, tidak ada devosi pada Maria, tidak ada
sakramen-sakramen seperti sekarang.”
“Ajaran Katolik itu tambahan belakangan, menyimpang dari Injil yang sejati.”
Terdengar meyakinkan, bukan?
Namun, tahukah Anda bahwa ini semua adalah bagian dari retorika yang
disebut revisi historis, atau dalam bahasa sederhananya: penulisan ulang
sejarah untuk membenarkan posisi sendiri?
Apa maksudnya?
Ketika seseorang ingin membenarkan sebuah perpecahan, cara termudah
adalah mengatakan bahwa yang dipisahkan itu memang sudah salah sejak awal.
Maka, yang dilakukan adalah menyusun narasi bahwa Gereja Katolik telah
menyimpang dari “ajaran asli Kristus”, lalu mengklaim bahwa Reformasi Protestan
bukanlah sebuah perpecahan, melainkan sebuah “pemulihan”.
Padahal kenyataannya, mereka memutuskan diri dari tubuh Kristus yang
satu dan kudus — Gereja Katolik — yang telah berdiri tanpa putus sejak para
rasul.
Mari kita lihat lebih
dekat retorika mereka:
🗣 “Gereja yang sejati tidak kelihatan.”
Lalu kita bertanya: Bagaimana mungkin Gereja yang disebut tubuh Kristus itu
tidak kelihatan? Bukankah Yesus sendiri mendirikan Gereja di atas batu
karang Petrus (Mat 16:18)? Gereja itu nyata, memiliki struktur, hirarki, dan
sakramen. Dari mana kita tahu? Dari sejarah! Dan sejarah itu tidak bisa dihapus
oleh retorika.
🗣 “Kami kembali ke Alkitab.”
Tapi siapa yang mengumpulkan dan mengesahkan kitab-kitab dalam Alkitab? Gereja
Katolik! Kalau begitu, bagaimana mungkin menolak Gereja yang melahirkan kanon
Kitab Suci?
🗣 “Tradisi itu buatan
manusia.”
Namun di 2 Tesalonika 2:15, Paulus justru berkata: “Berpeganglah pada
tradisi-tradisi yang kamu terima dariku, baik secara lisan maupun tertulis.”
Lisan? Artinya: Tradisi Suci.
🗣 “Maria hanya perempuan
biasa.”
Tapi sejak abad pertama, para martir dan Bapa Gereja telah menyebut Maria
sebagai “Theotokos”, Bunda Allah, dan menghormatinya sebagai perempuan baru,
Hawa baru, yang kerelaannya membuka jalan keselamatan.
Apa bahayanya jika kita terpengaruh?
Jika kita menelan mentah-mentah revisi historis ini, kita bisa mulai
meragukan akar iman kita sendiri. Iman Katolik bukan dibangun di atas opini
atau tren, tetapi di atas kesaksian historis, kesetiaan apostolik, dan janji
Kristus sendiri: “Aku menyertai kamu sampai akhir zaman.”
Maka umat Katolik perlu tahu:
- Gereja Katolik tidak
menyimpang, melainkan terus bertumbuh dalam terang Roh Kudus.
- Kitab Suci dan Tradisi adalah dua pilar satu
Wahyu yang saling melengkapi, bukan saling menggantikan.
- Yesus tidak meninggalkan kita dalam kebingungan,
tapi mendirikan Gereja yang kelihatan, dan memberikan Petrus serta para
penggantinya sebagai gembala.
- Dan yang terakhir: Devosi, sakramen, dogma, semuanya berakar dalam
pengalaman Gereja purba — bukan penambahan, tapi pemeliharaan iman yang
hidup.
Saudara-saudari, mari kita cintai iman kita. Jangan biarkan narasi asing
mengaburkan sejarah keselamatan yang Tuhan telah rajut melalui Gereja-Nya.
Kalau ada yang datang menyebarkan narasi baru yang terdengar berbeda dari apa
yang telah dijaga Gereja sejak awal, jangan langsung percaya.
Tanyakan ini:
Di mana jemaatmu saat Santo Ignatius dari Antiokhia menulis tentang
Ekaristi di tahun 107?
Di mana gerejamu saat Konsili Nicea tahun 325 menyatakan Yesus sehakikat
dengan Bapa?
Siapa yang menjaga Alkitab sampai bisa dibaca hari ini, kalau bukan Gereja
yang sama?
Gereja Katolik tidak takut sejarah — karena kita justru dibentuk oleh
sejarah keselamatan. Yang harus kita waspadai justru adalah mereka yang
berusaha menulis ulang sejarah demi membenarkan perpecahan.
Penutup
Mari kita teguh dalam iman. Iman kita bukan buatan manusia, tapi lahir dari
karya Allah yang nyata dan historis. Gereja Katolik bukan “menyimpang”, tapi tetap
setia dalam perjalanan panjang kasih Tuhan bagi umat manusia.
Salve Pater.semangat terus untuk mengajar saya yang minim literasi dan adanya ini sangat membantu 🙏
BalasHapus