LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

📜 REKAYASA ILAHI: ARGUMEN EPISTEMIK UNTUK OTORITAS GEREJA

 



1. Pendahuluan

Dalam dunia yang semakin relatif dan skeptis, muncul pertanyaan paling kuno namun paling mematikan: “Apakah Allah sungguh berkata demikian?”—suara licik dari Eden yang terus bergema dalam setiap era sejarah. Pertanyaan ini bukan sekadar retoris; ia adalah awal dari keraguan epistemik, pintu gerbang bagi semua bentuk kesesatan.

Dalam terang itu, doktrin Katolik menyajikan sebuah sistem yang bukan hanya spiritual, melainkan juga epistemik—sebuah konstruksi yang memungkinkan umat manusia untuk mengetahui dengan kepastian apa yang telah diwahyukan oleh Allah. Artikel ini menelusuri prinsip dasar yang menjadikan Gereja Katolik sebagai satu-satunya sistem ilahi yang secara epistemik layak, berdasarkan rekayasa Tuhan sendiri.

2. Epistemologi Iman dan Kepastian

Iman, menurut Kitab Suci, bukanlah dugaan yang saleh atau harapan samar. Dalam bahasa Ibrani, ’emunah berarti kestabilan, kehandalan, dan keteguhan—akar kata yang sama dengan amen. Dalam bahasa Yunani, pistis mengandung arti keyakinan, kepercayaan total, bukan sekadar opini (doxa) atau kemungkinan (eikasia).

Oleh karena itu, ketika Kitab Suci menyatakan bahwa “iman menyelamatkan,” yang dimaksud adalah kesetiaan penuh kepada kebenaran yang diketahui secara pasti, karena berasal dari Pribadi yang tak mungkin menipu maupun tertipu. Inilah dasar dari ajaran Katekismus Gereja Katolik (KGK 157) bahwa: "Iman lebih pasti daripada semua pengetahuan manusiawi, karena ia berakar pada Sabda Allah yang tidak dapat berdusta.”

Namun, kepastian ini tidak muncul secara otomatis dari teks Kitab Suci. Jika Sabda Allah hanya tersimpan dalam bentuk tulisan, maka ia hanyalah Sabda dalam potensi—bukan Sabda dalam tindakan. Ia menjadi pasif, menanti interpretasi, dan dengan itu menjadi rentan terhadap keraguan dan penyimpangan.

3. Keenam Syarat Otoritas Ilahi

Agar wahyu ilahi benar-benar hidup, aktif, dan mengikat, diperlukan suatu otoritas yang dapat menjamin kepastian interpretasi. Otoritas tersebut harus memenuhi enam syarat mendasar:

a. Infallibilitas (Ketakbersalahan)

Tanpa otoritas yang tak mungkin salah, tidak ada kesimpulan pasti yang dapat diambil dari wahyu. Kepastian tidak mungkin diturunkan dari premis yang tidak pasti—sebuah aksioma logika yang tak terbantahkan. Maka, harus ada interpretator ilahi yang infalibel.

b. Visibilitas

Otoritas itu harus tampak dan bisa dikenali. Jika hanya Roh Kudus yang dijadikan patokan, maka otoritas menjadi tersembunyi dan subjektif. Siapa pun bisa mengklaim mendengarkan Roh, tapi tak ada mekanisme validasi seperti yang terjadi pada Petrus (Mat 16:17).

c. Vitalitas

Otoritas itu harus hidup, bukan sekadar warisan teks. Sebagaimana Kristus hidup dan berbicara, demikian pula Gereja-Nya harus memiliki otoritas yang hidup untuk menyelesaikan sengketa doktrinal.

d. Publisitas

Ia harus berlaku secara terbuka dan universal, bukan hanya bagi kelompok rahasia atau pribadi tertentu. Kebenaran ilahi bersifat katolik, artinya untuk semua.

e. Perpetualitas

Ia harus terus-menerus hadir sepanjang zaman. Jika otoritas ilahi pernah mati, maka terjadi kehancuran epistemik total. Karena itu, meski Takhta Suci kosong sementara (sede vacante), Gereja tetap hidup melalui para Uskup dan mekanisme yang telah diinstitusikan secara publik.

f. Singularitas

Akhirnya, otoritas ini harus tunggal. Jika terdapat lebih dari satu pusat otoritas yang setara, maka kepastian runtuh akibat competing finals—otoritas-otoritas yang saling bertentangan.

 

4. Kebutuhan akan Prinsip Organisasi Tertinggi

Dalam setiap sistem yang kompleks—baik biologis, sosial, maupun teologis—diperlukan sebuah prinsip pengatur tertinggi (higher organizing principle) untuk memastikan kesatuan dan kestabilan. Dalam Gereja, prinsip ini terwujud dalam tahta tunggal yang menjadi rujukan akhir dalam penyelesaian doktrin.

Yesus tidak mendirikan Gereja sebagai konglomerasi otonom para Patriark, melainkan sebagai Tubuh Mistik yang memiliki satu kepala manusiawi: Petrus dan para penggantinya. Sebagaimana Kristus adalah batu penjuru (Ef 2:20), Ia mendelegasikan otoritas-Nya kepada Petrus: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Mat 16:18).

Para Rasul memang berbagi otoritas dalam bentuk kolegial, namun tetap ada satu pusat yang mengikat: Tahta Petrus. Tanpa prinsip tunggal ini, yang terjadi adalah disfungsionalitas epistemik, seperti yang terlihat dalam Ortodoksi Timur: banyak Patriark, tetapi tanpa kemampuan untuk secara definitif menyelesaikan konflik atau menyelenggarakan konsili ekumenis tanpa kekuatan eksternal (misalnya, kaisar).

Sebaliknya, dalam Gereja Katolik, kita menemukan struktur yang secara hierarkis terintegrasi dan terorganisasi, di mana kepastian doktrinal dapat dicapai, karena ada tahta terakhir yang bisa memutuskan.

 

5. Analogi Ilmiah: Teologi sebagai Sistem Terkunci

Mari kita beralih sejenak ke dunia teknik komputer. Sistem operasi modern menghadapi masalah race conditions—konflik yang terjadi ketika dua atau lebih proses mencoba mengakses sumber daya secara bersamaan tanpa koordinasi. Solusinya? Sebuah mutexmutual exclusion lock, yang menjamin hanya satu proses yang dapat mengakses sumber daya tersebut pada satu waktu.

Begitu pula dalam Gereja: otoritas Paus bertindak sebagai mutex epistemik—penahan konflik, pelindung kepastian. Tanpa mutex ini, Ortodoksi hidup dalam kondisi “multi-master clock”—masing-masing Patriark menjadi otoritas terakhir, dan ketika tak sejalan, sistem macet.

Dalam Protestanisme, situasinya bahkan lebih gawat: tidak ada clock sama sekali. Setiap individu menjadi interpretator otoritatif atas Kitab Suci. Hasilnya? Fragmentasi tak berujung, denominasi tak terhitung, dan kehancuran epistemik yang total.

Gereja Katolik adalah arsitektur ilahi yang dibangun oleh Sang Insinyur Agung—Kristus. Ia menciptakan sistem yang selaras dengan realitas manusia: hierarki yang kelihatan, sakramen yang menyentuh indera, dan otoritas yang hidup.

 

6. Godaan Pertama: Serangan Epistemik Setan

Strategi pertama Iblis bukanlah penindasan atau kekerasan, tetapi serangan terhadap epistemologi: “Apakah Allah sungguh berkata?” (Kej 3:1). Begitulah dosa memasuki dunia—melalui relativisme doktrinal dan keraguan terhadap kepastian wahyu.

Iblis mengulangi strategi ini dalam pencobaan terhadap Kristus di padang gurun (Mat 4). Ia berkata, “Jika Engkau Anak Allah…”—mempertanyakan apa yang baru saja dinyatakan secara publik oleh Allah Bapa di Sungai Yordan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi.”

Pada pencobaan kedua, Setan bahkan mengutip Kitab Suci (Mzm 91) untuk menyokong interpretasi privatnya—sebuah tindakan yang menggemakan cara Protestanisme menggunakan Alkitab secara atomistik dan subjektif.

Jawaban Yesus bukan sekadar kutipan teks, tetapi kutipan dengan otoritas ilahi dari Sabda yang hidup—menunjukkan bahwa hanya interpretasi yang sah-lah yang merupakan Sabda Allah dalam tindakan.

 

7. Penutup: Gereja Katolik sebagai Konstruksi Ilahi

Apa yang dirancang oleh Kristus bukanlah sistem keagamaan lepas kendali yang bergantung pada tafsir perorangan, melainkan sebuah “Divine Engineering”rekayasa sakral yang mencakup hierarki, sakramen, dan otoritas infalibel yang bersifat tunggal, hidup, dan publik.

Tanpa otoritas semacam ini, kitab suci hanya tersisa sebagai potensi, bukan tindakan. Dan jika interpretasi terhadap Firman itu tidak pasti, maka iman kehilangan daya penyelamatnya, karena hanya kepastian yang dapat melahirkan pertanggungjawaban.

Gereja Katolik adalah wadah epistemik ilahi, sistem tempat Allah mengikatkan kepastian-Nya kepada manusia. Di luar sistem ini, setiap bentuk iman tak lebih dari probabilisme spiritual—“semoga benar,” bukan “amin.”

Sebagaimana St. Petrus diperintahkan untuk “menguatkan saudara-saudaramu” (Luk 22:32), demikianlah Gereja melalui Paus terus menjaga umat dari jebakan primordial: “Apakah Allah sungguh berkata?”


📘 Kesimpulan: Dalam Rekayasa Ilahi, Tiada Celah Bagi Keraguan

Gereja bukan hanya pewarta Injil, tetapi arsitek epistemik dari keselamatan. Ia ada agar manusia tahu dengan pasti bahwa Allah benar-benar telah berkata, dan bahwa kata-kata-Nya tetap hidup, aktif, dan menusuk seperti pedang bermata dua (Ibr 4:12).

Share This Article :
9000568233845443113