Pendahuluan:
Tuhan Tidak Butuh Revolusi, Manusia yang Butuh Pembenaran Diri
Sebelum Luther mengetuk pintu gereja Wittenberg,
manusia sudah lebih dulu menutup pintu akalnya.
Abad ke-14 adalah masa ketika dunia Kristen mulai kehilangan pusat
gravitasinya—bukan karena Injil lenyap, tetapi karena manusia berhenti percaya
bahwa kebenaran bisa dikenali.
Mereka menyebutnya pencerahan awal, tetapi
sebenarnya itu adalah senja metafisika. Tuhan tidak berubah, tapi manusia mulai
memperlakukan-Nya seperti konsep yang bisa dinegosiasikan. Gereja, tubuh
Kristus yang berabad-abad membimbing bangsa-bangsa, mulai tampak seperti
institusi yang harus “direformasi.” Betul, Roma memang kotor waktu itu—tetapi
bahkan dosa Roma masih mengenal hierarki, masih tahu siapa imam dan siapa umat.
Dosa modern lebih halus: menyebut pemberontakan sebagai kebebasan, menyebut
kebingungan sebagai pencerahan, dan menyebut fragmentasi sebagai kemajuan iman.
Reformasi Protestan tidak jatuh dari langit, ia
lahir dari keletihan panjang dunia Kristen terhadap realitas yang tetap. Di
balik 95 tesis Luther, ada ratusan tahun erosi batin: filsafat yang menolak
hakikat universal, iman yang terpisah dari akal, teologi yang dijadikan alat
politik.
Sejak William Ockham menyingkirkan metafisika dan menyembah kehendak murni,
benih Protestantisme sudah disemai: Tuhan dijadikan sewenang-wenang, kebenaran
jadi subjektif, dan akal manusia menjadi pengadilan terakhir atas wahyu.
Dan ketika manusia memproklamasikan “iman saja” (sola
fide), sesungguhnya ia sedang berkata: “saya tidak mau berpikir.” Ketika ia
menuntut “Kitab Suci saja” (sola scriptura), yang sebenarnya ia maksud
adalah: “saya tidak butuh Gereja—saya sendiri cukup jadi nabi.”
Ironinya, dalam upaya membebaskan diri dari otoritas Paus, dunia Protestan
justru menciptakan ribuan paus kecil—setiap tafsir, setiap gereja, setiap
individu yang yakin bahwa Roh Kudus berbicara langsung hanya kepadanya.
Dunia modern menyukai cerita heroik tentang
Reformasi: seorang biarawan melawan korupsi Gereja demi kemurnian iman. Tapi
sejarah, jika dibaca tanpa romantisme, justru memperlihatkan sebaliknya: bukan
Gereja yang meninggalkan iman, melainkan manusia yang menolak misteri. Luther
bukanlah awal kebangunan rohani, melainkan hasil akhir dari kelelahan metafisik
umat yang kehilangan kemampuan untuk berlutut.
Reformasi bukan awal, tapi klimaks dari era
ruptur—masa ketika kontemplasi digantikan produktivitas, ketika teologi
dikorbankan di altar politik, dan ketika Gereja dipecah bukan oleh pedang
kafir, melainkan oleh pena cendekiawan yang ingin menjadi hakim atas Allah.
Dan begitulah, dari reruntuhan peradaban yang dulu
disebut Christendom, lahirlah dunia modern—yang masih mengutip Injil
tapi tak lagi percaya pada Gereja; yang masih berdoa, tapi kepada Tuhan versi
dirinya sendiri.
Roma berdosa, ya. Tapi ia tetap berdiri. Karena di
setiap zaman ketika manusia merasa cukup dengan diri sendiri, hanya satu tubuh
yang terus mengingatkan: kebenaran bukan hasil voting, dan iman tanpa Gereja
hanyalah gema kesepian dalam ruang kosong.
II.
Akar Retak — Dari Teologi ke Ideologi
Setiap perpecahan besar selalu dimulai bukan di
jalanan, tapi di ruang studi.
Sebelum altar-altar dipecah, meja-meja tulis terlebih dulu kehilangan doa.
Ketika dunia Kristen masih belajar dari Thomas
Aquinas, akal dan iman berdansa di bawah satu musik: kebenaran yang objektif.
Teologi adalah seni memandang dunia sebagaimana Tuhan menciptakannya—bukan
sebagaimana manusia ingin menafsirkannya. Tapi datanglah generasi baru di
universitas: para cendekiawan yang lebih sibuk menyenangkan raja daripada
melayani Kebenaran.
Lahirlah Marsilius dari Padua, William Ockham, dan gerombolan “intelektual”
yang membunuh Logos di atas meja kuliah.
Bagi mereka, kata hakikat sudah terlalu
berat. Realitas bukan lagi sesuatu yang bisa dikenal, hanya bisa diatur. Ockham
mengajarkan bahwa yang nyata hanyalah individu, bukan bentuk atau hakikat
universal. Dunia kehilangan kesatuannya; dan dari situ, iman pun kehilangan
Gerejanya.
Sebab bila tidak ada universale—tidak ada makna objektif yang sama bagi
semua manusia—maka “Gereja Katolik” (yang berarti universal) juga
kehilangan landasan ontologisnya. Setiap orang menjadi dunianya sendiri, setiap
tafsir menjadi agamanya sendiri. Nominalisme ini bukan sekadar teori filsafat;
ia adalah bom waktu teologis yang meledak pada tahun 1517.
Ockham lalu menambahkan racun kedua: voluntarisme—gagasan
bahwa kehendak Allah tidak tunduk pada rasio, bahwa Tuhan bisa memerintahkan
sesuatu hari ini dan mencabutnya besok, karena “Dia berdaulat.”
Kedengarannya rohani, padahal itu menghina Tuhan. Sebab Allah yang tidak
rasional bukanlah Bapa yang dapat dikenal, melainkan penguasa acak yang
menuntut kepatuhan buta.
Dan lihatlah betapa miripnya ini dengan semangat Reformasi kemudian: iman tanpa
rasio, keselamatan tanpa sakramen, ketaatan tanpa Gereja.
Voluntarisme Ockham membuka jalan bagi “iman yang melompat” milik Luther—iman
yang melompat bukan kepada Allah yang dikenal, tapi ke jurang emosi.
Ketika akal dicabut dari iman, teologi berubah
menjadi ideologi.
Marsilius dari Padua menulis Defensor Pacis, mengumandangkan bahwa
Gereja seharusnya tunduk kepada negara.
Ockham, dengan pena yang tajam dan logika yang tumpul, menulis kepada kaisar:
“Engkau membelaku dengan pedang, aku membelamu dengan pena.”
Beginilah awal mula iman dijadikan alat kekuasaan—sebuah tradisi yang
diteruskan oleh para reformator, hanya dengan mengganti takhta kaisar dengan
takhta tafsir pribadi.
Selama berabad-abad Gereja membangun sintesis agung
antara akal dan wahyu, tetapi dunia modern memecahnya dengan satu kata: otonomi.
Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang diterima, melainkan sesuatu
yang diproduksi. Dan begitu teologi berubah menjadi pabrik opini, tak ada lagi
tempat bagi misteri.
Karena misteri menuntut kerendahan hati, sedangkan ideologi menuntut mikrofon.
Reformasi hanyalah hasil akhir dari proses panjang
ini: transformasi dari iman yang merenung menjadi iman yang berdebat, dari
Gereja yang berdoa menjadi jemaat yang berargumen.
Mereka mengganti doa Rosario dengan seminar Alkitab, mengganti Ekaristi dengan
PowerPoint. Dan setiap kali merasa “terinspirasi,” mereka memecah Gereja satu
lagi.
Protestantisme lahir bukan karena orang berhenti
mencintai Kristus, tapi karena mereka berhenti percaya bahwa Kristus tetap
hadir di dunia yang nyata—dalam daging, dalam roti, dalam Gereja.
Mereka memilih Tuhan abstrak yang mudah dikutip dan sulit disembah.
Dan di sanalah retakan pertama menjadi jurang:
ketika teologi berhenti menjadi kontemplasi atas realitas dan berubah menjadi
proyek ideologis untuk menata dunia menurut kehendak manusia.
Dari sinilah lahir dunia yang kita kenal sekarang—penuh jargon rohani, tapi
kosong dari kehadiran ilahi.
III.
Krisis Otoritas — Ketika Raja Menjadi Imam, dan Kitab Menjadi Paus Baru
Dulu, dunia mengenal satu Paus dan banyak dosa.
Sekarang, dunia punya ribuan paus dan satu dosa yang sama: kesombongan rohani.
Abad ke-14 membuka bab gelap dalam sejarah rohani
Barat: otoritas mulai diganti opini, dan kesatuan diganti oleh kedaulatan. Apa
yang dulu disebut ordo—tatanan yang mempersatukan surga dan
bumi—diruntuhkan oleh konsep baru yang lahir di istana-istana Eropa: souveraineté,
kedaulatan mutlak.
Raja-raja yang dulu berlutut di depan altar kini ingin mendikte altar. Dan para
teolog baru, yang kehilangan iman tapi haus posisi, menjadi penasihat politik
dengan jubah akademik.
Di sinilah benih Reformasi disemai: di antara tinta
para legistis yang menulis hukum untuk menggantikan rahmat, di antara para raja
yang ingin menggantikan paus.
Marsilius dari Padua sudah lebih dulu memproklamasikan dalam Defensor Pacis:
negara harus menguasai Gereja. Luther hanya meneruskan kalimat itu dengan huruf
kapital dan disertai palu.
Maka terjadilah revolusi yang disamarkan sebagai
pembaruan rohani. Luther mengaku menolak Paus karena ingin “kembali ke Injil.”
Padahal ia hanya menukar otoritas Petrus dengan otoritas pribadi.
Ia mencabut mahkota dari Roma untuk menaruhnya di kepala setiap pembaca Alkitab
yang cukup percaya diri.
Dulu umat Katolik berkata: Credo in unam sanctam ecclesiam catholicam—aku percaya akan
satu Gereja yang kudus.
Kini dunia Protestan berkata: Credo in meum interpretationem scripturae—aku percaya
pada tafsirku sendiri.
Ironinya: dengan menolak “gembala sejati,” mereka
justru menciptakan kawanan serigala rohani, semuanya mengutip ayat sambil
saling menggigit.
Dari satu Luther lahir Zwingli; dari Zwingli lahir Calvin; dari Calvin lahir
seratus aliran baru; dari semua itu, lahir ribuan “gereja lokal” yang semuanya
mengaku dibimbing langsung oleh Roh Kudus—roh yang rupanya sangat senang
berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri.
Inilah yang terjadi ketika Kitab Suci dijadikan
Paus baru.
Ayat dipetik seperti batu, dilemparkan ke musuh teologis berikutnya.
Masing-masing mengklaim “Alkitab berbicara sendiri.” Padahal yang berbicara
hanyalah ego mereka dalam dialek teologis.
Kebenaran berubah jadi hasil tafsir mayoritas, atau lebih tepatnya—hasil tafsir
paling viral minggu ini.
Krisis otoritas yang dulu mengguncang Gereja kini
menjelma krisis akal: tidak ada lagi fondasi bersama, hanya tafsir yang
bersaing.
Raja menjadi imam, kitab menjadi paus, dan hati manusia—penuh nafsu dan
luka—menjadi magisterium pribadi.
Itulah demokratisasi wahyu yang dijanjikan Reformasi: setiap orang bisa jadi
nabi, asal punya Wi-Fi dan salinan Alkitab versi mereka sendiri.
Roma pernah dikritik karena memiliki satu Paus.
Dunia modern, pewaris Protestanisme, bangga karena punya jutaan.
Dan hasilnya? Gereja yang terpecah, masyarakat yang bingung, iman yang dikurung
di ruang privat.
Sebab ketika otoritas rohani dipecah, misteri
berubah jadi opini, dan iman kehilangan daya formatifnya.
Dulu Gereja membentuk bangsa; kini bangsa-bangsa membentuk gereja sesuai
selera.
Dulu Paus menjaga iman dari politik; kini politik memproduksi iman baru setiap
pemilu.
Dan di tengah kebisingan itu, Roma tetap
berdiri—bukan karena kekuatannya, tetapi karena satu janji yang tidak pernah
dicabut:
“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan
Gereja-Ku.”
Batu itu tetap di sana, meski dunia sibuk menambang pasir tafsir di sekitarnya.
IV.
Krisis Akal — Dari Logos ke Lompatan Iman
Segalanya runtuh ketika manusia berhenti percaya
bahwa akal adalah anugerah, bukan ancaman.
Sebelum Luther membakar bulla kepausan, Ockham sudah membakar jembatan antara
iman dan rasio.
Di sanalah tragedi modern dimulai: ketika Logos—akal ilahi yang menata
ciptaan—dibuang demi “iman murni” yang tidak perlu mengerti apa pun.
Thomas Aquinas mengajarkan bahwa iman tidak
meniadakan akal, tetapi menyempurnakannya.
“Fides et ratio,” katanya, “adalah dua sayap yang mengangkat jiwa
manusia menuju kebenaran.”
Tapi Reformasi mematahkan satu sayap itu dan menyebut jatuh bebasnya sebagai
penerbangan rohani.
Luther dengan lantang berkata: Ratio est
meretrix diaboli—akal adalah pelacur iblis.
Begitulah, dari teolog besar yang dulu mencintai kontemplasi, kini lahir
generasi baru yang mencurigai setiap pemikiran.
Akal dijadikan musuh iman, padahal tanpa akal, iman hanyalah emosi yang belum
sempat disembuhkan.
Ketika Logos dikeluarkan dari teologi, agama kehilangan kemampuan untuk
berbicara tentang realitas—tinggal seruan, bukan argumentasi; tinggal histeria,
bukan hikmat.
Voluntarisme Ockham menyiapkan panggung bagi
fanatisme Luther: Allah dijadikan tiran kosmis yang bertindak sesuka hati,
sementara manusia dipaksa percaya tanpa mengerti.
Hubungan antara Pencipta dan ciptaan diubah menjadi permainan kuasa, bukan
partisipasi kasih.
Sakramen yang dahulu menjadi perjumpaan rasional antara rahmat dan dunia kini
dianggap sihir Katolik.
Bagi mereka, rahmat tak butuh tanda—cukup “percaya.”
Padahal Tuhan memilih menjadi manusia agar iman punya tubuh, agar kebenaran
bisa disentuh dan dicicipi, bukan hanya diklaim.
Krisis akal ini menelurkan bentuk iman baru: iman
sebagai perasaan subjektif.
Yang dulu berlutut di hadapan altar, kini menutup mata di konser rohani.
Yang dulu bertanya “Apa yang benar?”, kini bertanya “Apa yang saya rasakan
benar?”
Kebenaran dipindahkan dari realitas ke psikologi; dari Ekaristi ke pengalaman
pribadi.
Inilah buah pahit dari sola fide: iman tanpa
Logos adalah iman tanpa daging.
Dan iman tanpa daging tidak bisa menebus dunia, karena hanya tubuh yang bisa
disalibkan.
Di titik inilah Protestanisme—tanpa sadar—melanjutkan warisan lama dari
gnostisisme: menganggap dunia ini terlalu rendah untuk menjadi tempat kehadiran
Allah.
Padahal inkarnasi adalah pengumuman sebaliknya: Allah mencintai dunia sampai Ia
memasukinya.
Luther menolak “akal spekulatif” karena takut
manusia mencoba memahami Allah.
Ironinya, sejak itu manusia Protestan sibuk mencoba memahami dirinya
sendiri—dari Calvin hingga psikolog-psikolog rohani abad modern.
Mereka menolak filsafat dengan alasan rendah hati, tapi berakhir memuja
subjektivitas mereka sebagai wahyu baru.
Sementara itu Gereja Katolik, dengan segala dosanya
yang duniawi, tetap mempertahankan satu kebenaran keras kepala: bahwa iman
harus bisa dipikirkan, sebab Allah sendiri berpikir ketika mencipta.
Logos bukan sekadar kata; Ia adalah struktur keberadaan.
Menolak Logos berarti menolak realitas itu sendiri.
Dan di situlah dunia modern berdiri: di atas
reruntuhan akal yang disalahpahami sebagai dosa.
Mereka kehilangan rasio, lalu kehilangan iman, lalu menulis buku-buku tebal
untuk menjelaskan kenapa itu kemajuan.
Tapi Gereja—yang disebut lamban, usang, penuh ritus dan logika tua—masih berani
berkata:
bahwa berpikir adalah bentuk pertama dari doa, dan kebenaran bukanlah pendapat,
melainkan Pribadi yang bisa dikenal.
V.
Krisis Kesatuan — Ketika Setiap Hamba Menjadi Pendeta dan Setiap Pendeta Menjadi Tuhan 😊
Dunia Protestan suka bercerita tentang kebebasan
rohani—tentang keluar dari “tirani Roma” untuk menemukan “hubungan pribadi
dengan Kristus.”
Indah di brosur, kacau di sejarah.
Sebab begitu otoritas dihapus dan tafsir diserahkan kepada individu, Gereja
bukan lagi tubuh Kristus, melainkan laboratorium ego.
Semuanya dimulai dengan satu pria dan satu palu.
Kini, lima abad kemudian, kita punya tiga puluh ribu versi Injil dan satu
keyakinan bersama: “yang lain pasti salah.”
Itulah tragedi Protestanisme—mereka memberontak terhadap struktur karena
mengira kesatuan adalah penindasan.
Mereka lupa: kesatuan bukan seragam, tapi tubuh yang hidup.
Dan tubuh tanpa kepala bukanlah makhluk bebas, melainkan mayat yang sedang
membusuk dengan tenang.
Reformasi mengganti satu Paus dengan sejuta paus.
Setiap pengkhotbah menjadi magisterium bagi dirinya sendiri, dan setiap jemaat
menjadi auditor teologi yang menilai khotbah berdasarkan “rasa diberkati.”
Ketika Gereja dijadikan pasar rohani, Roh Kudus dijual dalam paket langganan
mingguan:
“ikut gereja kami, edisi terbaru, lebih anointed dari versi sebelumnya.”
Sebelum Luther, dunia Kristen mengenal dosa
terorganisir. Setelahnya, kita punya kekacauan yang saleh.
Setiap tafsir mengklaim Roh Kudus berbicara langsung kepadanya—Roh yang sama
yang anehnya tidak bisa menyepakati satu ajaran pun dari Tritunggal sampai
Perjamuan Kudus.
Satu membaca “ini tubuh-Ku” dan melihat simbol. Yang lain membaca hal yang sama
dan melihat sakramen.
Masing-masing mengaku “hanya Alkitab,” padahal sudah lama hanya diri mereka
yang berbicara.
Dan inilah paradoks paling getir: Reformasi yang
mengaku “membebaskan” umat dari otoritas Gereja justru memenjarakan mereka
dalam otoritas tafsir pribadi.
Mereka tidak lagi tunduk pada Magisterium, melainkan pada algoritma rohani:
siapa yang paling fasih, paling viral, paling menggugah air mata.
Begitu otoritas dilepaskan dari Gereja, kebenaran berubah jadi kompetisi
popularitas.
Tiap gereja baru lahir dari satu ayat yang dibaca
dengan nada marah.
Satu pendeta kecewa dengan sinode, keluar, lalu mendirikan sinode baru, yang
akan pecah lagi tiga tahun kemudian.
Itulah rantai evolusi Protestan: doktrin bereproduksi lewat konflik.
Jika Gereja Katolik dituduh lambat berubah, Protestanisme justru berubah
terlalu cepat—setiap hari, setiap tafsir, setiap podcast.
Kesatuan bukan lagi rahmat, tapi ancaman.
Padahal Kristus tidak berdoa agar murid-murid-Nya “menjadi banyak,” melainkan
“menjadi satu.”
Doa itu masih menggema, tapi dunia Protestan menjawab dengan kebanggaan
statistik:
“Ada ribuan denominasi, bukti karya Roh Kudus.”
Bukti, tentu saja, bahwa manusia sanggup memecah tubuh Kristus dengan dalih
kesalehan.
Roma, dengan segala boroknya, tetap satu.
Satu ritus yang terus dipertahankan; satu Ekaristi yang tetap jadi pusat; satu
suara yang, suka atau tidak, tetap terdengar di atas kebisingan.
Dan karena kesatuan itu bersumber dari Kristus sendiri, bukan dari perjanjian
politik atau tafsir pribadi, Gereja tetap hidup bahkan ketika anak-anaknya
berdebat di dalamnya.
Kesatuan bukanlah proyek manusia, tapi rahmat yang
dijaga.
Ia seperti tubuh yang bisa berdarah namun tak bisa terbelah, karena kepalanya
bukan paus, bukan teolog, bukan raja—tetapi Kristus sendiri.
Dan di situlah Protestanisme kehilangan arah: mereka ingin Kristus tanpa tubuh,
lalu kehilangan Kristus itu sendiri.
Yang tersisa adalah gema doa tanpa pusat, iman
tanpa sakramen, dan pengakuan iman yang berbunyi berbeda di setiap kota.
Gereja yang satu berubah jadi pasar spiritual: penuh nyanyian, tanpa misteri;
penuh kata “Tuhan,” tapi tanpa Tubuh Kristus.
Namun batu karang tetap di sana—tak bergeser oleh
opini atau algoritma.
Roma berdiri bukan karena sempurna, melainkan karena tak tergantikan.
Di tengah tiga puluh ribu suara yang saling meniadakan, hanya satu yang masih
berani mengucap dengan tenang:
“Aku percaya akan satu Gereja yang kudus, katolik, dan apostolik.”
VI.
Krisis Spiritualitas — Mistisisme Tanpa Tubuh, Iman Tanpa Daging
Protestanisme
memuja roh tapi takut tubuh.
Mereka bicara tentang iman yang hidup, tapi menolak sakramen—satu-satunya cara
iman punya tubuh.
Mereka ingin Yesus yang “hadir di hati,” tapi tidak mau Dia hadir di altar.
Mereka berkata: “iman cukup,” padahal iman tanpa tanda adalah angan-angan tanpa
daging.
Krisis
spiritual Protestan bukan krisis doa, tapi krisis inkarnasi.
Mereka tidak menolak Kristus, hanya menolak cara Kristus memilih hadir.
Inkarnasi adalah skandal bagi pikiran modern: Tuhan yang menjadi manusia,
rahmat yang memakai materi, keselamatan yang melewati tubuh.
Tapi itulah iman
Katolik—iman yang tak malu bahwa Allah menyentuh debu.
Di dunia Protestan,
misteri itu dihapus demi kesalehan batin.
Iman menjadi perasaan, bukan persekutuan; keselamatan menjadi keyakinan
pribadi, bukan tubuh yang makan dan minum dari sumber kehidupan.
Devotio moderna—spiritualitas abad ke-15 yang
menjadi pendahulu Reformasi—sudah memperingatkan arah ini.
Kesalehan batin menggantikan liturgi, meditasi pribadi menggantikan sakramen.
Dari situ lahir generasi yang lebih suka berbicara kepada Tuhan dalam
keheningan mereka sendiri daripada mendengarkan Sabda yang diwartakan Gereja.
Dan akhirnya, liturgi menjadi teater; perayaan menjadi konser; Ekaristi menjadi
simbol.
Ketika rahmat dipisahkan dari tanda, iman kehilangan gravitasi: melayang di
udara spiritualisme, tapi tak pernah mengakar di dunia.
“Mengapa butuh sakramen,” tanya mereka, “bukankah
Tuhan bisa langsung menyelamatkan?”
Pertanyaan itu terdengar cerdas hanya bagi yang lupa bahwa keselamatan sendiri
datang melalui tubuh: tubuh Kristus yang dipaku, tubuh manusia yang
disembuhkan, tubuh Gereja yang dilahirkan dari luka-Nya.
Tanpa tubuh, tak ada darah; tanpa darah, tak ada keselamatan.
Inkarnasi bukan metafora. Ia adalah teologi yang berjalan, bernafas, dan
memanggil kita untuk percaya dengan seluruh keberadaan, bukan hanya pikiran
atau perasaan.
Maka iman tanpa sakramen adalah iman yang
kehilangan keberanian untuk menjadi duniawi dalam arti ilahi—iman yang malu
pada debu padahal debu itu diberkati.
Spiritualitas Protestan mengangkat tangan tinggi-tinggi, tapi melupakan bahwa
Tuhan pertama-tama mengulurkan tangan-Nya ke bumi.
Gereja Katolik tidak menganggap roti suci itu “magis”; ia menganggapnya
logis—karena jika Allah benar-benar menjadi manusia, mengapa Ia tidak bisa
menjadikan roti tubuh-Nya?
Mereka menolak misteri itu karena terlalu sederhana.
Dan justru di kesederhanaan itulah rahasia Allah tinggal.
Lihatlah dunia modern, pewaris spiritual
Protestanisme:
Setiap orang ingin “terhubung dengan Tuhan,” tapi tak satu pun ingin tunduk
kepada tubuh yang kelihatan.
Semua ingin disembuhkan, tapi tak mau diurapi.
Semua ingin diampuni, tapi tak mau mengaku.
Semua ingin rohani, tapi tak ingin sakramental.
Sementara itu, di altar yang sama selama dua
milenium, Gereja terus mempersembahkan roti dan anggur—perbuatan sederhana yang
mempertahankan logika inkarnasi di tengah dunia yang melarikan diri dari tubuh.
Ketika semua teologi menjadi wacana tentang Tuhan, Ekaristi tetap menjadi
perjumpaan dengan Tuhan.
Itu sebabnya Gereja tak bisa mati: karena yang dirayakannya bukan gagasan,
melainkan Kehadiran.
Dan di sini, seluruh perbedaan Protestan dan
Katolik menemukan simpulnya:
yang satu mengira iman adalah kata, yang lain tahu iman adalah daging yang
berkata.
Mereka menyanyi tentang salib, kita memakan misterinya.
Mereka berbicara tentang rahmat, kita meneguknya.
Mereka menatap ke langit, kita menatap altar—dan menemukan bahwa keduanya
bertemu di situ.
Roma tetap
berdosa, tetap lemah, tapi tidak kehilangan tubuh.
Dan selama tubuh itu ada—Tubuh Kristus yang hidup dalam sakramen—iman tetap
berakar, rahmat tetap mengalir, dan dunia, betapapun nominalis dan haus rohnya,
tetap punya satu tempat di mana Allah masih memilih menjadi nyata.
VIII.
Penutup — Roma
Tetap Berdiri di Tengah Puing
Dunia sudah lama berubah. Gereja tidak lagi di
pusat kota, tapi di pinggiran sejarah. Di antara gedung-gedung beton dan layar
kaca, suara loncengnya terdengar seperti gema dari masa lalu yang tidak tahu
diri. Tapi justru di situlah mukjizatnya: Gereja tidak mengikuti zaman—ia
bertahan melewati zaman.
Protestanisme lahir dengan janji pembaruan, tapi
berakhir melahirkan labirin tafsir tanpa ujung. Apa yang disebut “kebebasan
rohani” berubah menjadi anarki spiritual. Dan di reruntuhan itu, Roma masih
berdiri—bukan karena suci, tapi karena setia. Ia tidak pernah menjanjikan
kemurnian moral para imamnya, hanya kemurnian iman yang mereka wartakan.
Roma adalah satu-satunya institusi yang masih
percaya bahwa kebenaran itu tunggal. Dunia boleh menertawakan dogma, tapi
bahkan tawa itu memakai akal yang diajarkan Gereja. Dunia boleh memaki Paus,
tapi kata “moralitas” yang mereka gunakan berakar dari bahasa Gereja yang
mereka tolak.
Setiap kali seseorang menyebut “hak asasi manusia,” mereka sedang berbicara
dengan kata yang takkan ada tanpa gagasan Katolik tentang martabat manusia.
Ironi itu tidak akan pernah mereka akui, tapi Roma tidak butuh pengakuan—ia
cukup menunggu sejarah berbicara.
Gereja Katolik tidak bertahan karena pintar
berpolitik. Ia bertahan karena kebenaran tidak bergantung pada survei. Ia
berdiri di atas batu karang yang sama yang dulu dicemooh, dicaci, dan dihujat,
tapi tidak tergantikan.
Kerajaan datang dan pergi, teologi baru lahir dan mati muda, tapi satu hal
tetap: setiap kali manusia membangun gereja baru, mereka secara tidak sadar
membuktikan bahwa satu Gereja itu masih ada—karena yang palsu hanya ada jika
yang asli pernah berdiri lebih dulu.
Roma berdiri bukan sebagai monumen nostalgia, tapi
sebagai saksi bahwa Tuhan sungguh menjadi manusia, dan bahwa iman sejati selalu
berwujud tubuh. Gereja bukan ide; ia organisme yang berdarah dan berdoa, yang
salah langkah tapi terus berjalan. Ia membawa di dalam dirinya rahmat yang
lebih tua dari semua perpecahan, dan lebih muda dari setiap harapan yang baru.
Protestanisme telah mengajarkan dunia untuk membaca
Kitab Suci; Roma tetap mengajarkan dunia untuk memakan Firman itu.
Protestanisme memutuskan hubungan antara akal dan iman; Roma tetap menghidupkan
keduanya dalam liturgi.
Protestanisme memecah kesatuan Gereja; Roma tetap menjadi saksi bahwa tubuh
yang retak pun masih bisa menyalurkan kehidupan.
Dan barangkali itulah rahasia Roma yang paling
menyakitkan bagi dunia modern:
Ia tidak perlu menang untuk benar. Ia tidak perlu disukai untuk tetap menjadi
sakramen keselamatan.
Karena Roma tidak berdiri di atas mayoritas, tapi di atas janji:
"Dan pintu-pintu
maut tidak akan menguasainya."
Jadi biarlah dunia terus menulis eulogi untuk
Gereja Katolik, seperti yang sudah dilakukan sejak abad pertama.
Biarlah para reformator baru terus mendeklarasikan “Reformasi Kedua,”
“Reformasi Ketiga,” “Reformasi Abad XXI.”
Sementara itu, Roma akan terus menyalakan lilin di altar yang sama, memecah
roti yang sama, dan berdoa dengan kata-kata yang sama:
“Dominus
vobiscum.”
Dan di tengah puing-puing modernitas yang
kehilangan Tuhan dan kehilangan diri, suara itu—lemah tapi pasti—akan tetap
terdengar:
“Et
cum spiritu tuo.”
Sebab pada
akhirnya, bukan Gereja yang butuh dunia, tapi dunia yang masih diam-diam
berharap Gereja itu tetap ada.
