Jika iman adalah jalan menuju kebenaran, maka pertanyaan paling mendasar yang tak boleh dihindari adalah: bagaimana kita tahu apa yang benar? Di sinilah Katolik dan Protestan bertolak belakang—bukan sekadar karena tafsir Alkitab yang berbeda, tetapi karena kerangka epistemologis (cara kita mengetahui dan membenarkan kebenaran iman) yang sangat berbeda.
1. Wahyu Ilahi: Teks atau Tradisi yang Hidup?
Dalam tradisi Katolik, wahyu bukanlah hanya sekumpulan teks,
tetapi sebuah warisan hidup: Firman Tuhan yang diwartakan, ditulis, dan
dijaga dalam Tradisi Suci, ditafsirkan secara sah oleh Magisterium
Gereja. Dengan demikian, iman bukan hasil bacaan pribadi, melainkan komuni
pengetahuan dalam tubuh Kristus yang kelihatan: Gereja.
Sebaliknya, banyak denominasi Protestan memulai dari prinsip sola
scriptura: hanya Alkitab yang dijadikan standar iman, dan itu pun ditafsirkan
secara personal oleh setiap orang percaya. Wahyu dipreteli jadi teks, dan
umat didorong jadi penafsir tunggal bagi dirinya sendiri—seolah-olah Gereja
yang satu dan kudus hanyalah opsi, bukan syarat dari iman yang hidup.
“Kebenaran tidak pernah menjadi hasil dari tafsir individual
yang terpisah dari komunitas iman.”
— Dei Verbum, Konsili Vatikan II
2. Siapa Penjaga Kebenaran? Magisterium atau Akun Instagram
Pendeta?
Epistemologi Katolik percaya bahwa Allah tidak hanya memberi
wahyu, tetapi juga memberi sarana untuk menjaganya: otoritas pengajaran
Gereja. Sama seperti Alkitab tidak jatuh dari langit, tafsir Alkitab pun tidak
bisa diklaim sembarangan. Ada peran penting dari Tradisi Apostolik dan
Magisterium yang menjamin kesetiaan kepada Kristus.
Bandingkan dengan model Protestan, di mana tidak ada satu pun
otoritas universal. Setiap pendeta, influencer Kristen, bahkan jemaat awam
merasa memiliki hak ilahi untuk menafsirkan Kitab Suci dan mendirikan gereja
sendiri. Maka, fragmentasi gerejawi adalah buah alami dari epistemologi
yang anti-komunitas dan anti-tradisi.
Apakah Roh Kudus yang satu memberi ribuan tafsir yang saling
bertentangan? Atau ada yang keliru dalam epistemologinya?
3. Akal dan Iman: Bersahabat atau Bertentangan?
Katolik meyakini bahwa iman dan akal tidak bertentangan,
bahkan saling melengkapi. Wahyu memang melampaui akal, tetapi tidak
bertentangan dengannya. Karena itulah teologi Katolik berakar kuat pada
filsafat realis, terutama pada Aquinas yang menjelaskan bahwa akal budi mampu
mengenali kebenaran natural dan, dibantu wahyu, dapat menyelami misteri ilahi.
Sementara itu, dalam banyak aliran Protestan (terutama
Calvinis), akal dianggap telah rusak total akibat dosa, sehingga tak
bisa diandalkan. Maka, iman cenderung menjadi kepercayaan buta terhadap teks,
tanpa refleksi rasional dan tanpa komunitas penafsir. Yang muncul adalah
biblikalisme—percaya pada huruf mati, bukan Firman yang menjadi daging
dalam tubuh Gereja.
“Fideisme semacam ini bukan iman yang dewasa, melainkan pelarian
dari akal.” — Fides et Ratio, St. Yohanes Paulus II
4. Epistemologi dan Kekacauan Gereja-Gereja
Apa hasil dari epistemologi Protestan? Jawabannya: ribuan
denominasi dengan ajaran berbeda. Yang satu bilang baptisan bayi itu
warisan Katolik, yang lain bilang itu alkitabiah. Yang satu percaya Ekaristi
hanya simbol, yang lain bilang Yesus sungguh hadir. Semua mengklaim Roh Kudus,
semua mengklaim Kitab Suci—tapi semua saling menyangkal.
Inilah buah pahit epistemologi individualistik: Gereja
bukan lagi tubuh Kristus yang satu, melainkan kongsi tafsir yang retak-retak.
Ironisnya, mereka yang mengaku "hanya kembali ke Alkitab" justru
menghasilkan kebingungan dan relativisme yang tidak ditemukan dalam Gereja
perdana.
5. Penutup: Kebenaran Tak Bisa Dipreteli
Epistemologi Katolik mengajarkan bahwa kebenaran iman
bukan benda mati yang bisa dipreteli oleh setiap individu, melainkan realitas
hidup yang diwariskan, dijaga, dan dihidupi oleh Gereja. Maka iman Katolik
tidak anti-Alkitab, tetapi menolak mengurung wahyu hanya dalam teks. Sebab
kebenaran bukan hanya untuk dibaca—tetapi untuk dihayati dalam tubuh Kristus
yang kelihatan.
Sebaliknya, epistemologi Protestan berakhir dalam fragmentasi,
relativisme tafsir, dan reduksi iman menjadi relasi personal tanpa komunitas
yang mengikat. Apa yang semula dimaksud sebagai kebebasan justru menjadi
bumerang: setiap orang jadi paus atas dirinya sendiri.
Maka pertanyaannya bukan hanya “apa yang kamu percayai?”
Tetapi: “dari siapa engkau menerima imanmu, dan dalam tubuh siapa engkau
hidupkannya?”