LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

IBADAH SEJATI: Sintesis Roma 12:1 Dan Maleakhi 1:11 Dalam Perspektif Katolik

 



Pendahuluan

Apakah Protestan menyembah Allah? Pertanyaan ini belakangan kembali bergaung, memanas di ruang-ruang komentar YouTube dan Twitter setelah beberapa video viral dari dua kubu apologet—Trent Horn di sisi Katolik, Gavin Ortlund di sisi Protestan. Seperti biasa, kedua pihak membawa senjata argumen masing-masing, dan seperti biasa juga, penonton awam terseret dalam debat yang sering kali kehilangan kejelasan pokok masalah.

Masalahnya sederhana, tapi pelik: Katolik berbicara tentang Misa Kudus sebagai puncak ibadah. Protestan menganggap ibadah pribadi mereka—pujian, doa, penyerahan diri—sudah merupakan ibadah penuh. Lalu muncul stereotip konyol: seolah Katolik berkata, “Kalau tidak Misa, kamu tidak sedang menyembah Tuhan,” sementara Protestan membalas, “Kalau begitu, kasihku pada Yesus tidak berarti apa-apa di mata kalian.”

Inilah jebakan retoris yang harus diurai. Pertama, Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa ibadah personal Protestan nol poin di mata Tuhan—Roma 12:1 jelas diakui Gereja: mempersembahkan tubuh sebagai kurban hidup adalah ibadah rohani yang sejati. Tetapi, dan di sinilah pembedanya, iman Katolik menegaskan bahwa ibadah pribadi hanyalah satu sisi mata uang. Sisi lainnya—yang tak kalah penting—adalah ibadah komunal, liturgis, dan sakramental: Kurban Misa, yang bukan sekadar “peringatan” atau “simbol”, melainkan partisipasi nyata dalam kurban Kristus di Kalvari.

Bagi Katolik, ini bukan opsional. Ini bukan bumbu tambahan. Ini inti resep yang Tuhan sendiri tentukan. Menolak dimensi komunal ini sama saja dengan memangkas ibadah Kristen dari blueprint yang Yesus berikan. Protestan mungkin menolak klaim ini, tapi sayangnya, Kitab Suci, Tradisi, dan nubuatan para nabi sudah lebih dulu memposisikan kurban sejati sebagai pusat ibadah umat Allah.

Maka artikel ini tidak akan berhenti pada “ya, Protestan juga menyembah Allah.” Itu terlalu mudah dan terlalu aman. Kita akan menelusuri, secara sistematis, mengapa tanpa Kurban Misa, ibadah Kristen kehilangan dimensi yang diperintahkan Tuhan, dan mengapa posisi Katolik—meski terasa mengganggu bagi sebagian telinga—justru paling konsisten secara biblis, historis, dan teologis.

 

II. Distingsi Dasar dalam Ibadah

Di sinilah banyak debat Katolik–Protestan menjadi bising: keduanya sering bicara tentang “ibadah” seolah istilah itu punya definisi tunggal. Padahal, dalam tradisi Gereja (dan juga dalam Kitab Suci), ibadah punya dua dimensi yang saling mengisi, bukan saling meniadakan.

1. Ibadah Internal (Personal Worship)

Inilah yang sering dikedepankan Protestan—dan memang tidak salah. Roma 12:1 tidak main-main ketika memerintahkan kita untuk mempersembahkan tubuh sebagai kurban hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah. Ini adalah ibadah rohani yang sejati (logikÄ“ latreia), inti dari relasi personal dengan Tuhan.

Berdoa di kamar, memuji Tuhan di perjalanan kerja, menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Kristus—itu semua sah dan bernilai. Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa hal ini “kosong” tanpa Misa. Tetapi, mari jujur: jika ibadah hanyalah urusan pribadi di ruang hati, kita akan jatuh pada teologi me-and-my-Jesus, yang praktis memotong umat Allah dari pola ibadah yang sejak Perjanjian Lama selalu melibatkan umat secara komunal di hadapan altar.

2. Ibadah Eksternal (Komunal Worship)

Di sinilah Katolik mengibarkan panji. Ibadah eksternal bukan sekadar “kebaktian umum” atau “praise and worship” bersama. Ini adalah kurban liturgis yang nyata—Kurban Misa—yang secara sakramental menghadirkan kembali (bukan mengulang) kurban Kristus di Kalvari, sebagaimana Ia sendiri tetapkan pada Perjamuan Terakhir: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku” (Luk 22:19).

Kenangan di sini bukan nostalgia; kata Yunani anamnesis berarti partisipasi aktif dalam peristiwa yang dihadirkan secara sakramental. Dan ini selalu berbentuk persembahan kurban—bukan sekadar ingatan mental atau lagu rohani.

3. Kesalahpahaman yang Memicu Api Perdebatan

Masalahnya, beberapa cara Katolik mengomunikasikan hal ini di ruang publik terdengar seperti: “Kalau tidak Misa, ibadahmu sia-sia.” Lalu, sebagian Protestan bereaksi: “Kalau begitu, semua cinta dan pengabdianku kepada Yesus tidak ada nilainya?”

Jawaban Katolik yang benar: Bukan begitu. Ibadah personal itu penting—tapi itu belum lengkap. Lengkapnya adalah both-and: hati yang menyembah dan kurban komunal yang nyata. Ini bukan hasil konsili abad pertengahan, melainkan pola ilahi yang sudah ada sejak kurban di Kemah Suci, Bait Allah, nubuat Maleakhi 1:11, hingga pemenuhan sempurnanya di Ekaristi.

 

III. Dasar Biblis untuk Kurban Misa

Banyak Protestan modern, termasuk Gavin Ortlund, berkata: “Tidak ada bukti di Perjanjian Baru bahwa ibadah Kristen melibatkan kurban komunal.” Itu seperti mengatakan Alkitab tidak pernah bicara soal roti… sambil menutup mata di saat Yesus memberi makan lima ribu orang. Mari buka Kitab Suci, bukan sekadar kutipan hobi.

 

1. Yohanes 4: Ibadah dalam Roh dan Kebenaran

Konteksnya jelas: perempuan Samaria mengeluh tentang lokasi ibadah—Bait Allah di Yerusalem vs. Gunung Gerizim. Yang dibicarakan di sini bukan “acara doa keluarga” atau “quiet time”, melainkan kurban di altar. Dalam Perjanjian Lama, pujian bisa diberikan di mana saja, tetapi kurban hanya boleh di altar Bait Allah.

Yesus menjawab bahwa waktunya telah tiba di mana ibadah sejati tidak terikat tempat, tetapi dilakukan “dalam roh dan kebenaran”. Roh berarti tidak lagi terikat pada lokasi fisik tertentu; kebenaran berarti ibadah itu ditujukan kepada Allah yang sejati, bukan dewa versi Samaria.

Ini menggemakan Maleakhi 1:11: “Di segala tempat akan dipersembahkan kurban yang murni bagi nama-Ku.” Pertanyaannya: di mana nubuatan ini tergenapi? Dalam Ekaristi, di mana dari timur sampai barat, umat Allah mempersembahkan kurban murni di setiap altar Katolik di dunia.

 

2. 1 Korintus 10: Meja Tuhan vs. Meja Berhala

Paulus memperingatkan jemaat Korintus agar menjauhi persembahan berhala. Lalu, tanpa basa-basi, ia membandingkan persembahan itu dengan perjamuan Tuhan (Ekaristi). Ia menulis: “Bukankah mereka yang makan persembahan itu mendapat bagian di mezbah?” (1Kor 10:18).

Catat baik-baik: mezbah (thusiastÄ“rion)—bukan panggung musik, bukan kursi mimbar. Mezbah adalah tempat kurban. Paulus mengaitkan langsung meja Tuhan (Ekaristi) dengan konsep kurban di altar. Kalau Ekaristi hanyalah simbol atau “snack rohani”, mengapa Paulus bicara seolah kita juga mempersembahkan sesuatu di altar?

 

3. Melkisedek: Tipologi Kurban Roti dan Anggur

Kejadian 14 menampilkan Melkisedek, imam Allah Mahatinggi, mempersembahkan roti dan anggur. Surat kepada orang Ibrani menegaskan bahwa Kristus adalah Imam dalam “tata imamat Melkisedek” (Ibr 7:17).

Para Bapa Gereja—dari Siprianus hingga Agustinus—tidak melihat ini sebagai “snack untuk Abraham”, melainkan sebagai kurban yang menubuatkan Ekaristi. Protestan yang menolak ini harus menjawab pertanyaan sederhana: jika Kristus adalah Imam menurut tata Melkisedek, lalu persembahan-Nya di Perjamuan Terakhir (roti dan anggur) bukan kurban, maka Yesus gagal mengikuti pola imamat yang dikatakan Kitab Suci.

 

4. Benang Merah Kitab Suci

  • Perjanjian Lama: ibadah sejati selalu berpusat pada kurban yang Allah tetapkan.
  • Nubuatan nabi: akan datang kurban murni yang universal (Maleakhi 1:11).
  • Yesus: menetapkan Perjamuan Kudus dengan bahasa kurban (“inilah tubuh-Ku… darah-Ku yang ditumpahkan”).
  • Para rasul: berbicara tentang meja Tuhan, mezbah, dan partisipasi dalam kurban Kristus.

Semua ini bukan kebetulan. Ini adalah rancangan ilahi yang membuat Misa Kudus bukan “tambahan opsional”, tetapi jantung ibadah Kristen.

 

IV. Kesaksian Tradisi Suci

Bagi sebagian Protestan, kata “Tradisi” sudah cukup untuk memicu reaksi alergi teologis. Tapi kalau kita bicara serius, mustahil membicarakan ibadah Kristen tanpa menoleh ke sejarah umat Kristen awal. Sebab kalau kurban Misa hanyalah penemuan abad pertengahan, seharusnya para saksi abad-abad pertama Kristen bungkam total. Faktanya? Mereka justru paling lantang.

 

1. Bapa Gereja Awal: Saksi dari Abad Pertama dan Kedua

  • Didache (akhir abad 1 / awal abad 2) sudah berbicara tentang “mengumpulkan umat pada hari Tuhan” dan mempersembahkan “kurban yang murni” — bahasa yang jelas menggemakan Maleakhi 1:11.
  • Santo Ignatius dari Antiokhia († 107), murid langsung Rasul Yohanes, menyebut Ekaristi sebagai “daging Yesus Kristus” dan menegur mereka yang menjauh dari altar—bukan “panggung” atau “ruang ibadah fleksibel”, tapi altar kurban.
  • Santo Yustinus Martir († 165) menggambarkan Misa sebagai pertemuan di mana roti dan anggur “menjadi Ekaristi” dan dipersembahkan dalam doa, lalu dibagikan kepada umat—ini adalah bahasa liturgis dan persembahan, bukan piknik rohani.

 

2. Santo Agustinus: Ekaristi sebagai Propitiatio

Protes besar Protestan modern: “Misa sebagai kurban untuk arwah? Tidak ada di Alkitab.”
Jawaban Agustinus († 430): Ekaristi dapat menjadi propitiatio—persembahan pendamaian—bagi jiwa-jiwa yang telah meninggal, untuk pengampunan dosa atau meringankan hukuman mereka. Bahasa ini bukan hasil Konsili Trente, tapi berasal dari teolog yang Protestan sendiri suka kutip untuk hal-hal lain.

 

3. Konsistensi Historis Gereja Katolik

Selama dua milenium, dari Roma ke Antiokhia, dari Aleksandria ke Kartago, pola ini tidak berubah:

  • Umat berkumpul pada hari Tuhan.
  • Imam mempersembahkan kurban roti dan anggur di altar.
  • Kurban ini dipahami sebagai partisipasi dalam satu kurban Kristus di Kalvari.

Yang berubah hanyalah ornamen dan bahasa liturgis; esensinya tetap sama. Klaim bahwa kurban Misa “tidak dikenal” sebelum Abad Pertengahan hanyalah mitos yang lahir dari membaca sejarah dengan kaca mata Reformasi.

 

4. Tradisi Bukan Saingan Kitab Suci

Bagi Katolik, Tradisi Suci bukan kompetitor Kitab Suci, melainkan kaca pembesar yang membuat teks Kitab Suci terlihat dalam bentuk konkret yang dijalani Gereja sepanjang sejarah. Sama seperti peta kuno yang diberi tanda jalan oleh para pelaut yang benar-benar pernah berlayar, Tradisi memberi bukti “lapangan” bahwa yang dibaca di Yohanes 4 dan 1 Korintus 10 memang diwujudkan di altar-altar nyata sejak abad pertama.

 

V. Koreksi terhadap Pandangan Protestan

Kalau mau jujur, sebagian besar keberatan Protestan terhadap Misa sebagai kurban lahir bukan dari Kitab Suci, melainkan dari paket warisan Reformasi yang sejak awal memang memotong dimensi liturgis-komunal ibadah Kristen. Yang dipertahankan hanyalah ibadah personal—yang tentu berharga—tapi dibiarkan kehilangan “tulang punggung” yang Tuhan sendiri tetapkan.

 

1. Klaim: “Tidak Ada Kurban Komunal di Perjanjian Baru”

Argumen ini ambruk begitu kita baca Yohanes 4 dan 1 Korintus 10 dengan mata terbuka. Kitab Suci bukan hanya bicara soal pujian dan doa pribadi, tapi juga altar, persembahan, dan nubuat tentang kurban murni di segala bangsa (Maleakhi 1:11).

Mengabaikan ini sama saja dengan membaca kisah Keluaran tapi menghapus semua bagian tentang Kemah Suci dan persembahan korban, lalu berpura-pura bahwa ibadah Israel kuno adalah sekadar “menyanyi di rumah”.

 

2. Klaim: “Misa Bukan Perintah Kristus”

Yesus sendiri, pada Perjamuan Terakhir, berkata: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku” (Luk 22:19). Kata anamnesis di sini bukan “ingat-ingat manis sambil memejamkan mata”, tapi istilah liturgis yang berarti menghadirkan kembali peristiwa yang dikenang secara sakramental.

Kalau Kristus hanya mau kita mengingat tanpa mempersembahkan, mengapa Ia memilih bentuk roti dan anggur yang jelas-jelas adalah persembahan altar Melkisedek?

 

3. Klaim: “Tradisi Hanya Menambah-nambah”

Tradisi yang dimaksud Katolik bukan tambahan liar, melainkan kesaksian hidup para murid dan penerus mereka tentang cara ibadah yang memang sudah dijalankan sejak awal. Mengabaikan Tradisi ini berarti memutus diri dari komunitas iman yang menyalurkan Kitab Suci itu sendiri. Ironisnya, Protestan percaya Kitab Suci tapi memotong jalur historis yang memberikannya.

 

4. Inti Masalah: Puzzle yang Hilang

Ibadah personal Protestan—doa, pujian, penyerahan diri—adalah bagian penting dari ibadah sejati. Katolik mengakuinya. Tetapi itu bukan gambaran utuh. Tanpa kurban komunal di altar, ibadah Kristen menjadi setengah resep: ada bumbu, ada api, tapi tidak ada hidangan utama.

Kalau Tuhan sendiri sudah menyiapkan meja-Nya di Ekaristi, mengapa puas hanya dengan dapur rumah masing-masing?

VI. Sintesis Teologis

Di titik ini, garis besar sudah jelas: Katolik tidak sedang memojokkan ibadah personal Protestan. Kita justru mengakui nilainya—Roma 12:1 adalah pilar yang tidak tergoyahkan. Tetapi di atas fondasi itu, Kitab Suci dan Tradisi menuntut sesuatu yang lebih: kurban komunal yang nyata, sebagai puncak ibadah umat Allah.

 

1. Mazmur 51: Hati yang Hancur dan Kurban yang Benar

Mazmur 51 menegaskan: “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur.” Tetapi mazmur itu tidak berhenti di sana. Ayat 21–22 melanjutkan: setelah hati benar, “maka Engkau akan berkenan kepada korban yang benar, korban bakaran dan korban keseluruhan; maka orang akan mempersembahkan lembu jantan di atas mezbah-Mu.”

Inilah pola both-and: pertama, hati yang rendah; kedua, kurban nyata. Bukan memilih salah satu.

 

2. Roma 12:1 dan Maleakhi 1:11 Bertemu di Altar

Roma 12:1 menekankan ibadah personal—menyerahkan tubuh sebagai kurban hidup. Maleakhi 1:11 menubuatkan ibadah komunal—kurban murni dari timur ke barat. Kedua ayat ini tidak saling meniadakan; mereka adalah dua sisi satu koin yang sama, yang diukir sempurna dalam Ekaristi.

 

3. Ekaristi: Titik Puncak dan Sumber

Konsili Vatikan II menyebut Ekaristi sebagai “puncak dan sumber seluruh kehidupan Kristen” (culmen et fons).

  • Puncak: segala doa, pelayanan, dan devosi pribadi mengalir menuju kurban Misa sebagai bentuk persembahan sempurna kepada Allah.
  • Sumber: dari Misa, rahmat mengalir kembali untuk menghidupkan ibadah personal setiap umat.

 

4. Logika Ilahi: Iman yang Bertubuh

Allah menciptakan kita dengan tubuh dan roh; maka ibadah kepada-Nya juga harus bersifat rohani dan jasmani. Kurban Misa menjadikan prinsip ini nyata: iman bukan hanya getaran hati, tapi juga tindakan liturgis yang terlihat, terdengar, dan dirayakan bersama.

 

5. Mengapa Protestan Kehilangan Dimensi Ini

Reformasi memutus kontinuitas dengan pola ibadah komunal Perjanjian Lama yang digenapi dalam Perjanjian Baru. Akibatnya, ibadah yang tersisa adalah fragmen: indah secara pribadi, tapi cacat secara sakramental. Mengabaikan Misa berarti mengabaikan rancangan ibadah yang Yesus sendiri tetapkan sebelum wafat-Nya.

 

VII. Kesimpulan

Mari kita akhiri dengan kejujuran intelektual:

  • Ya, Protestan menyembah Allah. Ibadah personal mereka—doa, pujian, penyerahan diri—adalah nyata dan berharga.
  • Tidak, itu belum memenuhi seluruh rancangan ibadah yang diwahyukan Allah. Kitab Suci, dari nubuat Maleakhi hingga Paulus di 1 Korintus 10, menuntut ibadah komunal yang berpusat pada kurban sejati.

Katolik tidak sedang berkata, “tanpa Misa, kamu tidak beriman.” Katolik berkata, “tanpa Misa, ibadahmu kehilangan bagian yang Tuhan sendiri tetapkan sebagai puncak.” Itu perbedaan besar—dan itulah mengapa Gereja berani mati mempertahankan altar, dari katakombe Roma hingga pedalaman misi.

Mazmur 51 sudah memberi resepnya: hati yang hancur dan kurban yang benar. Roma 12:1 memberi fondasinya, Maleakhi 1:11 menubuatkan puncaknya, dan Ekaristi menggenapinya.

Protestan mungkin puas dengan “hanya hati”, tapi Katolik—berpegang pada Kitab Suci dan Tradisi—tidak mau mencuri setengah dari persembahan yang layak bagi Raja segala raja. Iman tanpa Misa adalah surat cinta tanpa pernikahan: indah, tapi berhenti sebelum janji itu dimeteraikan di altar.

Dan di altar itulah, umat Katolik setiap hari berdiri—bukan sekadar mengenang Yesus, tapi mempersembahkan Dia sendiri, Sang Anak Domba, kepada Bapa, persis seperti yang Ia perintahkan: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku.”

 

Share This Article :
9000568233845443113