1.
Pendahuluan
Dalam dunia yang
semakin relatif dan skeptis, muncul pertanyaan paling kuno namun paling
mematikan: “Apakah Allah sungguh berkata demikian?”—suara licik dari
Eden yang terus bergema dalam setiap era sejarah. Pertanyaan ini bukan sekadar
retoris; ia adalah awal dari keraguan epistemik, pintu gerbang bagi semua
bentuk kesesatan.
Dalam terang itu,
doktrin Katolik menyajikan sebuah sistem yang bukan hanya spiritual, melainkan
juga epistemik—sebuah konstruksi yang memungkinkan umat manusia untuk mengetahui
dengan kepastian apa yang telah diwahyukan oleh Allah. Artikel ini
menelusuri prinsip dasar yang menjadikan Gereja Katolik sebagai satu-satunya
sistem ilahi yang secara epistemik layak, berdasarkan rekayasa Tuhan
sendiri.
2.
Epistemologi Iman dan Kepastian
Iman, menurut Kitab
Suci, bukanlah dugaan yang saleh atau harapan samar. Dalam bahasa Ibrani, ’emunah
berarti kestabilan, kehandalan, dan keteguhan—akar kata
yang sama dengan amen. Dalam bahasa Yunani, pistis mengandung
arti keyakinan, kepercayaan total, bukan sekadar opini (doxa)
atau kemungkinan (eikasia).
Oleh karena itu, ketika
Kitab Suci menyatakan bahwa “iman menyelamatkan,” yang dimaksud adalah kesetiaan
penuh kepada kebenaran yang diketahui secara pasti, karena berasal dari
Pribadi yang tak mungkin menipu maupun tertipu. Inilah dasar dari ajaran
Katekismus Gereja Katolik (KGK 157) bahwa: "Iman lebih pasti daripada
semua pengetahuan manusiawi, karena ia berakar pada Sabda Allah yang tidak
dapat berdusta.”
Namun, kepastian ini
tidak muncul secara otomatis dari teks Kitab Suci. Jika Sabda Allah hanya
tersimpan dalam bentuk tulisan, maka ia hanyalah Sabda dalam potensi—bukan
Sabda dalam tindakan. Ia
menjadi pasif, menanti interpretasi, dan dengan itu menjadi rentan terhadap
keraguan dan penyimpangan.
3. Keenam Syarat Otoritas Ilahi
Agar wahyu ilahi benar-benar hidup, aktif, dan
mengikat, diperlukan suatu otoritas yang dapat menjamin kepastian
interpretasi. Otoritas tersebut harus memenuhi enam syarat mendasar:
a. Infallibilitas (Ketakbersalahan)
Tanpa otoritas yang tak mungkin salah, tidak ada
kesimpulan pasti yang dapat diambil dari wahyu. Kepastian tidak mungkin
diturunkan dari premis yang tidak pasti—sebuah aksioma logika yang tak
terbantahkan. Maka, harus ada interpretator ilahi yang infalibel.
b. Visibilitas
Otoritas itu harus tampak dan bisa dikenali. Jika
hanya Roh Kudus yang dijadikan patokan, maka otoritas menjadi tersembunyi dan
subjektif. Siapa pun bisa mengklaim mendengarkan Roh, tapi tak ada mekanisme
validasi seperti yang terjadi pada Petrus (Mat 16:17).
c. Vitalitas
Otoritas itu harus hidup, bukan sekadar warisan teks.
Sebagaimana Kristus hidup dan berbicara, demikian pula Gereja-Nya harus
memiliki otoritas yang hidup untuk menyelesaikan sengketa doktrinal.
d. Publisitas
Ia harus berlaku secara terbuka dan universal, bukan
hanya bagi kelompok rahasia atau pribadi tertentu. Kebenaran ilahi bersifat katolik,
artinya untuk semua.
e. Perpetualitas
Ia harus terus-menerus hadir sepanjang zaman. Jika
otoritas ilahi pernah mati, maka terjadi kehancuran epistemik total. Karena
itu, meski Takhta Suci kosong sementara (sede vacante), Gereja tetap
hidup melalui para Uskup dan mekanisme yang telah diinstitusikan secara publik.
f. Singularitas
Akhirnya, otoritas ini harus tunggal. Jika terdapat
lebih dari satu pusat otoritas yang setara, maka kepastian runtuh akibat competing
finals—otoritas-otoritas yang saling bertentangan.
4.
Kebutuhan akan Prinsip Organisasi Tertinggi
Dalam setiap sistem
yang kompleks—baik biologis, sosial, maupun teologis—diperlukan sebuah prinsip
pengatur tertinggi (higher organizing principle) untuk memastikan
kesatuan dan kestabilan. Dalam Gereja, prinsip ini terwujud dalam tahta
tunggal yang menjadi rujukan akhir dalam penyelesaian doktrin.
Yesus tidak mendirikan
Gereja sebagai konglomerasi otonom para Patriark, melainkan sebagai Tubuh
Mistik yang memiliki satu kepala manusiawi: Petrus dan para
penggantinya. Sebagaimana Kristus adalah batu penjuru (Ef 2:20), Ia
mendelegasikan otoritas-Nya kepada Petrus: “Engkau adalah Petrus, dan di
atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Mat 16:18).
Para Rasul memang
berbagi otoritas dalam bentuk kolegial, namun tetap ada satu pusat yang
mengikat: Tahta Petrus. Tanpa prinsip tunggal ini, yang terjadi adalah disfungsionalitas
epistemik, seperti yang terlihat dalam Ortodoksi Timur: banyak Patriark,
tetapi tanpa kemampuan untuk secara definitif menyelesaikan konflik atau
menyelenggarakan konsili ekumenis tanpa kekuatan eksternal (misalnya, kaisar).
Sebaliknya, dalam
Gereja Katolik, kita menemukan struktur yang secara hierarkis terintegrasi
dan terorganisasi, di mana kepastian doktrinal dapat dicapai, karena
ada tahta terakhir yang bisa memutuskan.
5. Analogi Ilmiah: Teologi sebagai Sistem Terkunci
Mari kita beralih sejenak ke dunia teknik komputer.
Sistem operasi modern menghadapi masalah race conditions—konflik yang
terjadi ketika dua atau lebih proses mencoba mengakses sumber daya secara
bersamaan tanpa koordinasi. Solusinya? Sebuah mutex—mutual exclusion
lock, yang menjamin hanya satu proses yang dapat mengakses sumber daya
tersebut pada satu waktu.
Begitu pula dalam Gereja: otoritas Paus bertindak sebagai
mutex epistemik—penahan konflik, pelindung kepastian. Tanpa mutex ini,
Ortodoksi hidup dalam kondisi “multi-master clock”—masing-masing
Patriark menjadi otoritas terakhir, dan ketika tak sejalan, sistem macet.
Dalam Protestanisme, situasinya bahkan lebih gawat: tidak
ada clock sama sekali. Setiap individu menjadi interpretator otoritatif
atas Kitab Suci. Hasilnya? Fragmentasi tak berujung, denominasi tak terhitung,
dan kehancuran epistemik yang total.
Gereja Katolik adalah arsitektur ilahi yang
dibangun oleh Sang Insinyur Agung—Kristus. Ia menciptakan sistem yang selaras
dengan realitas manusia: hierarki yang kelihatan, sakramen yang menyentuh
indera, dan otoritas yang hidup.
6.
Godaan Pertama: Serangan Epistemik Setan
Strategi pertama Iblis
bukanlah penindasan atau kekerasan, tetapi serangan terhadap epistemologi:
“Apakah Allah sungguh berkata?” (Kej 3:1). Begitulah dosa memasuki
dunia—melalui relativisme doktrinal dan keraguan terhadap kepastian
wahyu.
Iblis mengulangi
strategi ini dalam pencobaan terhadap Kristus di padang gurun (Mat 4). Ia
berkata, “Jika Engkau Anak Allah…”—mempertanyakan apa yang baru saja
dinyatakan secara publik oleh Allah Bapa di Sungai Yordan: “Inilah Anak-Ku
yang Kukasihi.”
Pada pencobaan kedua, Setan bahkan mengutip Kitab
Suci (Mzm 91) untuk menyokong interpretasi privatnya—sebuah tindakan
yang menggemakan cara Protestanisme menggunakan Alkitab secara atomistik dan
subjektif.
Jawaban Yesus bukan
sekadar kutipan teks, tetapi kutipan dengan otoritas ilahi dari
Sabda yang hidup—menunjukkan bahwa hanya interpretasi yang sah-lah yang
merupakan Sabda Allah dalam tindakan.
7. Penutup: Gereja Katolik sebagai Konstruksi Ilahi
Apa yang dirancang oleh Kristus bukanlah sistem keagamaan
lepas kendali yang bergantung pada tafsir perorangan, melainkan sebuah “Divine Engineering”—rekayasa sakral yang
mencakup hierarki, sakramen, dan otoritas infalibel yang bersifat tunggal,
hidup, dan publik.
Tanpa otoritas semacam ini, kitab suci hanya tersisa
sebagai potensi, bukan tindakan. Dan jika interpretasi terhadap Firman itu
tidak pasti, maka iman kehilangan daya penyelamatnya, karena hanya kepastian
yang dapat melahirkan pertanggungjawaban.
Gereja Katolik adalah wadah epistemik ilahi, sistem tempat Allah mengikatkan
kepastian-Nya kepada manusia. Di luar sistem ini, setiap bentuk iman tak lebih
dari probabilisme spiritual—“semoga benar,” bukan “amin.”
Sebagaimana St. Petrus diperintahkan untuk “menguatkan
saudara-saudaramu” (Luk 22:32), demikianlah Gereja melalui Paus terus menjaga
umat dari jebakan primordial: “Apakah Allah sungguh berkata?”
📘
Kesimpulan: Dalam Rekayasa Ilahi, Tiada Celah Bagi Keraguan
Gereja bukan hanya
pewarta Injil, tetapi arsitek epistemik dari keselamatan. Ia ada agar
manusia tahu dengan pasti bahwa Allah benar-benar telah berkata, dan bahwa
kata-kata-Nya tetap hidup, aktif, dan menusuk seperti pedang bermata dua (Ibr
4:12).
