Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Selasa, 06 Desember 2011

Catatan tentang Doa Syukur Agung Ketiga (DSA III)

Pengantar

Mungkin DSA III adalah DSA yang paling kurang digunakan dari DSA-DSA yang ada dalam misale kita. Supaya digunakan dalam setiap perayaan publik, bukan hanya panjangnya doa yang menentukan melainkan juga isi doanya. Isinya harus disesuaikan dengan kebutuhan gereja kontemporer.

"Proyek B"

Asal usul DSA III mudah sekali diteliti dalam dokumen lebih daripada ketiga DSA lainnya (I,II,IV). Ketika konsili menghendaki pembaharuan liturgi muncullah pertanyaan tentang DSA antar para liturgis dan teolog; seorang rahib Benediktin bernama Ciprianus Vagaggini, mengemukakan satu usulan dalam sebuah buku yang disebut The Canon of the Mass and Liturgical Reform. Ahli ini kelahiran Italia tetapi merupakan anggota komunitas yang bernama “Abbey of Saint Andre di Belgia, suatu tempat yang dikenal sebagai pusat gerakan liturgi. Tulisan-tulisan C. Vagaggini terkenal di kalangan para liturgis; khususnya buku yang dimaksudkan itu mengemukakan suatu komentar bermanfaat tentang dsa. Sebagian besar teks doa kita berhubungan dengan teks yang diusulkan dalam buku itu dan disebut penulisnya dengan “Proyek B”.

Vagaggini mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menyusun satu DSA yang kontemporer sekaligus tradisional. Ia menginginkan satu DSA yang asli, lengkap dari segi gaya literer dan liturgis khas bagi suatu anafora, yang lebih dekat dengan rasa biblis, liturgis dan pastoral; ia menganjurkan yang ideal untuk masa kini. Ia menulis bahwa ternyata harus diterima prinsip bahwa setiap DSA mempunyai hak dan kewajiban untuk merefleksikan secara khusus, pemikiran teologis gereja masa kini.

Di waktu yang sama, penulis sadar akan bagaimana DSA berasal dari waktu yang lama, karena patut diingat bahwa DSA tidak hanya merupakan doa, tetapi doa yang terrumus secara baik, dan mempunyai kharakter tradisional dan biblis. Karena aspek ini, maka Vagaggini mencari inspirasi dari liturgi-liturgi kuno di Spanyol dan Perancis, yang masih ada dalam liturgi Mozarabic di katedral Toledo. Liturgi-liturgi kuno ini bukannya liturgi Romawi. Salah satu pusat utama adalah kerajaan Visigotik di Spanyol di abad ke 7, di mana st. Isidorus sebagai figur dominan. Selama perkembangannya ada pengaruh besar liturgi Bizantin di Perancis; aspek-aspek pengaruh ini ditemukan dalam liturgi. Semua ini harus kita perhatikan di Iralndia, karena itulah tradisi dengan mana liturgi kuno kita sangat dekat.

Vagaggini menulis sebagai berikut: Pendapatku adalah bahwa salah satu tugas utama kita dalam memberikan dorongan kepada liturgi Romawi,yang kini dipakai di pelbagai regio di dunia, terletak dalam mengasimilasikan secara organik, pemikiran teologis, spiritual dan pastoral; sementara itu harus dipertahankan kesederhanaan dan keagungan dalam ungkapan, yang merupakan kehormatan tradisi autentik liturgi Romawi.

Struktur DSA III

Salah satu hal yang menarik dalam DSA III adalah strukturnya yang proporsional. Ada lima bagian pokok di dalamnya anafora-anafora Spanyol dan Perancis:

1. Prefasi (biasanya disebut Immolatio atau illatio)
2. Sanctus
3. Post sanctus
4. Konsekrasi yang biasa disebut Mysterium
5. Post mysterium.

Dalam DSA III, struktur ini telah diaplikasikan sedemikian untuk memberikan kepada setiap seksi, suatu kharakter definitif sambil menghindarkan teks yang panjang-panjang, sedemikian sehingga seluruh doa mengalir dengan baik.

Jika struktur dan beberapa ungkapannya diambil dari liturgi masa lampau, maka tema-tema dominan dalam DSA ini akan menjadi modern. Jika seseorang kehendaki satu kekhasan untuk menyatakan kharakteristik isi doa ini, maka dia dapat mendeskripsikannya sebagai DSA konsili Vatikan II. Tidaklah tepat bahwa doa ini dibentuk oleh orang-orang konsili Vatikan II sehingga keprihatinan-keprihatinan konsili dijadikan sebagai kunci DSA ini.

Tema DSA III

Tema utama DSA ini adalah kesatuan. Bahwa tema ini merupakan salah satu isu besar masa kini tidak perlu dikembangkan. Orang jarang memprihatinkan kesatuan dan komunitas sedemikian seperti masa kini, yang diintensifikasikan seperti yang dikehendaki konsili dalam Gaudium et Spes (23). Hal ini merupakan satu keprihatinan dunia modern, yang konsili jadikan sebagai keprihatinannya, seperti dalam GS no 42 ini: …..

Keprihatinan akan kesatuan diekspresikan dalam DSA dalam frase-frase berikut ini:

Semua ciptaan memuji Dikau ….. sedemikian sehingga dari Timur ke Barat suatu persembahan yang sempurna dilaksanakan ….. dan menjadi satu tubuh, satu roh dalam Kristus ….. dalam belaskasih dan kasih mempersatukan semu anakmu di mana saja mereka berada.

Dalam ungkapan-ungkapan ini, kita dapat memperhatikan secara khusus tema kesatuan yang diberikan basis teologis dalam ajaran tentang Tubuh Kristus. Pandangan ini sejalan dengan ajaran modern dari Magisterium, yang dimulai oleh ensiklik “Mystici Corporis” Pius XII dan yang diperbaharui oleh konsili Vatikan II dalam kontitusi Lumen Gentium no. 7.

Bagaimanapun, tekanan prinsipil dari DSA ini jatuh pada salah satu aspek teologis gereja, yang juga mendapat tekanan lebih besar dalam konsili, yaitu gereja umat Allah. Apresiasi atas konsep ini merupakan salah satu buah pembaharuan biblis dalam gereja. Hal ini diambil alih oleh DSA III dalam frase berikut ini:

“Kaupersatukan suatu umat bagiMu” ….. “semua umat yang PuteraMu telah peroleh bagiMu”….. umat yang mengembara di dunia”.

Gereja seturut DSA ini bukannya persekutuan para kudus dan para martir di Yerusalem surgawi yang dirayakan dalam DSA I. Umat yang dimaksudkan dalam DSA III itu adalah yang dimaksudkan dalam Lumen Gentium dan dalam dekrit tentang Ekumenisme, yakni Umat pengembara. Tema-tema kesatuan dan umat Allah merupakan alasan utama mengapa kita meninjau DSA ini secara khusus.

Kurban Ekaristi

Tema penting lainnya adalah Ekaristi itu sendiri serta tempatnya dalam hidup gereja. Dalam DSA ini, ada satu paragraf yang mengemukakan tentang persembahan gereja dalam hubungan dengan persembahan Kristus. Satu bagian dalam Epiklesis II berbunyi demikian: “Terimalah persembahan gerejaMu ini sebagai kurban sejati, yakni PuteraMu sendiri, yang telah mendamaikan kembali kami dengan Dikau berkat kematianNya”.

Tema teologis ini sudah merupakan kesulitan para teolog serta tradisi-tradisi kristiani. Sebagai frase yang diambil dari DSA Mozarabic, DSA III menyatakan kebenaran mendalam secara langsung dalam tradisi gereja perdana, yang menunjukkan bahwa sebagai kurban, misa bergantung seutuhnya kepada kurban Kristus. John Barry Ryan dalam bukunya “The Eucharistic Prayer” berkomentar demikian: ”Hal ini menghindarkan antitesis modern tentang korban salib dan korban misa sedemikian sehingga kurban satu-satunya itu tetap unik sedangkan / sementara aspek sakrifisial yang dilaksanakan tetap dipertahankan."

Jati diri Misa sebagai kurban salib menjadi pusat lewat jatidiri kurban dalam setiap kasus. Bagi generasi yang lebih tua, hal ini mengingatkan kita akan pendapat Maurice de la Taillo tentang kurban ekaristi, suatu pendekatan yang masih bermanfaat dalam berkotbah, meskipun teolog-teolog kini berpendapat bahwa hal itu belum lagi komplet.

Ada preseden baik bagi pendekatan ini. Barangkali pendapat Yohanes Krisostomus di abad pertengahan dapat menjadi teks klasik untuk tema ini: “Apakah kita punya kurban setiap hari? Sesungguhnya dengan memperingati wafatNya, kita punya satu kurban atau beberapa? Bagaimana satu dan bukan beberapa? Karena Ia telah dipersembahkan cuma satu kali, bagaikan mempersembahkan kurban yang suci. Yang pertama merupakan tipe dari yang lain, sama seperti Ekaristi juga. Kita selalu mempersembahkan kurban yang sama, bukan satu anak domba kini, dan besok yang lain tetapi selalu yang sama, dengan akibat bahwa kurban itu satu. Sama seperti argumen ini, karena korban dipersembahkan di banyak tempat, maka apakah ada banyak Kristus? Di mana-mana hanya ada satu Kristus, satu tubuh, sama utuh di satu tempat seperti tempat lainnya. Akibatnya, seperti Dia yang dipersembahkan di banyak tempat, adalah satu tubuh, dan bukan banyak, maka demikian juga kurban. Dia adalah Imam agung, yang mempersembahkan kurban yang memurnikan kita. Inilah apa yang kita kini persembahkan, adalah satu yang dulunya dikurbankan, persembahan yang tidak dapat dirusakkan oleh api. Hal ini terjadi sebagai peringatan akan apa yang pernah terjadi, “Buatlah ini sebagai peringatan akan Daku”. Kita tidak melaksanakan satu kurban yang lain, seperti imam agung biasa perbuat dulu. Kita selalu melakukan kurban yang sama, atau kita malaksanakan peringatan akan kurban yang sama”.

DSA versi Bahasa Inggris


Perlu dicatat bahwa DSA III versi Bahasa Inggris mengabaikan pokok ajaran yang dijelaskan Vagaggini dan diperhatikan dalam versi Latin DSA ini. Pokok itu adalah kharakter mendamaikan dalam / dari misa. Jika diterjemahkan secara harafiah maka terjemahannya demikian: Kami memohon kepadaMu, pandanglah persembahan umatMu dan lihatlah korban, yang mendamaikan kami kembali dengan Dikau, berkat wafatNya.

Terjemahan versi Inggeris dapat dipahami. Doktrin tentang aspek mendamaikan dengan mudah saja dapat disalahpahami oleh orang yang non kristen seperti menenangkan Allah pendendam. Di waktu yang sama, hakekat mendamaikan dari korban Kristus di salib merupakan bagian intrinsik dalam tradisi kita dari PB (Rm 3:25; Ibr 9:11ss; 1Yoh 2:2) dan dengan demikian merupakan bagian dari apa yang diambil Ekaristi, yang diberikan sebagai korban dalam misa dan di atas salib. Tobat merupakan salah satu realitas primordial, yang dialami umat tanpa mampu mengungkapkannya dalam kata-kata. Hal itu merupakan salah satu kebutuhan mendasar orang beragama, dan gereja selalu menyatakannya dalam Ekaristi sebagai sebagian pemenuhan akan kebutuhan itu.

Adalah berarti bahwa hal itu tetap dilaksanakan dalam DSA kita. Versi Jerman mempertahankan ide itu dengan mengemukakan tentang anak domba yang menghapus dosa dunia.

Peranan Roh Kudus

Dalam pembahasan tentang DSA IV telah dibicarakan tentang teologi Roh Kudus dalam liturgi baru. Peranan Roh Kudus, yang begitu penting dalam gereja kontemporer, khususnya lewat penyebaran gerakan kharismatik, merupakan salah satu tema signifikan dalam DSA III. Hal ini sebenarnya merupakan keprihatinan C. Vagaggini.

Menjelang akhir konsili, berkembang perasaan bahwa tidaklah cukup untuk bicara saja tentang Roh Kudus. Mereka yang terlibat dalam membaharui liturgi merasa cemas membereskan kekurangan itu. Mereka sadar bahwa kekurangan tidak hanya bahwa dalam konsili Vatikan II tetapi dalam seluruh tradisi liturgi Barat.

Vagaggini menulis demikian: “Di samping sejumlah pecahan dalam DSA Romawi yang mengikuti pola sebuah epiklesis, ada kekurangan lainnya seperti tidak ada teologi tentang peranan Roh Kudus dalam Ekaristi. Teologi ini sangat penting. Kebutuhan untuk merefleksikan kharakter biblis dan tradisional dari ajaran ini untuk merefleksikan secara langsung bahwa hal ini merupakan kekurangan serius. Kini kita sudah mulai semakin sadar akan penemuan kembali aspek Trinitas yang kita sebut aspek ekonomi sejarah keselamatan; suatu aspek yang digarisbawahi oleh konsili Vatikan II. Hal ini berarti memikirkan tentang pribadi-pribadi Allah Tritunggal tidak sejauh dalam term kesatuan mereka dalam hakekat ilahi seperti dalam term-term distinksi relatif, yang dikenal sebagai suatu prinsip lewat manifestasinya dalam sejarah keselamatan. Ternyata dalam revelasi selanjutnya dan ketetapan keselamatan manusia bahwa pribadi-pribadi ilahi telah wahyukan secara bertahap dan tetap mewahyukannya kepada kita”.

Seperti dalam DSA IV, Roh Kudus dirayakan pada dua pokok khusus DSA yakni epiklesis sebelum kisah institusi dan sesudahnya. Hal yang utama adalah bahwa Roh Kudus mendapat tempat dalam seluruh konteks sejarah keselamatan. Tugas yang dipercayakan kepadaNya adalah yang sudah tradisional dalam liturgi sebagai yang menguduskan semuanya dan yang mengembangkan gereja dalam kasih.

Pandangan tentang Roh Kudus demikian dalam DSA ini mungkin dapat dihubungkan dengan ajaran Vatikan II mengenai kehadiran Allah dalam gereja umumnya dan khususnya dalam liturgi. Seturut SC no. 7, misteri kehadiran Ekaristis harus ditempatkan dalam konteks berbagai jalan di mana Allah hadir dalam umatNya. Konsili nyatakan bahwa Allah sesungguhnya hadir sejak awal misa dan dengan demikian misa dapat dipandang sebagai misteri puncak dari kehadiran, yang mengarah kepada dan jauh dari kegiatan sentral Ekaristi dengan mana Kristus menyerahkan diri kepada Bapa atas nama umat.

Demikian juga halnya dengan DSA III. Dinyatakan bahwa Roh Kudus hadir, bahkan sebelum kita menghadiri misa. Ia berkarya memperdalam realitas hidup dan kekudusan yang mengalir dari Kristus. Karya Roh Kudus dalam Ekaristi, yang menyebabkan kehadiran Tubuh dan Darah Kristus, jadi dipandang sebagai suatu tahap dalam kerangka yang lebih luas. Sesudah kisah institusi, dalam epikesis II, perspektif doa mengarah kepada umat, kembali ke dalam hidup harian umat, sambil membawa kehadiran Roh Kudus yang memperbaharui sedemikian sehingga mereka semakin dapat menjadi tubuh Kristus di tengah dunia.

Perspektif ini mendapat suatu dimensi tambahan dalam doa untuk komemorasi para kudus. Tema ini ditempatkan dalam satu posisi yang tidak biasa dalam DSA. Anjurannya adalah bahwa persaudaraan dalam Roh Kudus yang berasal dari Ekaristi mengarah ke suatu kesatuan yang lebih dalam antara kita dengan seluruh tubuh mistik, dan secara khusus dalam jajaran para kudus di surga. Pikiran ini menjadi jelas dalam versi DSA Perancis, di mana Roh Kudus disebutkan secara explisit sebagai agen kita untuk menjadi korban persembahan yang kekal bagi Bapa dalam kesatuan para kudus. Patut kita sebutkan pernyataan st. Agustinus ini: Roh Kudus merupakan jiwa Tubuh Kristus yang adalah gereja.

Permohonan-permohonan


Pada akhir dari DSA, dikemukakan permohonan. Permohonan itu lebih dari sebuah daftar permohonan kepada yang ilahi. Permohonan-permohonan itu menyatakan dalam satu cara yang lain, tema yang sudah diperluas yakni komemorasi dan persatuan. Dari persatuan dengan penghuni surga kita beralih ke persatuan dengan mereka yang di dunia dan menjadi suatu persatuan dengan mereka yang kebutuhanna kita persatukan dengan kebutuhan kita dalam pengembaraan kita. Yang sungguh berharga adalah doa untuk persatuan yang ditujukan kepada Bapa yang baik. Versi DSA Jerman menambahkan nuansa yang bagus dengan menginterpretasikan doa bagi kegembiraan mengalami Allah sebagai doa agar kita dapat berpartisipasi dalam Kerajaan Allah. Itulah yang merupakan tujuan setiap Ekaristi.

Catatan tambahan:

1. Tentang teks “Sungguh kuduslah Engkau, ……. Untuk memuliakan namaMu”. Bagian ini dinamakan “post sanctus”, yang patut dikomentari. Keseluruhan alinea ini berharga sebagai satu perayaan yang layak dan bernuansa doa bagi umat yang berliturgi untuk memuja Pencipta dalam adorasi dan puji syukur.
2. “…sehingga di seluruh bumi dipersembahkan kurban yang murni untuk memuliakan namaMu”: Teks ini berhubungan dengan Mal 1:11. Patres di masa dulu mendiskusikan Ekaristi dalam hubungan dengan ramalan Maleaki ini. Bahwa dalam Ekaristi, kita mempunyai satu kurban yang murni, yang adalah pemenuhan dari / atas korban Perjanjian Lama. Konsili Vatikan II menyebutkan tema ini dengan mengutip Mal 1:11 itu dalam LG 17.

Oleh. Emanuel Hane. Dosen Liturgi Seminari TInggi Santu Mikhael Kupang

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget