Pendahuluan
Salah satu
tuduhan paling sering diarahkan kepada Gereja Katolik oleh kalangan Protestan
adalah doktrin infallibilitas (ketidakmampuan Gereja untuk salah dalam ajaran
iman dan moral). Bagi mereka, klaim ini dianggap sebagai “monopoli kebenaran”
oleh institusi manusia yang seharusnya tunduk pada Kitab Suci semata. Prinsip
sola scriptura—bahwa hanya Kitab Suci yang menjadi norma iman—menjadi
fondasi keberatan Protestan. Mereka menuduh bahwa dengan menegaskan
infallibilitas, Gereja Katolik telah menempatkan dirinya di atas Firman Allah,
bahkan menyingkirkan otoritas Kitab Suci.
Namun,
keberatan semacam ini, jika ditelusuri secara historis dan logis, berdiri di
atas asumsi yang rapuh. Pertama, secara historis, Gereja mendahului Kitab Suci
Perjanjian Baru. Komunitas iman yang didirikan Kristus sudah ada sebelum satu
huruf pun dari Injil dituliskan. Kanon Kitab Suci baru dirumuskan secara
definitif pada abad keempat melalui konsili ekumenis. Dengan demikian, Gereja
bukanlah “produk” Kitab Suci, melainkan sebaliknya: Kitab Suci lahir, dirawat,
dan diakui di dalam Gereja. St. Agustinus menegaskan hal ini dengan tajam: “Ego
vero evangelio non crederem, nisi me catholicae ecclesiae commoveret
auctoritas”—“Aku tidak akan percaya Injil, kalau bukan karena otoritas
Gereja Katolik yang mendorongku untuk percaya” (Agustinus, Contra Epistolam
Manichaei 5.6).
Kedua, secara
logis, jika infallibilitas ditolak, maka tafsir Kitab Suci akan jatuh ke tangan
setiap individu. Konsekuensinya, masing-masing orang berhak mengklaim kebenaran
pribadi. Inilah paradoks Protestan: mereka menolak infallibilitas Gereja,
tetapi tanpa sadar mengklaim infallibilitas tafsir mereka sendiri. Luther
sendiri menulis bahwa “Setiap orang Kristen berhak menilai dan menghakimi
doktrin” (Weimar Ausgabe, X, 2 Abt., p. 217). Dari sinilah muncul
fragmentasi tak berujung: dari Lutheranisme ke Calvinisme, Zwinglianisme,
Anglikanisme, hingga ribuan denominasi kontemporer. Pertanyaannya, apakah
Kristus sungguh menghendaki sebuah “Babel rohani” dengan ribuan tafsir yang
saling bertentangan?
Ketiga,
secara teologis, infallibilitas bukanlah privilese Gereja, melainkan janji
Kristus sendiri. Kepada para rasul, Ia berkata: “Roh Kebenaran akan memimpin
kamu ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:13) dan “Aku menyertai kamu
senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20). Jika janji ini ditolak, maka
seluruh misi Gereja menjadi tidak mungkin: bagaimana kebenaran Kristus dapat
tetap murni selama 2000 tahun tanpa ada jaminan ilahi terhadap kesesatan?
Dengan
demikian, diskursus tentang infallibilitas tidak sekadar menyentuh perbedaan
dogmatis antara Katolik dan Protestan, melainkan menyentuh fondasi
epistemologis iman Kristiani itu sendiri: apakah kebenaran iman dijaga oleh
sebuah otoritas yang dijamin Roh Kudus, ataukah dibiarkan tercerai-berai dalam
tafsir manusia yang rapuh?
Artikel ini
akan menelaah secara sistematis dasar teologis, historis, dan filosofis dari
infallibilitas Gereja. Selain itu, akan ditunjukkan pula inkonsistensi internal
sola scriptura dan akibat praktis dari penolakan terhadap
infallibilitas: fragmentasi denominasi, relativisme doktrinal, dan hilangnya
kesaksian Gereja sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Tim 3:15).
Dengan pendekatan apologetik, tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa
infallibilitas bukanlah tambahan belakangan, melainkan kebutuhan logis dan
janji Kristus yang mendasar bagi kelangsungan iman.
II.
Dasar Teologis Infallibilitas
A.
Kristus sebagai Sumber Kebenaran
Kristus
adalah kebenaran yang berinkarnasi. Ia sendiri bersabda: “Akulah jalan,
kebenaran, dan hidup” (Yoh 14:6). Pernyataan ini tidak datang dari seorang
guru manusia, melainkan dari Sabda Allah yang menjelma, sehingga otoritas-Nya
bersifat absolut dan final. Dengan kata lain, kebenaran yang ditawarkan Kristus
bukan hasil pencarian manusia, tetapi pewahyuan ilahi yang diberikan demi
keselamatan.
Namun,
Kristus tidak meninggalkan karya-Nya dalam bentuk tulisan pribadi. Tidak satu
pun Injil berasal langsung dari pena Yesus. Sebaliknya, Ia memilih untuk
mendirikan sebuah komunitas iman—Gereja—sebagai perpanjangan kehadiran-Nya di
dunia. Gereja inilah yang disebut Paulus sebagai Tubuh Kristus (1 Kor
12:27), yakni organisme rohani yang hidup dari Kristus sebagai Kepala. Dengan
demikian, kebenaran Kristus bersifat historis dan institusional, bukan hanya
tekstual.
B.
Gereja sebagai Perpanjangan Inkarnasi Kristus
Gereja
bukanlah sekadar asosiasi sukarela dari orang-orang beriman, melainkan
kelanjutan misteri inkarnasi. Sebagaimana Kristus hadir dalam daging untuk
menyelamatkan, Gereja hadir dalam sejarah sebagai sakramen keselamatan. Konsili
Vatikan II menegaskan bahwa Gereja adalah “tanda dan sarana persatuan mesra
dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (Lumen Gentium 1).
Dengan mandat
ilahi, Kristus memberi kuasa kepada para rasul: “Sebagaimana Bapa mengutus
Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh 20:21). Amanat agung
ini dipertegas: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku… ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19–20).
Amanat ini tidak mungkin dijalankan tanpa jaminan bahwa ajaran yang diwariskan
para rasul benar-benar tetap murni dari kesalahan.
Thomas
Aquinas menguraikan hal ini dalam kerangka metafisika kebenaran: kebenaran
ilahi bersifat tetap, dan karena itu membutuhkan organ historis yang juga tetap
terjaga dari kesalahan. Jika tidak, maka pewahyuan ilahi akan direduksi menjadi
tafsir manusia yang berubah-ubah. Dengan kata lain,
infallibilitas Gereja adalah konsekuensi dari konsistensi internal iman
Kristiani.
C.
Roh Kudus sebagai Penjamin Infallibilitas
Kristus tidak
hanya mendirikan Gereja, tetapi juga menjanjikan penyertaan Roh Kudus: “Apabila
Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh
kebenaran” (Yoh 16:13). Janji ini bukan retorika kosong, melainkan fondasi
teologis bahwa Gereja akan dijaga dari kekeliruan doktrinal.
Paus Pius IX
dalam konstitusi Pastor Aeternus (1870) menegaskan bahwa infallibilitas
Paus ketika berbicara ex cathedra tidak bersumber dari kecerdasan
manusiawi, melainkan dari janji Kristus yang mengikat Gereja seluruhnya.
Infallibilitas, dengan demikian, adalah partisipasi Gereja dalam kesetiaan
Allah sendiri.
Tanpa Roh
Kudus, Gereja hanyalah institusi manusia yang rapuh, sama seperti komunitas
religius lain dalam sejarah. Tetapi dengan Roh Kudus, Gereja memiliki jaminan
bahwa pewartaan Injil tetap murni sepanjang zaman. Inilah yang membedakan
Gereja Katolik dari fragmentasi Protestan yang tidak memiliki prinsip kesatuan
doktrinal.
Bagian ini menegaskan bahwa
infallibilitas bukanlah klaim politik atau kekuasaan Gereja, melainkan konsekuensi
langsung dari janji Kristus, hakikat Gereja sebagai Tubuh-Nya, dan penyertaan
Roh Kudus. Tanpa infallibilitas, wahyu ilahi akan larut dalam tafsir manusia
yang kontradiktif.
III. Dasar Historis Infallibilitas
A. Gereja Lebih Dahulu daripada
Alkitab
Salah satu keberatan mendasar
Protestan adalah klaim bahwa Kitab Suci berdiri sendiri tanpa perlu otoritas
Gereja. Padahal, fakta sejarah membantah asumsi ini. Gereja sudah ada sejak
hari Pentakosta (Kis 2), sementara Kitab Suci Perjanjian Baru baru ditulis
antara tahun 50–100 M. Artinya, Gereja hidup, berkembang, dan mengajar iman
Kristiani tanpa satu pun Injil tertulis selama hampir setengah abad.
Kanon Perjanjian Baru sendiri tidak
pernah ditetapkan secara individual oleh para rasul, melainkan melalui proses
panjang yang melibatkan Tradisi Gereja. Daftar kitab yang kita kenal sekarang
baru dirumuskan secara definitif pada Konsili Hippo (393) dan dikukuhkan
kembali pada Konsili Kartago (397, 419). Proses ini diteguhkan secara universal
oleh Konsili Trente (1546) ketika Reformasi Protestan mulai menggugat otoritas
kanon. Dengan demikian, Alkitab tidak mendahului Gereja; justru Gereja yang
mendahului, melestarikan, dan mengkanonkan Kitab Suci.
Seperti ditegaskan oleh Paus
Benediktus XVI, “Kitab Suci bukanlah sebuah otoritas yang berdiri sendiri; ia
hidup dalam subjek yang hidup, yakni Gereja” (Benedict XVI, Jesus of
Nazareth, 2007). Dengan kata lain, tanpa Gereja, Kitab Suci akan menjadi
dokumen yang ambigu, mudah dipelintir sesuai selera pembaca.
B. Penolakan terhadap Klaim Protestan
Protestan sering mengklaim bahwa
mereka memiliki “Firman Allah yang murni” dalam Kitab Suci tanpa perlu mengakui
otoritas Gereja. Akan tetapi, secara historis, klaim ini mustahil. Bagaimana
mungkin orang tahu bahwa Injil Markus otentik sedangkan Injil Tomas atau
Injil Yudas bukan, jika bukan karena Gereja yang membedakannya? Tanpa
Magisterium, umat beriman akan hanyut dalam banjir tulisan apokrif yang marak
pada abad-abad pertama.
Fr. Leonel Franca, S.J., menegaskan
hal ini: “Gereja tidak didirikan atas dasar Injil, tetapi Injil ditulis untuk
Gereja dan dipercayakan kepada Gereja untuk dijaga”
Infallibility
. Maka, tuduhan Protestan bahwa
Gereja Katolik “memonopoli kebenaran” justru berbalik: tanpa Gereja, mereka
bahkan tidak akan tahu mana Kitab Suci yang benar.
C.
Bapa Gereja tentang Otoritas Gereja
Sejumlah kesaksian para Bapa Gereja
mendukung prinsip ini. St. Ireneus dari Lyons (†202) dalam Adversus Haereses
menekankan bahwa kebenaran iman hanya dapat dijaga melalui suksesi apostolik
dalam Gereja: “Di mana Gereja, di sana Roh Allah; dan di mana Roh Allah, di
sana Gereja serta segala rahmat.” Dengan kata lain, kebenaran tidak dijamin
oleh Kitab Suci yang ditafsir secara bebas, melainkan oleh Gereja yang
memeliharanya dalam kesatuan Roh Kudus.
St. Agustinus (†430) lebih keras
lagi: “Aku tidak akan percaya Injil kalau bukan karena otoritas Gereja
Katolik yang mendorongku” (Contra Epistolam Manichaei 5.6).
Pernyataan ini secara eksplisit menolak gagasan sola scriptura.
Agustinus menegaskan bahwa justru Gereja-lah yang memberikan legitimasi pada
Kitab Suci, bukan sebaliknya.
Dengan demikian, secara historis
maupun patristik, Gereja memiliki posisi unik sebagai mater et magistra
(ibu dan guru) iman. Tanpa infallibilitas, Gereja akan menjadi sekadar asosiasi
manusia yang rentan salah tafsir, dan Kitab Suci akan tereduksi menjadi bahan
bakar bagi fragmentasi doktrinal.
Bagian ini menegaskan bahwa
infallibilitas bukanlah ciptaan belakangan, melainkan konsekuensi historis dari
peran Gereja yang mendahului Kitab Suci, menjaga kanon, dan dijamin oleh Roh
Kudus melalui kesaksian para Bapa Gereja.
IV.
Krisis Sola Scriptura dan Free Examination
A.
Luther dan Paradoks Infallibilitas Pribadi
Reformasi
Protestan abad ke-16 menandai lahirnya prinsip sola scriptura, yang
menyatakan bahwa hanya Kitab Suci menjadi otoritas tertinggi iman. Martin
Luther bahkan menulis: “Setiap orang Kristen, dan masing-masing secara
individu, berhak menilai dan menghakimi doktrin” (Weimar Ausgabe, X, 2
Abt., p. 217)
Infallibility
. Pernyataan
ini tampaknya membebaskan umat dari “otoritas” Gereja, tetapi secara implisit
justru menempatkan setiap individu pada posisi sebagai otoritas tertinggi.
Paradoks ini
tidak dapat dihindarkan: ketika Gereja yang diinstitusikan Kristus ditolak,
maka infallibilitas berpindah ke tangan setiap pembaca Alkitab. Dengan kata
lain, Protestan menolak infallibilitas Gereja, tetapi diam-diam mengklaim
infallibilitas pribadi. Inilah kontradiksi mendasar yang menjadi sumber
fragmentasi doktrinal berikutnya.
B.
Fragmentasi Protestan sebagai Bukti Empiris
Hanya
beberapa dekade setelah Reformasi, perbedaan tafsir di antara para tokohnya
menjadi nyata. Luther menafsir Perjamuan Kudus secara realis (consubstantiatio),
sementara Zwingli menolak kehadiran nyata Kristus dan menafsirkannya secara
simbolis. Calvin mengambil posisi antara, dan Melanchthon menambahkan nuansa
lain. Sementara itu, Anglikanisme mencampurkan tradisi Katolik dengan reformasi
Protestan, dan kaum Anabaptis menolak baptisan bayi yang dipertahankan oleh
Lutheran dan Calvinis.
Christopher
Rasperger, pada 1577, bahkan mencatat lebih dari 200 interpretasi berbeda dari
kalangan Protestan hanya untuk kalimat singkat: Hoc est corpus meum
(“Inilah Tubuh-Ku”)
Infallibility
. Bila sebuah
teks sesingkat itu dapat menghasilkan ratusan tafsir, maka wajar jika seluruh
tubuh doktrin Kristen di tangan tafsir bebas akhirnya melahirkan ribuan
denominasi. Saat ini, data menunjuk bahwa terdapat lebih dari 30.000 denominasi
Protestan di seluruh dunia, dengan ajaran yang kerap saling bertentangan.
Pertanyaannya
sederhana namun mendesak: apakah Kristus sungguh menghendaki kekacauan Babel
rohani seperti ini, di mana setiap orang atau setiap komunitas dapat mendirikan
“gereja” baru hanya berdasarkan tafsir pribadi?
C.
Kritik Filosofis terhadap Sola Scriptura
Secara
filosofis, sola scriptura runtuh karena melanggar prinsip
non-kontradiksi Aristoteles: kebenaran tidak bisa sekaligus A dan bukan-A. Jika
satu kelompok menyatakan bahwa Ekaristi adalah Tubuh Kristus secara nyata,
sementara kelompok lain menegaskan bahwa itu hanya simbol, keduanya tidak
mungkin benar sekaligus. Namun dalam kerangka sola scriptura, keduanya
tetap mengklaim “berdasarkan Alkitab.”
Lebih jauh, sola
scriptura membuka jalan menuju relativisme epistemologis. Jika setiap orang
dapat menafsir Kitab Suci sesuka hati, maka kebenaran iman menjadi subjektif. Dalam
praktiknya, ini berarti setiap individu menjadi “paus” bagi dirinya sendiri.
Dengan demikian, doktrin yang lahir untuk membebaskan umat dari klaim otoritas
Roma justru menjebak mereka dalam otoritarianisme subjektif yang lebih keras:
otoritas diri sendiri.
Tanpa
infallibilitas Gereja, sebuah kitab yang secara ontologis infallibel (Kitab
Suci sebagai firman Allah) tidak memiliki fungsi praktis, karena berada di
tangan manusia yang fallibel. Fr. Leonel Franca, S.J., merumuskan dengan tajam:
“Sebuah kitab yang infallibel tidak berguna di tangan manusia fallibel yang
menafsir seenaknya.”
Infallibility
Bagian ini menegaskan bahwa sola
scriptura bukan hanya rapuh secara historis, tetapi juga inkonsisten secara
logis. Hasilnya terlihat nyata: fragmentasi, kontradiksi, dan kehilangan
kesatuan iman yang seharusnya menjadi tanda umat Kristus.
V. Analogi Hukum dan Tata Tertib
A. Analogi dengan Sistem Hukum
Dalam kehidupan masyarakat, hukum
adalah sarana menjaga keteraturan. Namun, tidak ada negara yang menyerahkan
undang-undang begitu saja kepada rakyat untuk ditafsir sesuai selera
masing-masing. Bayangkan jika setiap warga diberi kebebasan mutlak untuk menafsirkan
hukum pidana atau perdata menurut pemahamannya sendiri. Hasilnya adalah
kekacauan: pembunuhan bisa ditafsirkan sebagai “hak asasi,” pencurian bisa
dianggap sebagai “redistribusi,” dan perjanjian hukum kehilangan makna. Karena
itu, setiap negara memiliki otoritas yudisial—hakim, pengadilan, dan
mahkamah—yang berfungsi menafsirkan hukum secara sah, konsisten, dan mengikat.
Jika hukum manusia yang relatif
sederhana saja memerlukan otoritas penafsir resmi, apalagi hukum ilahi yang
jauh lebih tinggi dan menyangkut keselamatan kekal. Di sini terlihat bahwa
prinsip infallibilitas Gereja bukan sesuatu yang “aneh” atau “otoriter,”
melainkan kebutuhan logis. Hukum ilahi yang tertulis dalam Kitab Suci
memerlukan “mahkamah rohani” yang berwenang menafsirkan, menjaga, dan
menerapkannya secara konsisten sepanjang zaman.
B. Gereja sebagai Mahkamah Rohani
Gereja Katolik, melalui Magisterium
(otoritas mengajar), berfungsi persis seperti itu. Paus bersama para uskup yang
bersatu dengannya menjalankan peran sebagai magister (guru) yang dijamin
Roh Kudus untuk menjaga ajaran tetap setia pada Kristus. Konsili-konsili
ekumenis adalah contoh nyata bagaimana Gereja bertindak sebagai “mahkamah agung
rohani” yang memutuskan persoalan iman dengan infallibilitas yang berasal dari
janji Kristus.
Thomas Aquinas menegaskan bahwa
kebenaran ilahi tidak dapat dibiarkan tanpa penjaga. Dalam Summa Theologiae,
ia menulis bahwa Roh Kudus diberikan kepada Gereja untuk menjaga agar iman
tetap murni: “Ad universalis Ecclesiae doctrinam pertinet Spiritus Sanctus,
qui est Spiritus veritatis, qui assistit Ecclesiae ut in veritate permaneat”
(ST II-II, q.1, a.10). Artinya, infallibilitas bukanlah hasil kalkulasi
politik, tetapi buah dari penyertaan Roh Kudus yang secara ontologis diperlukan
demi kelangsungan iman.
C. Konsistensi Ajaran Gereja versus
Relativisme Protestan
Selama dua ribu tahun, Gereja Katolik
berhasil menjaga kesatuan ajaran iman inti: Tritunggal, Kristologi, sakramen,
dan moral dasar. Meski menghadapi tantangan dari dalam maupun luar, Gereja
tetap mempertahankan garis ajaran yang konsisten. Sebaliknya, dalam dunia
Protestan, kita menyaksikan denominasi yang lahir, pecah, lalu melahirkan
pecahan baru hanya karena tafsir berbeda atas ayat tertentu.
Perbedaan ini bukan sekadar perbedaan
metodologi, melainkan konsekuensi dari ada atau tidak adanya “mahkamah
penafsir.” Tanpa Magisterium yang infallibel, hukum ilahi jatuh ke tangan opini
pribadi yang tidak memiliki jaminan kebenaran.
Bagian ini memperlihatkan bahwa
infallibilitas Gereja dapat dimengerti bahkan oleh akal sehat sehari-hari. Sama
seperti masyarakat sipil membutuhkan otoritas hukum untuk menafsir dan
menegakkan aturan, demikian pula Gereja membutuhkan otoritas infallibel agar
hukum Kristus tidak dipelintir oleh tafsir individual yang kontradiktif.
VI. Konsekuensi Praktis Menolak
Infallibilitas
A. Kekacauan Doktrinal
Menolak
infallibilitas berarti membuka pintu bagi tafsir bebas. Dampaknya segera
terlihat pada ranah doktrin fundamental. Ambil contoh sakramen baptisan. Dalam
Gereja Katolik, baptisan bayi dipraktikkan sejak masa para rasul (lih. Kis
16:15, 33). Namun, dalam dunia Protestan, baptisan bayi ditolak oleh Anabaptis
dan berbagai denominasi lain, sementara Lutheran, Calvinis, dan Anglikan tetap
mempertahankannya. Apakah kebenaran tentang baptisan bersifat relatif sesuai
pilihan denominasi?
Hal serupa
terjadi pada Ekaristi. Kristus berkata: “Inilah tubuh-Ku”
(Mat 26:26). Namun,
tafsirnya terpecah:
- Lutheran
     mempertahankan kehadiran nyata Kristus (consubstantiatio),
- Calvinis
     menafsir secara spiritual,
- Zwinglian
     hanya melihat simbol,
- Sementara
     Katolik sejak awal mengajarkan transubstansiasi.
Jika sola
scriptura benar, mengapa dari satu teks lahir ajaran yang saling
bertentangan? Fakta ini membuktikan bahwa Kitab Suci tanpa otoritas infallibel
tidak cukup menjaga kesatuan iman.
B.
Kehilangan Otoritas Moral
Konsekuensi
berikutnya adalah erosi otoritas moral. Tanpa
Magisterium yang infallibel, ajaran moral berubah mengikuti arus zaman. Misalnya:
- Beberapa
     denominasi Protestan kini menerima pernikahan sesama jenis, sementara
     lainnya menolaknya.
- Sebagian mendukung kontrasepsi dan aborsi,
     sementara lainnya masih menentangnya.
- Ada yang menolak kepemimpinan perempuan
     dalam pelayanan, sementara lainnya mengangkat pendeta dan uskup perempuan.
Fragmentasi
ini menimbulkan kesan bahwa moral Kristiani hanyalah produk opini sosial, bukan
kebenaran ilahi yang kekal. Padahal, Kristus tidak datang untuk menyerahkan
iman dan moral ke tangan survei opini, melainkan untuk menegakkan kebenaran
yang membebaskan (Yoh 8:32).
C.
Bahaya Polarisasi dan Sekularisasi
Akibat
lanjutan dari penolakan infallibilitas adalah polarisasi internal yang
melemahkan kesaksian Kristen di hadapan dunia. Gereja yang terpecah tidak lagi
tampak sebagai tubuh yang satu, melainkan sebagai arena perdebatan teologis
tanpa ujung. Kristus sendiri berdoa agar para murid-Nya menjadi satu, “supaya
dunia percaya” (Yoh 17:21). Jika kesatuan iman hancur, maka kesaksian kepada
dunia juga kehilangan kredibilitas.
Lebih dari
itu, fragmentasi doktrin membuka jalan bagi sekularisasi. Ketika orang melihat
bahwa iman Kristen dapat diinterpretasikan sesuka hati, mereka akan
menyimpulkan bahwa iman tidak lebih dari konstruksi budaya atau preferensi
pribadi. Dari sini lahirlah relativisme modern: semua agama dianggap sama,
semua tafsir dianggap sah, dan kebenaran objektif dipinggirkan.
D.
Gambaran Nyata: Babel Modern
Reformasi
yang berawal dari klaim sola scriptura berakhir dalam ribuan denominasi
dengan ajaran saling bertentangan. Inilah Babel modern—bahasa iman yang tidak
lagi dimengerti satu sama lain. Seperti yang diingatkan Fr. Leonel Franca,
S.J., “sebuah kitab yang infallibel menjadi sia-sia di tangan manusia yang
fallibel”
Infallibility
. Tanpa
otoritas Gereja yang infallibel, Injil terfragmentasi menjadi sekadar opini
pribadi, kehilangan daya ilahi yang mempersatukan umat manusia dalam Kristus.
Bagian ini menunjukkan bahwa
penolakan terhadap infallibilitas tidak hanya masalah teoritis, tetapi
berdampak langsung pada kehidupan iman dan kesaksian Gereja. Fragmentasi
Protestan menjadi bukti empiris bahwa Kitab Suci tanpa Gereja hanyalah “pedang
bermata dua” yang melukai kesatuan tubuh Kristus.
VII. Infallibilitas sebagai Jaminan
Kristus
A. Konsili Ekumenis dan Konsistensi
Dogma
Sejarah Gereja selama dua milenium
menunjukkan pola yang konsisten: dalam menghadapi krisis iman dan ajaran sesat,
Gereja meneguhkan kebenaran melalui konsili ekumenis. Konsili Nicea (325)
menegaskan keallahan Kristus melawan Arius; Konsili Efesus (431) mengafirmasi
Maria sebagai Theotokos melawan Nestorius; Konsili Trente (1545–1563)
membela sakramen dan kanon Kitab Suci melawan Reformasi. Semua konsili ini
tidak menciptakan doktrin baru, melainkan meneguhkan apa yang sudah diimani
sejak awal.
Di sinilah terlihat makna
infallibilitas: dogma berkembang dalam formulasi, tetapi substansi kebenaran
tetap sama. St. Vincentius dari LĂ©rins (†445) menyebutnya sebagai profectus
fidei—perkembangan iman—yang bersifat organik, bukan perubahan hakikat.
Infallibilitas menjamin bahwa pertumbuhan pemahaman iman tidak pernah
menyimpang dari depositum fidei (simpanan iman) yang dipercayakan Kristus.
B.
Umat Katolik Dilindungi dari Kekeliruan
Konsili
Vatikan I (1870) melalui konstitusi Pastor Aeternus menegaskan bahwa
Paus, ketika berbicara ex cathedra mengenai iman dan moral, dijaga dari
kemungkinan salah. Infallibilitas ini bukan karena kehebatan pribadi Paus,
melainkan karena penyertaan Roh Kudus demi keselamatan umat. Dengan demikian,
infallibilitas berfungsi bukan untuk memuliakan pemimpin Gereja, melainkan
untuk melindungi umat Katolik dari kesesatan doktrin.
Selain itu,
Gereja juga mengenal konsep sensus fidei—kepekaan iman seluruh umat
yang, meskipun tidak infallibel secara individu, tetap dijaga dari kesesatan
kolektif ketika bersatu dengan Magisterium. Janji Kristus terpenuhi di sini:
“Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20). Kesetiaan
Gereja bukan hasil usaha manusia, melainkan anugerah ilahi.
C.
Kristus Menjamin Kesatuan, Bukan Kekacauan
Protestan
sering menuduh bahwa infallibilitas adalah bentuk absolutisme rohani. Tuduhan
ini keliru. Infallibilitas justru adalah jaminan bahwa Gereja tidak akan
tenggelam dalam relativisme tafsir. Tanpa infallibilitas, tidak ada alasan
mengapa umat harus menerima ajaran Gereja sebagai kebenaran ilahi. Tetapi
dengan infallibilitas, umat Katolik dapat yakin bahwa apa yang diajarkan dalam
hal iman dan moral benar-benar selaras dengan ajaran Kristus.
Dengan
demikian, infallibilitas adalah bukti kesetiaan Kristus terhadap Gereja-Nya.
Kristus tidak mendirikan Gereja untuk kemudian membiarkannya tersesat,
melainkan menjadikannya “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Tim 3:15). Di
tengah badai sejarah, infallibilitas adalah jangkar yang menjaga agar bahtera
Gereja tidak karam.
Bagian ini menegaskan bahwa
infallibilitas adalah janji Kristus sendiri, terlihat dalam sejarah konsili
ekumenis, diteguhkan dalam dogma, dan dihayati umat Katolik sebagai
perlindungan dari kesesatan. Ia bukan ambisi Roma, melainkan kesetiaan Allah
pada janji-Nya.
VIII. Kesimpulan
Infallibilitas Gereja bukanlah klaim
arogan, melainkan syarat niscaya bagi kelangsungan iman Kristiani sebagaimana dikehendaki
Kristus sendiri. Sejak awal, Kristus tidak menuliskan wahyu-Nya dalam kitab,
tetapi mempercayakan-Nya kepada Gereja, Tubuh-Nya yang hidup. Gereja ada
sebelum kanon Kitab Suci, menetapkan otentisitas Injil di tengah banjir
apokrif, dan menjaga ajaran itu dengan konsistensi selama dua milenium.
Menolak infallibilitas berarti
merelakan Injil jatuh ke dalam tafsir bebas yang kontradiktif. Inilah yang
terjadi dalam dunia Protestan: fragmentasi doktrinal tentang baptisan,
Ekaristi, dan moralitas; hilangnya kesaksian kesatuan; dan terbukanya jalan bagi
relativisme modern. Luther yang mengaku hanya tunduk pada Kitab Suci akhirnya
menjerumuskan umat ke dalam otoritarianisme tafsir pribadi, di mana setiap
orang merasa “paus” bagi dirinya sendiri.
Sebaliknya, infallibilitas adalah
jaminan Kristus bahwa kebenaran ilahi tidak akan dipelintir oleh kelemahan
manusia. Roh Kudus menyertai Gereja agar tetap setia: “Roh Kebenaran akan
memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:13). Janji ini bukan
hanya untuk para rasul, melainkan untuk seluruh umat Kristiani sepanjang zaman.
Konsili demi konsili, dogma demi dogma, menunjukkan kesetiaan Gereja dalam
menjaga deposit iman, bukan menciptakan kebenaran baru.
Karena itu, Gereja Katolik tetap
tampil sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim 3:15).
Infallibilitas bukan sekadar dogma, melainkan bukti nyata kesetiaan Allah yang
tidak membiarkan umat-Nya tersesat. Di tengah Babel rohani akibat fragmentasi
tafsir, Gereja tetap berdiri sebagai mercusuar yang menuntun umat menuju
kepenuhan kebenaran Kristus.
