LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Siapakah Maria yang Sebenarnya?

 


Membela Ibu Tuhan dari Reduksionisme Biblikal Protestan

 


Pendahuluan:

Sejak abad ke-16, sebagian dunia Kristen terbelah dalam menafsirkan Maria. Bagi Katolik, Maria adalah Theotokos—Bunda Allah—yang dipuji karena imannya dan dimuliakan karena rahmat yang dianugerahkan kepadanya. Bagi sebagian Protestan, ia hanyalah “ibu biologis Yesus”, sosok saleh tapi biasa, tanpa keistimewaan metafisik atau peran soteriologis.
Tulisan João Paulo Thomaz de Aquino (2016) mewakili pola pikir ini: Maria dikembalikan ke level “wanita baik yang taat”, sembari disangkal keperawanannya yang kekal, ketanpa-dosaannya, keibuan ilahinya, dan peran perantaraannya. Artikel ini menanggapi posisi itu secara sistematik, bukan dengan emosi, melainkan dengan rasionalitas biblis, teologis, dan historis yang utuh—yakni dengan iman yang berpikir.

 

I. Maria sebagai Bunda Allah, bukan sekadar rahim pinjaman

Studi Protestan menegaskan bahwa Maria hanyalah ibu biologis Yesus, tanpa keterlibatan teologis dalam misteri inkarnasi. Pandangan ini keliru secara ontologis.
Ketika Sabda menjadi daging (Verbum caro factum est, Yoh 1:14), Maria tidak hanya menyediakan tubuh bagi Yesus; ia memberikan kodrat manusia yang benar-benar bersatu dengan Pribadi ilahi. Maka gelar Theotokos (Bunda Allah) bukan ciptaan abad pertengahan, tetapi keputusan dogmatis Konsili Efesus (431) untuk melindungi Kristologi ortodoks: bahwa Yesus Kristus adalah satu pribadi dengan dua kodrat. Menolak Maria sebagai Bunda Allah berarti membelah Kristus menjadi dua pribadi—satu manusia, satu ilahi—yakni kesalahan Nestorius.

Jadi Maria bukan “rahim pinjaman” Roh Kudus. Ia adalah ibu sejati Sang Putra Tunggal, sebab yang lahir dari rahimnya bukan hanya manusia biasa, melainkan “Allah-beserta-kita”.

 

II. Keperawanan Kekal: tanda iman, bukan biologi

Penulis Protestan menolak keperawanan kekal Maria dengan alasan adanya “saudara-saudara Yesus”. Namun eksposisi ini mengabaikan konteks semitik. Dalam bahasa Ibrani dan Aram, istilah ’ah (saudara) mencakup saudara sepupu, kerabat, atau anggota klan (lih. Kej 13:8; 1Taw 23:21-22).
Tradisi apostolik—dari Ignatius dari Antiokhia hingga Hieronimus—menegaskan bahwa “saudara Yesus” adalah kerabat dekat Yusuf, bukan anak Maria.

Lebih jauh, keperawanan Maria bukan sekadar fungsi anatomi, melainkan simbol totalitas penyerahan diri kepada Allah. Ia adalah virgo et mater—perawan dan ibu—simbol Gereja yang melahirkan Kristus dalam iman.
Menolak dogma ini berarti mengurung iman dalam empirisme biologis dan menolak misteri ilahi yang menembus logika duniawi.

 

III. Relasi Kristus dan Maria: antara hierarki rahmat dan ketaatan iman

Tulisan Protestan sering mengutip perikop seperti Lukas 8:19-21 atau Yohanes 2:4 untuk menunjukkan bahwa Yesus “menegur” Maria. Namun pembacaan semacam itu bersifat atomistik dan gagal menangkap dinamika wahyu.

Yesus tidak merendahkan Maria; Ia menegaskan bahwa kedekatan sejati dengannya bersumber dari ketaatan iman—dan Maria adalah yang pertama meneladankan itu (“Lihatlah aku ini hamba Tuhan”).
Ketika Yesus berkata, “Siapa yang melakukan kehendak Bapa, dialah ibuku,” Ia tidak menyingkirkan Maria, tetapi mengangkat imannya sebagai norma kedekatan dengan Allah.
Maria bukan wanita yang “ditegur”, melainkan murid pertama yang memahami sepenuhnya makna sabda itu. Maka dalam Kanaan, ia tetap berkata: “Lakukanlah apa yang Ia katakan kepadamu”—kata terakhirnya dalam Injil—yang menggema sebagai perintah Gereja sepanjang masa.

 

IV. Maria sebagai Mediatrix: partisipasi dalam karya Kristus

Kaum Protestan menolak gelar Maria sebagai pengantara (Mediatrix), dengan alasan “hanya Kristus satu-satunya Pengantara antara Allah dan manusia” (1Tim 2:5). Namun Kitab Suci sendiri mengenal bentuk perantaraan partisipatif: Abraham berdoa bagi Sodom, Musa bagi Israel, Paulus bagi jemaatnya.
Kristus adalah Pengantara utama, sementara Maria dan para kudus mengambil bagian dalam satu perantaraan itu, sebagaimana tubuh mengambil bagian dalam kehidupan kepala (lih. 1Kor 12).

Maria menjadi Mediatrix bukan karena berkuasa di atas Kristus, tetapi karena bersatu sempurna dengan-Nya. Di bawah salib, Ia menerima panggilan itu: “Inilah ibumu.” Dari situ lahir Gereja.

 

V. Imakulata dan Assumpta: konsekuensi logis dari Kristologi ortodoks

Dogma Imakulata (Maria dikandung tanpa dosa) dan Assumpta (diangkat ke surga tubuh dan jiwa) bukanlah legenda devosi, melainkan simpul logis dari iman Kristologis dan antropologis Gereja.

Jika Kristus adalah Adam baru, maka Maria adalah Hawa baru—tanpa noda dosa yang menodai penciptaan pertama (lih. Kej 3:15; Luk 1:28).
Assumpta hanyalah puncak dari rahmat itu: tubuh yang menampung Sang Sabda tidak dapat binasa. Seperti dikatakan oleh Gregorius Palamas, “Ia melampaui semua ciptaan dalam kemurnian dan kedekatan dengan Allah.”

Menolak dua dogma ini berarti menolak logika inkarnasi yang menghubungkan keselamatan dengan tubuh, rahmat, dan sejarah.

 

VI. Kesimpulan: antara penghormatan dan penyembahan

Kaum Protestan menuduh umat Katolik menyembah Maria. Tuduhan ini menunjukkan ketidaktahuan terhadap kategori teologis klasik:

  • Latria diberikan hanya kepada Allah;
  • Dulia kepada para kudus;
  • Hyperdulia kepada Maria, karena perannya yang unik dalam sejarah keselamatan.

Maria bukan “dewi pengganti”, tetapi tanda kenabian dari Gereja yang menantikan kedatangan Kristus. Dalam dirinya, iman manusia mencapai kesempurnaan jawab: fiat voluntas tua.

Gereja menghormatinya bukan karena ia ilahi, tetapi karena melalui dirinya, yang fana menerima Yang Kekal.

 

Epilog: Aparecida dan misteri iman rakyat

Kisah penemuan patung Maria di Rio Paraíba do Sul tidak perlu diperlakukan sebagai mitos superstisius. Iman rakyat yang melihat kehadiran rahmat di tengah lumpur sungai adalah perpanjangan misteri inkarnasi: Allah yang turun ke dalam sejarah manusia kecil dan tak berarti.

Maria Aparecida bukan “berhala lumpur”, tetapi ikon iman yang lahir dari rahmat yang menjangkau bangsa kecil dan miskin.
Dalam dirinya, bangsa Brasil melihat bahwa Allah menyapa bukan dari istana teolog, melainkan dari arus kehidupan rakyat.

 

Penutup
Maria adalah teologi yang hidup. Ia adalah dogma yang bernapas, perwujudan dari apa yang Gereja imani tentang Kristus dan manusia.
Ketika Protestan menguranginya menjadi sekadar “ibu biologis”, mereka memotong rantai misteri inkarnasi.
Ketika Gereja Katolik menghormatinya, Gereja sedang mengingatkan dunia bahwa rahmat Allah sungguh nyata—dan bahwa iman yang sejati tidak takut menyapa Bunda Sang Sabda dengan penuh hormat:

“Ave Maria, gratia plena, Dominus tecum.”

 

Share This Article :
9000568233845443113