LGZdNWF7LWRaNat9MGJ9NaVcN6MkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Migrasi, Rekonsiliasi, dan Martabat Manusia: Suara Profetik Paus Leo XIV dan Tantangan bagi Gereja di Indonesia



I. Pendahuluan: Dunia yang Mengeras, Hati yang Membeku

Lebih dari seratus juta manusia kini hidup di jalan buangan: meninggalkan rumah, tanah air, dan sejarah mereka karena perang, kelaparan, dan keputusasaan. Paus Leo XIV menatap kenyataan ini dengan kata-kata tajam: “Jangan biarkan globalisasi ketidakberdayaan.” Dunia yang tersambung oleh kabel dan jaringan kini justru kehilangan koneksi dengan hati nurani.

Dalam Konferensi Internasional “Refugees and Migrants in Our Common Home” yang diselenggarakan oleh Universitas Villanova, Paus Leo XIV tidak berbicara tentang statistik, tetapi tentang manusia. Ia menyerukan pertobatan sosial dari dosa terbesar abad ini: ketidakpedulian yang dibungkus kenyamanan. Dari seruan itu lahirlah rencana aksi tiga tahun berbasis teaching, research, service, dan support—sebuah kerangka kerja yang menyatukan akademia, Gereja, dan kemanusiaan.

Namun seruan ini tidak berhenti di Vatikan. Gaungnya menembus batas geografis, menantang Gereja universal—termasuk Gereja di Indonesia—untuk menguji diri: apakah kita sungguh menjadi “rumah bersama” bagi mereka yang tersingkir dan terpinggirkan di tanah sendiri?

 

II. Dari Budaya Perjumpaan ke Budaya Rekonsiliasi

Paus Leo XIV melanjutkan gagasan Paus Fransiskus tentang “budaya perjumpaan”—pertemuan yang melampaui tembok etnis, agama, dan kebangsaan. Tetapi ia melangkah lebih jauh: dunia tidak cukup hanya bertemu; dunia harus berdamai. Maka lahirlah gagasan baru: budaya rekonsiliasi.

Rekonsiliasi berarti membasuh luka yang ditinggalkan oleh ketidakadilan global: ketimpangan ekonomi, konflik etnis, perdagangan manusia, dan pengusiran ekologis akibat eksploitasi alam. Di sini teologi Paus Leo XIV bersinggungan dengan konteks Indonesia: negeri yang kaya akan keragaman, tetapi juga sarat luka—perbatasan sosial, ketimpangan pembangunan, dan diskriminasi terhadap kelompok rentan.

Budaya rekonsiliasi berarti menghidupkan kembali semangat gotong royong rohani—di mana Gereja tidak hanya menolong, tetapi memulihkan martabat mereka yang kehilangan tempat dalam struktur sosial. Dalam bahasa Aquinas, gratia non tollit naturam, sed perficit eam—rahmat tidak menghapus kodrat, melainkan menyempurnakannya.

 

III. Empat Pilar Aksi: Dari Belas Kasih ke Struktur

Paus Leo XIV merumuskan empat pilar: pengajaran, penelitian, pelayanan, dan dukungan. Keempatnya adalah bentuk konkret dari kasih yang terstruktur.

  • Pengajaran (teaching): Gereja Indonesia perlu mengintegrasikan isu migrasi dan kemanusiaan lintas batas ke dalam pendidikan iman, sekolah Katolik, dan formasi calon imam. Mengajar berarti membentuk nurani sosial yang tidak menutup mata terhadap penderitaan pekerja migran, pengungsi Rohingya, atau korban perdagangan manusia.
  • Penelitian (research): Perguruan tinggi Katolik harus meneliti akar migrasi domestik: kemiskinan, eksploitasi sumber daya, ketimpangan gender. Data dan refleksi akademik menjadi alat evangelisasi yang menelanjangi struktur dosa.
  • Pelayanan dan advokasi (service): Paroki dan lembaga karitatif mesti melampaui bantuan sesaat. Pelayanan harus menjadi aksi struktural—memberi pelatihan, perlindungan hukum, dan pendampingan psikososial bagi para migran dan keluarganya.
  • Dukungan (support): Gereja dipanggil menjadi ruang aman bagi mereka yang tak lagi punya rumah. Dukungan berarti menghadirkan rumah rohani di tengah pelarian fisik.

Indonesia, dengan jutaan pekerja migran di luar negeri dan ribuan pengungsi di dalam negeri, memiliki ladang pastoral yang luas. Empat pilar ini dapat menjadi pedoman pastoral nasional: menjadikan Gereja bukan hanya saksi, tetapi tangan yang bekerja dalam sejarah.

 

IV. Doktrin Migrasi: Martabat dan Tanggung Jawab

Katekismus Gereja Katolik (no. 2241) menyatakan: “Bangsa-bangsa yang makmur, sejauh mampu, wajib menerima orang asing yang mencari keamanan dan kehidupan yang lebih layak.” Ajaran ini bersifat universal dan menuntut penerapan kontekstual.

Bagi Indonesia, negara kepulauan dengan sejarah diaspora dan migrasi panjang, doktrin ini meneguhkan panggilan moral untuk menjadi tempat perlindungan, bukan penolakan. Migran bukan ancaman, tetapi cermin kemanusiaan kita.

Dalam semangat Deus Caritas Est, Gereja Indonesia mesti membangun budaya penyambutan yang melampaui batas administratif. Di perbatasan Nusa Tenggara Timur—tempat ribuan pekerja migran berangkat setiap tahun—paroki-paroki dapat menjadi pusat pastoral migran: rumah transit spiritual, tempat doa, formasi iman, dan perlindungan.

 

V. Rekonsiliasi sebagai Politik Harapan

Rekonsiliasi, dalam ajaran Gereja, bukanlah romantika spiritual. Ia adalah mekanisme penyembuhan dosa sosial. Paus Yohanes Paulus II menyebut sakramen tobat sebagai “tribunal kerahiman,” pengadilan kasih yang menyembuhkan luka dosa.

Dalam konteks Indonesia, rekonsiliasi harus dihidupi secara sosial: memulihkan hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas, antara warga lokal dan migran, antara masyarakat dan alam. Gereja memiliki misi profetik untuk memperjuangkan rekonsiliasi ekologis—karena migrasi masa kini sering lahir dari kehancuran lingkungan.

Setiap tindakan pastoral yang menyambut pengungsi atau membela pekerja migran adalah perpanjangan sakramen tobat di ranah sosial. Gereja menjadi tanda bahwa pengampunan bukan melupakan, tetapi mengubah luka menjadi sumber kasih.

 

VI. Implikasi Pastoral bagi Gereja Indonesia

Seruan Paus Leo XIV mengundang refleksi mendalam bagi Gereja di Indonesia:

  1. Membangun Pastoral Migran Terpadu. Keuskupan-keuskupan di wilayah pengirim migran (NTT, Kalimantan, Sulawesi) perlu memperkuat koordinasi dengan keuskupan di wilayah tujuan. Ini bukan hanya soal bantuan material, tetapi penyertaan rohani dan pembelaan hak.
  2. Memasukkan Tema Migrasi dan Rekonsiliasi dalam Katekese. Dalam homili, katekese keluarga, dan pendidikan iman OMK, Gereja harus menumbuhkan kesadaran bahwa setiap orang asing adalah “ikon Kristus yang mengetuk pintu.”
  3. Mendorong Perguruan Tinggi Katolik untuk Menjadi Pusat Pengetahuan Publik. Universitas Katolik dapat membentuk migration observatory yang meneliti fenomena sosial, hukum, dan pastoral migrasi serta memberi rekomendasi kebijakan berbasis etika Katolik.
  4. Menjadi Suara Profetik dalam Kebijakan Nasional. Gereja perlu berani bersuara terhadap kebijakan yang merendahkan martabat buruh migran, korban perdagangan manusia, atau pengungsi. Dalam konteks demokrasi Indonesia, keheningan Gereja terhadap ketidakadilan adalah bentuk kolusi pasif dengan dosa struktural.
  5. Menghidupkan Spiritualitas “Gereja yang Bergerak.” Gereja harus keluar dari tembok sakristi menuju jalan raya dunia: menyapa, mendengarkan, berjalan bersama mereka yang tersesat—karena di situlah Kristus kini hadir.

 

VII. Penutup: Dari Globalisasi Ketidakberdayaan ke Globalisasi Harapan

Seruan Paus Leo XIV adalah cermin nurani bagi Gereja universal—dan bagi Indonesia, ia adalah panggilan konkret. Di tengah arus migrasi, Gereja tidak boleh menjadi menara gading belas kasih, tetapi rumah berjalan yang menyertai.

Migrasi dan rekonsiliasi adalah dua sisi dari satu panggilan: memulihkan wajah Allah dalam kemanusiaan. Ketika Gereja Indonesia menyambut para migran, menampung pengungsi, mendidik anak-anak pekerja migran, dan memperjuangkan keadilan sosial, ia sedang menulis Injil dengan tindakan.

Dunia boleh keras, sistem boleh timpang, tetapi Gereja tidak boleh dingin. Di tangan umat yang mau berjalan bersama yang terusir, globalisasi ketidakberdayaan berubah menjadi globalisasi pengharapan—dan di situlah, tanpa banyak kata, Kristus sendiri menyalakan kembali nyala kasih di dunia yang kehilangan arah.

 


Share This Article :
9000568233845443113