Dalam wacana teologis Protestan kontemporer, salib sering dipersempit pada dua ekstrem: antara “kehendak Allah” yang menuntut keadilan dan “kehendak iblis” yang menuntun kepada penderitaan tanpa makna. Gereja Katolik menawarkan horizon yang lebih dalam—bahwa penyaliban adalah peristiwa kasih ilahi yang menebus dunia melalui relasi kasih antara Anak dan Bunda. Di sinilah Perawan Maria berdiri, bukan sekadar saksi, tetapi partisipan aktif dalam misteri penebusan. Artikel ini menegaskan posisi Maria sebagai kunci hermeneutik untuk memahami salib: dalam dirinya, penderitaan menjadi partisipasi, kasih menjadi pengorbanan, dan iman menjadi tafsir atas misteri salib. 1. Maria di Kaki Salib: Relasi sebagai Tempat Penyingkapan Injil Yohanes menggambarkan adegan sederhana namun teologis: “Di dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya” (Yoh 19:25). Tindakan berdiri ini bukan sekadar gestur kesedihan, melainkan pernyataan iman. Maria tidak rebah di bawah beban duka, tetapi berdiri teguh di tengah kegelapan. Dalam dirinya, Gereja melihat model fides heroica—iman yang tetap menyala di tengah gelapnya Golgota. Bapa-bapa Gereja menafsir Maria di kaki salib sebagai alter altare, altar kedua tempat persembahan kasih berlangsung. Dalam kesediaannya menerima pedang yang menembus hati (Luk 2:35), Maria mempersembahkan dirinya bersama Putranya. Dengan demikian, salib bukan hanya tindakan Kristus untuk manusia, melainkan juga bersama manusia—diwakili oleh Maria. 2. Merit Kongruen dan Misteri Penderitaan yang Menyelamatkan Teologi klasik (Scheeben, Garrigou-Lagrange) membedakan antara meritum de condigno—jasa yang pantas karena nilai ilahi Kristus, dan meritum de congruo—jasa yang pantas secara kelayakan manusiawi. Maria memperoleh yang kedua, karena partisipasinya dalam penderitaan Kristus tidak bersifat kausal, tetapi kooperatif. Penderitaannya adalah bentuk kasih yang sepenuhnya bersatu dengan kasih Sang Putra. Ia menanggung penderitaan bukan karena dosa, melainkan karena kasih. Dalam bahasa Aquinas, kasih ini adalah participatio passionis Christi, partisipasi dalam penderitaan Sang Penebus. Maka, Maria menjadi Mater Redemptorum—Bunda Para Tebusan—bukan karena menambah karya Kristus, tetapi karena di dalam dirinya kasih manusia mencapai bentuknya yang paling murni. 3. “Inilah Ibumu”: Dimensi Gerejawi dan Mediasi Maternal Kalimat Yesus di salib, “Inilah ibumu” (Yoh 19:27), menandai transformasi relasional: dari ibu biologis menjadi ibu eklesial. Di Golgota, Gereja lahir dari dua sumber: darah Kristus dan air mata Maria. Karena itu, Paus Pius XII menyebutnya Mater Ecclesiae, Bunda Gereja, yang “mempersembahkan Putranya di Golgota kepada Bapa yang Kekal, bersama hak-hak dan kasih keibuannya.” Peran ini bukan tambahan atas mediasi Kristus, melainkan partisipasi di dalamnya. Konsili Vatikan II (LG 60-62) menegaskan bahwa mediasi Maria “tidak meniadakan atau menambah apa pun pada perantaraan Kristus yang tunggal,” melainkan “menunjukkan kekuatan dan keluasan kasih ilahi yang mengizinkan manusia turut serta di dalam karya penebusan.” Dalam arti ini, Maria menjadi ikon Gereja sendiri—Gereja yang menderita, berdoa, dan melahirkan anak-anak Allah dalam iman. 4. Dari Inkarnasi hingga Asumsi: Lengkungan Penuh Penebusan Dari fiat di Nazaret hingga Asumsi ke surga, seluruh hidup Maria adalah partisipasi dalam misteri Paskah. Immaculata-nya menandai awal dari ciptaan baru; Asumsi-nya menandai penyempurnaannya. Ia adalah “buah pertama penebusan” (Pius IX), saksi bahwa rahmat Kristus bekerja sebelum dan sesudah salib. Dalam teologi Ratzinger, Asumsi bukan pelarian dari dunia, melainkan konsekuensi logis dari partisipasi penuh dalam salib. Maria tidak hanya ikut menderita, ia juga ikut dimuliakan. Dengan demikian, penyaliban Kristus mencapai puncak simboliknya dalam Maria—manusia yang sepenuhnya diubah oleh kasih ilahi. 5. Implikasi Apologetik: Melampaui Polemik Protestan Bagi Protestan, relasi Kristus–Maria kerap dipandang ancaman terhadap keunikan Kristus. Namun apologetika Katolik justru menegaskan sebaliknya: hanya karena karya Kristus mutlak dan sempurna, manusia dapat berpartisipasi di dalamnya. Maria adalah paradigma partisipasi itu. Tanpa Maria, salib mudah direduksi menjadi tindakan unilateral Allah terhadap dunia. Dengan Maria, salib menampakkan wajah relasional Allah yang mengundang respons manusia. Iman Katolik tidak berhenti pada sola gratia, tetapi melihat kasih Allah yang memanggil kerja sama manusia dalam kasih. Maria adalah saksi bahwa rahmat tidak meniadakan kebebasan, tetapi menyempurnakannya (gratia non tollit naturam, sed perficit eam). Maka, Maria bukan saingan Kristus, melainkan cermin kemuliaan-Nya. Dalam dirinya, misteri salib tidak hanya dibaca sebagai peristiwa penghakiman, tetapi sebagai peristiwa persekutuan kasih yang menebus dan mempersatukan. Penutup Perawan Maria adalah hermeneutik kasih: di dalam dirinya, salib tidak lagi hanya tanda penderitaan, melainkan wahyu kasih Allah yang menebus melalui relasi. Ia berdiri di kaki salib sebagai ikon Gereja yang menderita namun tetap percaya, berduka namun penuh harapan. Melalui Maria, salib Kristus dibaca bukan sebagai benturan antara kehendak Allah dan iblis, tetapi sebagai kesempurnaan kasih yang menebus manusia lewat kebebasan yang berserah. Di bawah salib, Gereja belajar bahwa penebusan bukan konsep, melainkan persekutuan—antara Kristus, Maria, dan kita semua yang turut memanggul salib hingga tiba pada kebangkitan.
Share This Article :
