Pertanyaan ini menyentuh
jantung dari perdebatan panjang antara teologi Katolik dan Calvinisme, dan
harus dibedah dengan pisau logika, bukan dengan belati emosi. Kita perlu
membedakan antara (1) karikatur yang disengaja (strawman), dan (2)
representasi kritis yang menyoroti implikasi logis dari ajaran Calvin
tanpa mengutipnya di luar konteks.
Mari kita bedah dengan
struktur argumentatif.
1. Apa itu strawman
argument?
Dalam logika, strawman
berarti menyelewengkan posisi lawan—membuat versi lemah dan absurd dari
argumennya—lalu menyerangnya, seolah itu posisi asli lawan. Misalnya: “Calvinis
percaya bahwa manusia tidak perlu berbuat baik.” Padahal Calvin sendiri
menekankan bahwa iman sejati selalu menghasilkan buah perbuatan baik.
Itu strawman.
2. Apakah Gereja Katolik
bersalah melakukan itu?
Tidak, jika kita lihat
dokumen resmi dan perdebatan teologis serius. Gereja tidak menuduh Calvinisme
dengan versi palsunya. Ia mengkritik konsekuensi logis dari sistem
Calvin, terutama doktrin predestinasi ganda dan total depravity,
bukan dengan menuduh hal-hal yang Calvin sendiri tidak ajarkan.
Contohnya:
- Konsili Trente (1545–1563) tidak pernah menyebut Calvin secara pribadi,
tetapi menolak ide bahwa kehendak manusia hancur total sehingga tidak bisa
bekerja sama dengan rahmat. Itu bukan karikatur, melainkan penolakan
terhadap prinsip determinisme teologis yang melekat dalam sistem
Calvinistik.
- Para teolog Katolik seperti Robertus
Bellarminus menulis bantahan panjang terhadap Calvin dengan merujuk
langsung teks Institutes of the Christian Religion, bukan mengutip
rumor atau tafsir lepas konteks.
Dengan kata lain, Gereja
tidak menyerang bayangan Calvinisme, tapi struktur metafisiknya—yakni
pandangan tentang Allah yang menakdirkan sebagian manusia untuk keselamatan dan
sebagian lain untuk kebinasaan.
3. Dari sudut logika dan
metafisika: inti kritik Katolik
Calvinisme memandang rahmat
sebagai efektif secara unilateral: Allah menyelamatkan siapa yang Ia
kehendaki, tanpa kerja sama manusia.
Katolik menilai ini menimbulkan kontradiksi performatif:
- Jika kehendak manusia total rusak, maka tanggung
jawab moral menjadi nihil.
- Jika Allah menakdirkan sebagian untuk binasa,
maka keadilan ilahi tergelincir ke dalam bentuk voluntarisme absolut—kebaikan
dan kejahatan ditentukan bukan oleh hakikat kodrati, tapi semata oleh
kehendak Tuhan.
Filsafat Katolik—berakar pada
Thomas Aquinas—mempertahankan ordo boni, tatanan kebaikan yang rasional
dan partisipatif: rahmat tidak menghancurkan kodrat, tetapi menyempurnakannya (gratia
non tollit naturam, sed perficit). Kritik terhadap Calvin bukan karikatur,
melainkan perbedaan ontologis: apakah manusia hanyalah boneka Allah, atau rekan
yang sungguh bebas dalam drama keselamatan?
4. Secara historis, siapa
yang melakukan strawman terhadap siapa?
Ironisnya, banyak strawman
justru datang dari pihak Reformasi terhadap Katolik—menuduh bahwa Gereja
mengajarkan keselamatan lewat “perbuatan tanpa iman”, atau bahwa “gereja
menjual pengampunan dengan uang.” Padahal ajaran resmi selalu menegaskan:
perbuatan baik bernilai karena rahmat yang mendahului dan menyertai.
5. Kesimpulan
logis-filosofis
Gereja Katolik tidak
melakukan strawman terhadap Calvinisme, tetapi melakukan analisis
konsekuensial—menunjukkan bahwa jika prinsip-prinsip Calvin dipegang
konsisten, maka ia akan berujung pada nihilisme moral dan teodisi yang timpang.
Itu bukan karikatur, melainkan deduksi metafisik.
Calvin berbicara dalam bahasa
teologi, Gereja menanggapi dengan bahasa metafisika. Di sinilah perbedaan: satu
menafsir rahmat sebagai determinasi, yang lain sebagai partisipasi.
Perdebatan ini tetap relevan
hari ini—karena setiap bentuk modern dari fatalisme, baik dalam genetika, AI,
atau politik identitas, adalah versi sekuler dari predestinasi Calvinistik:
kebebasan menjadi korban sistem. Kritik Katolik, maka, bukan nostalgia masa
lalu, tapi pembelaan abadi atas martabat kehendak bebas manusia di hadapan
rahmat yang menyelamatkan.
