(Sebuah draft untuk penelitian lanjut)
Pendahuluan
Di Nusa
Tenggara Timur, lonceng gereja berdentang setiap minggu. Jemaat berkumpul,
Alkitab dibuka, lagu pujian memenuhi udara. Namun di balik suara iman yang
merdu, angka berbicara pahit: kemiskinan di provinsi ini mencapai 19,02%
(BPS, September 2024), jauh di atas rata-rata nasional. Bahkan di Kabupaten
Timor Tengah Selatan—wilayah Protestan dominan—stunting anak mencapai 50,1%,
tertinggi di seluruh NTT.
Banyak
orang menyalahkan tanah yang tandus, musim kering panjang, dan akses
infrastruktur yang buruk. Semua itu benar, tapi bukan seluruh cerita. Ada
faktor yang jarang dibicarakan: cara iman dipraktikkan. Di Timor dan
Sumba, Protestantisme lokal yang berakar pada sola fide—keselamatan
hanya oleh iman—telah membentuk pola pikir sosial yang unik. Di satu sisi, ia
menekankan relasi pribadi dengan Tuhan; di sisi lain, ia kerap memisahkan iman
dari karya sosial yang terorganisir dan berkelanjutan.
Hasilnya,
pelayanan sosial sering berbentuk event-based charity—baksos, pembagian
sembako, pengobatan massal—yang memberi bantuan sesaat, tetapi jarang
menumbuhkan lembaga permanen seperti sekolah, rumah sakit, atau koperasi yang
mampu bertahan lintas generasi. Tanpa karitas terinstitusionalisasi,
kemiskinan berubah menjadi lingkaran setan: iman hangat di mimbar, perut lapar
di dapur.
Artikel ini
mengajak kita melihat lebih dekat hubungan antara fondasi teologis dan
kemiskinan struktural di Timor dan Sumba, serta membandingkannya dengan wilayah
Katolik seperti Flores—di mana fides et caritas melahirkan jaringan
sekolah, klinik, dan rumah sakit yang terus hidup. Dari sana, kita akan belajar
bahwa iman yang tidak bertubuh lembaga hanyalah retorika, dan bahwa
membangun manusia berarti menanam iman dalam tanah sosial yang kokoh.
Bagian I
– Latar Historis dan Teologis
1.
Masuknya Protestantisme ke Timor dan Sumba
Protestantisme
tiba di Timor dan Sumba bukan sebagai gerakan akar rumput, tetapi sebagai
proyek zending kolonial Belanda pada abad ke-19. Di bawah Gereformeerde Kerk
dan kemudian zending-zending independen, Injil dibawa bersama tata tertib
gereja Calvinis: sola scriptura dan sola fide menjadi fondasi
teologis utama. Fokus awalnya adalah penginjilan dan pendidikan dasar—sering
kali dalam bentuk sekolah rakyat—tetapi orientasi jangka panjangnya berbeda
dari tradisi Katolik.
Pendidikan
yang dibuka oleh zending berfungsi lebih sebagai alat literasi Alkitab
ketimbang sarana pembangunan ekonomi atau sosial yang sistematis. Akibatnya,
ketika pemerintah kolonial hengkang, banyak sekolah sinode tidak memiliki
sumber daya manusia dan finansial yang cukup untuk berkembang menjadi lembaga
kuat.
2. Karakteristik Teologi Lokal
Di Timor dan Sumba, sola fide dihidupi dalam konteks
budaya yang sudah akrab dengan ritual adat dan kepemimpinan komunitas yang
terpusat pada figur-figur tertentu. Teologi ini menekankan keselamatan sebagai
relasi pribadi dengan Tuhan melalui iman—sementara karya sosial sering dipandang
sebagai urusan sekunder atau bahkan “sekuler.”
Implikasinya:
- Pelayanan
sosial dianggap opsional, bukan bagian tak terpisahkan dari keselamatan.
- Bantuan
sosial biasanya berupa aksi spontan atau event tahunan, tidak dirancang
sebagai institusi permanen.
- Fragmentasi
sinode dan denominasi memecah sumber daya, membuat sulit membentuk proyek
bersama yang berskala besar.
3. Kontras dengan Tradisi Katolik
Di sisi lain, tradisi Katolik yang hadir di Flores,
Larantuka, sebagian Rote, dan Sabu berangkat dari doktrin fides et caritas:
iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:17). Dalam visi Katolik, karitas bukan
sekadar filantropi, tetapi mandat rohani yang sama pentingnya dengan liturgi.
Maka, setiap misi Katolik hampir selalu diiringi pembangunan
sekolah, klinik, rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga pendidikan vokasional.
Semua itu tidak berhenti pada kehadiran misionaris pertama, karena ada sistem
kaderisasi (pastor, suster, bruder, guru awam) yang menjamin keberlanjutan.
Ordo religius dan kongregasi menjadi tulang punggung, memastikan lembaga
tersebut tidak mati bersama pendirinya.
4. Fondasi yang Mencetak Pola Pikir
Perbedaan fondasi teologis ini membentuk mindset
sosial:
- Model
Protestan lokal: iman → pribadi → event → selesai.
- Model
Katolik: iman → komunitas → lembaga → regenerasi → keberlanjutan.
Dengan kata lain, teologi tidak berhenti di mimbar; ia
menubuh dalam struktur sosial. Di Timor dan Sumba, absennya “tubuh” ini membuat
banyak pelayanan sosial tidak meninggalkan jejak panjang. Di Flores, tubuh itu
hadir, berakar, dan terus memberi buah.
Bagian
II – Indikator Sosial di Timor dan Sumba
1. Kemiskinan
yang Konsisten Tinggi
Data BPS
menunjukkan, per September 2024, persentase penduduk miskin di NTT berada di 19,02%,
jauh di atas rata-rata nasional sekitar 9,36%. Angka ini lebih kelam
lagi di kabupaten-kabupaten Protestan dominan:
- Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS): salah satu kantong kemiskinan terbesar,
dengan ribuan rumah tangga hidup di bawah garis kebutuhan dasar.
- Kabupaten
Sumba Timur dan Sumba Barat: kemiskinan tetap di kisaran tinggi, tidak
pernah turun signifikan meskipun ada intervensi pemerintah.
2. Stunting: Generasi yang Tergadaikan
Stunting—indikator paling kejam dari kemiskinan jangka
panjang—mencapai titik krisis di wilayah ini:
- TTS:
50,1% balita mengalami stunting, tertinggi di seluruh NTT.
- Sumba
Barat dan Sumba Timur: tetap di atas 40%, artinya hampir separuh anak
tumbuh dengan tubuh dan otak yang tidak optimal.
Angka ini kontras tajam dengan Ngada (Flores) yang hanya 21,3%, wilayah Katolik yang memiliki jaringan klinik dan penyuluhan gizi terpadu.
3. Pendidikan:
Harapan yang Terhenti di Tengah Jalan
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) mengukur tiga aspek: pendidikan, kesehatan, dan daya
beli. Di wilayah Protestan dominan, komponen pendidikan menjadi
titik lemah:
- Harapan
Lama Sekolah (HLS):
- Sumba
Timur: 12,87 tahun (hanya setara tamat SMA awal).
- Sumba
Barat: 13,40 tahun.
Angka ini lebih rendah dibanding kabupaten di Flores yang mendekati 14 tahun. - Kualitas
pendidikan juga timpang: sekolah milik sinode sering kekurangan guru
terlatih dan fasilitas, serta bergantung pada subsidi pemerintah.
4. Akses
Kesehatan: Bergantung pada Pemerintah dan NGO
Fasilitas
kesehatan di Timor dan Sumba umumnya:
- Tersebar jarang, sehingga
jarak tempuh ke puskesmas atau klinik bisa lebih dari 10 km.
- Minim tenaga medis permanen;
banyak bergantung pada program pemerintah atau NGO yang bersifat
sementara.
Berbeda dengan model Katolik di Flores atau Rote–Sabu, di mana klinik dan rumah sakit Katolik tetap beroperasi puluhan tahun karena dikelola oleh tarekat dan kongregasi.
5. Interpretasi Awal
Kondisi ini memperkuat hipotesis bahwa kemiskinan di Timor
dan Sumba tidak hanya akibat geografi dan minimnya infrastruktur pemerintah,
tetapi juga karena ketiadaan karitas terinstitusionalisasi.
Model pelayanan sosial yang
berbasis event dan proyek tidak menciptakan perubahan struktural. Akibatnya,
IPM berjalan lambat, angka stunting tinggi, dan pendidikan tidak menjadi alat
pemutus rantai kemiskinan.
Bagian
III – Mekanisme Teologis → Sosial
1. Sola
Fide Tanpa Karitas Terinstitusionalisasi
Akar
teologis sola fide—keselamatan hanya oleh iman—memiliki kekuatan rohani
yang besar pada tataran pribadi. Namun, ketika dipisahkan dari karya amal yang
terstruktur, ia melahirkan pola pelayanan sosial yang bersifat tambahan, bukan
pokok.
Dalam konteks Timor dan Sumba:
- Pelayanan
sosial dianggap sekunder dibanding penginjilan atau kegiatan ibadah.
- Karya
amal bersifat insidental (baksos, pengobatan massal) dan bergantung
pada momen tertentu (Natal, Paskah, peringatan sinode).
- Tidak
ada kewajiban teologis untuk membangun lembaga permanen yang
memelihara pelayanan itu lintas generasi.
2. Event-Based Charity vs. Permanent Institution
Perbedaan paling mencolok antara model Protestan lokal dan
Katolik terletak pada bentuk karitas:
- Event-Based
Charity (Protestan lokal)
- Singkat, responsif, dan sering
kali spektakuler.
- Dampaknya instan tetapi cepat
hilang.
- Minim kaderisasi dan
infrastruktur pendukung.
- Permanent
Institution (Katolik)
- Lahir dari mandat teologis:
iman harus “bertubuh” dalam karya sosial.
- Bentuknya sekolah, klinik,
rumah sakit, panti, koperasi.
- Dikelola oleh struktur Gereja
dan ordo, dengan regenerasi tenaga pelayanan yang jelas.
3. Efek Psikologis: Fatalisme yang Menghambat
Di banyak jemaat Protestan lokal, ada sikap menerima
kemiskinan sebagai “rencana Tuhan” atau “ujian iman.” Tanpa dorongan
kelembagaan yang kuat, mentalitas ini mudah berubah menjadi fatalisme sosial:
- Warga
enggan berinvestasi dalam pendidikan atau usaha jangka panjang.
- Inovasi
dianggap tidak terlalu penting karena “kalau Tuhan mau, pasti jadi.”
- Kemandirian
ekonomi tergantikan oleh ketergantungan pada bantuan luar.
4. Fragmentasi
dan Kehilangan Skala
Fragmentasi
sinode dan denominasi memecah sumber daya. Setiap denominasi memiliki program
sendiri-sendiri, sehingga:
- Tidak
ada critical mass untuk proyek infrastruktur besar.
- Dana
dan tenaga terpecah menjadi banyak kegiatan kecil yang efeknya terbatas.
- Kerja
sama lintas jemaat sulit terjadi karena perbedaan doktrinal dan ego
kelembagaan.
5. Jalur Sebab–Akibat
Bila disederhanakan, mekanismenya seperti ini:
Fondasi teologis (sola fide)
→ Minim integrasi karitas dalam misi utama
→ Pelayanan sosial insidental dan fragmentaris
→ Tidak lahir lembaga permanen
→ Dampak sosial jangka pendek, tanpa perubahan struktural
→ Kemiskinan dan stunting berulang lintas generasi.
Bagian IV – Studi Perbandingan
1. Flores – Katolik Mayoritas
Flores adalah laboratorium hidup dari teologi fides et
caritas. Sejak masa misi Portugis dan kemudian SVD, pelayanan iman selalu
disertai karya sosial permanen:
- Pendidikan:
jaringan sekolah Katolik dari SD sampai SMA/SMK tersebar hampir di setiap
kecamatan. Banyak dikelola oleh tarekat (SVD, SSpS, FMM, dll.).
- Kesehatan:
rumah sakit Katolik (RS St. Elisabeth Larantuka, RS St. Yoseph Ende, RS
Cancar, dll.) dan puluhan klinik paroki aktif melayani, bahkan di daerah
terpencil.
- Dampak
sosial: Angka stunting di kabupaten seperti Ngada berada di 21,3%,
salah satu terendah di NTT. IPM di beberapa kabupaten Flores lebih tinggi
daripada wilayah Protestan dominan, meski sama-sama menghadapi geografi
sulit.
2. Timor–Sumba – Protestan Dominan
Di Timor daratan (kecuali sebagian wilayah Kupang) dan
Sumba, Protestantisme menjadi mayoritas sejak era zending Belanda:
- Pendidikan:
sekolah milik sinode ada, tapi banyak yang kekurangan guru terlatih,
fasilitas minim, dan bergantung pada bantuan pemerintah.
- Kesehatan:
pelayanan medis lebih mengandalkan puskesmas pemerintah atau NGO luar;
sedikit fasilitas yang dimiliki dan dikelola jemaat secara permanen.
- Dampak
sosial: Stunting ekstrem di TTS (50,1%) dan Sumba (>40%),
harapan lama sekolah lebih rendah dibanding Flores, dan kemiskinan tetap
tinggi meskipun ada program bantuan sosial pemerintah.
3. Rote–Sabu
– Campuran
Rote dan
Sabu adalah zona pertemuan dua model:
- Kasus Katolik (contoh: P.
Frans Lackner, SVD): membangun sekolah, klinik, dan kader lokal yang melanjutkan
pelayanan, memastikan infrastruktur sosial bertahan puluhan tahun.
- Kasus Protestan lokal: pelayanan sosial lebih banyak
berupa baksos atau pengobatan massal, yang hilang begitu pendanaan proyek
selesai.
- Dampak: Desa-desa dengan pelayanan
Katolik permanen cenderung memiliki akses pendidikan dan kesehatan lebih
baik daripada desa murni Protestan di pulau yang sama.
4. Ringkasan Perbandingan
Aspek |
Flores (Katolik) |
Timor–Sumba (Protestan) |
Rote–Sabu (Campuran) |
Fondasi teologis |
Fides et caritas |
Sola fide, sola scriptura |
Kedua model berdampingan |
Bentuk karitas |
Lembaga permanen (sekolah, RS, klinik) |
Event-based charity |
Campuran: permanen vs event-based |
Kaderisasi |
Sistematis melalui tarekat & paroki |
Terbatas, bergantung pada proyek |
Kuat di kantong Katolik, lemah di kantong Protestan |
Dampak IPM/Stunting |
IPM relatif tinggi, stunting rendah |
IPM stagnan, stunting tinggi |
Variatif sesuai model yang dominan |
5. Pelajaran dari Perbandingan
- Fondasi
teologis memengaruhi mindset sosial: di Flores, iman selalu
“menubuh” dalam karya sosial terstruktur; di Timor–Sumba, iman cenderung
tetap pada tataran pribadi dan ritual.
- Keberlanjutan
karya sosial memerlukan struktur dan kaderisasi, bukan sekadar semangat
insidental.
- Wilayah
campuran seperti Rote–Sabu membuktikan bahwa ketika model Katolik
diadopsi, dampak sosial positif muncul, bahkan di tengah lingkungan
geografis dan ekonomi yang sama.
Bagian V – Perspektif Apologetik Katolik
1. Iman dan Perbuatan: Kesatuan yang Tak Terpisahkan
Dalam iman Katolik, pembenaran bukanlah hanya soal iman
pribadi, tetapi iman yang “menghasilkan buah” dalam kasih. Kitab Suci sendiri
menegaskan:
“Demikian halnya dengan iman: jika iman itu tidak disertai
perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”
(Yakobus 2:17)
Ayat ini bukan sekadar teguran moral, tetapi fondasi
doktrinal: iman yang hidup pasti diwujudkan dalam tindakan konkret untuk
melayani sesama, khususnya yang miskin dan terpinggirkan.
2. Konsili Trente dan Pembenaran
Konsili Trente (1545–1563) secara eksplisit menolak ide
bahwa iman tanpa perbuatan dapat membenarkan manusia. Gereja mengajarkan bahwa
kasih (caritas) yang diwujudkan dalam pelayanan adalah bagian integral
dari kehidupan beriman.
- Ini
bukan sekadar aksi sosial, melainkan konsekuensi logis dari rahmat
yang diterima dalam Kristus.
- Karena
itu, pelayanan sosial bukan “pilihan tambahan” bagi orang Katolik, tetapi
mandat ilahi.
3. Magisterium
Modern: Karitas sebagai Jantung Misi
Paus
Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est (2005) menulis:
“Bagi
Gereja, pelayanan kasih sama pentingnya dengan pelayanan sabda dan sakramen.”
Pernyataan
ini mengikat seluruh karya sosial Gereja pada misi keselamatan itu sendiri.
Rumah sakit Katolik, sekolah, panti asuhan, dan klinik bukanlah “unit usaha”
atau “proyek sosial”, melainkan perpanjangan dari sakramen kasih Allah kepada
umat manusia.
4. Kontras
dengan Pola Sola Fide
Di wilayah
Timor dan Sumba, varian lokal sola fide cenderung menempatkan karya
sosial di pinggiran:
- Iman pribadi dianggap inti,
sedangkan karya sosial sering hanya menjadi ekspresi sesaat, bukan
struktur yang diikat kewajiban teologis.
- Akibatnya, tidak terbentuk
lembaga permanen yang menopang pelayanan lintas generasi.
- Dampak sosialnya terukur: IPM
stagnan, angka stunting tinggi, dan ketergantungan pada bantuan luar tetap
kuat.
5. Pelajaran dari Tradisi Katolik
Model Katolik di Flores dan kantong-kantong Katolik di
Rote–Sabu menunjukkan:
- Ketika
iman diikat erat dengan karya kasih yang terstruktur, tercipta sistem
pendidikan dan kesehatan yang mampu bertahan puluhan tahun.
- Kaderisasi
berkelanjutan memastikan karya itu tetap hidup meski tokoh awal misi telah
tiada.
- Karitas menjadi bagian dari
identitas iman, bukan sekadar kegiatan sosial musiman.
Bagian VI – Solusi dan Rekomendasi
1. Membongkar Kultur Proyek, Membangun Kultur Lembaga
Pelayanan sosial tidak boleh lagi berhenti pada baksos
tahunan atau kegiatan musiman. Baik gereja Protestan lokal maupun NGO perlu
mengadopsi prinsip keberlanjutan:
- Menetapkan
komitmen minimal 3–5 tahun untuk setiap program di satu wilayah.
- Membangun
infrastruktur sosial permanen (sekolah, klinik, pusat pelatihan
kerja) yang berakar pada komunitas setempat.
- Mengintegrasikan
pelayanan sosial ke dalam agenda rohani jemaat, bukan
memisahkannya.
2. Kaderisasi Lokal sebagai Prioritas
Tanpa tenaga lokal yang terlatih, setiap lembaga akan mati
bersama pendirinya atau donor awal.
- Latih
guru, perawat, dan tenaga teknis dari dalam jemaat.
- Beri beasiswa berbasis komitmen
pengabdian minimal 5 tahun di daerah asal.
- Bentuk dewan pengelola
komunitas untuk memastikan partisipasi dan akuntabilitas.
3. Kolaborasi
Lintas-Denominasi
Persaingan
antar-sinode dan denominasi hanya memecah sumber daya yang sebenarnya terbatas.
Beberapa isu sosial—stunting, pendidikan, air bersih—harus dikerjakan bersama:
- Bentuk konsorsium pelayanan
sosial lintas gereja di tingkat kabupaten.
- Gunakan fasilitas yang ada
secara bersama untuk program gizi dan kesehatan ibu-anak.
- Hilangkan duplikasi proyek
yang membuang dana.
4. Mengadaptasi
Model Katolik Tanpa Kehilangan Identitas
Meski
berbeda doktrin, tidak ada larangan untuk meniru praktik baik:
- Sistem
lembaga karitatif terintegrasi: sekolah, klinik, panti, koperasi.
- Pendanaan campuran: jemaat, mitra internasional,
dan pemerintah daerah.
- Struktur tata kelola berlapis untuk menjamin keberlanjutan.
5. Peran Pemerintah
Pemerintah daerah dapat menjadi fasilitator:
- Memetakan
desa dengan indikator kemiskinan dan stunting tertinggi.
- Memberikan
insentif (hibah, keringanan pajak) bagi lembaga agama yang membangun
fasilitas publik permanen.
- Memastikan
program bantuan pemerintah bersinergi dengan lembaga sosial keagamaan.
6. Mengubah Narasi Teologis
Di tingkat khotbah dan katekese, perlu ditegaskan:
- Iman
yang sejati tidak berhenti pada pengakuan pribadi, tetapi meluas menjadi
tanggung jawab sosial.
- Pelayanan
kasih adalah bagian dari misi keselamatan, bukan pekerjaan sampingan.
- Mengabaikan
kemiskinan struktural berarti mengkhianati panggilan Injil itu sendiri.
Kesimpulan
Kemiskinan di Timor dan Sumba bukan sekadar cerita tentang
tanah yang kering, jalan yang rusak, atau jarak yang jauh dari pusat ekonomi.
Ia juga merupakan cermin dari cara iman dihidupi. Varian sola fide yang
dominan di wilayah ini telah membentuk pola pikir sosial yang memisahkan
keselamatan dari karya kasih yang terstruktur. Hasilnya adalah pelayanan sosial
yang singkat, terputus-putus, dan bergantung pada proyek donor—memberi bantuan
instan, tetapi gagal membangun pondasi yang bertahan lintas generasi.
Sebaliknya, wilayah Katolik seperti Flores menunjukkan bahwa
ketika iman dan kasih dipadukan dalam lembaga permanen—sekolah, klinik, rumah
sakit, koperasi—dampaknya nyata dan terukur: IPM lebih tinggi, stunting lebih
rendah, dan generasi muda lebih siap menghadapi tantangan hidup. Model ini
lahir bukan dari kebetulan, melainkan dari doktrin yang menuntut agar iman
“bertubuh” dalam pelayanan kasih yang berkelanjutan.
Bila masyarakat dan gereja di Timor dan Sumba ingin memutus
lingkaran kemiskinan struktural, diperlukan perubahan paradigma: dari
event-based charity menuju karitas terinstitusionalisasi; dari bantuan instan
menuju pemberdayaan jangka panjang; dari iman yang diucapkan di mimbar menuju
iman yang berdiri kokoh dalam bangunan sekolah, klinik, dan koperasi.
Pada akhirnya, iman yang tidak membangun tubuh sosial
hanyalah retorika, sedangkan iman yang berbuah dalam karya kasih adalah
kekuatan yang mampu mengubah sejarah sebuah masyarakat.